Terima Kasih yang Kedua

Setiap orang punya caranya masing-masing untuk berbuat baik. Aku dan teman-temanku punya cara yang unik, agak konyol, dan melibatkan sebuah kaleng bekas.

Begini, kami punya sebuah kaleng. Benda itu sederhana—hanya sebuah kaleng bekas biskuit berukuran sedang. Kami menyebut kaleng itu Thank You. Cerita kaleng itu bermula dari aku, Rafa, dan sedikit campur tangan dari kakakku—Kak Sarah.

*

Agustus 2008

"Truth or dare?" Kak Sarah bertanya kepada aku dan Rafa.

Kami bertiga sekarang sedang berada di ruang keluarga rumahku. Aku dan Rafa tadinya sedang bermain sepeda di luar, tapi begitu Kak Sarah pulang, dia langsung menyuruhku dan Rafa masuk. Katanya, dia ingin mengajakku dan Rafa bermain. Kak Sarah tampak sangat bersemangat—begitu masuk rumah, dia tidak repot-repot melepas seragam putih-biru-nya dan langsung duduk di sofa ruang keluarga. Biasanya, dia selalu ribut kalau kuncir kudanya berantakan, kalau tubuhnya terasa lengket oleh keringat, atau kalau dia melihat aku dan Rafa bermain masih dengan seragam putih-merah kami. Tapi siang ini, Kak Sarah tampaknya tidak peduli.

Begitu aku dan Rafa duduk bersamanya, Kak Sarah dengan bersemangat menjelaskan permainan yang baru dia ketahui dari temannya tadi pagi. Namanya truth or dare. Peraturannya gampang saja—seseorang yang ditanyai harus memilih mau jujur ketika ditanyai sesuatu atau memilih melakukan apa saja yang diperintahkan kepadanya.

"Siapa dulu, Kak? Aku atau Rafa?" tanyaku kepada Kak Sarah.

Kak Sarah menunjuk anak laki-laki dengan rambut pendek di sebelahku. "Rafa dulu. Truth or dare?"

Rafa berpikir sejenak sebelum menjawab, "Dare."

Kak Sarah pun mendekatiku dan membisikkan sesuatu di telingaku. Aku terkikik mendengarnya, membuat Rafa menatap kami dengan penasaran. "Kenapa, sih?" tanyanya.

Kak Sarah menjauhkan tubuhnya dariku kemudian berkata kepada Rafa, "Kamu harus peluk Bi Imah nanti pas pulang ke rumahmu."

Rafa ternganga sebentar kemudian menggeleng. "Enggak mau!"

Aku tertawa melihat reaksi Rafa. Bi Imah adalah wanita paruh baya yang sudah lama bekerja di rumah Rafa. Dari dulu, Rafa tidak suka dengan Bi Imah, karena wanita itu sering memaksa Rafa mengerjakan PR, mandi, bangun pagi, sekolah, dan hal-hal lain yang dianggap Rafa membosankan.

"Harus," kata Kak Sarah. "Itu aturannya. Atau kamu mau pilih truth?"

"Kalau truth, aku bakal ditanya apa?"

"Pokoknya rahasia kamu," jawab Kak Sarah.

Rafa tampaknya sedang memikirkan pilihan-pilihan yang dimilikinya. "Peluk Bi Imah aja, deh."

"Pokoknya aku harus lihat pas Rafa meluk Bi Imah," kataku, dalam hati geli membayangkannya.

Rafa hanya memajukan bibirnya dengan sebal ketika mendengar ucapanku.

"Jangan lupa, habis meluk Bi Imah bilang makasih," kata Kak Sarah.

"Kenapa?" tanya Rafa dengan heran. "Kan aku yang meluk Bi Imah. Harusnya Bi Imah yang bilang makasih!"

"Bi Imah kan udah sabar banget ngurusin kamu. Pokoknya ini aturan dare dari aku. Setiap dare harus bermanfaat dan harus ada maksudnya. Aku enggak suka lihat temen-temenku yang main dare cuma buat ngerjain orang. Harus ada manfaatnya, dan aku mau setiap habis dare bilang terima kasih atau maaf—walaupun aku lebih suka terima kasih."

Aku dan Rafa tidak terlalu peduli dengan aturan main Kak Sarah, jadi kami menurutinya saja.

"Sekarang Adel, mau truth atau dare?"

"Dare," jawabku.

Sekarang, Kak Sarah mendekati Rafa dan membisikkan sesuatu di telinganya. Rafa tampaknya kurang setuju karena dia mengerutkan kening kemudian membisikkan sesuatu di telinga Kak Sarah. Setelah berdiskusi sebentar, mereka akhirnya mencapai kata sepakat.

"Kata Rafa, kamu harus nyisirin rambutku dan benerin kuncirannya, soalnya kamu sering Kakak sisir dan kuncir tapi enggak pernah bilang makasih," kata Kak Sarah.

Bukan hal berat. Aku mengangguk. "Oke."

*

Hari ini hari Minggu, jadi tidak ada alasan untuk bangun pagi-pagi. Yah, setidaknya sampai Rafa datang dan membuat keributan di kamarku.

"Adel! Bangun!" katanya sambil menarik-narik selimut yang kukepit dengan kedua ketiakku.

"Pergi aja lo," keluhku sebal. Apa lagi maunya pagi ini?

Tanpa membuka mata, aku bisa merasakan Rafa duduk di ujung ranjangku. "Hari ini jadwal lo ngambil kertas dari Thank You. Lo udah janji kemarin."

