BAGIAN 9 - SARAPAN BARENG BADAK

Aku mengeliat kecil saat mendengar suara alarm yang ada di ponselku. Tanganku meraba-raba nakas yang ada di samping ranjang, karena aku meletakkan ponselku disana. Perasaan baru satu jam tidur alarm udah bunyi aja. Ya, salahku juga sih tidur terlalu larut malam. Kebiasaan tengah malam overthinking yang tidak berguna.

Perasaan semalam aku memasang alarm pukul 3 pagi tapi yang terdengar pukul setengah 5 pagi. Nggak pernah sesekali pasang alarm langsung bangun. Pasti bunyi ke empat, atau kelima baru bangun. Ya, tidak apa-apa deh setidaknya hari ini sudah berusaha bangun pagi meskipun pasang alarm setiap sepuluh menit sekali kadang tidak berguna. Aku lantas segera beranjak dari tempat tidurku. Wait! Wait! Wait! Ini tangan siape nih! Aku merasakan tangan kekar memeluk pinggangku layaknya sebuah guling.

Aku segera mengumpulkan sisa-sisa nyawaku untuk bangun. Berkali-kali aku mengerjap-kerjapkan mataku. Tapi tangan yang ada di pinggangku tidak bergerak sama sekali dan masih bertengger disitu.

Anjirrrr! Jangan-jangan semalem Pak Jefri ngapa-ngapain gue. Enggaakkkk!

Aku segera menyingkirkan lengan Pak Jefri dari pinggangku dan memukulnya berkali-kali dengan guling yang aku pegang sekarang. Bisa-bisanya cari kesempatan dalam kesempitan. Bikin pagi-pagi nggak mood aja.

Kurang ajar Lo Badak!

"Arrgkkkkhhh! Kamu ngapain mukul saya?" Pak Jefri tiba-tiba terbangun dari tidurnya saat aku berulang kali memukul wajahnya dengan guling.

"Bapak mau grepe-grepe saya,"

Mata Pak Jefri membulat sempurna saat mendengar jawabanku, "Siapa yang mau grepe-grepe kamu." jawabnya nyolot.

"Ngaku aja! Bapak mau cari kesempatan dalam kesempitan pas saya tidur kan?"

"Saya nggak ngapa-ngapain kamu." masih dengan pembelaannya.

"Tadi tangan Bapak meluk saya,"

"Kapan?"

"Tadi pas Bapak masih tidur,"

"Berarti saya nggak sengaja." jawabnya enteng.

"Enak aja, nggak sengaja nggak sengaja. Kemarin mata saya yang ternodai sekarang pinggang saya yang ternodai. Besok apalagi?"

"Tanggung jawab Pak!" teriakku ke arah Pak Jefri.

"Tanggung jawab apa? Saya nggak salah apa-apa." ucapnya dengan nada pembelaan lagi.

"Pokoknya Bapak harus tanggung jawab."

"Terserah kamu, cepetan sholat shubuh ini udah siang. Nggak usah banyak ngomong. Saya mau ke kamar mandi."

Aku berdiri di depan pintu kamar mandi untuk menghalangi tubuh Pak Jefri, "Nggak bisa!"

Pak Jefri mengerutkan dahinya dan menatapku tajam, "Nggak bisa apanya?"

"Saya duluan yang ke kamar mandi."

"Saya,"

"Nggak. Pokoknya harus saya soalnya saya wajib membersihkan dosa-dosa bekas lengan Bapak habis grepe-grepe saya."

"Saya tidak peduli. Minggir!" ucapnya seraya tangannya menyingkirkan tubuhku yang menghalangi pintu.

Karena tubuh Pak Jefri lebih besar dariku, ia yang berhasil masuk terlebih dahulu ke kamar mandi. Sedangkan aku hampir terpental jatuh tersungkur di atas lantai gara-gara Pak Jefri menarik lenganku kencang.

🌸🌸🌸

Aku berjalan di belakang Pak Jefri yang menuruni anak tangga menuju ruang makan. Gara-gara terlalu berlama-lama memperdebatkan hal-hal yang tidak penting, jadinya jam tujuh pagi baru keluar kamar.

