Bagian 13
Fira membuka pintu kamar Aras dengan pelan. Gadis itu menyembulkan kepalanya sedikit untuk mengetahui kalau Aras benar-benar tidur. Jangan sampai ia sudah masuk ke kamar itu, Aras sedang berganti baju atau apalah semacamnya. Bisa-bisa ia langsung diusir dari rumah Aras.
Setelah memastikan jika Aras memang benar-benar tidur, ia membuka pintu kamarnya dengan lebar, lalu berjalan masuk. Tatapannya tidak terlepas dari wajah Aras yang damai ketika tidur. Hah ... Fira jadi ingin mengelusnya.
Ish! Pikiran apa itu?!
Mengalihkan tatapannya, Fira mengamati seisi kamar Aras. Dinding yang bercat abu-abu dan biru navy itu menyatu dengan barang-barang yang ada di dalam kamar. Ada lemari pakaian, meja belajar, frame-frame foto yang menggantung di dinding itu tersusun rapi. Fira sedikit takjub melihatnya.
Fira duduk di kursi belajar Aras. Ia menatap wajah Aras kembali yang sangat tentram untuk dipandang. Lalu, ia terkekeh kecil. "Astaga, ganteng banget!" ucapnya dengan gemas.
Fira menaruh tumpuan kedua lengannya atas di sandaran kursi. Ia menaruh pipinya di sana. Masih menatap Aras dengan diam. Menikmati wajah Aras yang jarang sekali ia lihat ketentramannya.
Biasanya, wajah itu akan menunjukkan raut kesal saja padanya. Jarang sekali Aras tersenyum untuknya. Bahkan, rasanya jika diingat Aras tidak pernah melakukan hal itu. Emmm ... mungkin pernah, namun bisa dihitung jari. Dan itupun hanya senyum tipis atau senyum mengejek! Sial sekali, bukan?!
Tujuan Fira datang ke rumah Aras adalah untuk malam Mingguan bersama. Ya, istilahnya ngedate. Sudah lama juga ia tidak melakukan itu. Tapi, apa bisa dikategorikan seperti itu? Mustahil!
Tapi, di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, kan? Jadi, mari coba dulu.
Saat Fira sudah rapi seperti sekarang, ia tidak tahu jika Aras sedang tidur. Kata Mama Aras, lelaki itu habis main futsal bersama teman-temannya sejak pulang sekolah tadi.
Memang, Fira pulang bersama Aras tadi siang, namun ia tidak tahu jika setelah pulang, Aras malah bermain futsal.
"Jago basket, tapi main futsal?"
Ini menjelang pukul enam sore, dan Fira tidak ada niat untuk membangunkan Aras. Tidak tega juga, meski sebenarnya ia sangat ingin menarik tubuh lelaki itu untuk segara bangun dan jalan-jalan bersamanya.
Selain tanda ceklis dua biru yang datang dengan cepat, ada hal lain yang mampu membuat kaum perempuan senang. Salah satunya; menikmati malam Minggu bersama orang yang disukainya. Ya, meski orang itu tidak menyukai balik, setidaknya malam Minggunya tidak kelabu.
"Kalau kak Dion gak bisa membahagiakan aku sampai nanti, apa kamu bisa, Ras?"
"Kamu ... suka aku aja belum, tapi aku udah mikir jauh."
"Tapi, gak salah, kan, kalau aku berharap? Dikit doang, sih, gak banyak-banyak."
Dan terus bergumam kecil sampai Fira tidak sadar jika Mama Aras ada di depan pintu dan mendengar semua ucapannya.
...
"Jara, ikut! Gendong!"
Fira tertawa. "Let's go!" Ia menggendong Zara. "Kamu makan batu bata, ya?"
Zara menggeleng. "Enggak! Makan nasi!" jawabnya dengan lucu.
"Habisnya berat kayak batu bata. Hahaha ...."
Zara ikut tertawa dan melingkarkan tangannya ke leher Fira. Ia menoleh pada abangnya yang sedari tadi hanya diam. "Ayo! Mau beli eys krim, jajan!" ajaknya pada Aras yang langsung diangguki olehnya.
