SPECIAL EPILOG FOR YOU
Aku menggeliat kecil dengan mata yang belum terbuka sempurna saat menyadari seseorang tengah menghujani ciuman di dahiku. Perlahan aku membuka mataku, dan mendapati sosok tersangka yang pagi-pagi seperti ini tengah menghujani ciuman itu.
"Pak Jefri?" seruku saat mataku menatap laki-laki yang berbaring di sampingku, tepatnya ia berbaring menghadapku.
"Good morning, my precious wife!" ujarnya seraya mengulum senyum merekah ke arahku.
Rutinitas setiap pagi selama tiga bulan ini. Pak Jefri selalu saja memberi kecupan singkat di kening atau bahkan menghujani ciuman seperti tadi untuk membangunkanku. Tak hanya itu saja, dia juga selalu memberi ucapan selamat pagi dan bangun lebih awal dariku.
Selama tiga bulan ini ia mengejutkanku dengan perlakuan-perlakuan manisnya. Tapi bagaimanapun juga aku belum percaya sepenuhnya, ucapannya saat di depan makam Mama. Aku masih ingin melihatnya, seberapa jauh ia memegang janjinya.
"Kok nggak ke rumah sakit? Bukannya tadi udah bangun ya? Kok malah ikut tidur lagi sih?" tanyaku saat matanya terkunci beberapa menit menatapku. Bibirnya tak henti-hentinya menyunggingkan senyuman.
Ia menatapku tanpa berkedip beberapa detik yang membuat jantungku berpacu tidak normal pagi-pagi seperti ini. Tangannya menyelipkan beberapa helai anak ramputku ke belakang telinga, "Kebetulan nggak ada jadwal praktek. Jadwal visit pasien juga besok," serunya.
Oh iya weekend. Lupa!
"Nggak ngisi seminar? Katanya adiknya Mamat minta Bapak buat ngisi seminar di fakultasnya?" tanyaku lagi.
"Diundur," jawabnya pelan seraya tangannya mengusap-usap jari jemariku lembut, kemudian beberapa detik memberi kecupan disana, "Tadi saya ke dapur, coba masak nasi goreng. Kamu mau cobain?" tawarnya.
"Tumben masak segala pagi-pagi kayak gini? Biasanya juga sarapan jam delapan,"
Ia sontak terkekeh saat raut wajahku sedikit ragu, ragu ia memasak sepagi ini untukku, "Suami masakin istri gak boleh?" tanyanya.
"Yang bilang gak boleh siapa?"
"Ya udah ayo bangun!" ajaknya sembari mulai menegakkan tubuhnya dan beranjak bangun.
Aku perlahan ikut beranjak, mengikuti langkahnya berjalan ke arah dapur, "Bapak kenapa nggak nge-gym? Biasanya kalo weekend kan ke fitness langganan,"
Ia menoleh ke arahku yang tengah berjalan di belakangnya. Perlahan ia mensejajarkan langkahnya denganku, "Minggu depan aja. Hari ini saya mau nemenin istri saya di rumah. Dia gampang kangen kalau saya tinggal,"
"Lebay!" cibirku seraya mengulas senyum miring ke arahnya.
Di ajarin siapa sih modus kayak gini, akhir-akhir ini? Bener-bener bukan Pak Jefri yang gue kenal sebelumnya. Aneh tau nggak?
Ia spontan terkekeh geli saat aku berdecak sebal sembari mendelik ke arahnya. Tangannya lantas sedikit menarikku agar cepat sampai di dapur, "Perutmu masih sakit?"
"Udah lumayan nggak sakit," jawabku seadanya.
"Hari ke berapa?" tanyanya lagi seraya melirikku sekilas.
"Tujuh. Hari ini udah selesai. Kenapa?" aku menatapnya heran saat Pak Jefri tiba-tiba menanyakan hari ke berapa aku datang bulan.
Aku semakin mengernyitkan dahiku saat mendapati ia tengah mengangguk-anggukan kepalanya seraya mengulas senyum tipisnya, "Emang ada apa, sih?"
"Nggak papa. Lain kali aja,"
"Apanya yang lain kali?"
"Nggak usah dipikirin. Ayo makan!"
Aku mengerucutkan bibirku saat ia tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Tangannya kini tengah menuangkan nasi goreng buatannya ke piringku dan piringnya secara bergantian dengan hati-hati.