Di ruang tamu sudah ada Abinya Pak Jefri dan Tante Rizka yang sudah mengambil duduk berdampingan. Mereka tampak bersendau gurau. Tidak tahu apa yang mereka bicarakan sampai keduanya terlihat tertawa ringan. Tante Rizka pernah bercerita, kalau Abinya Pak Jefri memang sering sekali menggoda Tante Rizka dan mengajaknya bercanda. Bisa dikatakan hampir tiap hari. Selera humornya kadang membuat Tante Rizka nyaman memiliki suami beliau. Berbeda dengan anak tunggalnya yang--Ah, sudahlah tidak usah dibahas. Malas membahas keburukan Si badak lagi.

Menantu macam apa aku ini? Bukannya membantu mertua menyiapkan makanan untuk sarapan malah ribut sama Pak Jefri di kamar hanya gara-gara rebutan kamar mandi. Pak Jefri juga udah tua nggak mau ngalah.

Saat ini Pak Jefri mengambil duduk di sampingku. Itu artinya aku duduk di depan Tante Rizka dan Pak Jefri duduk di depan Abinya. Kalau dilihat-lihat muka Pak Jefri nggak ada mirip-miripnya sama orang tuanya.

Anak siape lu?

"Mentang-mentang pengantin baru. Bangunnya siang begini. Gimana tadi malam? Bukunya udah dibaca kan, Ay?" cibir Tante Rizka.

Aku membulatkan mata sempurna. Gara-gara Tante Rizka membahas buku itu lagi jadinya selera makanku berkurang. Apalagi buku-buku yang judulnya intim--Ah gak tau, sudahlah tidak perlu dibahas disini. Membaca judul-judulnya saja membuat otakku berpikir keras apalagi membaca isinya. Ya walaupun, aku juga pernah membaca novel dewasa tapi sekarang situasi dan kondisinya berbeda. Ah---tidak tahu tidak usah dibahas lagi.

"Be-belum Tante." jawabku seadanya.

"Jadi kamu sama Jefri langsung aja gitu tanpa panduan? Apa Jefri yang ngajarin." celetuk Tante Rizka lagi. Sampai-sampai Abinya Pak Jefri ikut terkekeh.

Ya Gusti! Panduan apaan?

"Mi!" Pak Jefri menatap tajam ke arah Tante Rizka yang dari tadi menggodanya dengan pembahasan-pembahasan yang cukup sensitif untuk dibahas. Sedangkan Tante Rizka yang ditatap anak tunggalnya itu hanya memasang wajah tanpa berdosa.

"Nggak papa deh, pokoknya sering-sering aja. Soalnya Umi pengen cepet-cepet gendong cucu. Semoga tahun ini isi ya?"

Apanya yang sering-sering!

"Kamu harus usaha yang keras Lo Jef, biar istrimu cepet isi."

Gak kuat gue lama-lama disini! Mau pergi ke Pluto aja.

Pak Jefri dan aku langsung membulatkan mata sempurna. Ini di meja makan tapi pembahasannya udah meleber kemana-mana.

"Tau nggak, Bi? Kemarin malam Umi diusir Jefri pas mau ngasih buku ke Ayana."

"Oh iya?"

"Katanya Umi ganggu dia berduaan." goda Tante Rizka lagi. Tante Rizka benar-benar patut diacungi jempol kalau urusan menggoda anaknya. Sampai Pak Jefri tidak bisa membantah sama sekali. Padahal tadi malam jelas kenyataannya tidak begitu.

Pak Jefri melotot ke arah Tante Rizka, "Umi!" ucapnya mengisyaratkan Tante Rizka agar tidak meneruskan pembahasan yang tidak-tidak disini.

"Iya iya Umi minta maaf. Ayana, Jefri siapin makanan di piringnya ya? Itung-itung belajar." pintanya ke arahku.

"Iya Tante,"

"Loh kok masih panggil Tante. Kamu kan menantu Umi. Panggil Umi aja."

"Iya Umi," Aku mulai mengambil nasi dan menuangkannya ke piring Pak Jefri.

"Nasinya kebanyakan." protesnya.

Aku mengerutkan dahiku. Perasaan tidak begitu banyak nasi yang aku tuangkan di piring. Aku lantas mengurangi nasinya sedikit sesuai permintaan Pak Jefri.

"Itu terlalu sedikit. Mana kenyang perut saya kalau kamu kasih segitu." protesnya lagi.

Anjirr nih orang! Ngerepotin gue aja.