Mereka akhirnya berjalan keluar rumah setelah lewat dari pukul enam sore. Dengan Zara yang ada digendongan Fira, mereka asyik mengobrol dan bercerita. Tidak mempedulikan wujud seorang laki-laki yang hanya diam saja, menjadi pendengar yang baik.
Hah ... gunanya Aras di sana untuk apa? Hanya untuk menjadi pendengar, begitu? Kalau iya, lebih baik ia mendengarkan suara 'nging' nya nyamuk saja!
Melihat keakraban antara Fira dan Zara, Aras cukup merasa nyaman. Nyaman di sini dalam artian, Zara bisa berbaur dengan orang baru selain adik dari Fira--Ibra, meski Ibra sendiri cukup malas bermain dengan Zara karena jenis permainan mereka sangat bertolak belakang.
Seringnya Fira yang menjemput Zara ke rumah Aras, lalu Zara akan dibawa ke rumah Fira. Ibra yang--nyaris--bermain bola di lapangan itu langsung dicegah oleh sang kakak. Dengan gamblangnya Fira meminta Ibra untuk menemani Zara dan dirinya sendiri bermain masak-masakan.
Jujur, terkadang Ibra sendiri dongkol dengan sikap semena-mena kakaknya itu. Bisa tidak, sih, kalau mau bermain masak-masakan atau sejenisnya jangan melibatkan kaum lawan jenis?!
Aras yang akan menjemput Zara pada pukul empat sore itu selalu dikejutkan dengan Zara yang sedang mengemil biskuit atau cookies. Duduk tenang di atas sofa yang layaknya adalah milik rumahnya sendiri. Aras nyaris malu. Namun, melihat senyum sang adik terbit, malu itu langsung gugur.
Terkadang Aras bertanya pada dirinya sendiri. Kenapa Fira bisa menjadi sosok yang begitu nyaman dan asyik untuk adiknya? Dirinya saja tidak bisa, tapi Fira dengan mudah berbaur dengan bocah tiga tahun itu.
Ya, satu yang lagi-lagi dengan sialnya Aras temukan ...
Fira memang berbeda.
...
"Yang itu gak dijual, Dek."
"Mau itu! Ciki!"
"Sama kakak-kakak di kasir gak boleh dijual. Percuma adek ambil sekarang juga, nanti di sana gak boleh dibeli."
"Jara mau ini!"
Aras merebut paksa sneak yang ada di tangan adiknya itu. "Nggak nurut abang hukum, ya?!" ancamnya sambil melotot kecil.
Fira yang melihat itu langsung memeluk Zara yang berdiri di depan rak camilan anak kecil dan orang dewasa. Ia berjongkok lebih dulu agar tubuhnya sejajar dengan tubuh Zara. Mengelus kepala Zara dengan pelan, Fira berkata, "Ada yang lebih enak dari ciki itu, lho, Zara mau gak?"
Bibir mungil yang masih melengkung ke bawah pertanda sedih itu tidak kunjung hilang. "Mau ciki," cicitnya. Tidak berani menatap Aras, justru menatap Fira yang kini terkekeh geli.
Aras menaruh sneak itu kembali ke tempatnya. Kemudian lelaki itu menghela napas berusaha untuk bersabar. "Sini sama abang." Ia mengangkat tubuh Zara kegendongannya.
"Jara mau ciki, Abang," pinta gadis kecil itu.
"Kata Mama, adek gak boleh keseringan makan itu, gak sehat. Diganti aja sama yang lain, kayak apa yang kak Fira tadi sama Zara."
Fira tersenyum lebar. "Ayo, sini, ke sebelah," ajaknya sambil menarik tangan Aras.
"Modus," tegur Aras sambil melirik ke arah sebelah tangannya yang digenggam Fira, membuat Fira mengibaskan tangannya tidak peduli.
"Pelit banget, sih, kamu! Cuma pegang tangan dikit doang, bentar gak lama-lama, ribet!" omel Fira sambil terus berjalan.
Aras memutar bola matanya malas. Lalu, tidak mau ambil komentar lagi, nanti akan menjadi ribut. Padahal, kan, Fira yang selalu ribet.