Aku memaksakan diri untuk duduk dan membuka mata, menatap laki-laki berkacamata dan berambut pendek di hadapanku. "Kenapa, sih? Kan kalau gue enggak ngambil, lo yang untung juga, enggak harus traktir gue sebagai hadiah karena gue udah ngelakuin dare." "Tapi lo harus ngambil," balas Rafa. "Inti permainannya kan bukan tentang traktirannya, tapi tentang keasyikan dan maknanya."

Oke, Rafa benar. Aku tahu.

Masalahnya, kenapa harus Minggu pagi?!

*

September 2008

"Kak Sarah enggak mau main truth or dare lagi sama kita. Katanya bosen, kita milihnya dare terus." Aku memberitahu Rafa siang itu sepulang sekolah. Kami sedang bersepeda di depan rumahku (Rafa menghindari rumahnya karena dia tahu dia akan disuruh Bi Imah mandi dan mengganti seragam putih-merahnya dulu sebelum bermain dan Rafa tidak suka melakukannya).

"Ya udah, kita berdua aja yang main," kata Rafa. "Lagian aku juga enggak suka truth. Nanti ditanya macem-macem."

Aku mengangguk. "Iya. Aku juga enggak suka. Seruan dare. Tapi Kak Sarah udah bosen sama dare."

"Aku enggak bosen," kata Rafa.

"Aku juga," balasku. Setelah beberapa saat, aku menambahkan, "Tapi lama-lama kita juga pasti bosen. Bikin jadi lebih asyik, yuk."

"Gimana caranya?" tanya Rafa.

Aku berpikir sambil menata rambutku yang agak berantakan karena tertiup angin. Melihatku yang kerepotan menata rambut, membuat Rafa geli kemudian menertawakanku.

Aku menatap Rafa dengan sebal. "Ih, jangan ketawa! Kamu kan enak, rambutnya pendek, jadi enggak ketiup angin," protesku. "Tapi enggak enak juga sih, kalau rambutnya pendek—enggak bisa dikuncir."

"Aku kan emang enggak dikuncir. Aku cowok!" protes Rafa.

Aku masih sibuk menata rambutku. "Terserah, lah."

"Kamu enggak bawa kunciran?" tanya Rafa.

"Ada di kamar. Di dalam kaleng biskuit itu," jawabku.

"Ya udah, ambil dulu aja." Rafa turun dari sepedanya kemudian melangkah memasuki rumahku. Aku mengikuti di belakangnya.

Begitu sampai di kamarku, aku segera melangkah menuju meja dan meraih kaleng biskuit bekas yang kuisi dengan berbagai macam kunciran. Mama pernah ingin membelikanku kotak untuk menyimpan barang-barangku (terutama kunciran), tapi aku lebih suka menggunakan kaleng biskuit bekas, karena gambarnya bagus dan yah, pokoknya aku suka.

Saat aku sedang menguncir rambut, Rafa meraih kaleng biskuit bekas itu dan melihat-lihat isinya. Dari sudut mataku, aku melihat Rafa mengambil sebuah kertas dan membacanya.

"Beli keripik kentang di warung buat Kak Sarah." Rafa membaca isi kertas tersebut. "Ini apa, Del?"

"Waktu itu Kak Sarah sama aku disuruh Mama sama Papa beres-beres rumah. Karena aku capek, jadinya cuma Kak Sarah yang kerja. Dia bolehin aku istirahat asal aku beliin dia keripik kentang di warung. Nah, itu kertasnya Kak Sarah yang nulis, biar aku enggak lupa."

"Terus kenapa dimasukkin ke kaleng?" tanya Rafa.

"Itu Kak Sarah yang masukkin. Dia tahu aku sering buka kaleng itu, jadi enggak bakal lupa," jawabku. "Tapi aku udah inget tanpa kertas itu, jadi kertasnya lupa kuambil dan kubuang. Sekarang buang aja, Raf."

Rafa bangkit dari duduknya dan melangkah menuju tempat sampah yang terletak di pojok kamarku. "Kirain dare," katanya.

"Bukan," jawabku. "Eh, tapi asyik juga ya kalau dare-nya kayak gitu," lanjutku, tiba-tiba mendapat ide.

"Kayak gimana? Beli keripik kentang di warung?" tanya Rafa sambil berjalan kembali ke arahku. Dia kemudian menjatuhkan diri ke kasurku. "Enggak mau, ah. Ngebosenin banget."

"Bukan," balasku. "Maksudku, dare-nya ditulis di kertas dan ditaruh di kaleng gitu. Nanti kalau mau ngelakuin dare, tinggal ambil kertasnya."

"Jadi kayak undian gitu?" tanya Rafa.

Aku mengangguk, bersemangat. "Iya! Nanti kita berdua nulis sebanyak-banyaknya kertas dan kita taruh di dalam kaleng. Nah, ini dia cara supaya dare-nya makin asyik!"

Rafa mengangguk-angguk. "Boleh aja. Dan, oh ya, aku tahu biar dare-nya makin asyik lagi."

"Gimana?"

"Setiap yang ngambil kertas dari kaleng dan ngelakuin dare-nya, dapat hadiah," kata Rafa. "Ya, hadiahnya enggak usah macem-macem. Misalnya beliin permen di kantin, minjemin pensil kesayangan seharian, atau hal-hal kayak gitu."

Aku mengangguk dengan bersemangat. "Oke. Setuju!"

Kemudian, nyaris seharian itu aku dan Rafa habiskan dengan membuat kaleng dan kertas-kertas berisi hal-hal yang akan menjadi dare. Aku tidak mau menggunakan kaleng kunciranku untuk dijadikan kaleng dare karena aku sudah telanjur senang menyimpan kunciran di kaleng itu, jadi aku dan Rafa mencari kaleng biskuit yang lain. Tapi karena tidak ada kaleng biskuit lain yang sudah kosong, maka sambil membuat kertas-kertas dare, kami memakan biskuit di kaleng sampai habis.

