2

"Kamu tidak bercanda kan? Orang tua gadis itu kenapa dengan seenaknya menyuruh kami datang? Bukan seperti itu memperlakukan orang yang kemungkinan akan berbesan dengan mereka. Seharusnya sebelum mengambil keputusan pastikan terlebih dahulu dengan siapa kamu berhubungan. Kami tidak melarang kamu berhubungan dengan siapapun namun pastikan gadis itu dan keluarganya adalah keluarga yang menghargaimu. Yang juga peduli kepadamu. Belum apa-apa saja sikap mereka sudah seperti itu." Bhisma, ayah Adrian merespons penjelasan Adrian.

Sehari setelah menemui orang tua Mia, Adrian langsung pulang ke kampung halamannya di Jawa Timur untuk menyampaikan pesan ayah Mia. Namun semuanya tak sesuai dengan keinginan Adrian. Ayahnya tak merespons baik apa yang ia sampaikan.

"Ayah dan Bunda sebelumnya mengizinkan aku untuk melamar Mia tapi kenapa sekarang ayah mengatakan hal itu?"

"Ayah dan Bunda memang mengizinkan, namun hal itu sebelum kamu membawa kabar ini kan? Atau ada yang salah dari caramu mendekati gadis itu makanya orang tuanya tak terlalu merespons baik niatmu?" Bhisma masih bersikukuh dengan pendapatnya.

"Aku memang baru menemui orang tuanya kemarin lusa."

Bhisma berdecak. "Tentu saja ayah gadis itu membangun tembok tinggi saat menghadapimu. Pasti pria itu kaget tiba-tiba saja ada pria asing datang meminta izin melamar anaknya. Jika ada pria bersikap seperti kamu yang mendekati adikmu. Ayah tentu akan bersikap waspada."

"Sebenarnya bukan cuma hal itu, Yah. Ada hal lain yang memberatkan orang tua Mia."

Bhisma mengerutkan kening tak paham. Akhirnya Adrian membuka suara.

"Mia sakit."

"Sakit?"

"Thalasemia. Kondisinya sering lemah. Ayahnya tidak ingin Mia jatuh cinta pada pria yang salah."

Bhisma terdiam. Masalah yang dihadapi anaknya ternyata lebih rumit.

"Apa kamu sanggup menjalani hidup bersamanya? Bukan hal mudah saat menjalani kehidupan rumah tangga dengan kondisi salah satu diantaranya sakit."

"Aku sudah memikirkan hal itu, Yah. Aku siap. Aku mencintainya."

Bhisma mendesah pelan. Ditatapnya putra sulungnya lekat sebelum kembali berucap, "Menjalani rumah tangga tidak cukup hanya mengandalkan cinta. Dengan kondisi normal saja sudah begitu berat, apalagi dengan kondisi salah satunya sakit. Waktu kamu akan banyak dihabiskan untuk menjaga atau juga merawatnya. Hal itu bukan perkara mudah."

"Aku sudah mengatakannya, Yah. Aku siap."

"Bagaimana dengan kemungkinan mempunyai keturunan? Anak-anak kalian bisa jadi akan seperti ibunya. Apa kamu tega? Apa kamu sanggup? Sekarang kamu bisa mengatakan sanggup. Bagaimana dengan besok atau juga beberapa waktu kemudian. Kamu akan kelelahan dan pada akhirnya menyerah. Pikirkan lagi. Jangan hanya karena kata cinta kamu mengorbankan hidupmu sendiri."

"Aku sudah memikirkan hal itu bahkan sebelum mendekatinya. Aku serius, Yah. Aku harap Ayah dan Bunda merestuiku." Adrian memandang kedua orang tuanya bergantian.

Lara, ibu Adrian mendesah pelan sebelum kemudian berucap, "Sejauh apa hubungan kalian?"

"Ya?" tanya Adrian bingung.

"Sejauh apa hubunganmu dengan gadis itu, Nak. Kenapa kamu begitu berkeras untuk bersamanya? Hubungan kalian tidak terlalu jauh kan?" tanya Lara penuh selidik.

Bukannya apa, bagi Lara membiarkan anak sulungnya menempuh pendidikan jauh dari rumah begitu menakutkan baginya. Bayangan masa lalu dengan sang suami selalu menghantui. Ia khawatir pergaulan anaknya terlalu bebas karena tidak ada seseorang yang mengontrolnya. Meskipun ia berasal dari Jakarta, kota yang saat ini ditinggali Adrian dan kedua orang tuanya juga masih ada, namun Adrian menolak untuk tinggal dengan kakek dan nenek mereka.

"Bunda kenapa kok ngomongnya kayak gitu?"

Lara menggelengkan kepalanya pelan. Ia kembali melontarkan pertanyaan yang sama. "Sudah sejauh apa hubunganmu dengan gadis itu?"

"Begitu dalam hingga kami tak mungkin melepas satu sama lain."

Lara membelalakkan mata. Otaknya seketika membuat kesimpulan atas pernyataan anaknya.

