Bagian 14
Fira pingsan.
Pingsan.
Ping-san.
Mendengar berita itu dari salah satu teman Fira yang Aras tahu bernama Dhea, lelaki itu langsung menuju UKS. Dan di sinilah Aras berada, di samping ranjang UKS yang terdapat Fira di sana. Duduk dengan tenang sambil terus menatap wajah gadis itu.
Fira sudah sadar beberapa menit yang lalu. Sudah makan juga. Aras sempat membelikannya bubur di kantin. Fira pucat. Bibirnya kering. Kantung matanya terlihat jelas menghitam. Aras merasa sedikit khawatir pada gadis itu.
Ya, bagaimanapun, Fira sekarang sudah menjelma menjadi teman, tetangga dan kakak kelasnya. Jika ada apa-apa dengan gadis itu, maka ia yang akan ditanyakan oleh kedua orang tuanya. Kenapa? Karena Fira sudah biasa dengannya. Jadi, wajar jika mereka mengira kalau Aras selalu tahu tentang Fira.
Setelah makan bubur dan minum obat, Fira tidak banyak bicara. Gadis itu malah tidur kembali. Aras sebenarnya ingin masuk ke kelas karena Fira sudah tertidur, tapi sebelum gadis itu pulas, dengan sopannya Fira malah menggenggam tangannya.
Fira berkata, "Aras, di sini aja, ya?" Suaranya pelan sekali saat mengatakan itu.
Alih-alih senang karena Fira tidak berisik, Aras malah merasa khawatir. "Hm, tidur aja," jawabnya pendek. Tidak mau terlihat khawatir di mata Fira. Bisa-bisa nanti gadis itu besar kepala! Hal itu jangan sampai terjadi, titik.
Saat ini Aras beralih menatap genggaman tangan mereka. Bukan. Bukan Aras yang menggenggam. Lebih tepatnya Fira. Tangan gadis itu kecil, putih, mulus dan bersih. Aras baru menyadari kalau ada tahi lalat di punggung tangan gadis itu. Ia semakin lamat menatapnya.
Lalu, ke menit-menit selanjutnya, Aras tidak sadar jika ia membalas genggaman itu.
Dan ... ibu jarinya mengelus punggung tangan Fira dengan pelan.
...
"Lo kok bisa sih, Fir, pingsan? Gak kayak biasanya, tahu! Cuma ada dua kemungkinan lo bisa pingsan kayak gini. Yang pertama, lo begadang 3 hari berturut-turut. Yang kedua, lo banyak berpikir hal berat dan lupa jaga kesehatan. Jadi, opsi mana yang bener, Safira?"
Fira mendengus pelan. "Berisik deh, Dhe. Kalau mau ngomel, besok aja," sahutnya.
Dhea dibuat geram karena sahutan tadi. Gadis itu memicingkan matanya pada Fira. "Jawab yang bener, gak?!" tuntutnya.
"Dua-duanya, Dhe."
"APA?!"
"Ck, jangan berisik! Aku ngantuk, kamu kalau mau masih di sini, terserah mau ngapain. Tapi, aku mau tidur," ucap Fira sambil menaikan selimut hingga leher dan mencari posisi enak.
Dhea menatap wajah Fira yang memang kurang sehat. Pucat. Dan Dhea kebingungan setengah mati. Dongkol juga karena Fira tidak menceritakan apa-apa padanya. Ya sudahlah! Nanti juga lama-kelamaan Fira akan bercerita.
Pada akhirnya, Dhea ikut berbaring di samping Fira. "Cepet sembuh, Fira. Kalau sakit gini lo keliatan kayak manusia, gak pantes banget," tuturnya.
Fira yang belum menyelam ke alam mimpi itu masih bisa mendengar suara Dhea. "Berarti lo temennya setan ya, Dhe," gumamnya.
Dhea tertawa dan merangkul Fira untuk segera menyelam ke alam mimpi.
...
Dhea akan menginap di rumah Fira malam ini. Jelas saja, itu permintaan Fira. Seringnya Dhea juga menginap di rumah Fira tanpa permintaan temannya itu. Hanya saja, kali ini sebenarnya Dhea tidak mau menginap, namun Fira yang meminta dan memaksanya untuk menginap. Hm ... ya sudahlah. Menginap di rumah Fira juga tidak akan merugikan untuknya.