Aku mengambil duduk di kursi samping Pak Jefri. Mataku meliriknya sekilas dan mendapatinya tengah menyendok nasi goreng miliknya.
"Beneran ini nasi goreng buatan Bapak?" tanyaku ragu sembari mendekatkan piring berisi nasi goreng ke hadapanku.
"Ya menurut kamu? Siapa yang buat? Kucing kamu? Mana bisa dia?" serunya sembari menyunggingkan senyum miring.
"Ya nggak usah nyindir Badak. Kucing mana bisa masak nasi goreng? Ngadi-ngadi jadi orang!" gerutuku saat Badak yang tidak salah apa-apa dibawa-bawa dalam pembicaraan.
Aku lantas melirik objek yang baru saja disindir Pak Jefri. Badak, kucingku yang selalu menjadi prioritas nomor satu ketika aku di rumah. Ingat ya? Badak yang jadi prioritas. Bukan Pak Jefri.
Sudut bibirku tertarik saat melihatnya tengah bermain di lantai. Dan sesekali dia menggesek-gesekkan tubuh gembulnya di kakiku yang tengah duduk di ruang makan.
Mataku beralih lagi ke arah nasi goreng yang ada di hadapanku. Tanganku perlahan menyendok makanan itu secara perlahan, "Enak," gumamku pelan. Pelan sekali, sengaja agar Pak Jefri tak mendengarnya.
"Nggak yakin ini buatan Bapak,"
Ia tersenyum miring seraya mulutnya masih mengunyah nasi goreng miliknya, "Kenapa? Kamu ketagihan sama masakan saya? Suami kamu jarang masak. Sekali masak, rasa restoran bintang lima?"
Shit! Baru aja gue puji perlakuannya manis. Sekarang ngajak berantem lagi. Pengen gue tabok palanya. Tapi itu suami gue.
"Sombong banget. Paling juga beli di depan komplek, nasgornya. Atau nggak, pasti minta resep Umi,"
Aku berdecak sebal sembari mendelik ke arahnya. Dan ia lagi-lagi hanya terkekeh geli. Seolah-olah ia menang, menggodaku. Tahan-tahan!
Usai beberapa sendok menghabiskan nasi goreng yang katanya masakan seenak di dunia itu. Aku lantas mengambil buah apel untuk kugunakan sebagai pencuci mulut setelahnya. Sembari memakan buah itu, mataku memperhatikan ia yang tengah sibuk mengunyah makanannya. Suamiku ganteng juga kalau dilihat.
🌸🌸🌸
"Ayana," panggil Pak Jefri tiba-tiba ke arahku yang tengah bermain bola kecil dengan Badak di lantai.
Aku spontan menoleh ke arahnya dan mendapatinya tengah keluar dari kamar mandi dan perlahan berjalan mendekatiku, "Hm?" gumamku seraya mengerutkan dahiku.
"Jangan diulangi lagi!"
"Apa?"
Ia mengambil tanganku dan memakaikan cincin pernikahan yang baru saja aku tinggalkan di wastafle kamar mandi karena licin jika kupakai saat mandi, "Cincin kamu. Tadi saya lihat cincin ini di tepi wastafle kamar mandi. Kalau jatuh gimana?"
"Maaf, tadi saya lepas cincinnya sebentar pas mau mandi. Jadi saya taruh disana dulu."
"Nggak usah keseringan dilepas. Saya nggak mau kejadian beberapa bulan lalu terulang lagi. Kamu pelupa, bilangnya di meja belajar, nggak taunya kamu taruh di sembarang tempat. Ketemunya di slinding wardrobe," pesannya padaku.
Ya kan dulu gue takut tangan gue ngerusak cincinnya makanya gue lepas.
"Kalau bukan kamunya yang sering lupa naruh barang, naruh cincin di sembarang tempat." Lanjutnya lagi yang masih memperingatiku untuk tidak menaruh cincin pernikahan sembarangan.
"Iya maaf,"
Manik-manik matanya menatapku dalam. Jari jemarinya menangkup di wajahku, "Ya udah. Jangan diulangi!"
Aku mengangguk, mengingat pesannya yang baru saja terlontar dari mulutnya. Jari-jemarinya menarik pergelangan tanganku agar mengikutinya ikut berbaring di ranjang.
