1
Adrian berdecak sebal. Ia sudah memukul klakson berkali-kali melampiaskan kekesalannya namun mobil di depannya tak juga bergerak sedikitpun. Entah apa yang terjadi pada mobil itu hingga membuatnya tak bisa bergerak. Jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan jika ia sudah terlambat lima belas menit. Padahal perjalanan menuju tempat yang ia tuju masih harus memakan waktu paling sedikit lima belas menit lagi.
Dengan terpaksa ia meraih ponsel yang tergeletak di dashboard. Mencari-cari sebuah nama lalu melakukan panggilan. Pada dering ke empat panggilannya mendapatkan respons.
"Dek," sapa Adrian saambil berusaha berkonsentrasi pada kemacetan di depannya. Ia harus bisa keluar dari jalanan yang seolah tak ada sepinya ini.
"Emm.... Aku masih di jalan. Macet banget. Paling cepat lima belas menit lagi aku sampai. Tapi kayaknya aku nggak jamin."
"...."
"Kamu nggak apa-apa nunggu aku di lobi? Aku usahain tiba secepatnya."
"...."
"Okey. Maaf ya sudah buat kamu menunggu. Baik-baik di sana." Adrian menutup panggilan teleponnya. Senyumannya terbit kala dilihatnya ada celah yang bisa membuat kendaraannya maju meninggalkan kemacetan ini meskipun di depan sana ia kembali harus bergerak pelan tapi tak masalah. Setidaknya ia sudah bergerak maju. Ia tak akan terjebak kemacetan terlalu lama.
"Maaf ya. Kamu pasti capek banget nungguin. Hampir satu jam lo." Adrian merangkul tubuh mungil di hadapannya lalu membawanya berjalan menuju lift menuju unit apartemennya.
"Nggak apa-apa kok. Aku bisa melanjutkan tulisanku sambil menunggu kamu datang." Senyum teduh menenangkan itu terbit membuat Adrian tak henti-hentinya bersyukur telah mendapatkan gadis dalam rengkuhannya ini. Gadis manis yang tak pernah menuntut apapun kepadanya.
Perlahan senyum itu menular kepada Adrian. Saat pintu lift tertutup iapun tak membuang waktu untuk menempelkan bibirnya pada gadis itu. Mencecap rasa manis yang selalu membuatnya menginginkan lagi lagi dan lagi.
Dentingan yang merasuk di telinga mereka seketika membuat mereka melepaskan tautan bibir mereka. Beberapa detik berikutnya pintu lift terbuka. Seorang wanita tua memasuki benda persegi itu. Adrian hanya melempar senyum jahil pada gadis yang masih dalam rengkuhannya. Tak rela jika penyatuan bibir mereka terlepas begitu saja namun dibalas dengan gelengan yang tak kalah jahil.
Beberapa saat kemudian pintu lift kembali terbuka. Mereka berdua seketika melesat meninggalkan lift berlari menyusuri koridor sebelum akhirnya menggapai pintu apartemen Adrian.
"Aku sudah bilang, bawa kuncinya. Jika aku tidak ada kamu bisa masuk dan menungguku sambil beristirahat." Adrian menutup pintu kasar. Didorong tubuh kekasihnya hingga menempel di pintu. Tanpa ragu ia kembali menyatukan bibir mereka. Saling melumat tanpa ada jeda sedikitpun.
"Aku benar-benar merindukanmu." Adrian melepas ciumannya berganti merengkuh tubuh mungil itu.
"Akhir pekan ini aku akan menemui orang tuamu," bisik Adrian menghadiahi kekasihnya kecupan di rambutnya.
"Aku sudah minta izin ayah dan bunda. Mereka mendukungku. Jadi berbekal doa dari orang tuaku aku akan menemui orang tuamu."
Semalam Adrian memang baru saja pulang ke kampung halamannya. Ia mengunjungi kedua orang tuanya yang rutin ia lakukan setiap bulan sekaligus mengatakan jika ingin melamar gadis pujaannya. Gadis yang bahkan belum pernah ia perkenalkan kepada kedua orang tuanya. Hanya foto gadis itu saja yang ia tunjukkan kepada mereka.