"Nama kalengnya apa, ya?" tanyaku begitu kami nyaris selesai dengan kertas dan sudah memakan semua biskuit di dalamnya sampai habis. Kaleng itu tinggal dibersihkan dan diisi dengan kertas-kertas dare buatan aku dan Rafa.

Rafa tampak berpikir sebentar. "Gimana kalau Thank You? Soalnya kan, setiap habis dare, kita bilang terima kasih."

Rafa benar. Walaupun Kak Sarah tidak ikut bermain dengan kami lagi, kami masih menggunakan aturan main Kak Sarah. Karena, aku dan Rafa sepakat, rasanya puas sekali mengucapkan terima kasih kepada seseorang. Lagi pula, kami sudah terbiasa.

Aku mengangguk sambil tersenyum geli. "Gara-gara kamu baru belajar bahasa Inggris, ya, jadinya pakai bahasa Inggris namainnya?"

"Iya. Enggak apa-apa, kan? Soalnya aku suka lupa bahasa Inggris-nya terima kasih. Suka ketuker sama kata lain," jawab Rafa.

"Kata apa?"

"I miss you. Artinya aku kangen kamu. Tapi Ibu Ros kalau ngomong bahasa Inggris suka cepet-cepet, jadi kedengerannya mirip."

Aku tertawa mendengarnya. "Itu kan jauh, Rafa!"

Awalnya Rafa tampak sebal karena kutertawakan. Tapi setelah beberapa saat, dia ikut tertawa juga.

*

Pagi ini, Rafa membawaku ke rumah Askar, karena katanya, kaleng Thank You ada di rumah Askar. Tapi aku curiga ini ada hubungannya dengan hal lain.

Pertama, Rafa-lah yang seharusnya menyimpan kaleng Thank You, karena dia yang terakhir mengambil kertas dari dalamnya. Ketika kutanya, Rafa beralasan dia tidak sengaja meninggalkannya di rumah Askar, tapi aku tidak percaya.

Kedua, ini Askar. Rafa selalu menduga, aku menyukai Askar, jadi dia selalu berusaha mendekatkanku dengan Askar, maka tidak heran kalau dia sengaja meninggalkan kaleng itu di rumah Askar supaya aku ke rumah Askar dan bertemu cowok itu. Padahal, aku tidak menyukai Askar. Aku sudah mengatakan itu berkali-kali kepada Rafa, tapi dia tidak mau mendengarkan. Terserah dia saja.

"Eh, halo," sapa Askar begitu melihatku dan Rafa berdiri di pintu depan rumahnya. Terlepas dari pakaiannya yang kusut, Askar tidak tampak seperti orang baru bangun tidur. Rambut Askar berpotongan cepak, jadi tidak berantakan. Selain itu, matanya juga sudah bersinar jail khas Askar—bukannya setengah terpejam seperti orang yang baru saja meninggalkan alam mimpi.

"Kita mau ngambil kaleng Thank You," jelas Rafa. "Adel mau ngambil kertas."

Askar menatapku dengan bersemangat. "Wah, kalau gitu gue juga mau nonton lo ngelakuin dare-nya."

Aku melambaikan tangan tidak peduli. "Ya, tonton aja terserah," kataku. "Kita enggak disuruh masuk, nih?"

Askar tampaknya baru sadar bahwa kami masih berdiri di depan pintu rumahnya. "Oh, iya. Ayo masuk-masuk. ANGRY!"

Nah, muncul kebiasaan Askar.

*

Juli 2012

"MOS itu bisa jadi singkatan apa aja ya, selain Masa Orientasi Siswa?" tanya Rafa.

Saat itu, aku dan Rafa sedang berada di pinggir lapangan SMP kami yang baru. Kami sedang dalam Masa Orientasi Siswa dan sekarang waktunya istirahat setelah sepanjang pagi kami mengikuti kegiatan MOS.

Aku berpikir. "Mama Orang Sunda," jawabku.

Rafa mengangguk-angguk. "Sekarang giliran gue. Pokoknya yang paling bagus bikin kepanjangan dari MOS, dia yang menang," kata Rafa sambil membenarkan letak kacamatanya. "Mami Orang Sunda."

"Ih, curang!" protesku sambil memukul bahu Rafa pelan. "Enggak boleh. Ganti!"

"Kenapa?" tanya Rafa sambil tertawa.

"Enggak boleh. Itu cuma ganti satu huruf aja. Cari yang lain," perintahku.

Rafa menggeleng. "Lo aja cari yang baru."

Akhirnya aku mengalah karena percuma saja berdebat dengan Rafa. Aku pun memikirkan kepanjangan MOS yang lain. "Makan Obat Suster," kataku.

Rafa berpikir selama beberapa saat kemudian menyahut, "Makan Obat Sister."

Aku memukul bahunya pelan. "Ih, curang banget sih dari tadi! Coba lo yang cari duluan sekarang."

"Lah, enggak boleh, dong. Kan harus gantian."

Aku baru akan mendebat Rafa ketika sebuah suara menyelaku, "Manis Oh Sayang—itu kepanjangan MOS versi gue."

Aku dan Rafa menoleh ke sumber suara. Rupanya, suara itu berasal dari mulut seorang anak laki-laki yang duduk tidak jauh dari kami. Setelah kami menoleh, anak laki-laki berambut cepak itu berjalan mendekat sambil nyengir.

"Nama gue Askar," katanya sambil mengulurkan tangan. "Gue denger kalian nyari-nyari kepanjangan MOS. Asal kalian tahu, akronim dan singkatan itu keahlian gue. LAPANG!"

"Lapang?" tanyaku, bingung.

