Bagian 11
"Ra?"
"Apa lu jamet?"
"Ngomong apa tadi?"
Fira tertawa. "Serius banget, sih, kamu! Santai aja kalau sama aku, tuh!" ucapnya.
Aras terdiam. Fira tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Sejak dari cafe tadi, mereka tidak langsung pulang, melainkan mampir ke lapangan basket seperti biasanya.
Fira tidak menangis. Embun di mata gadis itu kering tersapu angin ketika ada di perjalanan. Bersikap biasa saja juga pada Aras. Menganggap seolah kejadian di cafe tadi bukanlah hal yang penting.
Aras kebingungan. Sungguh. Dirinya tidak munafik jika penasaran dan sedikit khawatir pada Fira. Pasalnya, tadi saat di cafe Fira benar-benar berbeda. Hal itu nyaris membuat dirinya tidak mengenali gadis itu karena berbeda sekali.
Hal apalagi yang belum Aras tahu tentang Fira? Banyak. Banyak sekali. Karena selama ini, Aras selalu menutup mata tentang apapun yang Fira lakukan. Tentang apapun yang berusaha Fira tunjukkan padanya.
Jadi, kalau misalkan Aras membuka matanya untuk Fira ... apa itu menjadi sebuah kesalahan?
"Gak cengeng?"
Fira menoleh. "Cengeng? Aku?" tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri.
Aras mengangguk. "Tadi mantan lo, kan? Kenapa gak nangis waktu ketemu dia?" Semoga saja jiwa idiot Fira tidak muncul. Kalau iya, maka habis dirinya diledek.
Fira, gadis itu terdiam beberapa saat. Sebelum akhirnya menjawab, "Mantan, sih, tapi buat apa ditangisin? Dia, kan, bukan bawang."
Aras menganga. Fira terbahak melihat wajah lelaki itu. "LALET AWAS MASUK!"
Aras buru-buru menetralkan wajahnya. "Garing!" Ia beranjak dan mengambil bola basket yang ada di dekatnya tadi. Memantulkannya ke lapangan. Berjalan mendekati ring.
"Kalau gak cengeng, tanding sama gue," kata Aras sambil bergaya songong pada Fira. Sekali-kali. Ah, tidak. Bahkan ia sudah biasa bergaya songong pada Fira.
"Kalau aku menang, dikasih hadiah apa?" Fira mengingat rambutnya menjadi lebih rapih. Ia mendekati Aras. "Jangan kamu kira, aku takut, ya, sama kamu. Jangan mentang-mentang kamu jago basket, terus aku gak berani tanding sama kamu!"
Aras menarik sudut bibirnya. "Yang kerja itu tangan sama kaki, bukan mulut!" ujarnya dengan sinis.
"Mulutnya terong dicabein ya gini nih!"
"Suit, gak?" tanya Aras tidak mau menanggapi perkataan gadis itu sebelumnya. Fira sudah berdiri di hadapannya.
"Gak usah!" Fira langsung merebut bola itu dan memasukannya ke ring. Melompat kecil. Bahkan bola itu tidak sampai ke ring. Aras langsung terkekeh, meremehkan.
"Doa dulu, Kurcaci!"
Fira menunggingkan pantatnya. "Nih! Ngomong sama pantat!" Gadis itu lalu mengambil bola yang menggelinding ke tepi lapangan. Aras melotot kecil. Sialan!
Itu pantat minta ditendang! Eh, bukan! Fira yang minta ditendang, bukan pantatnya!
Aras meminta bola itu dan memantulkannya. Fira di hadapannya bergaya seperti orang yang benar-benar tanding basket. Wajahnya juga serius sekali. Sungguh. Aras ingin tertawa.
"Yakin mau tanding? Kalau kalah, gimana?"
Fira mengibaskan tangannya ke udara. Masih berusaha untuk merebut bola dari tangan Aras. "Kalau kamu kalah, kamu tepatin janji yang waktu itu. Dan kalau aku menang, aku minta janji itu ditepati. Oke banget, kan?"
Aras melotot. "Oke dari mananya, Sapi?!"
"Dari mana aja boleh. Kepo banget, sih, kamu? Kayak wartawan! Nyenyenye," cibirnya.
Dengan geram, Aras mendorong kepala Fira ke bawah. Lalu, dengan sebelah tangannya, ia melempar bola itu kering. Mengabaikan Fira yang menjerit tidak terima.
"ARASETAN! SAKIT, SETAN!"
Dan ... syut!
Bola itu masuk ke ring!
Aras tertawa girang. Ini pertama kalinya lelaki itu tertawa di hadapan Fira. Biasanya hanya terkekeh kecil. Tapi, kali ini berbeda. Fira saja sampai terpesona meski kepala dan lehernya sakit karena Aras menekannya ke bawah.
"Menang!"