Pada malam hari, Fira sudah membaik. Sudah mulai beraksi lagi. Tubuh gadis itu sudah menunjukkan sisi yang beberapa saat lalu disembunyikan. Astaga, Dhea bingung harus merasa senang atau merana ketika Fira sudah membaik seperti sekarang.
"Kakak, ada Aras nih," ucap Mama pada Fira sambil mendekati ruang tengah di mana ada Fira dan Dhea berada.
Memang, tadi Mamanya yang membukakan pintu saat bel rumah berbunyi. Dan ternyata, tamunya adalah Aras.
Lelaki remaja dengan setelan rumahan itu membawa satu kantung plastik di sebelah tangannya. Kemunculannya itu membuat Fira terkejut. Apalagi datang sendiri ke rumah gadis itu.
"Duduk, Aras. Tante buatkan minuman dulu, ya."
Aras mengangguk sopan dan memberikan kantung plastik itu pada Fira, tepat di atas pangkuan gadis itu. Ia duduk di sofa yang berdekatan dengan Fira duduk.
Dhea asyik diam saja, bermain ponsel, tidak mau ikut nimbrung apa yang akan dibicarakan oleh Aras dan Fira.
Bau harum martabak langsung menggelitik hidung Fira. Dengan penasaran dan tidak banyak bicara, ia membuka kantung plastik itu. Ada satu kotak makanan di atas kotak martabaknya. "Dari kamu?" tanyanya mendongak sejenak, lalu fokus mengeluarkan isi dari kantung plastiknya.
"Nyokap gue."
"Martabaknya?"
"Bokap pulang kerja tadi beli."
"Jadi ...?" Fira menaikan satu alisnya. Pikirannya sekarang sudah berkeliaran ke mana-mana. Berasumsi jika Aras yang memang berniat memberikan ini untuknya. Hanya saja, beralibi jika yang memberikannya adalah orang tua lelaki itu.
"Jadi, apa?"
"Ini dari kamu, kan, sebenernya?"
"Gue cuma ngantar ke sini, terus udah."
"Dalam rangka apa mama papa kamu kasih ini ke aku? Mereka tahu aku sakit? Dan kalaupun tahu, berarti itu dari kamu. Nggak mungkin mereka tahu sendiri karena mereka bukan cenayang," beber Fira dengan santai. Melirik Dhea yang asyik pada ponsel. Astaga, kebangetan!
Aras mengalihkan tatapannya. Ia menggaruk belakang kepala dengan bingung. Iya, bingung. Bingung bagaimana menjelaskannya pada Fira kalau apa yang ia bawa tadi itu memang dari mamanya.
Bukan. Bukan sepenuhnya dari mamanya saja, papanya juga memang tadi saat pulang dari kantor membawa dua kotak martabak karena ia yang memintanya untuk membeli satu kotak lagi dan itu untuk Fira. Dan untuk pudingnya, mamanya tadi pagi membuat puding untuk Zara karena adiknya sekarang sangat menyukai puding.
Berhubung puding di kulkas banyak, jadi Aras juga langsung teringat Fira. Ia mengambil satu kotak puding yang ada di tempat makan. Bilang pada mamanya juga kalau ia akan memberikan puding dan martabak itu pada Fira, dengan kejelasan kalau Fira sedang sakit.
Bahkan, saat makanan di piring Aras belum bersih, mamanya sudah menyuruhnya untuk segera ke rumah Fira. Astaga ... ada-ada saja.
Dan sekarang, wajar kan kalau Aras melandaskan pemberian tadi atas nama mama dan papanya?
Masa iya, ia harus dengan gamblangnya mengatakan kalau itu semua dari dirinya? Bisa kembang-kempis hidung Fira!
"Ya ... emang dari mereka. Gue ngasih tahu kalau lo sakit," sahut Aras.
"Fir, gue charge hape dulu, baterainya udah nipis." Dhea beranjak dan menatap Aras. "Ras, hati-hati lo. Nih anak kalau udah baterainya udah full, jadi nggak waras kayak kemarin-kemarin." Lalu, setelah itu Dhea pergi meninggalkan Aras dan Fira. Temannya itu melotot kecil padanya.