"LAPANG—Lainnya Payah Aku Enggak," jawab Askar sambil nyengir.

Aku dan Rafa tertawa.

"Gue Adel," kataku, memperkenalkan diri.

"Gue Rafa," kata Rafa.

Askar mengangguk-angguk, masih dengan cengiran di wajahnya. Matanya bersniar jail. "Gue juga baru di sini kayak kalian." Askar melambaikan tangan ke arah seragam lamanya. "Tapi kita harus ANGRY."

"Marah?" tanya Rafa, tidak mengerti.

Askar tertawa. "Bukan. ANGRY—Anggap Rumah, Ya," jelasnya. "Maksud gue, kita harus anggap sekolah ini rumah sendiri."

Aku dan Rafa tertawa mendengar penjelasan Askar. Ada-ada saja.

*

Askar menyimpan kaleng Thank You di kamarnya, sehingga aku dan Rafa pun diajak oleh Askar ke kamarnya. Kalau tadi kubilang rambut Askar rapi, yah, itu cuma karena tukang salon memotong rambutnya dengan model rambut cepak, bukan karena Askar rajin menyisir rambut atau apa. Masalahnya, kalau kalian melihat kamarnya sekarang, kalian akan berharap kalau kamarnya itu rambut dan bisa dipotong model cepak—supaya bisa tampak rapi setiap saat.

Iya, keadaan kamar Askar berantakan sekali. Kalau disuruh merapikan kamar, seringnya Askar menjawab, "Ngapain dirapiin? NAGA BERAGI—Nanti Juga Berantakan Lagi."

Aku melihat kaleng Thank You di atas meja Askar. Oke, lebih tepatnya kaleng itu ada di atas kertas yang terletak di atas kertas yang terletak di atas baju yang terletak di atas bungkus makanan yang terletak di atas buku tulis yang terletak di atas meja.

"Berantakan banget kamar lo. Rapiin, dong," kataku, tidak tahan untuk tidak berkomentar, walaupun aku sudah bisa menebak apa jawaban Askar.

"NAGA BERAGI," jawab Askar lalu melemparkan dirinya ke atas kasur—satu-satunya tempat paling bersih di ruangan ini. Rafa ikut duduk di kasur Askar.

"Ayo ambil satu kertasnya," kata Rafa padaku. "Lo udah lama enggak ngelakuin ini."

Aku menatap cowok berkacamata itu lalu berkata, "Pastiin yang lainnya juga jajanin gue kalau gue udah ngelakuin dare ini."

"ASY—Aku Siap Yey," kata Askar.

Aku tertawa pelan mendengar ucapan Askar. Walaupun sudah sering mendengarnya, kadang singkatan dan akronim yang dibuat Askar begitu konyol atau aneh sehingga tetap membuatku tertawa.

Aku pun meraih ke dalam kaleng dan mengambil satu kertas dari dalamnya. Aku membuka kertas itu dan membaca isinya.

"Nyanyi satu lagu untuk Putri. Bilang terima kasih karena Putri sudah mau dengerin" Aku membaca isi kertas tersebut. "Pasti si Putri nih yang nulis! Dia pengin banget dinyanyiin orang," gerutuku.

Askar dan Rafa tertawa mendengarnya.

"KORAN—Kocak! Rasanya Aku Nangis."

"Maksa!" seru Rafa sambil tertawa kepada Askar. Setelah itu, Askar menoleh kepadaku sambil tersenyum iseng. "Adel mau nyanyi! Harus panggil yang lainnya, nih."

"Bener. Kalau mau minta jajan dari semua, semuanya harus nonton."

Aku mendesah sebal. "Ya udah, telepon yang lain—Hana, Gilang, sama Putri."

*

Juli 2013

Ini hari pertama aku masuk kelas delapan. Sebenarnya, aku tidak terlalu bersemangat, setelah melihat papan pengumuman dan mendapati bahwa aku tidak sekelas dengan Rafa dan Askar—sedangkan mereka berdua sekelas. Menyebalkan sekali.

Rafa dan Askar mengantarkanku ke depan kelas, dan aku meminta mereka berlama-lama dulu.

"Sampai bel, dong. Gue enggak ada temen di dalem," kataku.

"Ya cari temen, dong," balas Rafa.

"Males," kataku.

"Kalau enggak punya temen, lo bakal mati kebosenan selama setahun ke depan di kelas," tambah Askar yang sekelas denganku dan Rafa sewaktu kelas tujuh.

Aku melirik ke dalam kelas dengan tidak bersemangat. Aku sebenarnya tidak masalah berkenalan dengan orang baru. Hanya saja, biasanya selalu ada Rafa di sampingku, sehingga kalau aku bingung harus berkata apa lagi, aku bisa mengobrol saja dengan Rafa dan mengajak orang baru itu bergabung.

Karena aku dan Rafa masuk sekolah swasta sewaktu SD, murid di sekolah kami tidak terlalu banyak—dan aku selalu sekelas dengan Rafa. Sekarang, aku dan Rafa bersekolah di SMP negeri dan kelas delapan ini adalah pertama kalinya aku tidak sekelas dengannya. Bayangkan saja bagaimana rasanya.

Rafa sepertinya melihat kecemasan di wajahku karena dia kemudian menatapku dan meletakkan tangan kanannya di bahuku. Aku menunggu cowok berkacamata itu mengucapkan sesuatu yang menenangkan. Tapi, ketika dia berbicara, dia cuma mengatakan, "Tenang aja. Lo enggak bakal mati."

Dalam kondisi yang berbeda, aku mungkin tertawa. Tapi sekarang, aku sedang malas bercanda. Jadi, aku menyingkirkan tangan Rafa dari bahuku dan menatapnya dengan garang.