Fira mengerjap. "Bocah sableng! Sakit, Aras!!!" pekiknya dengan rasa kesal.
Aras tertawa sambil menikmati wajah Fira yang memerah karena ulahnya.
...
"Sering-sering aja kayak gini, Ras," ucap Fira dengan senyuman senangnya.
Naas sekali, dompet Aras terkuras gara-gara Fira. Lelaki itu mendengus. "Lagian, kenapa tadi perjanjiannya gak ada yang bener, sih?" tanyanya masih tidak terima.
Bagaimana mungkin ia baru menyadari kalau perjanjian tanding basket tadi tidak ada yang menguntungkan baginya?
"Lha? Pas tanding tadi juga, kamu gak ada protes tentang perjanjian siapa yang menang dan siapa yang kalahnya, kok. Eh, protes, tapi habis itu nggak lagi. Terus, ini kenapa malah protes, sih?"
Aras merotasikan bola matanya. "Gue gak fokus, Sapi!"
"Gak fokus karena lihat aku yang cantik atau gak fokus karena aku terlalu cantik?" Fira mengedipkan matanya dengan cepat. Lalu, ia mendapatkan sentilan di keningnya yang berhasil membuatnya mengaduh. "Ish! Dibilang jangan sentil kening, sentil hati aja! Ngeyel dibilangin!" dumelnya.
"Kan gue bilang, kalau mau disentil hatinya, itu artinya lo mau dibedah dulu, hah?!" balas Aras tidak mau kalah.
Fira tertawa. "Mauuuu!" serunya dengan lantang.
Orang-orang di sekitar menoleh. Menatapnya aneh. Aras dibuat malu lagi untuk yang kesekian kali. Mereka sedang berada di mal. Ini sudah pukul 20.15 menit, sebentar lagi mereka akan pulang. Saat ini mereka sedang makan, jelas saja perut Fira sudah terbakar akan protesan cacing-cacing di perutnya minta diisi.
Ya, pada akhirnya, janji itu ditebus juga. Mereka keliling mal, dari time zone, gramedia, sampai toko accesories. Jadi, Aras sudah tidak punya hutang lagi pada Fira. "Berarti hutang gue udah lunas, kan, sama lo?"
Fira yang sedang memakan kulit ayam itu menikmatinya dengan khidmat. Ternyata benar, tidak ada makanan yang enak selain kulit ayam. Melezatkan sekali! Astaga! Rasanya seperti menjadi Cinderella dalam sesaat.
"Hutang kamu masih banyak sama aku, Aras! Jangan coba-coba kabur!"
"Hutang apalagi, sih, Ra?"
"Nanti aja aku kasih tahu, makan dulu ini laper!"
Fira menatap makanan milik Aras yang hanya dimakan sedikit itu. "Ras, mau kulit ayamnya," katanya dengan penuh pengharapan. Aras menatap ayam miliknya yang hanya termakan 1/4 nya saja.
"Bekas gue?" tanya Aras tidak percaya.
"Kamu bukan orang gila, terus kenapa?"
Aras melongo. "Hah? Maksudnya?"
"Ya, kamu kan bukan orang gila, jadi kalau aku makan ayam bekas kamu juga gak papa."
"Sapi ...!"
Aras ingin mendorong kening Fira hingga gadis itu terjengkang! Sungguh!
"Kebanyakan mikir ini bocah!" dumel Fira sambil mengambil ayam milik Aras tadi. Ia tersenyum cerah saat bagian kulitnya masih utuh. "Harta karun, Ras!"
Aras menyandarkan tubuhnya di kursi. Lelah menghadapi Fira. Kenapa pula dirinya harus selalu dengan gadis itu? Hah! Ya sudahlah, takdir Tuhan, valid! No debat!
"Lo doyan apa laper, sih, Ra?"
"Tadi pas awal-awal, sih, laper. Terus, sekarang jadi doyan."
"Habisin. Jangan sampai ada yang kesisa. Kalau sampe iya, elo gue buang di jalan."
"Siap! Gratis juga, sayang kalau dibuang-buang," balasnya enteng.
Aras melotot. "Gratis pala lo! Gue yang bayar, Sapi!"
Fira tertawa lebar. "Iya, makasih ya, Aras," ucapnya dengan tulus.
Aras memalingkan wajah. "Hm, sama-sama."
Sudut hatinya mulai tersentil. Dan Aras, mulai menyadari akan hal itu.
...
"Kakak? Kok pulang malem banget? Habis dari mana?"
Fira yang sedang berada di dapur itu menoleh. Menemukan sang papa yang baru saja pulang dari kantor. Gadis itu tersenyum menyapa papanya. "Malam, Pa! Itu, tadi habis jalan-jalan sama Aras. Gak aneh-aneh, kok, baru aja tadi Arasnya pulang," sahutnya menjelaskan.
