Bagian 2

Aras tidak pernah menemukan atau bahkan sampai mengenal seorang gadis seperti Fira. Menurutnya, dua kali pertemuan mereka, ia dapat menyimpulkan jika Fira memang gadis yang hiperaktif. Seolah jika Fira tidak mengoceh dan banyak tingkah, gadis itu akan merasakan lemas.

Aras tidak merasa risih akan kehadiran Fira, hanya saja ia merasa kurang nyaman dan heran. Kenapa gadis seperti Fira harus dipertemukan dengannya yang kurang ekspresif?

Iya, ia akui jika dirinya memang kurang pandai dalam berekspresi. Hanya tertawa dan bercanda jika sudah benar-benar merasa nyaman dengan orang lain. Jadi, jika ia tidak banyak bicara, maka karena dirinya merasa kurang nyaman dengan orang itu.

Pun dengan Fira, Aras merasakan hal demikian. Namun, entah kenapa, saat melihat senyum gadis itu yang menyiratkan kesenangan, sudut hatinya yang paling kecil merasa tersentil. Seperti merasakan sesuatu yang berbeda di dalam sana.

"Aras, bagiin ini ke tetangga. Dari angka 101 sampai 109. Cepetan!" titah sang Mama pada Aras yang sedang bermain ponsel di ruang tengah. Televisi menyala, namun tidak dilihat oleh Aras.

Aras menoleh dan menatap beberapa paperbag yang mamanya bawa. Apa katanya tadi? Membagikan bingkisan itu ke tetangga dari nomor 101 sampai 109? Itu artinya ... ia harus ke rumah nomor 103? Ke rumah Fira? Yang benar saja!

"Sama mama? Berdua?"

"Nggak, mama masih sibuk di dapur, bentar lagi papa kamu dateng. Udah sana! Inget, kalau sama orang baru, harus pakai 3S!" Mamanya memberikan 9 paperbag itu padanya. Aras hanya bisa menghela napas.

"Apa itu 3S?" pancing Mama Aras pada sang anak.

Aras memutar bola mata sambil memasukkan ponsel ke saku celana. Bangkit berdiri dan mengambil alih paperbag itu. "Senyum, salam, sapa," sahutnya.

Mama menepuk pelan bahu Aras. "Pinter! Ajak adik kamu sekalian, oke?" Wanita itu kemudian memanggil adik Aras. "Zara! Ikut sama abang, nih! Jalan-jalan!"

Lagi, Aras hanya bisa menghela napas. Mau menolak juga tidak tega karena melihat sang mama yang sibuk mengurus rumah sejak pagi.

Ketika adiknya muncul, Aras langsung pamit dan berjalan bersama sang adik. Usia Zara 3 tahun. Yah ... mau bagaimana lagi, ketika Aras lulus Sekolah Dasar, Zara lahir setelahnya.

Zara membawa boneka jerapah kecil didekapannya. Gadis kecil itu menggenggam sebelah tangan Aras yang tidak membawa paperbag. Ia mendongak untuk melihat wajah abangnya.

"Bang, ke mana dulhu?" Namanya anak kecil, bicarapun masih suka tidak jelas. Zara juga seperti itu.

Aras menunduk sebentar. "Dari rumah ini, terus lurus ke sana, sampai ujung," jelasnya.

Mereka ke rumah nomor 109, lalu dilanjutkan terus hingga ke 101. Selama itu pula, Aras selalu berusaha terlihat sopan. Hanya menarik senyum tipis. Yang penting kan, senyum.

Tiba di nomor 103, Aras menarik napasnya dalam. Lalu menekan bel yang ada di dekat gerbang, tepat di bawah nomor rumah. Tidak lama kemudian, gerbang terbuka. Menampilkan Fira yang memakai celana selutut dan kaus biru langit. Menjepit rambutnya juga.

