Bagian 6

Baru kemarin Aras tidak dirusuhi oleh Fira, tapi hari ini gadis itu kembali. Meski ini hari Minggu, Fira dengan semangat yang berkobar, mengajak Aras untuk lari pagi keliling kompleks perumahan.

Aras mengumpat pelan karena tidurnya terganggu. Ayolah, ini hari Minggu. Free day. Kenapa, sih, Fira tidak diam aja di rumah?

Karena Mamanya merasa tidak enak pada Fira jika anaknya menolak ajakan gadis itu, maka di sinilah Aras dan Fira berada, di taman kompleks rumah. Ada beberapa orang juga di sana dan seumuran dengan Aras dan Fira.

"Kamu, tuh, kalau hari libur ya olahraga, dong! Jangan diem mulu! Gak seru, tahu!"

Aras berdecih mendengar ucapan gadis di sampingnya.

"Aras, kamu dengerin aku gak, sih?"

"Telinga gue masih berfungsi dengan baik, Safira."

"Ya, kalau berfungsi dengan baik, nyaut dong! Tuhan kasih mulut, ya, supaya kamu ngomong. Kalau nggak digunakan dengan baik, sama aja kamu nggak menikmati pemberian Tuhan!" omel gadis itu.

Satu yang ada dalam pikiran Aras. "Lo itu waras nggak, sih?"

"Waraslah! Kalau nggak waras, aku nggak akan suka sama kamu!" bebernya tidak sadar.

Aras menoleh dengan terkejut. "Apa? Ulang!" titahnya.

Fira mengerjapkan matanya lucu. Hah? Lucu? Aras memalingkan wajahnya karena tidak tahan melihat wajah Fira yang lugu itu.

Iya, Aras tidak munafik jika Fira memang cantik. Wajahnya tidak sepadan dengan umur, begitu juga tubuhnya. Sungguh, Aras memang berharap jika Fira hanyalah seorang gadis SMP. Bukan seorang gadis remaja berusia 18 tahun dan sudah kelas 12 SMA.

"Aku suka kamu, Aras," aku Fira dengan pelan.

Aras menarik salah satu sudut bibirnya. Kini beralih menatap Fira. "Suka lo bilang?"

Fira menganggukkan kepalanya. "Iya, suka. Emangnya kenapa?"

"Atas dasar apa lo suka sama gue?"

Fira meneliti Aras dari atas sampai bawah. Ia menunjuk wajah lelaki itu. "Kamu ... ganteng? Emmm ... meski agak cuek, tapi kamu sebenarnya baik."

"Tahu dari mana kalau gue baik?" Kalau urusan ganteng, Aras memang menyadari jika dirinya memiliki paras yang tampan. Meski tidak setampan Zayn Malik.

"Tahu. Buktinya, waktu kemarin aku minta kamu nunggu di parkiran, kamu mau-mau aja. Padahal, kamu bisa pulang duluan, meski aku udah ngancam dan ancaman itu nggak penting, kan?"

Mampus!

Aras kalah telak! Bagaimana bisa Fira berpikir sejauh itu dan mengingatnya dengan rinci?

Benar apa yang dikatakan Fira, jika ia memang tidak peduli dan tidak memiliki rasa empati yang tinggi, dirinya sudah pasti akan meninggalkan Fira untuk pulang sendirian. Tapi, nyatanya, ia malah melakukan sebaliknya. Menunggu gadis itu dan pulang bersama.

"Bukan cuma itu, kamu juga mau temenin aku makan ketoprak, padahal kamu bisa pulang waktu aku ganti baju. Kamu juga nggak pernah ngebentak aku, padahal aku selalu rusuhin kamu. Kamu itu ... baik, Aras, cuma memang harus dibuat nyaman dulu biar cueknya hilang," jelas Fira dengan panjang.

Ke mana hilangnya Safira yang merusuh dan berisik?

Aras jadi waswas jika gadis itu mempunyai kepribadian ganda.

Aras bungkam. Ia mencoba mencari pengelakan yang masuk ke logika. Hingga, tidak membuat Fira bertanya-tanya. Ia asumsi meski Fira gadis yang rusuh, gadis itu teliti dalam suatu hal. Termasuk tentang dirinya.

Ingat, mereka baru kenal beberapa hari, tapi kenapa bisa Fira sampai meneliti sejauh itu? Apa karena ....

"Lo suka sama gue karena apa? Kagum atau suka ...."

"Iya, suka beneran, dong! Suka karena kamu itu Aras. Nggak boleh?"

Aras akan gila karena Fira justru menyukainya. Ia yakin, dirinya akan semakin dekat dengan gadis itu. Bukan. Bukan karena ia yang tiba-tiba saja langsung balas menyukai Fira, tapi karena setelah hari itu, Fira semakin gencar untuk berdekatan dengannya.

...

Satu minggu berlalu. Kini Aras dan Fira sedang makan di kantin bersama. Di jam istirahat ini, kantin penuh. Fira sengaja bergabung dengan meja Aras dan ketiga temannya, diikuti Dhea yang memang selalu bersamanya.

"Aras, mau itu," ujar Fira sambil menunjuk piring siomay milik Aras. Ia duduk di depan Aras, sedangkan di sampingnya itu Dhea.

