Bagian 10
"Kak, kamu kok jadi sering banget sama Aras? Pendekatan atau udah pacaran?" tanya Mama Fira pada sang anak.
Fira, gadis itu menoleh dengan mulut yang terus mengunyah camilan. "Arasnya gak suka kali sama aku, tapi aku suka sama dia, Ma," jawabnya dengan enteng. Seolah jika jawabannya itu bukanlah hal yang berat.
"Kak, dia lebih muda daripada kamu, lho." Mamanya mengingatkan. "Kamu gak salah, Kak?"
"Lebih muda atau tua, kalau jagonya nyakitin, ya nyakitin aja, Ma."
"Maksud mama bukan gitu, Kak." Mamanya keheranan karena melihat kesantaian anak gadisnya itu. "Kamu gak takut kejadian dulu keulang lagi?"
Fira terdiam. Gerakan mulut yang sedang mengunyahnya terhenti. Ia menatap sang mama. Seketika, ingatannya terlempar pada kejadian masa lalu. Tepatnya, kejadian yang pernah ia alami dua tahun kemarin.
Ia pernah berpacaran. Ya, pernah. Dirinya hanya remaja biasa yang pasti merasakan cinta monyet pada masanya. Pun dengan rasa ketertarikan pada dunia pacaran, ia terjun pada dunia itu.
Dulu, dirinya berpikir kalau pacaran itu menyenangkan. Namun, satu yang ia lewatkan, ternyata kesenangan itu hanya sementara.
Fira sama sekali tidak merasa trauma atau ... semacamnya. Meskipun dirinya idiot dalam bertingkah laku, tapi pikirannya masih terbuka lebar dalam menyamakan satu manusia dengan manusia yang lain.
Baginya, tidak semua laki-laki itu sama--suka menyakiti perasaan perempuan. Meski dirinya pernah merasakan sakit itu, setidaknya ia jadi punya pengalaman. Menjadikannya sebagai pelajaran untuk esok hari agar lebih berhati-hati.
Seperti sekarang. Tidak salah, kan, jika dirinya menyukai Aras?
Apa yang salah dari perasaannya untuk lelaki itu?
Ia hanya berpikir positif jika tidak semua laki-laki itu sama.
"Udahlah, Ma, gak usah ungkit lagi. Aku juga udah nggak peduli sama dia lagi. Mau dia meninggal juga aku gak mau melayat," tuturnya.
Mama melotot mendengar itu. "Mulutnya, Kakak!" tegurnya.
Fira mendengus sebal. "Ya, lagian, Mama, masa kini itu ya sekarang, jangan disangkutin sama masa lalu. Udah nggak penting buat aku, Ma." Ya, lagipula untuk apa dirinya peduli dengan orang itu?
Mendengar namanya saja malas, apalagi harus mengingat wajah dan kenangan mereka dulu. Hih! Ogah!
"Kalau Aras nggak suka balik sama kakak, gimana?"
"Tinggal dipaksa, Ma."
"Perasaan, kan, gak bisa dipaksa, Kakak!" Mama mulai geram pada Fira.
"Ma, kata orang jawa gini, "alon-alon asal kelakon". Jadi, kalau gak sekarang Aras suka sama aku, ya nanti juga suka, kan udah biasa bareng," ucapnya dengan penuh keyakinan.
"Terserah kamu, Kak, kalau nangis-nangis karena galau cintanya ditolak, ke Papa aja, jangan ke Mama."
"Toge banget, sih, Ma!"
...
"Aras, tiap hari kamu jemput aku, gak usah nunggu ditelepon dulu baru jemput. Gak peka amat!"
"Siapa tahu lo dijemput pacar."
"Ya, emang dijemput pacar!"
"Oh, ya?"
"Iya, kan, pacarnya kamu."
Aras berdecih mendengar itu. "Hmm," balasnya tidak minat.
Fira mencubit lengan lelaki itu. "Aku serius! Pokoknya setiap hari kamu jemput aku. Gak usah nunggu ditelepon baru ngejemput. Kalau aku nggak mau dijemput, baru aku telepon kamu. Paham, gak?"
