Bagian 1

Pagi ini, Aras sudah tiba di sekolah barunya. Ia menatap bangunan berlantai tiga itu dengan tatapan tidak ada ketertarikan sama sekali. Seolah ia bosan disuguhkan pemandangan seperti itu, meski sekarang di sekolah baru.

Dua bulan setelah menjadi anak SMA, Aras dipindahkan dari SMA yang lama ke SMA yang baru. Alasannya pindah karena pekerjaan ayahnya. Keluarganya dulu tinggal di kota Depok. Namun, karena ayahnya dipindah tugaskan untuk memegang cabang perusahaan di Jakarta, mereka pindah.

Meski Depok-Jakarta tidak membutuhkan waktu banyak di perjalanan jika ingin berkunjung, hanya saja ayah Aras tidak mau jauh dari istri dan anaknya. Pada akhirnya mereka pindah ke Jakarta, begitu juga dengan sekolah Aras.

Karena baru dua bulan memasuki bangku SMA, tidak masalah bagi Aras untuk pindah ke Jakarta. Hanya saja, ia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan Ibu Kota yang sama sekali tidak ada dalam wish listnya untuk tinggal di sana.

Kemarin, ia memang baru pindah sekali, baru selesai membereskan perkakas rumah. Ia memilih untuk bermain basket di taman kompleks perumahan yang memang ada lapangan khusus basketnya. Ia berterima kasih pada ibunya itu yang sudah menunjukkan tempat tersebut padanya.

Aras masih terbayang akan kejadian kemarin. Di mana Fira mengajaknya berkenalan, bercerita tentang kompleks perumahan yang mereka tempati, lalu mengajaknya pulang bersama.

Rumah mereka hanya terpaut 6 rumah saja. Saat sudah sampai di depan rumah Fira, Aras berhenti melangkah. Menoleh pada Fira yang sudah memberikan senyum lebarnya.

"Makasih, ya, udah diantar sampai sini," ucap Fira waktu itu.

Aras menaikkan satu alis. Melirik gerbang rumah Fira, lalu bergeser ke samping, di mana ada nomor rumah gadis itu. "103 lebih awal dari 110, otomatis rumah nomor 103 emang harus dilewati karena menuju ke 110. Gak usah kepedean," balas Aras dengan entengnya.

Fira melotot tidak terima. "Nyebelin banget, sih!" semburnya.

Aras menatap gadis itu datar. "Hmm," dehamnya. Kemudian melangkahkan kakinya menjauhi Fira.

"Aras, udah gitu aja? Nggak ada yang ketinggalan? Salam kek, say see you kek, apa kek."

Tanpa menoleh, Aras mengangkat sebelah tangannya. Pertanda jika ia tidak mau melakukan itu semua. Membiarkan Fira yang kini malah tersenyum bodoh.

"Dari belakang aja ganteng, apalagi kalau dari depan. Aras, Aras, gak papa deh berondong, yang penting ganteng!"

Gadis itu sudah gila karena rasa suka pada pandangan pertama.

Kini, Aras akan memasuki salah satu kelas dengan wali kelasnya. Ketika ia sudah ada di dalam kelas, semua mata tertuju padanya. Apalagi para siswi yang menatapnya dengan tatapan takjub dan lapar. Seakan dirinya adalah makanan di tengah-tengah gurun pasir.

Astaga, Aras mulai menerka jika di sekolah barunya ini, ia akan mengalami suatu hal yang berbeda. Tapi, entah apa itu.

"Anak-anak, kalian hari ini kedatangan teman baru. Silakan, perkenalkan diri kamu," ucap sang wali kelas pada Aras yang diam saja.

Aras mengangguk kecil. Lalu matanya menatap ke seluruh isi kelas. "Saya Aras. Pindahan dari Depok. Salam kenal." Ia lalu menoleh pada guru di sampingnya. "Udah, Bu," katanya.

Ibu itu mengangguk dan menyuruh Aras untuk duduk di salah satu tempat duduk yang kosong. Tempat duduk itu ada di deretan paling belakang. Di samping dinding, tepat di pojok. Ah ... Aras menyukai itu. Tempat yang strategis.

"Gue Rafif."

Setelah duduk, teman sebangku Aras memperkenalkan dirinya. Aras membalas uluran tangan itu. "Aras," balasnya.

"Semoga betah di sini, temenan sama gue juga," kata Rafif.

Aras mengangguk dan menarik senyum tipis.

Ya, setidaknya ia sudah mempunyai teman, meski baru satu orang.

...

Ketika jam istirahat, Fira melipir ke tepi lapangan. Duduk di salah satu bangku panjang yang ada di sana. Di sampingnya ada camilan dan juga minuman isotonik. Dan dirinya sendirian. Temannya yang lain berada di kantin.

Beberapa siswa bermain bola basket. Mata Fira menjelajah ke penjuru lapangan. Berharap menemukan apa yang sedang ia cari. "Kalau Aras sekolah di sini, pasti seru, tuh!" ujarnya. "Nanti kan bisa ketemu setiap saat, setiap hari, enak kali, ya?"