Pukul sembilan malam seperti ini Pak Jefri memang terbiasa membaca buku dan bersandar di sisi ranjang. Tidak tau apa yang ia baca. Sedangkan aku? Tau kan kebiasaan yang sering aku lakukan sampai tengah malam kalau weekend? Iya, maraton Drakor atau menonton reality show.
"Pak," panggilku seraya meliriknya sekilas yang tengah membolak-balikkan lembar demi lembar buku yang ada di tangannya.
"Saya mau kamu ganti panggilan itu. Jangan panggil 'Pak' terus! Nggak pantes." jawabnya tak menatapku dan masih fokus dengan buku yang ia baca.
"Emang kenapa sih nggak boleh manggil 'Bapak'? Terus minta dipanggil apa? Abang?"
Ia melirikku sekilas. Bukan. Lebih tepatnya mendelik ke arahku, "Nggak cocok," gerutunya sebal saat aku memanggilnya dengan sebutan itu.
"Akang?"
"Mamang?"
"Abah?"
Ia semakin melebarkan bola matanya saat jenis-jenis panggilan tadi aku sebutkan satu-persatu. Spontan tangannya menarik ujung hidungku sampai membuatku meringis karena tarikannya yang kuat. Sial!
"Terus apa?" ucapku reflek ikut melotot ke arahnya karena sebal dengan perlakuannya.
"Mas," serunya pelan.
"Panggil 'Mas' atau saya tidak akan pernah membelikan album kesukaan kamu lagi," ancamnya seraya mengulas senyum miringnya ke arahku.
Aku berdecak kesal saat ia lagi-lagi mengeluarkan ancamannya. Ancaman yang membuatku tidak bisa memilih dari keduanya, "Gak asik, pakek ngancem segala,"
"Ya udah, berarti tidak ada beli-beli album atau semacamnya selama beberapa tahun," serunya seraya melirikku sekilas dan tampak menahan senyumnya saat aku mengerucutkan bibirku, sebal dengan ancamannya.
Bola mataku berputar, menandakan malas berdebat dengannya, "Iya Mas," jawabku mengalah.
Ia terkekeh lagi saat aku memutuskan untuk mengalah dan mengganti panggilanku tanpa embel-embel 'Pak' lagi, "Udah, puas? Belikan album sekarang!" tagihku di tengah-tengah kekehannya.
"Ya nanti. Gak bisa langsung nagih sekarang. Kamu baru pertama kali manggil saya dengan sebutan itu,"
"Sekalian sama Lightstick ya?"
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya cepat seraya mendengus pelan, "Gak usah. Pakai pen light punya saya aja,"
"Ck! Kok bisa-bisanya nonton konser suruh bawa pen light dokter," decakku seraya memberengut kesal dengan ucapannya.
"Bercandanya garing, Ah!" timpalku sembari menyilangkan kedua tanganku di dada.
"Siapa yang bercanda?" tanyanya melirikku seraya menahan senyumnya yang sedari tadi ingin mengembang.
"Tau ah!" gerutuku tak mempedulikan pertanyaannya.
Sorot tajam mataku menatapnya sekilas dan beberapa detik kemudian beralih menatap laptop yang ada di hadapanku. Dari pada aku terus berdebat dengannya yang tidak penting. Lebih baik kan aku nonton reality tv show Korea.
"Ya udah oke. Bulan depan saya belikan. Bulan ini saya ada pengeluaran banyak." tuturnya mengalah kemudian.
Spontan aku mengehentikan aktivitasku, dan mataku beralih menatapnya, "Bener?"
"Pasti bercanda. Muka kayak Bapak ... maksud saya Mas, kan nggak pernah serius. Beneran mau beliin? Halah .... Paling nanti ujung-ujungnya juga ngancem lagi," gerutuku yang masih tidak percaya dengan ucapannya.
"Tidak ada pengulangan kalimat," jawabnya tanpa melihatku dan masih fokus dengan bukunya.
Bibirku mengerucut saat mendengar ucapan yang baru saja keluar dari mulutnya, "Ya udah saya anggap beneran," tegasku tanpa meminta persetujuannya lagi.
Manik-manik mataku kemudian beralih menatap laptop lagi. Dan fokus menonton Busted, salah satu Reality Show yang sering aku tonton berkali-kali akhir-akhir ini. Kenapa? Tidak lain dan tidak bukan karena ada Sehun.
"Itu siapa?" celetuknya tiba-tiba ke arahku seraya ikut menatap layar laptop yang ada di hadapanku.