Jika Aras melempar percikan bara api, maka Fira akan membalasnya dengan percikan bara yang lebih besar. Dan kalau Aras terus memercikan bara api itu, maka akan terjadi letusan api yang berkobar karena Fira tidak akan mau kalah dalam berbicara.
Berisik. Ribet. Rusuh.
3R yang menjabarkan seorang Fira, dan itu sangat pas, bagi Aras.
"Nah! Ini aja! Taraaa!" Fira mengambil satu puding rasa melon pada Zara yang ia ambil dari rak para minuman dan sejenisnya.
"Puding, Kak?"
"Iya, kak Fira sering makan itu, enak banget! Ciki yang tadi, lewat enaknya, masih unggulan ini!" sahut Fira dengan hiperbola.
Zara menatap abangnya. "Boleh?" Mata bulatnya yang kecil berkedip lucu. Aras langsung mencubit sebelah pipinya. "Boleh." Zara langsung menyambut puding itu dan meminta turun dari gendongan Aras.
Mereka berjalan menuju kasir yang sepi. Menaruh keranjang belanjaan di atas meja kasir, Aras menyuruh Fira dan Zara untuk menunggu di depan mini market saja. Yang langsung dipatuhi oleh mereka berdua.
...
"Abang kamu kalau marah serem, ya?"
"Abang?"
Fira menganggukkan kepalanya. "Iya, abangnya Zara, Bang Aras," jelasnya.
"Jarang marah, abang diem aja, tapi kata mama sama Papa itu abang sayang banget saja Jara," ucap Zara sambil mengayunkan kedua kakinya.
Fira dan Zara sedang duduk di salah satu bangku panjang yang ada di depan mini market. Duduk berdampingan seperti seorang kakak dan adik. Fira juga ikut mengayunkan kakinya seperti apa yang Zara lakukan.
"Abang kamu itu sebenernya gak cuek, malah nyebelin tahu, Zara! Kalau sama kak Fira, abang kamu marah-marah mulu, ngomel ini-itu, ngerem kayak ayam bertelur. Padahal, ya, Zara, kakak gak pernah ngapa-ngapain," terang Fira dengan 75 persen kebenaran dan 15 persennya adalah kebohongan.
Kebenarannya adalah Aras memang tidak cuek, tapi menyebalkan. Namun, satu hal yang Fira lewatkan. Alasan kenapa Aras menyebalkan, suka marah dan mengomel, ya karena dirinya sendiri.
Si licik Fira memang punya seribu cara untuk terlihat sempurna. Hih! Kalau Aras tahu, sudah habis gadis itu disentil keningnya hingga terjengkang! Mampus!
"Pantes kuping gue panas, ternyata ini alasannya."
Zara tersenyum cerah melihat kedatangan abangnya. Sedangkan Fira, menampilkan senyum palsunya.
"Lanjutin, Sapi, lanjutin!" erang Aras sambil duduk di samping Zara.
Posisinya kini Zara di tengah-tengah antara Fira dan Aras. Gadis itu tidak peduli akan pembicaraan abangnya dan Fira, ia malah membuka plastik yang abangnya bawa dan mencari es krim miliknya.
Fira senyam-senyum tidak jelas. "Hehehe ... Aras?" panggilnya dengan ragu.
Aras melotot kecil. Kalau tidak ada Zara, sudah pasti ia akan menyentil atau bahkan melempar Fira karena kesal! Sial! Dirinya jadi bahan pergosipan antara bocah 3 tahun dan gadis 18 tahun!
"Apa?!" sahutnya galak.
"Kamu makin ganteng kalau marah gitu, jadi enak lihatinnya, hehehe ...."
Astaga ... Aras mengeram kesal, tapi tertahan mengingat ada Zara. Namun, saat memalingkan wajahnya, jantungnya malah berdetak dengan irama yang cukup cepat.
Sial! Syndrome baru kini mulai menyerang Aras!
...
Jumlah word : 1459
Jangan lupa vote dan komen kalau suka ya, makasih banyak❤
Indramayu, 19 sep 20
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top