Di samping Aras ada Rafif, lalu disusul Danu. Di depan Danu dan tepat di samping Dhea, ada Gading.

Aras mendongak. "Beli, Safira," sahutnya. Lalu kembali menyantap makanannya.

Fira cemberut. "Cuma nyicip doang, dikiiittt aja," katanya penuh keyakinan.

Aras mendorong piring siomaynya pada Fira. "Makan, semuanya." Tanpa menatap Fira dan menyesap es teh manisnya.

"Nggak ikhlas banget."

"Drama banget, Mbaknya," sindir Rafif.

Yang melotot malah Dhea. Ia tidak terima jika Fira dikatakan seperti itu. Ya, meski nyatanya memang drama, sih. Tapi, kan, tidak sepenuhnya begitu. Fira memang mempunyai sikap yang seperti anak kecil. Jadi, ya wajar saja jika agak 'sedikit' drama.

"Iri bilang bos!" sahut Fira tanpa menatap Rafif.

"Iya, dong, gue bos. Bos Ganteng!" ujar Rafif dengan bangga.

Aras memutar bola matanya dengan malas. Ia menatap Fira yang masih memandangi siomay. "Makan," titahnya.

"Boleh?"

Maunya Fira itu apa, sih? Bukannya tadi gadis itu yang meminta siomay pada Aras? Lalu, kenapa sekarang malah bertanya boleh atau tidaknya siomay itu dimakan olehnya?! Sungguh, Aras tidak paham dengan mau Fira.

"Kalau nggak boleh, udah gue habisin itu siomay, Fira," kata Aras dengan malas.

Fira mengambil sendok yang tadi dipakai Aras. Ia mengangkat sendok itu dan memandanginya. Membuat semua orang yang ada di meja itu menatapnya dengan aneh.

Ia lalu menatap Aras yang kembali meminum es tehnya. "Aras, kalau aku makan siomay pakai sendok yang tadi kamu pakai ini, apa artinya kita udah ciuman secara nggak langsung?" tanyanya dengan polos.

Tersedaklah Aras saat itu juga hingga kedua telinganya memerah. Sedangkan Rafif, Danu dan Gading malah terbahak. Rahang Dhea nyaris jatuh setelah mendengar ucapan Fira.

"Begonya natural!"

"Masih aja percaya sama yang kayak gituan, Mbak, Mbak!"

...

"Aras, pertanyaan aku yang di kantin belum dijawab, lho."

"Pertanyaan apa, sih, Fira?"

"Yang sendok itu."

"Lo percaya gituan?"

"Nggak tahu. Kan, aku tanya, makanya kalau udah dapat jawaban, baru aku tahu, aku bakal percaya atau nggak."

"Mitos, Safira."

Fira terdiam beberapa saat mendengar jawaban Aras. Sejak kejadian di kantin tadi, ia sama sekali tidak malu atau apa. Kan dirinya bertanya, otomatis tidak tahu jawaban mana yang benar dan salah. Jadi, untuk apa ia malu? Ia kan hanya memastikan saja.

Banyak rumor yang beredar tentang ciuman tidak langsung itu. Hidih! Fira bergidik ngeri. Makanya, ia tadi bertanya. Meski pada ujungnya, ia memakai sendok yang sama dengan Aras. Beralibi jika irit sabun cuci piring. Bocah gila!

Mereka saat ini ada di perjalanan pulang. Fira mengeratkan pegangannya pada jaket Aras. "Aras, mau es krim," ucapnya berharap jika Aras mendengar.

"Apa?!"

Fira mendekatkan tubuhnya. "Mau es krim! Mau main time zone di mal! Mau beli novel!" serunya.

Aras memelankan laju motornya. Ia menoleh sebentar ke samping sambil bertanya, "Bawa uang?"

Fira menggeleng polos. "Bawa, tapi cuma lima puluh ribu," sahutnya.

Aras menatap jalanan kembali. "Terus, kenapa mau ke mal kalau nggak bawa duit, Ra?"

Fira suka jika Aras hanya menyebutkan dua huruf nama belakangnya saja. Ra ... Astaga! Jantung Fira bertalu. Ia tersenyum malu. Mulai berangan jika Aras akan selalu memanggilnya dengan sebutan itu. Ah ya, satu lagi. Panggilan Sapi, Fira juga menyukainya. Panggilan spesial dari Aras untuknya.

"Kan, ada kamu, Aras."

Aras nyaris mengerem secara mendadak. Apa katanya? Ada dirinya? Maksudnya ... ia yang membayar, begitu?

Hei, siapa juga Fira di kehidupannya ini? Gadis itu kan cuma tetangga sekaligus kakak kelasnya saja. Tapi, kenapa berani sekali meminta dibayari?

Ah ... Aras ingat. Jelas karena gadis itu menyukainya.

Ya, tapi, ia tidak menyukai Fira. Lantas, bagaimana?

"Nggak ada uang."

"Ya udah, deh, besok aja. Aku mau minta uang dulu sama Papa. Janji, besok temenin, ya?"

Seharusnya Aras menolak. Tapi, ia malah menganggukkan kepalanya.

Sial! Dirinya ini kenapa?!

...

Jumlah word : 1213

Klik bintang kirinya semuanyaaaa

Indramayu, 11 sep 20

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top