"A... Apa kamu. Apa kamu sudah pernah tidur dengannya?" tanya Lara memperjelas tanpa berusaha memperhalus kata-katanya.

"Sayang," suara pelan Bhisma menginterupsi pertanyaan yang Lara lontarkan.

"Jika iya apa Bunda akan merestui kami?" jawab Adrian yang seketika membuat Lara terperangah. Mulutnya terbuka karena begitu terkejut dan perlahan raut muka wanita itu berubah mendung. Detik berikutnya setetes air mata meluncur begitu saja dari pipinya. Membuat sang suami segera mendekat dan duduk di sampingnya. Pria itu meraih pundak istrinya berusaha menenangkan.

"Sayang, sudah. Jangan terlalu memikirkan hal itu."

"Bagaimana aku tidak memikirkannya. Dia melakukan kesalahan seperti yang kamu lakukan dulu," isak Lara pelan membuat Adrian yang berdiri di ruangan itu merasa begitu terkejut dengan reaksi sang Bunda. Apakah kalimat yang ia ucapkan salah? Ya tentu saja salah. Ia mengatakan jika sudah meniduri anak gadis orang. Pasti hal itu mengecewakan Ibunya.

"Bagaimana kalau sesuatu yang lebih buruk akan terjadi? Aku tidak ingin ada orang yang mengalami bagaimana mengerikannya hidup yang pernah aku alami dulu."

Adrian seketika merasa bersalah setelah mendengar kalimat ibunya. Pria itu seketika mendekat. Duduk dengan bertumpu menggunakan lututnya di depan Lara.

"Bunda aku minta maaf." Diremasnya jemari Lara. Berharap apa yang telah ia katakan tak menyakiti hati ibunya. Membuat ibunya sakit adalah hal yang tak pernah ia inginkan. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahkan sejak ia masih anak-anak.

"Bunda sudah sering kali berpesan untuk menjaga diri kan? Tidak hanya kepada adikmu yang perempuan, tetapi kamu yang seorang laki-laki juga. Batasi pergaulanmu. Kamu masih ingat dengan masa kecil kamu kan? Bagaimana kita hidup susah dan terlunta-lunta. Bagaimana hidup kita saat kita belum bertemu ayah. Semua penderitaan yang kamu alami adalah akibat dari hubungan ayah dan bunda yang tanpa batas. Apa kamu masih mau mengulangi hal itu lagi?"

Adrian menggeleng.

"Ayah dan Bunda sengaja tidak menyembunyikan masalah itu dari kamu juga adik-adikmu. Agar kalian semua tahu, bagaimana berbahayanya pergaulan yang begitu bebas. Tuhan masih berbaik hati mempertemukan kita dengan ayah dan mengurai kesalahpahaman di antara kami. Bagaimana jika hal itu tidak pernah terjadi? Bagaimana jika kita tidak bertemu ayah?" Lara menjeda kalimatnya.

"Kita pasti tidak akan bisa berbahagia seperti saat ini. Kamu juga tak akan pernah tahu siapa ayah kamu yang sebenarnya." Lara terus menerus berbicara. Kerumitan hidup yang ia alami dulu cukup berhenti sampai dirinya. Jangan sampai ada orang lain yang merasakannya.

Kehidupan bebas yang ia jalani dengan Bhisma di masa lalu berbuntut panjang. Ia hamil, di saat bersamaan, terjadi kesalahpahaman di antara dirinya dan Bhisma yang pada akhirnya ia menerima perjodohan yang disusun orang tuanya.

Masalah tak berhenti di sana, dua minggu setelah menikah ia justru diketahu hamil empat belas minggu hingga akhirnya terusir dari keluarganya. Bertahun-tahun ia hidup terlunta-lunta bersama Adrian kecil hingga akhirnya bertemu dengan Bhisma.

"Maafin aku, Bunda. Aku tidak pernah melakukan hal itu dengan Mia atau siapapun wanita di luar sana. Aku masih begitu ingat dengan apapun yang telah kita alami dulu. Aku tidak akan mampu melakukan hal yang sama jika resikonya aku harus melihat anakku kelak menderita seperti aku."

"Apa Bunda bisa mempercayai ucapanmu?"

Adrian mengangguk.

"Berjanjilah untuk tidak pernah merusak siapapun gadis di luar sana. Lakukan hubungan yang benar. Jangan mengambil apapun yang masih belum menjadi hakmu."

"Aku janji," ucap Adrian yang dihadiahi Lara senyuman.

"Lalu bagaimana dengan permintaanku?" lanjut Adrian.

Seketika desah lelah terdengar dari orang tua Adrian.

"Sepertinya kamu harus memberikan izin dan mengabulkan permintaan anakmu, Mas. Lagi pula rumah ini sudah semakin sepi. Aku sudah begitu ingin mendengar suara bayi."

###
Nia Andhika
06052021

Friends. Yang pengin tahu kisah ortu Adrian bisa meluncur ke "Kelam" ya. Versi lengkap ada di dreame/innovel. Yg bingung masalah koin, kalian bisa pecahkan saja tantangannya biar dapat koin gratis. Happy reading.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top