"Mana?"
Ia menunjuk salah satu seseorang yang ada di frame layar laptop, "Itu yang pakai jas abu-abu. Rambutnya panjang,"
"Park Min Young?"
"Cantik," pujinya singkat sembari matanya masih ikut fokus menatap layar laptopku.
"Mirip saya kan?"
Gelak tawanya pecah saat aku baru saja berucap. Tawanya seperti tawa ejekan, "Kok ketawa?" tanyaku seraya mengernyit.
"Tingkat percaya diri kamu terlalu tinggi," jawabnya seraya masih terkekeh pelan.
Sialan!
Mataku mendelik ke arahnya, mengisyaratkannya untuk berhenti menertawakanku, "Ya emang saya mirip Park Min Young. Sama-sama cantik. Mas aja yang nggak mau mengakui kalo saya cantik,"
Aku memberengut kesal lagi saat ia tak berhenti untuk tertawa. Lebih tepatnya menertawakanku. Padahal tidak ada yang lucu sama sekali. Dia aja yang aneh. Kadang bersikap manis, kadang juga bersikap seperti ini. Menyebalkan jadi orang.
Dreett .... Dreett .... Dreett ....
Suara ponselku bergetar menandakan terdapat beberapa notifikasi dari twitter. Aku lantas mengambil ponselku yang ada di atas nakas samping tempat tidur, dan membaca notifikasi-notifikasi yang masuk.
@monsterpemikatwanita
Percuma suka Korea. Muka plastik kok dipuja-puja. Plastik mana bisa tumbuh kumis?
@panggilyangajayak
Gedek banget sama yang suka Kpop. Nggak cinta sama negara sendiri.
@abdlastzytzh
Oh pantes, AVA Korea. Pasti aslinya burik.
@susantocowokkeren15
Ilfill banget gue kalo ada temen gue yang suka Kpop. Lebay banget. Dikit-dikit alay. Kayak punya idola sendiri aja.
@saepulgantengbanget123
Aslinya cantik sih. Cuma dia suka Korea. Skip aja.
Aku menghela napas panjang saat tanganku perlahan menggeser ke bawah layar ponselku untuk membaca beberapa notifikasi Twitter yang aku sendiri tidak tau kenapa mereka sering sekali memberikan kata-kata yang menyakitkan dan menohok untuk sekedar dibaca saja. Lagi-lagi, hobi menjadi masalah buat mereka. Padahal, tidak ada yang menggangu hobi mereka. Kenapa mereka harus terganggu dengan apa yang aku sukai?
"Pak," aku menatap Pak Jefri yang masih fokus membaca buku di sampingku.
"Pak?" tanyanya seraya mengerutkan dahinya beberapa detik sembari melirikku sekilas. Dan tak lama kemudian, tanpa aba-aba pandangannya beralih ke bukunya lagi.
Ini lagi Si Geblek. Mau dimintai pendapat malah masih saja mempermasalahkan panggilannya.
Aku menghela napas panjang sembari menatapnya malas, "Iya, maksud saya Mas!" koreksiku ketus.
Tawanya pecah saat melihatku menggerutu tidak jelas di sampingnya, "Kenapa?"
"Mas risih juga ya kalau saya suka Kpop?" tanyaku to the point ke arahnya. Berharap jawaban dia jawaban paling normal dan masuk akal. Tidak seperti biasanya. Yang selalu saja mengajakku bertengkar mempertahankan egonya masing-masing.
Dahinya berkerut saat menatapku, memintaku memberi penjelasan lebih, "Maksudnya?"
"Saya sering banget baca status orang-orang yang memandang sebelah orang yang suka Kpop di sosial media. Secara tidak langsung saya juga termasuk seseorang yang dipandang sebelah mata sama mereka. Karena saya juga suka oppa-oppa," paparku pelan memberitahunya.
Ia hanya mengangguk-anggukan kepalanya mengisyaratkan mengerti apa yang aku maksud. Matanya yang menatapku kini beralih menatap bukunya lagi. Tanpa menjawab pernyataan yang sudah kupaparkan.
Lah, malah dicuekin!
"Mas," panggilku lagi saat ia tengah fokus dengan bukunya.
"Hm?" ia hanya membalasnya dengan gumaman singkat saat tanganku sengaja memainkan salah satu lengannya agar meresponku.