"Atas dasar apa kamu ngasih tahu mereka kalau aku sakit?" pancing Fira masih ingin menyelidiki kedatangan dan pemberian Aras yang tidak mungkin cuma-cuma ini. Apalagi sampai membawa nama orang tua lelaki itu. Hih! Tinggal mengaku saja apa susahnya sih kalau makanan itu dari Aras langsung? Kan, kalau sampai iya, Fira jadi senang.
"Lo gak mau apa gimana? Kalau gak mau, sini gue bawa pulang," pinta Aras dengan wajah malas.
"Akhlaknya minim banget, sama kayak jiwa-jiwa kepekaannya!"
"Lanjutkan," kata Aras.
"Sok-sokan nggak ngaku kalau ini dari kamu sendiri, pakai alasan mama papa kamu lagi. Parah banget kamu, Aras."
"Hmm."
"Berdosa banget kamu."
"Iya manusia banyak dosanya."
"Nyaut terus!" sungut Fira sambil menaruh kotak makanan itu di atas meja, serta martabaknya juga.
Ia membuka kotak makanan itu dan matanya sukses membulat. "PUDING! AYEY!" serunya dengan girang.
Lantas, Aras mencibir, "Norak!"
"Ini orang satu kayaknya iri banget sama aku, gak bisa apa lihat aku seneng dikit aja?!"
"Kakak, jangan galak-galak!" tegur Mama sambil membawa minuman untuk Aras. Meletakkannya di atas meja, tepat di hadapan Aras. "Diminum, Aras. Tante ke kamar, ya, baik-baik di sini sama anak tante yang gitu."
Fira mendelik sebal. "Terusss, Ma, terusss!"
Mamanya pergi dari sana dan menuju kamarnya. Aras hanya mengangguk sebagai jawabannya. Ia beralih menatap Fira yang beranjak dari duduk. "Ra, ke mana?" tanyanya penasaran.
"Ambil sendok sama garpu. Takut banget kalau aku bakal ninggalin kamu."
Aras mendengus sebal. Entah kenapa bisa kapasitas kepercayaan diri Fira sangat begitu besar, Aras saja tidak paham akan hal itu. Alih-alih pulang, Aras malah menyandarkan tubuh di sofa. Lalu, menegak minumannya.
Fira kembali membawa satu piring kecil, garpu dan sendok. Gadis itu duduk di karpet agar lebih leluasa menikmati makanannya. "Pudingnya mama kamu buat sendiri?" Gadis itu memotong puding dengan sendok dan memindahkannya ke piring.
Aras menaruh gelas di atas meja. Kemudian ia ikut duduk di karpet seperti Fira. Rasanya tidak sopan jika Fira duduk di bawah, tapi dirinya malah di sofa.
"Iya."
Fira mulai menyantap puding itu tanpa banyak kata. Ia menikmatinya dengan senang. Tidak ada niat untuk mengajak Aras berbicara lagi. Sebentar saja, pudingnya enak sekali, dirinya tidak mau diganggu saat makan.
"Lo ... kenapa bisa pingsan?" tanya Aras membuka suaranya karena tidak tahan lagi merasakan keheningan itu. Apalagi dengan Fira, biasanya gadis itu yang akan berisik.
Fira terdiam beberapa saat. Sendok yang ada di udara itu menggantung. Ia menoleh dan mengerjapkan matanya. Lalu menjawab, "Nggak tidur beberapa hari yang lalu, gak makan teratur juga."
"Kenapa?"
Fira melahap puding dan mengunyahnya dengan senyuman jail. Ia menelan puding itu dan menunjuk Aras dengan sendok, kemudian berkata, "Udah mulai peduli nih ceritanya?"
Aras menyentil kening gadis itu. "Ge-ernya gak ada akhlak!"
Fira tertawa sambil mengusap keningnya. "Yeee! Mang Oleh gak ngaku lagi! Hahaha ...."
"Diem, Safira!"
"Iya, Solimi, iya ...."
"Sapi?!"
"Hahaha ... nyenyenye."
...
Jumlah word : 1478
Deadline makin deket, Aras sama Fira nya masih gitu gitu aja hahaha
Aras si cowok gede gengsi banget ya ampun
Indramayu, 20 sep 20
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top