"Iya, Safira."
"Iya doang?"
"Kan ada Safira nya tadi."
Fira melototkan matanya. "Kamu tuh ngeselin banget, sih?"
"Biasa aja."
"Tapi, aku tetep suka, sih, sama kamu," ujar Fira malu-malu.
"Awewe gelo," ceplos Aras dengan logat Sundanya.
"Hah? Apa awewe? Cakwe?" tanya Fira dengan penasaran.
"Hmmm."
"Kamu, tuh, gak usah sok cuek gitu, deh. Gak cocok. Muka ganteng, tapi sok cuek. Heleh, pret!" cibir gadis itu.
Astaga. Aras pusing. "Ra, berisik banget, sih?"
"Biar ramai, Aras. Kehidupan itu harus ramai, jangan sepi, gak asik nantinya."
Aras menatap Fira dengan datar. Mereka saat ini ada di cafe dekat sekolah. Setelah pulang sekolah, Fira mengajak Aras ke tempat itu. Ingin nongki-nongki seperti remaja lain sebelum semester depan sibuk dengan berbagai ujian mengingat dirinya sudah kelas 12.
Sialnya, lagi dan lagi Aras menurut.
"Lo gak capek, Ra?" tanya Aras.
"Capek kenapa? Gak ngapa-ngapain juga, kan? Kenapa harus capek?" Fira kembali melahap satu mangkuk es krim yang ia pesan.
"Nemplok ke gue terus."
Sendok es krim itu menggantung di udara. Fira mengerjap beberapa kali. Lalu terkekeh. "Aku nemplok ke kamu terus? Gak salah? Aku bukan cicak yang nemplok di dinding. Aku juga nggak pernah, tuh, melukin kamu, gandeng-gandeng tangan kamu. Emang ada aku kayak gitu?"
Ya ... memang benar, selama ini Fira hanya ingin bersama Aras. Bahkan Fira rasa tindakannya tidak melampaui batas. Ia juga tidak pernah melakukan kontak fisik dengan Aras selain menarik lengan lelaki itu. Tapi, Aras bilang jika dirinya nemplok terus?
Definisi nemplok menurut Aras itu apa sebenarnya?
"Lo sama gue terus. Setiap hari. Itu udah cukup buat nyatain kalau lo nemplok ke gue," ujar Aras.
"Dih! Mana bisa gitu? Buka dong pikiran kamu, dangkal banget!"
Aras membulatkan matanya. Menyentil kening gadis di depannya itu. "Ngomong apa? Sekali lagi, ayo?!"
"Pikiran kamu dangkal!" seru Fira dengan lantang. Membuat beberapa pengunjung yang ada di dalam cafe menatapnya sekilas.
"Safira ...!" erang Aras tertahan.
"Marah-marah mulu."
"Lo yang buat gue marah!"
"Ya udah, disayang aja, jangan dimarahin!"
"Ra ...."
"Nyenyenye."
Fira menatap ke seluruh isi cafe. Mengabaikan Aras yang kini masih terus memperhatikannya. Bunyi lonceng berbunyi kala pintu itu dibuka oleh seseorang. Mata Fira fokus pada sosok itu. Seorang laki-laki tinggi. Memakai pakaian casual sambil menggendong tas di bahu kanannya.
Ketika lelaki itu mengangkat wajah, tatapan mereka bertemu. Untuk pertama kalinya, setelah dua tahun silam ... Fira menemukan tatapan itu lagi. Tatapan yang dulu ia sukai. Tatapan yang dulu mampu membuatnya tenang. Tatapan yang ... ia kira bisa ditatap selamanya. Namun, ternyata dirinya salah. Tatapan itu hanya sementara dan bukan untuk selamanya.
Fira menaruh sendok begitu saja dengan spontan. Menimbulkan bunyi yang membuat Aras kebingungan. Dengan cepat Fira mengalihkan tatapannya ke Aras.
"Aras, pulang, yuk?"
Aras menaikkan satu alisnya. "Belum habis es krim lo." Ia menunjuk mangkuk es krim yang isinya tersisa setengah.