Kali ini, untuk pertemuan ketiga mereka, Aras mengakui jika Fira memang seperti anak kecil. Seperti anak SMP.

"Ini--"

"Ya ampun, Aras, ini siapa? Lucu banget! Aaaa, kamu siapa namanya?"

Dengan senang Fira menggendong Zara. Aras terkejut, begitu juga Zara yang hampir menangis karena digendong oleh orang asing. Aras bahkan belum selesai berbicara, tapi Fira dengan seenak jidat memotong.

"Abang!"

Berontak di dalam gendongan Fira, Zara melengkungkan bibirnya ke bawah. Mata gadis kecil itu berkaca-kaca, siap menangis. "Abang ...," rengeknya.

Fira mengerjapkan matanya bingung. Aras dengan cepat mengambil alih Zara dari gendongan Fira. "Zara kaget," ucapnya pada Fira.

Fira menatap Zara dengan rasa bersalah. Apalagi ketika air mata gadis itu turun ke pipi. Ia jadi ikut merasakan sedih. Ia maju satu langkah untuk mendekati Zara. Lalu mengelus punggungnya.

"Maaf ya, Zara, kakak nggak tahu, kelewat seneng lihat Zara yang lucu dan gemesin!" hiburnya pada Zara.

Aras masih bungkam dan memperhatikan saja. Nyimak mode on.

Zara menatap Fira dengan tatapan lugunya. Ia mengusap kedua pipi dengan boneka jerapah yang ia bawa. "Makasih," sahutnya.

Fira tersenyum dan mengulurkan kedua tangannya pada Zara. "Ayo, kakak gendong lagi! Kita main ke dalam. Zara suka masak-masakan, kan?" ajaknya dengan senyuman lebar.

Zara menatap abangnya. "Abang?" Pertanda jika ia meminta persetujuan.

Aras menatap adiknya. Lalu membersihkan sisa air mata yang ada di pipi gadis itu. "Zara mau main sama kak Fira?" tanyanya.

Zara mengangguk. "Mau."

Lalu Zara digendong oleh Fira.

"Ya udah, tapi nggak boleh nakal dan nangis. Janji?" Aras menyodorkan jari kelingkingnya pada sang adik.

Bukannya Zara yang menerima, ini malah Fira. Fira mengaitkan jari kelingkingnya dengan milik Aras. "Janji, Abang. Tenang aja, Zara aman kok di sini."

Dengan cepat Aras menjauhkan tangannya. Lalu ia memberikan satu paperbag pada Fira. "Dari nyokap, salam perkenalan ke keluarga lo," ujarnya.

Fira menerima dengan senang hati. "Lebih tepatnya perkenalan sebagai calon besan," katanya dengan percaya diri. Aras mendengus sebal.

"Zara, abang masih ada dua rumah lagi yang harus dikunjungi, jadi Zara sama kak Fira dulu, gak papa? Inget pesen abang?"

"Iya, dadah ...."

Aras mengusap kepala Zara. Tidak ia sangka, Fira malah memajukan kepalanya juga. "Aku juga dong, Bang, diusap, hehehe ...."

Bukannya mengusap, Aras malah mengacaknya dengan kasar. Lalu pergi begitu saja.

Fira di tempatnya melebarkan senyum. "Nggak mau keramas tujuh hari tujuh malem! Titik!"

Zara langsung menyeletuk, "Jorok!"

Ah, Fira lupa jika ia sedang menggendong anak batita.

...

"Zara, kakak beli baksonya satu porsi, ya. Dikasih sambal yang banyak, tapi jangan dikasih saus. Oke?"

"Oke!"

"Ayo, Ibra, kamu mau pesan apa? Bakso juga atau bakso mie?"

Ibra--adik Fira--merengut sebal di tempatnya. "Kak, aku udah bilang lho kalau aku gak mau main masak-masakan, apalagi sampai ke tahap jual-beli kayak gini," ungkapnya.

