Terima Kasih yang Kelima

Ini Minggu. Aku, Hana, Putri, Rafa, dan Askar sedang berkumpul di rumah Gilang. Suasana hati kami sedang baik. Yah, yang paling terlihat senang sih, Putri.

Tentu saja, aku dan teman-temanku yang lain tidak melewatkan suasana hati Putri yang berbeda sendiri itu.

Jadi, setelah makan siang, ketika kami duduk berkumpul di sofa dan bersiap-siap menonton film, Gilang bertanya dengan agak sinis, "Jadi Put, lo baru jadian apa gimana? Kayaknya seneng banget."

Semua pasang mata di ruangan ini menatap Putri yang tampak salah tingkah.

"Eh—" Putri memain-mainkan rambut panjangnya. Kedua pipinya memerah. "Gue—"

Rafa menepukkan kedua tangannya. "Lo salah tingkah. Artinya lo beneran jadian," katanya, mulai sok tahu.

"Put, lo jadian?" tanyaku sambil mendekat ke arah Putri. "Jadian sama siapa? Gama?"

Putri menghela napas. "Yah, gitu," jawabnya pelan sambil berusaha menahan senyum. Usahanya gagal, tentu saja.

"Jadi sama Gama?" tanya Hana kalem.

Putri mengangguk pelan.

"Udah gue duga," kata Gilang sambil melarikan tangan ke rambutnya yang berantakan dan berjambul.

Gilang mengangkat bahu sambil mendesah sebal. "Lo terlalu gampang ketebak."

"Bukan gampang ketebak. Tapi lo kan emang udah tau kalau Putri naksir Gama," kata Hana, membela Putri. "Jadi bagi lo, enggak mengejutkan kalau mereka jadian."

Putri mengangguk-angguk. "Tahu, tuh."

Lagi-lagi, Gilang mengangkat bahu. "Paling putus."

"Ya iya, lah," kataku. Putri langsung menatapku seolah-olah aku ini hidangan makan malam yang siap disantap. Jadi, sebelum dia mengambil garpu dan pisau untuk menyantapku, aku buru-buru menambahkan, "Maksud gue, yah, namanya juga anak SMA, lo nggak bakal berharap buat pacaran sama Gama selamanya, kan?" tanyaku.

"Seenggaknya, Putri pacaran. Lo kan, sama sekali enggak pernah," ledek Askar.

Teman-temanku memang sering menyuruhku berpacaran, tapi aku selalu bisa melontarkan seribu satu alasan untuk menjawab mereka. Seperti misalnya, aku belum pernah bertemu cowok yang benar-benar kusukai, atau aku belum bisa move on dari Grant Gustin.

Aku baru akan membalas ucapan Askar ketika cowok berambut cepak itu berkata, "Jadi."

"Apa?" tanya Hana.

"Pajak Jadiannya mana?" tanya Askar. "Enggak boleh KPAI—Kabur Paling Awal, Idih—dari tanggung jawab."

Sementara Putri mendesah pelan, yang lainnya tertawa.

*

Jadi, setelah didesak, akhirnya Putri setuju mentraktir kami lewat jasa pesan-antar. Setelah makanan kami datang, kami segera berkumpul di sofa sambil menyetel televisi.

"Sering-sering jadian dong, Put," kata Askar sambil menyantap pizanya. "Biar bisa makan enak terus."

Putri menatap Askar dengan bingung. "Gimana caranya gue bisa 'sering-sering jadian'?" tanyanya.

Askar mengangkat bahunya. "Yah, lo putusin Gama. Terus pacaran lagi. Terus putus lagi. Terus pacaran lagi. Begitu seterusnya SAGU KETAN—Sampai Gue Kenyang Tidak Akan Nambah."

"Jangan ngajarin yang macem-macem," tegur Hana. "Mendingan lo jadian sama Talia, dan kasih kita semua pajak."

Ucapan Hana langsung disambut oleh sorakan setuju kami semua—kecuali Askar.

"Enak aja," kata Askar. "Ogah."

"Lo enggak mau jadian sama Talia?" tanya Gilang.