"Sama sekali enggak ngebantu!" seruku.

"JARING—Jangan Nyaring!" kata Askar. Maksudnya adalah, jangan berbicara dengan nyaring alias berteriak.

"Gue enggak teriak," kataku kepada Askar.

"Tadi lo teriak."

"Enggak."

"Iya."

"Enggak!"

"Nah, itu teriak."

"Kok jadi ngebahas teriak?" sela Rafa.

Aku biasanya pasrah saja menghadapi dua cowok aneh ini. Tapi hari ini, aku malas sekali menghadapi kekonyolan mereka. Mungkin juga karena pengaruh kedatangan tamu bulanan.

"Ini kenapa ribut-ribut?" Seorang anak perempuan berwajah bulat dengan rambut dicepol satu ke belakang berjalan menghampiri kami. "Jangan berantem," lanjutnya dengan suara yang tegas tapi juga lembut—seperti suara seorang ibu yang memarahi anaknya.

"Lo siapa?" tanya Askar begitu anak perempuan itu sudah berdiri di dekat mereka.

"Gue Hana," katanya sambil tersenyum ramah. "Kalian kenapa berantem?"

Tidak ada yang menjawab.

Karena merasa canggung, akhirnya aku membalas ucapannya. "Gue Adel. Kita enggak berantem, kok. Cuma adu pendapat konyol aja."

"Oh gitu," kata Hana. "Kalian siapa?" tanyanya kepada Rafa dan Askar.

"Gue Rafa."

"Gue Askar."

"Kalian masuk kelas ini?" tanya Hana sambil menunjuk pintu kelas Adel.

"Bukan," jawab Rafa. "Ini kelas Adel. Gue sama Askar di kelas lain."

Hana kemudian tersenyum menatapku. "Wah, kita sekelas!"

Aku tersenyum canggung kepadanya.

Hana menatap aku, Rafa, dan Askar kemudian berkata, "Kok kaku banget? Ketahuan nih abis berantem! Ayo jangan berantem. Ke kantin, yuk. Gue traktir es krim deh. Hari ini aja tapi. Ibu gue ngasih uang lebih soalnya ini hari pertama sekolah."

Dan dengan es krim, Hana menghangatkan kembali suasana di antara aku, Rafa, dan Askar. Cuma Hana yang bisa mengubah es krim menjadi hangat ketika dinikmati.

Belakangan hari itu, aku agak geli dengan tingkahku, Rafa, dan Askar. Kami bertiga sudah seperti anak kecil yang harus dibujuk oleh ibunya agar mau berdamai. Iya, Hana hari itu bertindak seperti ibu kami.

Tapi untuk seterusnya, cewek dengan wajah bulat dan rambut yang selalu dicepol satu ke belakang itu memang seperti sosok ibu di antara kami.

*

"Pokoknya pas Adel nyanyi harus direkam," kata Rafa sambil tersenyum jail.

Aku menatap garang pemuda berkacamata itu. "Awas aja lo."

"Putri pasti minta direkam, biar bisa dia dengerin terus," kata Askar. "Dia kan selalu pengin dinyanyiin sama orang."

"Dan lagunya harus didedikasikan buat dia," tambah Hana.

Sekarang, aku, Rafa, Askar dan Hana masih berada di kamar Askar. Tadi aku mengumumkan di grup LINE kalau aku baru saja mengambil kertas dari kaleng Thank You dan akan bernyanyi untuk Putri. Hana langsung bergegas menuju rumah Askar untuk menemui kami. Sedangkan Gilang bilang dia akan langsung ke rumah Putri nanti.

"Lagu apa, ya?" tanyaku sambil berpikir. Benar kata Hana, lagu untuk Putri harus spesial untuk dia. Kalau tidak, yah, bisa-bisa Putri tidak menerima ucapan terima kasihku dan tidak menghitung tindakanku sebagai tindakan dare dari kaleng Thank You (itu bisa saja terjadi, kadang-kadang). Aku kan tidak mau membuang-buang suaraku.

"Coba lo pikirin, Putri sukanya lagu apa," saran Rafa.

"Kalau boleh usul," sela Hana sebelum aku bisa berpikir, "Lo nyanyi yang lo bisa aja, yang penting bagus dan didedikasikan buat Putri."

"Jadi gue cari jalan tengah gitu?" tanyaku, teringat Gilang.

Hana mengangguk.

"Kalau jalan tengah sih, jagonya Gilang," celetuk Askar—mengutarakan apa yang ada di pikiranku. "Dia jagonya nyari jalan tengah yang rada-rada TINER—Tidak Bener."

Kata-kata Askar barusan memang ada benarnya.

*

Juli 2015

Aku panik.

Oke, bukan cuma aku. Rafa, Askar dan Hana juga panik. Iya, Hana yang biasanya paling tenang dan bijak di antara kami sekarang juga panik. Yang berarti, keadaan sekarang memang benar-benar parah. Kalau kata Askar, DAKI—Darurat Akut Kronis Ini!

"Duh gimana nih, kita bakal dihukum!" kata Rafa yang sama sekali tidak membantu—kami semua juga tahu kalau kami akan dihukum.

Itu hari pertama MOS di SMA. Aku, Rafa, Askar, dan Hana masuk ke SMA yang sama. Dan di hari pertama ini, kami memutuskan untuk berangkat bersama, supaya lebih asyik (ini saran Hana, omong-omong).

Tapi dia salah. Bukannya asyik, kami jadi terlambat! Semuanya gara-gara Askar. Dia yang kami jemput paling terakhir, dan dia kesiangan. Karena itulah kami terlambat. Dan supaya lebih jelas lagi, kami terlambat di hari pertama MOS. Hebat.