Fira tidak peduli. Ia malah menyolek lengan Zara yang sedang memasak bakso di sebuah panci mainan. Di dalam panci itu terdapat kelereng yang dijadikan sebagai baksonya.

"Zara, kata Ibra, dia mau baksonya juga. Jadi, kakak pesan dua porsi, satunya nggak pedas, ya."

"Oke, Kak! Tungguin, ya!"

Fira tersenyum cerah sambil mengangkat jempolnya. Tidak peduli pada Ibra yang kini sudah memasang wajah masam. Anak laki-laki berumur 8 tahun itu tidak mau ikut bermain dengan Fira dan Zara, tapi dipaksa oleh kakaknya. Nasib.

Mangkuk mainan berukuran kecil itu sudah diisi dengan kelereng-kelereng. Zara memberikannya pada Fira. "Baksonya udah jadi, Kak, selamat makan!"

"Tuh, Bra, buruan makan!"

Satu kata untuk Fira, gila. Ibra bahkan nyaris tidak kuat menghadapi kakak satu-satunya yang aneh itu.

Apa Fira lupa jika umurnya beranjak ke 18 tahun? Tapi, kenapa masih saja seperti anak SD?

Pintu rumah diketuk ketika Fira sedang menikmati bakso mainannya. Ia menaruh mangkuk dan berjalan mendekati pintu utama. Ia membuka pintu itu dan mendapati Aras berdiri di sana.

Seketika, Fira jadi lupa rasa bakso tadi yang enak, kini digantikan dengan wajah Aras yang tampan.

"Zara, di mana?"

Fira mengerjap. "Ada di dalam, masuk aja, Ras." Ia membuka pintunya dengan lebar. Aras masuk ke dalam rumah. "Aku, Zara dan Ibra lagi main masak-masakan! Eh, dagang-dagangan lebih tepatnya. Jual-beli, berniaga, biar jadi orang sukses yang punya banyak uang," lanjutnya.

Aras nyaris terkekeh. Tapi, untungnya ia bisa mengontrol ekspresi. Kalau tidak, Fira akan kelojotan karena melihat dirinya terkekeh.

"Abang!" sapa Zara saat melihat abangnya datang. Ia melambaikan tangannya yang memegang centong. Lalu, gadis itu mengalihkan tatapannya pada Ibra. "Bang Ibra, nasinya mau nambah?" tanyanya.

Ibra melototkan kedua matanya. "Dih, enggak ya, aku nggak ada bilang mau nambah nasi, baksonya aja belum habis," katanya.

"Sama nasi biar kenyang," ujar Zara.

Aras dan Fira duduk berdampingan. Di hadapan Zara. Mereka hanya duduk disekat antara barang mainan yang sedang dipakai saja. Aras menatap tidak percaya akan mainan anak perempuan di depannya itu.

"Punya lo semua mainannya?"

Fira mengangguk sejenak, namun matanya masih menatap Zara. "Zara, beli es teh manis ya." Lalu ia beralih pada Aras. "Iya, punya aku, kenapa?"

Aras menggelengkan kepala. "Gunanya apa?"

"Hah?"

"Gunanya punya mainan kayak gini dengan umur lo yang udah remaja itu, apa?" tanya Aras lebih jelas.

"Ada kok gunanya. Gunanya, ya ... buat main masak-masakan. Salahnya di mana, Ras?" tanya Fira dengan bingung.

Aras lebih baik bungkam. Ingin mengajak Zara pulang, tapi tentu adiknya itu tidak akan mau karena sudah asyik bermain seperti sekarang. Apalagi, Fira yang seperti teman sepantarannya, sudah pasti Zara akan semakin merasa betah dan nyaman.

Satu yang Aras pikirkan. Fira ... memang berbeda.

...

Jumlah word : 1338

Jangan lupa vote dan komen ya, share juga boleh bangetttt

Yom ramaikan yyokkkkkkk

Ind, 7 sep 20

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top