Fira memakai tasnya. "Udah kenyang. Yuk, pulang," ajaknya.
Raut wajah Fira berbeda, Aras bisa menemukan itu. Ia mengangguk saja dan memakai tas. Merogoh saku celana dan mengambil uang dalam dompet. Menaruh dua lembar uang berwarna merah di atas meja. Lalu beranjak dari sana, diikuti Fira.
Aras berjalan di depan Fira. Gadis itu tidak mengeluarkan suara sama sekali. Fira hanya menunduk sambil terus berjalan. Berharap jika sosok lelaki tadi sudah enyah dari dekat pintu.
Tepat di dekat pintu masuk dan keluar, Fira menemukan sepasang sepatu yang masih ada di sana dengan sang pemiliknya.
"Fira."
Suara itu ... suara yang tidak mau lagi Fira dengar, kini malah memanggilnya.
Aras berhenti melangkah. Membuat Fira yang terus menunduk dan pura-pura tidak mendengar panggilan tadi, menabrak punggung Aras. Aras memutar badannya. Menatap Fira dengan bingung. Lalu, ia alihkan pada sosok lelaki yang sepertinya tadi memanggil Fira?
"Fira, itu dipanggil," ucap Aras pada Fira.
Fira menggeleng. "Nggak kenal. Ayo, pulang." Dan masih terus menunduk.
"Ra." Lelaki itu mendekat. Fira semakin merapatkan tubuhnya pada Aras.
"Safira, gak sopan kalau ada yang manggil, tapi diem aja," tegur Aras. Ia juga kebingungan dengan sikap Fira. Tumben sekali seperti itu kepada orang? Apalagi tadi orang itu dengan jelas memanggil nama Fira.
"Pulang," cicit Fira nyaris tidak didengar.
Tepat berdiri di hadapan Fira, lelaki itu berusaha menggapai tangan Fira. "Fira," panggilnya, lagi.
Fira menyentak tangan kekar itu. "Gak usah pegang-pegang!" Namun, lelaki itu justru semakin berusaha untuk menggapai tangannya.
"Ra ... sorry. Do you miss me, Rara?"
Fira ingin menangis. Sungguh. Jika ia bilang pada Mamanya ia sudah tidak peduli lagi kepada orang itu, maka kenyataannya tidak. Dirinya masih peduli. Dan ... amat sangat merindukannya.
Di tempatnya, Aras mulai mengepalkan tangan. Satu yang ia pikirkan, lelaki di depannya itu adalah masa lalu Fira.
"Kalau Fira gak mau, jangan dipaksa. Lo gak ada hak untuk maksa dia," kata Aras dengan tegas. Spontan saja, tangan yang tadi nyaris terkepal sempurna, ia ayunkan ke atas. Menempatkannya pada bahu Fira.
Lelaki itu menatap Aras dan menjauhkan tangannya dari Fira. Menatap sengit pada Aras. "Dan lo, juga gak berhak ngatur gue!" balasnya dengan tidak suka.
"Safira, lo mau ngobrol sama dia atau pulang sama gue?" tanya Aras pada Fira yang diam saja.
"Pulang sama kamu."
Aras menatap lelaki itu, menaikkan satu alisnya. "See?" Ia menarik seringainya.
Lelaki itu tidak peduli pada Aras. Ia mencoba berbicara pada Fira. "Ra ... please, kita butuh bicara. Aku nggak bisa hubungin kamu, Ra," paparnya.
Fira akhirnya mendongak. "Butuh bicara? Apalagi yang mau dibicarakan? Semuanya udah jelas. Udah jelas kalau Kak Dion emang menyakiti perasaan aku!" Ia menekan nama Dion.
Ya, Dion. Lelaki itu adalah mantan Fira.
Bola mata yang kini berair itu, mampu membuat Dion merasa semakin bersalah.
Firanya ... apa sudah bahagia setelah ia lepas?
Atau ... justru sebaliknya?
...
Jumlah word : 1386
Ide datanglahhhhhhhhh
Indramayu, 14 sep 20
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top