"Aku takut." Gadis dalam dekapan Adrian mencoba mengurai belitan tangan pria itu. Namun detik berikutnya Adrian mengangkat tubuh mungil itu dan membawanya menuju sofa tak jauh dari pintu apartemen. Mendudukkan di atas pangkuannya.
"Apa yang kamu takutkan?" Adrian menatap lembut gadis di pangkuannya. Mengecupnya sekali lalu lagi, lagi, dan lagi hingga berubah menjadi decapan bibir yang tak bisa terlepas begitu saja. Selalu seperti itu. Adrian tak pernah bisa sedikitpun melepaskan diri dari gadis kesayangannya itu.
"Papa, mama, kedua orang tuamu, juga semua orang," ucap Mia begitu ia bisa melepaskan bibirnya dari milik Adrian.
"Kenapa kamu harus takut pada semua orang?" Adrian mengusap wajah jelita di pangkuannya. Merapikan helaian yang beberapa detik sebelumnya ia remas saat mencium sang kekasih.
"Karena kita berbeda. Kamu pasti belum mengatakan kepada ayah dan bunda tentang siapa aku sebenarnya kan? Jika mereka tahu, pasti mereka keberatan."
"Tidak ada orang tua yang keberatan mempunyai menantu secantik dirimu." Adrian mendaratkan kecupan di mata gadis itu. Ia yakin dengan kalimat yang akan Mia ucapkan setelah ini.
"Cantik? Aku bahkan sepucat mayat. Tubuhku kecil layaknya kurcaci. Untuk bertahan hiduppun aku masih bergantung belas kasihan dari orang lain. Darimu."
Adrian seketika berdecak. "Berhentilah mendramatisir keadaan. Kamu sempurna. Seperti semua orang di luar sana. Bahkan kamu lebih istimewa dari mereka semua."
"Kamu hanya mengasihaniku, Mas," bisik Mia pelan namun justru berefek luar biasa pada tubuh pria di hadapannya.
"Jangan mulai lagi, Mia. Aku sudah mengatakan tak membahas hal itu lagi." Adrian meninggalkan panggilan sayangnya pada Sang kekasih. Pria itu sangat jarang memanggil kekasihnya hanya dengan nama saja. Ia selalu menggunakan Dek sejak pertemuan pertama mereka beberapa tahun lalu.
Pertemuan pertama antara seorang pendonor darah dengan penerima. Adrian yang tidak tahu berapa usia gadis yang akan mendapatkan darahnya itu mengira jika Mia adalah seorang gadis kecil yang masih duduk di bangku sekolah menengah Pertama.
Jangan salahkan Adrian, tubuh Mialah yang sedikit berbeda. Dengan tinggi tak lebih dari seratus lima puluh centimeter dan wajah yang masih bisa dikatakan imut. Wajar jika banyak yang mengiranya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Namun jika dilihat lebih jeli lagi. Ada yang berbeda dari gadis itu. Selain bertubuh kecil, Mia juga terlihat kurus dan juga pucat. Hal yang diakibatkan kondisi tubuhnya yang berbeda dari pada gadis seumurannya.
"Aku takut," bisik Mia pelan.
"Tidak ada yang perlu kamu takutkan. Kita akan melalui semuanya bersama."
"Aku tidak sempurna. Aku tidak mungkin seumur hidup hanya menjadi tanggunganmu. Menjadi bebanmu."
"Tidak ada yang merasa terbebani. Ayolah, kita sudah ratusan kali membahas hal ini. Kita akan bahagia. Meskipun kamu yang sakit bisa saja aku yang mati duluan kan? Kecelakaan misalnya. Usia manusia tidak ada yang tahu. Yang penting kita mengusahakan yang terbaik, berusaha bahagia. Selebihnya kita serahkan pada Yang Diatas."
"Inilah yang membuatku tak bisa berhenti mencintaimu," bisik Mia pelan lalu kembali mengeratkan pelukan. Dari semua ketidakberuntungan dalam hidupnya. Adrianlah salah satu hal yang selalu ia syukuri. Pria yang mengenalnya karena kekurangan yang di milikinya. Pria yang selalu menganggap dirinya sempurna meskipun ia penuh cela.