Karena terlalu fokus dengan bukunya, sampai-sampai ia bahkan membiarkan kepalaku bersandar di pundaknya dan sesekali menggoyang-goyangkan lengannya, "Mas kenapa nggak ikut-ikutan ngelarang saya suka Kpop? Kenapa malah mau beliin saya album. Padahal kan itu nggak penting buat Mas,"
Ia melirikku sekilas seraya menyatukan alisnya yang tebal itu, "Memangnya kenapa saya harus melarang hobi yang kamu sukai? Kalau kamu bisa ambil sisi positif dari hobi kamu. Ya saya tidak akan pernah melarang," jawabnya memberi penjelasan.
"Kamu juga kan nggak pernah melarang hobi saya. Kenapa saya harus melarang hal-hal yang kamu sukai?" tambahnya lagi seraya salah satu tangan kanannya mengusap-usap pucuk kepalaku.
Aku menatap bola matanya intens ditengah-tengah helaan napas panjangku, "Tapi kenapa mereka benci dan memandang sebelah mata, seseorang yang suka KPOP? Seolah-olah yang suka Korea itu nggak pernah ada benernya?"
Ia mengulum senyum tipis seraya menarik tubuhku mendekat ke arahnya, "Ya udah nggak usah didengerin," jawabnya lembut.
"Tapi seharusnya jangan—" ucapanku terpotong olehnya sebelum aku mengutarakan kalimatku lagi.
"Yang penting saya percaya sama kamu. Hobi kamu bisa buat kamu lebih bisa memaknai hidup. Kamu bisa ambil sisi positifnya. Terus apa salahnya?"
Tangannya mengacak-acak pucuk kepalaku pelan, dan sesekali memberi kecupan disana, "Semua hobi ada sisi negatif dan positifnya, Ayana. Kamu kan sudah dewasa. Tau mana yang baik kan? Jadi saya minta, yang negatif jangan diambil. Yang positif ambil," tegasnya kemudian.
"Saya tau kamu suka Kpop buat menghindar sementara dari masalah-masalah kamu. Dari banyaknya kesedihan yang kamu pikul sendiri. Tante Ratna sudah cerita ke saya,"
"Pak Jef—"
Ah, shit! Lupa.
Tanganku perlahan melingkar di pinggangnya, dan tanpa izin menenggelamkan kepalaku di dada bidangnya, "Maksud saya, Mas nggak marah? Nggak ilfill kayak orang-orang?"
"Siapa yang bilang saya marah? Cuma .... Kamu harus tau waktu, tau aturan juga. Kalau album sudah terlalu banyak. Jangan suka beli-beli terus," tuturnya lagi.
"Boleh beli. Tapi diprioritaskan kebutuhan yang terpenting dulu. Kalo ada tabungan lebih. Baru bisa beli album atau hal-hal kesukaan kamu lainnya,"
"Kalau ada orang yang bilang tentang seseorang yang suka KPop itu buruk, jijik, dan lain sebagainya. Ya nggak papa. Itu hak mereka buat komentar. Mungkin mereka nggak tau di balik seseorang suka hobinya itu ada hal tersembunyi apa. Makanya mereka cuma memandang sebelah mata, Istriku, paham?"
Aku mengangguk pelan, menyetujui beberapa rentetan kalimat meneduhkan ini baru saja keluar dari mulutnya. Bahkan sebelumnya aku tidak menyangka ia akan memaparkan kata-kata yang membuatku seakan percaya diri dengan hal-hal yang aku sukai.
"Jadi diri sendiri aja. Jadi Ayana istri Jefri yang suka ngegas, galak, suka bantah suami, tapi hatinya malaikat," tambahnya lagi seraya terkekeh geli.
"Bisa aja, Sholihin!" cibirku saat ia memulai menggodaku lagi.
"Mas tetep jadi suami Ayana kan sampai kapanpun? Jadi Bapaknya Badak. Jangan suka musuhin Badak. Apalagi kayak minggu lalu, Ayana tidur sama dia. Mas main pindahin dia sembarangan tidur di lantai. Cuma gara-gara dia tidur di ranjang yang biasanya Mas gunakan untuk tidur," protesku mengingat-ingat kejadian Minggu lalu.
Ia hanya terkekeh geli. Bukannya meminta maaf, malah memasang wajah tanpa berdosa. Untung Badak, adalah hewan yang mempunyai peri kehewanian.