"Mau. Tapi enggak mau traktir kalian," kata Askar. Sejurus kemudian, dia segera menggaruk tengkuknya karena salah tingkah. "Eh...."

Gilang bersorak sambil mendorong bahu Askar. "Cie," godanya.

Aku bisa merasakan Rafa sedang menatapku. Jadi aku menoleh dan mengatakan "Apa?" tanpa suara kepadanya. Rafa mengangguk samar ke arah Askar. Aku menghela napas lalu menggeleng, seolah-olah mengatakan, "Bukan masalah besar."

Lagi-lagi, aku merasa bersalah. Rafa tidak seharunya memusingkan hal yang tidak terjadi.

"Jadi kapan lo mau nembak Talia?" tanyaku kepada Askar. Selain karena ingin tahu, aku ingin membuktikan kepada Rafa bahwa perasaanku kepada Askar bukanlah sesuatu yang besar dan dia tidak perlu cemas.

Askar mengangkat bahunya. "Eggak tahu."

"Pokoknya, kalau lo jadian, lo juga harus traktir kita," kata Putri, yang tampaknya masih kesal karena harus mentraktir teman-temannya piza.

"Yah, belum tentu diterima juga," kata Askar. "BPN—Belum Pasti, Nih." Namun, aku tetap bisa mendengar harapan dalam suaranya. Lagi-lagi, aku mendapati Rafa menatapku khawatir.

*

Usai makan piza, Askar berkata bahwa dia ingin mengambil kertas dare dari kaleng Thank You. Kurasa itu karena dia ingin mengalihkan topik tentang Talia yang dari tadi terus kami bahas.

Jadi, setelah aku dan teman-temanku membereskan sisa-sisa makanan dan duduk manis di ruang keluarga rumah Gilang, Askar memasukkan tangan ke kaleng Thank You, kemudian mengeluarkan secarik gulungan kecil kertas. Cowok itu membuka gulungan kertas itu dan membaca isinya. "Telepon gebetan lo (jangan lupa di-loudspeaker biar temen-temen lo bisa denger), dan bilang makasih karena udah mau angkat teleponnya."

Aku dan teman-temanku mentertawakan Askar. Kalau Askar memang benar ingin melakukan dare agar topik beralih dari Talia, yah, dia sedang tidak beruntung hari ini.

"Udah ambil kertas dare, enggak boleh mundur," kataku, memperingatkan.

Askar menoleh kepada Gilang. "Lang, ada jalan tengah yang memungkinkan, enggak?"

Gilang memasang cengiran di wajahnya. "Buat lo, enggak ada."

Melihat wajah Askar yang memelas, kami tertawa lagi.

Akhirnya, karena tidak bisa menolak, Askar mengambil ponselnya dan menelepon Talia.

"Jangan lupa di-loudspeaker," kata Putri. Wajahnya yang dibingkai rambut panjang itu tampak sangat bahagia—seperti orang yang baru saja membalaskan dendamnya. Sekarang yang tertindas di sini adalah Askar, bukan lagi Putri yang beberapa hari belakangan sering diledek soal Gama.

Dengan tampang kesal, Askar menekan tombol loudspeaker. Beberapa saat kemudian, kami mendengar suara Talia dari ujung sambungan telepon. "Halo?"

"Eh—hai," balas Askar, tampak masih kesal sekaligus canggung. Kasihan sekali dia.

"Kenapa, Askar?" tanya Talia.

Askar mendengus. Kemudian dia berkata, "LONCAT."

"Hah?"

"Lo Cantik, Tal," jawab Askar.

Kami mendengar suara Talia yang tertawa dari ujung sambungan telepon. "Lo lagi main truth or dare, ya? Atau prank call?"

"Eh—enggak main truth or dare atau prank call, kok. Ini beneran," kata Askar.

Talia tertawa lagi. "Oh, oke. Kalau gitu makasih, ya."

"Sama-sama," balas Askar. Kemudian, dia buru-buru menambahkan. "Makasih juga udah mau angkat teleponnya."[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top