Benar saja dugaan kami. Begitu sampai di sekolah, gerbangnya sudah ditutup. Ketika gerbang akhirnya dibuka, kami berempat digiring menuju guru piket. Di sana juga sudah ada kakak-kakak MOS yang siap memberi kami hukuman karena terlambat.

Pasrah, kami berempat pun menjalani saja hukuman yang diberikan. Kakak panita membawa kami ke lapangan dan berkata bahwa kami harus berdiri di sana sehari penuh—di bawah terik matahari. Selain kami, ada satu lagi anak laki-laki yang dihukum bersama kami. Anak laki-laki dengan rambut agak panjang dan sedikit berjambul itu mengenakan seragam SMP, yang artinya dia juga dihukum oleh panitia MOS. Tapi apa yang membuatnya dihukum?

"Hei. Lo kenapa dihukum?" tanya Askar SKSD kepada anak laki-laki itu—menyuarakan pertanyaanku.

Anak laki-laki itu menunjuk seragamnya. "Seragam SMP gue berantakan. Gue enggak pakai kaos kaki. Celana gue robek sedikit di bagian bawah. Bla bla bla...."

Setelah kuperhatikan lagi, seragam SMP-nya memang berantakan. Tidak heran dia dihukum.

"Lo siapa?" tanya Hana kemudian. Selain Askar, Hana-lah yang paling mudah SKSD kepada orang baru. "Gue Hana."

"Gilang," kata anak laki-laki itu. Dia memiliki garis-garis wajah yang tegas—itu terlihat jelas olehku ketika dia akhirnya benar-benar menatap kami. "Kalian?"

"Gue Adel," kataku.

"Gue Rafa," timpal Rafa.

"Gue Hana," tambah Hana.

"Kalian berempat udah saling kenal atau gimana?" tanya Gilang.

"Iya. Kami berempat satu SMP," jawab Hana.

"Walaupun gue sama Rafa udah saling kenal sejak TK," tambahku.

"Oh gitu," tanggap Gilang. "Kenapa kalian dihukum?"

"Terlambat," jawab Rafa.

"Gara-gara Askar." Aku menambahkan sambil menunjuk Askar.

"EJA!" seru Askar. Maksudnya Enak Aja.

Aku mengangkat bahu sambil memasang tampak meledek ke arah Askar.

Gilang mengangguk-angguk, mengabaikan perdebatan singkatku dengan Askar. Setelah itu, cowok dengan rambut yang agak berantakan itu mendesah pelan, "Masih lama ya, hukumannya?"

Rafa melirik arlojinya. "Iya. Sekarang masih jam sembilan. Kata kakaknya, kita boleh istirahat jam setengah dua belas dan lanjut hukuman lagi sampai jam satu."

Gilang menggerutu.

"Enggak baik ngeluh kayak gitu," nasihat Hana. "Percuma aja. Toh, kita juga enggak bakal pulang lebih cepet dan ngerasa lebih nyaman. Jadi enggak ada gunanya."

"Siapa bilang gitu?" Gilang tiba-tiba tampak lebih cerah.

Aku menatap Gilang dengan curiga. "Lo mau kabur? Kalau lo kabur, gue yakin, besok lo bakal dihukum lagi, dan dengan hukuman yang lebih berat," kataku, mengingatkan.

"Gue enggak bilang kita bakal pulang lebih cepet," kata Gilang. "Kita bisa lebih nyaman."

"Gimana caranya?" tanya Rafa, tampak penasaran.

Gilang merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel. Sebenarnya, kami dilarang membuka ponsel oleh kakak panitia, tapi Gilang tampaknya tidak peduli. Dia mengetikkan sesuatu di ponselnya kemudian mengembalikan ponsel tersebut ke dalam sakunya.

"Lo barusan ngapain?" tanya Askar. "GUSAR—Gue Penasaran."

Gilang tertawa mendengar akronim Askar. "Tunggu aja."

Beberapa saat kemudian, seorang laki-laki berjalan mendekat dengan nampan di tangannya. Begitu dia sudah dekat, aku bisa melihat bahwa di nampan itu terdapat lima gelas plastik berisi es jeruk dan lima topi SMA.

"Nah ini dia!" seru Gilang. Dia segera mengambil topi dari atas nampan dan memakainya di atas kepala. Cowok itu kemudian mengambil segelas es jeruk dan langsung meminumnya.

"Ayo kalian juga ambil," kata Gilang kepada aku, Rafa, Askar, dan Hana sambil menunjuk ke arah nampan. Gilang kemudian menunjuk laki-laki yang membawa nampan. "Ini namanya Mas Ndul. Dia jualan minuman di kantin. Gue kenal sama Mas Ndul karena dia dulu kerja di kantin SMP gue, cuma terus pindah."

Mas Ndul tersenyum sambil mengangguk. "Saya udah sering disuruh-suruh sama Mas Gilang. Dulu di SMP dia juga sering dihukum, dan setiap dihukum, dia pasti SMS saya—minta saya bawain ini-itu."

"Kok Mas Ndul mau aja?" tanyaku dengan heran. Kalau aku jadi Mas Ndul, aku sih tidak akan mau.

"Mas Gilang pelanggan tetap saya," jawab Mas Ndul. "Udah kayak temen."

Gilang menngangguk-angguk sambil nyengir lebar. "Nah, ayo buruan ambil topinya biar enggak kepanasan. Dan minum es jeruknya sebelum esnya mencair, nanti enggak enak lho."

Maka, kami berlima pun berdiri di lapangan dengan topi di kepala dan es jeruk di tangan. Benar-benar tidak tampak seperti orang yang sedang menjalani hukuman (kecuali di bagian kami berdiri lama sekali).