***
"Kamu tahu konsekuensi dari kalimat yang sudah kamu sampaikan baru saja?" Pria di depan Adrian itu menetap tajam penuh intimidasi. Membuat Adrian menarik napas demi bisa melegakan dadanya. Ia sudah menduga hal ini. Menemui orang tua Mia adalah tujuannya. Ia akan meminta izin untuk melamar putri mereka. Namun tentu saja hal itu tidak mudah. Sedari tadi, setelah ia menyampaikan niatnya, pria baya itu terus menerus mencecarnya dengan berbagai pertanyaan termasuk kondisi Mia.
"Saya tahu, Om. Tujuan saya datang ke sini memang untuk meminta izin melamar Mia. Jika Om mengizinkan, saya akan membawa orang tua saya untuk melamar Mia."
Hening. Tak ada respons.
"Kamu masih kuliah sudah berani melamar anak saya. Mau kamu kasih makan apa kalau uang saja masih menadahkan tangan ke orang tua kamu."
Adrian menahan napas seketika. Lalu berdeham sebelum berucap. "Saat ini saya menempuh program pasca sarjana dan satu bulan lagi saya sudah menyelesaikan pendidikan saya. Selain berkuliah saya juga sudah bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan Mia setelah kami menikah kelak."
Decakan seketika keluar dari mulut ayah Mia.
"Kamu tahu kondisi Mia? Di sakit. Dia tidak akan bisa melayanimu seperti para istri pada umumnya. Malah justru kamu yang akan kerepotan mengurusnya. Apa kamu mampu menjalaninya? Saat ini kamu memang mencintainya. Menaruh harapan besar kepadanya. Namun seiring berjalannya waktu, satu bulan dua bulan, satu tahun, dua tahun. Apa kamu sanggup? Apa kamu bisa menerima keadaannya tanpa merasa iri pada pasangan lain yang berbahagia." Bramantyo memberikan tekanan di tiap kalimat. Seolah-oleh terus-menerus menjejalkan mimpi-mimpi buruk yang akan Adrian alami jika ia bersanding dengan putrinya.
"Saya sudah memikirkan hal itu, Om. Saya datang ke sini karena sudah tahu konsekuensi yang akan saya dapatkan. Saya serius dengan niat saya mempersunting Mia," jawab Adrian yakin. Menjadikan Mia sebagai seseorang yang akan mendampinginya hingga kelak ia menua adalah hal yang menjadi impian Adian. Terlepas dari semua kekurangan gadis itu.
"Saya juga akan mengusahakan pengobatan yang terbaik untuk Mia," lanjut Adrian menambahi.
"Penyakit Mia tidak dapat disembuhkan. Bahkan jika diberikan kesempatan mempunyai keturunan, anak kalian bisa saja mengalami hal yang sama seperti Mia. Apa kamu sanggup melihat hal itu. Menjaga Mia hingga sebesar ini tidaklah mudah. Kami melimpahinya kasih sayang yang tak pernah sedikitpun berkurang. Apa kamu bisa menjaga hatinya agar tidak tersakiti? Agar selalu bahagia? Dia tidak akan bisa mengikuti ritme hidupmu. Waktumu akan banyak dihabiskan dengan berkunjung ke rumah sakit." Pria baya itu masih terus membeberkan fakta-fakta mengerikan putrinya, berharap agar Adrian mundur dari niatnya. Ia tak ingin putrinya jatuh ke tangan yang salah.
"Saya tidak akan mundur, Om. Saya akan berusaha membahagiakan Mia. Meskipun mungkin kami akan sesekali bertengkar atau mungkin sesekali membuatnya bersedih, hal itu akan menjadi bumbu dalam pernikahan. Namun apapun itu saya pastikan Mia akan selalu tersenyum bahagia hingga kami kelak menua bersama."
"Kita lihat saja seberapa serius usahamu untuk membahagiakan Mia."
"Maksud, Om. Om setuju dan merestui hubungan saya dengan Mia?" Adrian menegakkan tubih bersemangat.
"Jangan senang dulu. Bawa orang tuamu ke sini. Saya perlu memastikan Mia berada di tengah keluarga yang tepat."
###
Agak gimana gitu ya?😅😅😅
Tulis deh komen kalian n jangan pelit buat tap bintang.
Nia Andhika
21042021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top