"Saya boleh tanya ke Mas?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Ia melonggarkan pelukannya dan kemudian membalas pertanyaanku dengan anggukan kepala, "Soal Amira, Mas udah bener-bener melupakan dia?" pertanyaan ini masih terbesit di otakku sampai sekarang. Dan ingin mendengar jawaban darinya.
Ia menatapku dalam. Bibirnya tertarik menyunggingkan senyum tipis ke arahku, "Ayana, saya punya masa lalu. Kamu juga punya masa lalu yang berbeda. Saya dulu sempat sulit untuk melupakan masa lalu saya,"
Ia berdehem pelan sebelum melanjutkan lagi kalimatnya. Matanya masih terkunci ke arahku, "Di laut. Usai kamu dan saya bertengkar. Saya menemukan kamu dalam keadaan pingsan dan lemah. Kamu tau yang saya rasakan waktu itu?"
Ia menjeda kalimatnya beberapa detik saat tangannya bertengger di wajahku, dan menangkup disana, "Amira dan kenangannya benar-benar mulai memudar,"
"Saya merasa bersalah sama kamu. Saya panik. Saya khawatir. Dan saya takut kehilangan kamu," jelasnya lagi.
"Waktu kamu pergi meninggalkan saya tiba-tiba, saya bingung. Saya makin merasa bersalah. Bukan cuma merasa bersalah sama kamu, tapi juga sama keluarga saya. Dan Mama kamu. Terlebih, Tante Ratna sudah menceritakan semuanya tentang trauma kamu dan Papa kamu. Saya benar-benar merasa bersalah,"
Bibirnya tersenyum tipis dan kemudian kembali menarikku dalam pelukannya, "Jadi tolong, saya minta sama kamu. Jangan pernah ragu lagi untuk melanjutkan pernikahan ini, meskipun pernikahan ini dulunya atas dasar perjodohan,"
Aku sedikit menghela napas lega. Setidaknya pertanyaan yang selalu berlarian di otakku kini terjawab, "Saya takut Mas bakalan sama seperti Papa. Makanya saya berpikir kalau rumah tangga Ayana bakalan sama kayak Mama,"
"Saya laki-laki biasa. Tidak ada kata sempurna dalam diri saya. Cantik, tampan, tubuh ideal, pintar akademik, itu bahkan tidak menjadi tolak ukur seseorang itu sempurna," imbuhnya lagi yang membuat bibirku tertarik lebar.
"Saya akan berusaha jauh lebih baik dari Papa kamu. Nggak perlu ada yang perlu dikhawatirkan. Apapun masa lalu kamu. Yo're my dearest wife,"
"Saya tetap akan mencintai kamu. Masalah apapun yang ada dalam diri kamu, kamu harus berbagi sama saya. Tidak ada yang perlu disembunyikan. Nothing is not for you, Babe!"
Spontan aku melepaskan pelukanku dan menatapnya tak percaya, saat ia melontarkan kalimat terakhirnya, "KESURUPAN KAN?"
Ia ikut mengerutkan dahinya saat aku tiba-tiba melepaskan pelukanku, "Kesurupan apa?"
"Dikit-dikit gombal sekarang. Kayak anak ABG pacaran,"
"Pacaran sama istri kan legal mau ngapa-ngapain," jawabnya enteng.
"Emang mau ngapain?"
Ia memutar bola matanya malas, dan beralih mengambil bukunya lagi yang sempat ia baca tadi, "Capek juga ngode kamu. Nggak peka!"
🌸🌸🌸
Dah ya? Segitu dulu. Terima kasih sudah menunggu epilog yang tidak jelas ini wkwkwk
Coba voting mana
Team extra part?
Team mini sekuel?
Kalo extra part ya mungkin aku update 2-3-4 lah part buat extra part nya. Ya masak sampe 10 part. Mana ada. Jarang juga extra part banyak wwkkw
Kalo mini sekuel, mungkin aku update dengan konflik yang ringan dari konflik ini. Soalnya kan konflik ini berat njirr tentang trauma juga wkwk sampe gw pusing mikirin wkwk. Kalo sekuelnya gak berharap lebih, cuma konflik ringan berisi rumah tangga mereka setelah mereka punya buntut wkwk.
Yaudah gosah banyak bacot gw nya wkwk terima vote dan komen wkwk see you .... Kapan kapan...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top