Sepanjang siang itu kakak-kakak MOS tidak menghampiri kami karena mereka terlalu sibuk mengurusi kegiatan MOS. Beberapa dari mereka memang sempat mengomeli kami ketika melihat kami meminum es jeruk dan mengenakan topi, tapi karena kesibukan mereka, mereka cuma mengancam sebentar kemudian pergi lagi.

"Ini namanya mencari jalan tengah." Gilang menjelaskan di tengah-tengah hukuman kami. "Gue selalu ngelakuin ini kalau dihukum. Jalan tengah ini enggak bener, emang. Tapi enggak bisa dibilang salah juga." Cowok dengan rambut berantakan dan berjambul itu mengakhiri penjelasannya dengan cengiran.

*

"Nyari jalan tengah? Lo datang ke orang yang tepat!" Gilang terdengar mirip dengan orang-orang di iklan.

Aku, Rafa, Askar, dan Hana sudah berada di rumah Putri. Untungnya, cewek itu sedang ada acara keluarga sebentar. Karena sudah sering ke rumah Putri, aku dan teman-temanku yang lainnya dipersilakan menunggu di dalam oleh Bu Ajeng—wanita yang bekerja di rumah Putri dan sudah mengenal kami dengan baik. Gilang sudah ada di sana.

"Iya. Gimana caranya gue bisa nyanyi lagu yang gue mau, tapi tetap terkesan didedikasikan buat Putri," jelasku.

Gilang mengangguk-angguk, tampak sedang berpikir. "Emang lo mau nyanyi lagu apaan, Del?"

Aku sebenarnya tidak ingin memberitahukan ini kepada orang lain, karena selain memalukan, aku ingin menjadikannya semacam kejutan. Lagi pula, melakukan dare dari kaleng Thank You memang harusnya menjadi kejutan, supaya seru. Tapi untuk kali ini, sepertinya tidak apa-apa.

Aku pun mendekati Gilang dan membisikkan judul lagu pilihanku di telinganya. Gilang tertawa mendengar pilihanku.

"Lo mau nyanyi apaan, Del?" tanya Rafa sambil membenarkan letak kacamatanya—tampak penasaran.

"GUSAR," timpal Askar.

"Udah, biar jadi surprise aja," kata Hana. Perempuan berwajah bulat dengan rambut yang dicepol ke belakang itu kemudian berkata kepada Gilang, "Udah ketemu jalan tengahnya belum? Putri bisa balik kapan aja, dan enggak lucu kan, kalau pas dia balik Adel belum siap?"

Gilang mengangguk. "Tenang aja. Adel bakal udah siap pas Putri dateng."

Gilang pun membisikkan jalan tengahnya kepadaku. Aku tertawa mendengar sarannya. Boleh juga.

*

Juli 2015

Akhirnya pukul satu yang dinanti-nantikan tiba juga. Aku, Rafa, Askar, Hana, dan Gilang pun bebas dari hukuman. Sewaktu kakak panitia MOS menemukan kami berdiri di lapangan mengenakan topi, dia cuma berkata, "Kalian boleh pulang. Besok jangan sampai dihukum lagi." Pasti dia juga sudah lelah setelah seharian bekerja.

"Makasih lho udah kasih jalan tengah," kata Rafa kepada Gilang sambil nyengir lebar. "Bisa gue gunain kalau gue kena hukuman."

"Kalau lo kena hukuman, pastiin aja gue juga kena, biar gue bisa cariin jalan tengahnya," kata Gilang sambil balas nyengir.

"AKUT—Aku Ikut!" kata Askar.

Kami tertawa.

Saat berjalan dari lapangan sampai ke gerbang sekolah, aku merasakan banyak tatapan tertuju ke arahku dan teman-temanku. Aku juga menangkap sekilas orang-orang mengucapkan 'topi' atau 'lapangan' atau 'es jeruk' dan yah, pokoknya kata-kata yang berkaitan dengan hukuman kami tadi. Tidak heran sih, kalau jalan tengah Gilang menarik perhatian orang-orang.

"Kita diperhatiin," kataku kepada teman-temanku.

"Santai aja," tanggap Gilang. "Udah biasa. Lama-lama, mereka semua pasti terbiasa sama jalan tengah gue."

"Lo enggak pernah dimarahin sama guru kalau pakai jalan tengah?" tanya Hana—tidak terdengar menggurui, hanya terdengar penasaran.

Gilang memasang cengiran di wajahnya sambil menggeleng. "Kan udah gue bilang, jalan tengah itu enggak bisa dibilang bener, tapi enggak salah juga. Jadi ya, secara keseluruhan, kalau gue pakai jalan tengah, gue enggak salah," jelas Gilang. "Tapi, ya, gue tetep tahu batas. Kalau udah sama guru yang galak banget, jalan tengah gue enggak ekstrem-ekstrem."

Saat sampai di depan gerbang sekolah, aku melihat seorang pengamen yang sedang menyanyi sambil memainkan gitarnya. Tapi, bukan pengamen itu sendiri yang membuatku terpana, melainkan nyanyiannya, yang ditujukan pada seseorang di depannya. Lirik lagu yang dinyanyikannya juga agak berbeda.

"Cuma gue aja, atau emang lagunya jadi aneh?" tanya Askar, yang rupanya juga memperhatikan.

Kami pun berjalan menghampiri pengamen itu.

"Mas, kok lagunya beda, ya?" tanya Gilang, menyela nyanyian pengamen itu.

Kalau aku sempat mengira pengamen itu akan marah, aku salah. Justru, yang marah adalah gadis yang berdiri di depan si pengamen. Gadis itu mengenakan seragam SMP dan name tag MOS SMA-ku. Matanya bulat besar, kedua pipinya agak memerah, dibingkai rambut panjang yang agak bergelombang di bagian bawah.