Aku menghela napas kasar. Sabar Ayana! Untuk kali ini sabar dulu. Tapi rasanya tanganku tidak tahan untuk menyayat wajahnya. Ingin rasanya menjambak wajah Pak Jefri yang ada di sampingku. Tapi tidak bisa dilakukan sekarang karena ada Abi dan Uminya. Tidak bisa sekarang tidak apa-apa. Besok-besok kalau banyak maunya sleding aja.

Aku terpaksa menambahkan lagi sedikit nasi di piringnya, "Segini?"

"Nah, cukup."

Cukup cukup pala lu! Bedanya apa sama yang pertama Badak! Bikin orang darah tinggi aja pagi-pagi.

Aku menuangkan air putih ke gelas Pak Jefri yang masih kosong. Setelah itu, Aku mengambil beberapa sayur dan ikan goreng untuk dituangkan ke piring Pak Jefri.

"Saya tidak suka ikan-" protesnya lagi. Lagi-lagi protes. Lama-lama gue iket leher lu pakek kabel.

Sabar Ay! Nanti kalau banyak maunya tebas aja kepalanya sekalian, "Terus mau yang mana?" aku berusaha mengumpulkan stok kesabaran yang sudah diobrak-abrik Pak Jefri.

"Ayam," jawabnya singkat.

Aku mengambil ayam bumbu kecap untuk dituangkan di piring Pak Jefri. Usai meladeni Tuan Raja Badak yang terhormat. Aku mengambil nasi dan beberapa lauk yang akan ku tuangkan ke piringku. Sekarang giliranku mengambil makanan. Aku mengambil secukupnya saja. Meskipun terkadang porsi makanku bisa lebih dari ini. Tapi 'kan tidak sopan di rumah orang makan banyak terus.

"Ayana?" panggil Tante Rizka ke arahku.

"Iya Tante?"

"Eum, Maksud Ayana Umi."

Tante Rizka terkekeh pelan, "Umi bersyukur kalian sudah menikah."

Saya yang nggak bersyukur Tante!

"Jefri itu susah banget dijodoh-jodohin dulu. Kadang kan Umi kasihan sama dia nggak ada yang ngurusin. Jadi Umi sering tawar-tawarin ke temen Umi ada yang mau besanan nggak!"

"Terus pas udah nemu yang menurut Umi cocok eh ternyata Jefrinya yang nggak mau. Katanya mau cari sendiri. Tapi nggak cari-cari. Makanya Umi paksa dia kemarin biar mau nikah sama kamu. Meskipun kalian baru kenal tapi Umi yakin nanti juga tumbuh sendiri cintanya."

Ngakak banget sama Emaknya Pak Jefri, nawarin anak udah kayak nawarin batagor aja. Tuhan memang maha adil ya? Pak Jefri dianugerahkan wajah yang terbilang ya good looking sih, tapi tidak pandai mencari pasangan. Apa-apa tidak cocok, apa-apa tidak suka. Gitu terus sampai kelamaan jadi bujang lapuk.

Aku hanya menanggapi cerita Tante Rizka dengan senyuman. Tidak tahu mau merespon apa. Lagi pula nanti kalau aku merespon yang aneh-aneh, bisa-bisa badak liar di sampingku langsung murka. Tau sendiri bagaimana kalau dia marah?

"Kamu hari ini masih cuti kan, Jef?" tanya Abinya Pak Jefri.

"Masih," jawabnya singkat dan masih sibuk menyendok makanan yang ada di depannya.

"Kamu cuti berapa hari?"

"Dua hari,"

"Berarti lusa kamu bawa Ayana ke rumah kamu?"

"Hm,"

Udah kayak barang aja gue dibawa kesana-sini.

"Ayana mulai kuliah kapan?" Sekarang giliran aku yang ditanya Tante Rizka.

"Besok Umi jam 8 pagi."

"Biar besok Jefri aja ya yang ngantar kamu? Kamu tidak usah naik kendaraan umum."

Pasti nih Badak besok juga gak ikhlas nganter!

Bersambung...

Malang 29 Juni 2020

🌸🌸🌸

Ini udah panjang yak part segini. Makasih udah baca sampai pak Jefri nikah wkwkw. Jangan lupa vote terus komen dibawah sama yang belum follow silakan follow dulu biar nggak ketinggalan update cerita Pak Jefri.

Sampai jumpa besok jangan lupa tetep jaga kesehatan. Abaikan typo dan kesalahan kalimat soalnya kadang author khilaf. Khilaf Mulu wkwk

See you.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top