Papanya mendekati Fira. Duduk di meja makan. "Mama udah tidur? Ibra?" Pria baruh baya itu melonggarkan dasi. Melepas kedua kancing lengan kemejanya. Lalu, melepas jasnya juga.
"Tadi, sih, waktu chat aku udah tidur. Katanya, kepala mama agak pusing, jadi tidur duluan. Ibra juga udah tidur. Waktu aku pulang dia yang bukain pintu, gak bawa kunci soalnya."
Fira menuangkan air hangat untuk papanya. Gadis itu berjalan mendekat dan duduk di samping sang papa. Memberikan satu gelas air hangat. "Papa, kok tumben lembur sampai malam banget," ujarnya.
Biasanya, papanya akan lembur sampai jam tujuh atau delapan malam. Tapi, kali ini sampai jam sembilan. Jadi, wajar saja jika Fira bertanya demikian.
"Biasalah, ngecek data keuangan kantor udah akhir bulan, Kak." Papa meneguk air hangat itu. Sesaat tenggorokannya sangat merasa enak. Lega sekali malam-malam minum air hangat. Ya, meski belum malam sekali. "Ngapain aja sama Aras?"
"Gak ngapa-ngapain, Pa, kan tadi aku udah bilang." Fira mengetuk jari telunjuk ke meja makan.
"Maksud papa, ke mana aja?"
"Ke mal doang, kok."
"Kakak punya uang? Kan, udah akhir bulan."
"Aras yang bayarin, Pa." Fira menyengir.
Kening pria itu--papa Fira--menekuk. Garis-garis karena usia yang sudah tidak muda lagi itu nampak jelas di wajahnya. "Dibayarin? Perkara apa?" tanyanya penasaran. Bagaimanapun, dirinya hanyalah seorang laki-laki yang dulunya menikmati masa muda dengan pacaran. Itu sebabnya kenapa ia harus lebih over protektif dalam menjaga anak gadis satu-satunya itu. Tidak mau kalau Fira terkena perangkap para laki-laki buaya darat dan air.
"Kak, papa gak mau ya kalau sampai kejadian dulu--"
Fira dengan cepat memotong, "Nggak, Pa, nggak semuanya sama. Lagipula, papa kan kenal sendiri Aras kayak gimana. Dan, aku sama dia juga tadi cuma nepatin perjanjian aja, Pa."
"Kak, tapi--"
"Kalau nanti ada apa-apa lagi sama aku, ya ... itu kan bagian dari perjalanan hidup, Pa, pengalaman dalam kisah asmara anak remaja. Papa sama Mama juga dulu gitu, kan? Aku juga mau ngerasain, Pa."
"Sini, Kak," titah Papa pada Fira sambil menepuk pahanya. Dengan patuh gadis itu duduk dipangkuan Papanya. Memeluk leher pria itu dengan sayang.
"Gimana mau pacaran mulus, kalau kakak aja masih suka dipangku sama papa?"
Fira terkekeh. "Gak ada hubungannya tahu!" paparnya.
Papa mengusap rambut Fira. "Kakak udah gede, udah tahu mana yang baik dan enggaknya untuk kakak pilih, untuk kakak jalani. Papa cuma bisa kasih pesan, kalau kakak ada masalah, sekecil apapun itu, jangan sungkan untuk berbagi."
"Iya, Papa."
"Kalau lagi jalan sama cowok, jangan pakai pakaian yang ngetat. Pakai aja jaket atau kemeja yang gedenya seukuran boneka baymax punya Ibra. Pakai celana panjang, mau pakai celana olahraga juga gak papa. Rambutnya gak boleh dikuncir kuda, harus digerai biar nutupin leher kakak. Jangan dandan berlebihan juga, itu gak baik."
"Gimana aku bisa cinta ke laki-laki lain kalau papa aja semanis ini? Pantes aja mama klepek-klepek! Rasanya kayak ... gimana gitu!"
Papa tertawa. Masih setia mengusap rambut anak gadisnya. "Dan, kakak tahu apa yang paling penting dari itu semua?"
Fira menggeleng. Menjauhkan kepalanya dari bahu sang papa. "Apa, Pa?"
"Jangan lupa ibadah sama Tuhan. Kakak boleh ngapain aja dan meski kakak belum memiliki sikap baik, tapi kakak jangan sampai lupa sama Tuhan kakak. Oke?"
"Panutanku!"
Fira dan Papanya tertawa bersama. Bercerita sampai pukul setengah sebelas malam. Lelah yang dirasakan papa Fira, sudah luruh begitu saja ketika melihat anak gadisnya bercerita banyak hal.
...
Jumlah word : 1658
Udah ngefeel belum sih?
Belum uwu uwu soalnya, santai aja😎
Maaf kemarin nung ga up, capek soalnya padahal gak ngapa2in wkwk
Indramayu, 16 sep 20
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top