"Gue yang minta dia ganti liriknya," jelas si anak perempuan dengan kesal. "Kalian ganggu, deh."

"Kenapa minta diganti?" tanyaku penasaran.

"Yah, gue suka kalau ada yang nyanyi buat gue. Waktu gue kecil, gue enggak bisa tidur kalau enggak dinyanyiin Putri-Bobo."

"Putri-Bobo?" ulang Gilang, tampak geli. Dia kelihatan siap tertawa terbahak-bahak kapan saja.

"Dari Nina-Bobo. Tapi namanya diganti sama nama gue. Kan udah gue bilang, gue suka kalau ada yang nyanyi buat gue. Maksud gue, lagu itu diganti jadi buat gue," jelas anak perempuan bernama Putri itu.

Hana mengulurkan tangan dan menyunggingkan senyum ramah. "Nama gue Hana. Lo Putri, ya?"

Putri mengangguk. Kami pun berkenalan dengannya.

"Oke, sekarang dengerin lagu dulu, ya," kata Putri. Dia menoleh lagi untuk berbicara kepada si pengamen, tapi pengamen itu sudah tidak ada. Pasti dia pergi saat kami semua berkenalan.

Putri tampak sedih sekaligus kesal karena pengamen itu pergi. "Kalian sih," keluhnya.

"Gue bisa main gitar, kok," kata Gilang. "Kalau lo emang pengin banget dinyayiin."

Putri langsung tampak bersemnagat. Angin berembus mengibarkan rambut panjangnya yang digerai begitu saja, membuatnya tampak persis seperti pahlawan perjuangan dengan semangat juang '45. Sebagai orang yang rambutnya pendek (rambutku dipotong sampai seleher), aku tidak mengerti kenapa dia tidak risi dengan rambut panjangnya yang digerai.

"Oke. Lo janji ya sama gue, lo harus nyanyiin gue suatu hari nanti," kata Putri kepada Gilang.

"Iya, Yang Mulia," kata Gilang sambil membungkuk sedikit untuk mengejek, membuat Putri sebal. Kami yang melihat kejadian itu tertawa.

*

"Putri pulang!" Rafa mengumumkan sambil menjauhkan dirinya dari jendela. "Gue lihat mobil orangtuanya."

Rafa benar. Beberapa saat kemudian, Putri masuk bersama kedua orangtuanya. Setelah berbasa-basi sebentar, kedua orangtua Putri pun meninggalkan kami di ruang keluarga.

"Jadi gimana?" tanya Putri sambil menatap kami semua dengan mata bulat besarnya. Seperti biasa, wajah bersemangatnya itu dibingkai oleh rambut panjang yang dibiarkan tergerai begitu saja. Putri berkata, gadis itu memang tidak suka dikuncir, katanya dia suka rambutnya berkibar terkena angin (jangan tanya aku kenapa. Rambutku pendek, aku tidak mengerti kenapa ada orang yang tidak risi dengan rambut berkibar-kibar).

"Gue siap," kataku sambil memasang cengiran. Tadi, Gilang sudah membantuku mengubah lirik lagu pilihanku yang akan kunyanyikan untuk Putri—ini adalah jalan tengahnya.

Putri menjatuhkan diri di atas sofa kemudian berkata, "Yah, sebenernya gue berharap Gilang yang dapet kertas itu dari kaleng Thank You, sih. Waktu gue nulis itu, gue inget, Gilang sampai sekarang belum nyanyi satu lagu pun buat gue—padahal dia pernah janji. Dulu. Waktu kita pertama kali ketemu. Gue masih inget."

"Iya nanti gue nyanyi buat lo," kata Gilang santai. Aku tidak yakin dia serius.

Permainan dare di dalam kaleng Thank You memang tetap aku dan Rafa jalankan. Dan sejak Askar berteman dengan kami, dia pun ikut-ikutan bermain. Hana, Gilang, dan Putri juga ikut menyumbangkan kertas berisi dare serta mengambil kertas untuk bermain. Aturan Kak Sarah tentang ucapan terima kasih itu juga masih berlaku.

"Ayo, Adel nyanyi," kata Rafa sambil tersenyum jail. "Jangan bilang, lo nyari jalan tengah dengan nyanyi Putri-Bobo."

"Ih, kalau Putri-Bobo gue enggak mau terima, ya!" protes Putri.

"EGA!" tambah Askar—maksudnya Gue Juga.

Gilang dan aku tertawa.

"Tenang aja. Gue enggak sedangkal itu kok nyaranin jalan tengah nyanyi Putri-Bobo," kata Gilang.

"Iya, enggak sedangkal itu." Aku membenarkan. "Tapi naik dikit dari itu."

Gilang tertawa.

"Ya udah, ayo sekarang mendingan nyanyi," kata Hana.

"Put, lo harus terima, ya," kataku memperingatkan. "Lo cuma enggak mau terima Putri-Bobo aja, kan?"

Putri mengangguk. "Liriknya harus ada Putri-nya terus yah, pokoknya buat gue. Asal bukan Putri-Bobo."

Aku mengangguk kemudian siap bernyanyi, "Putri Putri di dinding... diam-diam merayap... datang seekor nyamuk... hap! Lalu ditangkap."

Teman-temanku tertawa mendengarnya. Awalnya Putri memprotes dengan kesal. Dia berkata, "Ih! Apaan, sih! Gue enggak mau denger."

Tapi akhirnya, cewek bermata bulat besar itu tertawa juga.

Untuk menyelesaikan dare ini, aku melangkah ke Putri dan menepuk bahunya pelan sambil berkata, "Terima kasih udah memberi gue kesempatan nyanyi buat lo."[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top