Beberapa saat terdiam, Fira menemukan sosok yang ia harapkan kehadirannya itu. Aras. Ya, ia menemukan Aras sedang berjalan di koridor lantai satu dengan seorang laki-laki yang Fira asumsi itu adalah temannya.

Jadi ... jadi Aras satu sekolah dengannya?

"Samperin ah, siapa tahu aku cuma halu, ini kudu dipastikan itu Aras atau bukan! Tapi, kayaknya sih emang beneran Aras."

Meninggalkan camilan dan minumannya, Fira berlari menuju Aras yang berjalan mendakati arah kantin. Dari jarak 10 meter, gadis itu semakin jika matanya tidak salah lihat, karena itu memang benar-benar Aras!

Astaga. Ya Tuhan, kalau begini caranya, Fira akan semakin jatuh dalam pesona Aras.

"ARAS!" pekik Fira sambil memelankan larinya. Jaraknya dengan Aras semakin terkikis. Ia tersenyum lebar saat lelaki itu berhenti melangkah dan menoleh. Iya, itu benar-benar Aras!

Di tempatnya, Aras terkejut. "Fira?" beonya tidak percaya. Rafif dan kedua temannya menatap Aras dengan tanda tanya.

"Lo kenal, Ras?" tanya Rafif.

Aras mengangguk ragu. Tepat setelah Fira berada di hadapannya, gadis itu melambaikan tangan sambil tersenyum. "Kita satu sekolah!" ucap Fira dengan senang.

Kedua teman baru Aras--selain Rafif, Gading dan Danu langsung menuju kantin. Kelewat lapar. Menyisakan Aras, Fira dan Rafif.

"Ada apa?" tanya Aras.

"Mau ke kantin, ya?" Fira malah balik bertanya.

Aras mengangguk. Lagi, senyum di bibir Fira terbit. Ah, bukan. Lebih tepatnya gadis itu memang tidak meredupkan senyumnya sedari tadi.

"Ikut, dong!"

Astaga, Rafif menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Fira.

"Gebetan lo, Ras?" tanya Rafif pada Aras.

Aras menggeleng, namun Fira malah berkata, "Calon gebetan, dong!"

Rafif menaikkan bahunya tidak peduli. "Calon gebetan doang, kan? Belum tentu jadi gebetan beneran dan jadian," ujarnya.

Fira melototkan matanya. Ia memukul lengan adik kelasnya yang songong itu. "Heh! Ucapan itu adalah doa, jadi kalau ngomong itu yang bener! Jangan sembarangan! Yang sopan sama kakak kelas!" semburnya.

Mampus kau, Rafif!

Aras mengulum bibir agar tidak tertawa karena Rafif mendapat omelan dari Fira. Iya, Fira. Gadis cerewet, berisik dan suka tersenyum. Aneh, namun Aras memakluminya.

"Anjir, kakak kelas? Badan kayak sapu lidi, terus pendek kayak jarum jam, ini kakak kelas? Halu lo?"

Fira mendang tulang kering Rafif. Laki-laki itu sontak meringis dan memegangi kakinya. Hal itu dimanfaatkan Fira untuk menarik lengan Aras yang terkejut karena tindakannya tadi.

Fira tidak peduli jika Rafif di tempatnya sudah mencak-mencak karena kesakitan. Ia hanya ingin bersama Aras. Lagipula, Aras seperti patung, diam saja ketika dirinya dikatakan ini-itu oleh Rafif.

Ya, meski itu adalah sebuah kebenaran, tapi setidaknya Aras peka untuk membelanya. Atau menegur Rafif.

"Hih, dasar berondong tidak peka!" rutuk Fira dalam hatinya. Tapi, hati kecilnya yang terdalam menjerit, "Untung ganteng."

"Fira," panggil Aras.

Fira masih asyik menyeret lengan Aras. Pura-pura tidak mendengar panggilan tadi.

"Fir?" Lagi, Aras berusaha untuk memberhentikan gadis itu.

Fira tidak peduli. Mau Aras memanggilnya hingga kesepuluh kali juga, ia akan pura-pura tidak mendengar.

"Ra ...."

Suara Aras yang ngebass hampir membuat Fira oleng. Ambyar begitu saja di dalam hatinya. Astaga, baperan kamu, Fira! Lemah!

Tidak mendapat respon untuk kesekian kali, Aras mencoba sekali lagi. "Safira ...."

Dan berhasil, Fira berhenti melangkah dan menoleh. Mengerjapkan matanya beberapa kali. Wajah lugu itu berhasil membuat Aras--nyaris--terpesona. Catat, nyaris. Karena ia buru-buru mengalihkan tatapannya.

"Aras," cicit Fira. Jantungnya marathon. Ini gila, sungguh!

Aras menjauhkan tangan Fira yang tadi memegang tangannya. "Apa?"

"Kamu kok buat aku deg-degan, sih?! Kamu deg-degan gak? Kalau nggak, berarti nggak adil, dong!"

Ya Tuhan, Aras sekarang tahu jika Fira memang benar-benar aneh. Ia sepertinya harus menyiapkan stok kesabaran jika bertemu Fira lain hari. Ya, itu harus.

...

Vote dan komennya temen temen! Makasih🤗

Ind, 7 sep 20

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top