BAGIAN 54 - AKHIR CERITA YANG MENJADI AWAL
AYANA POV
Dua hari yang lalu aku menghindar lagi dari dia, saat aku berniat mengambil surat nikah dan kartu keluarga sebagai persyaratan perceraian. Dia sempat mengejar dan menahanku berkali-kali, namun aku berhasil menghindar darinya.
Sopir taksi yang aku tumpangi melaju cepat yang membuatku berhasil menghindar. Sedangkan mobil Pak Jefri yang ada di belakangku kehilangan arah. Aku menyuruh sopir taksi tersebut cepat-cepat melewati jalan pintas saat mobil Pak Jefri tertinggal di belakangku.
Usai insiden itu, aku tidak tau lagi kabarnya seperti apa. Aku masih tidak ingin bertemu dengannya. Aku takut. Takut kalau semisal dia melakukan kesalahan yang sama lagi. Sampai sekarang ia tak henti-hentinya menghubungiku lagi. Tapi aku sengaja tidak ingin mengangkatnya.
Aku menempelkan kepalaku di atas meja dengan kedua tangan sebagai bantal. Kepalaku semakin tenggelam diantara bantalan kedua tanganku. Sudut kelopak mataku berkali-kali mengeluarkan buliran bening.
"Ay .... Ay .... Ay .... Ay .... Ay .... Ay .... Panggil aku Si Jablay," suara nyaring dari dari bibir Rafi tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Aku sedikit mendongakkan kepalaku melihat seorang sahabatku itu tengah duduk di depanku, tersenyum merekah ke arahku seraya melanjutkan nyanyiannya.
Bola mataku berotasi malas meladeni candaannya. Iya, saat ini aku dan Rafi ada di salah satu tempat makan yang ada di sekitar kampus. Rafi mengajakku makan bersama dan sebenarnya tidak hanya berdua saja. Karin juga akan menyusul, katanya.
"Aaakkhhh!" pekiknya saat tanganku menonjok keras pundaknya. Dari dulu dia tidak pernah berubah. Selalu saja bercanda saat suasana sedang serius.
Ia spontan mengusap-usap pundaknya yang baru saja kena toyoran keras dari tanganku, "Sakit Ay, lo PMS nggak PMS sama aja nggak ada bedanya. Kayak kucing lagi beranak, galak amat!" cibirnya ke arahku.
"Lebay!" sahutku cepat seraya memutar bola mataku malas.
"Becanda tadi. Ini makan dulu. Biar otak lo dingin," ucapnya mengalah seraya menyodorkan sebuah kotak kecil berisi es krim ke arahku.
"Ini apa?" tanyaku seraya mengerutkan dahiku beberapa detik, menatap Rafi yang cengegesan di depanku. Dalam rangka apa dia membelikanku es krim yang harganya lumayan mahal seperti ini? Biasanya ia mentraktir soto sama mie ayam di kantin kampus yang harganya kantong mahasiswa.
"Bulu babi .... Pakek nanya lagi. Orang jelas-jelas es krim," gerutunya.
Aku menatap sekilas es krim yang ada di hadapanku. Pandanganku beralih menatap layar ponsel yang terus-menerus bergetar menampilkan beberapa pesan masuk disana. Tanganku ingin mengangkat sebuah panggilan masuk dari seseorang yang bayangannya baru saja melintas di otakku. Tapi lagi-lagi aku mengurungkan niatku untuk mengangkat sambungan telepon itu. Aku takut dia membuatku kecewa lagi.
"Masih mikirin suami ya, Ay?" celetuk Rafi mengagetkanku lagi.
Ia memicingkan matanya saat menatapku, membuatku ingin mendelik ke arahnya, "Ngelamun mulu dari tadi gue lihat," ucapnya seraya masih memperhatikanku yang tengah memainkan sendok es krim dengan pandangan yang masih kosong.
"Jangan cerai Ay, kalau lo jadi cerai, gue belum siap nikahin lo. Kuliah aja gue belum lulus-lulus, mau nafkahin lo pakek apa nantinya?" lanjutnya lagi.
Aku menghela napas panjang saat mendengar ucapannya yang baru saja keluar dari mulutnya, "Becandanya nggak lucu," ujarku mendelik.
"Sorry!" sahutnya cepat seraya mengulum senyum cengiran kuda.
Rafi ataupun Karin sudah tau masalahku dengan Pak Jefri. Karena aku tidak tau harus cerita ke siapa saat aku butuh tempat untuk menuangkan masalahku. Hanya mereka dan Tante Ratna, orang yang selalu ada saat aku butuh menuangkan masalahku. Tapi untuk sekedar bercerita ke Tante Ratna, rasanya aku sudah terlalu banyak merepotkan.
"Ay," panggilnya lagi saat suasana hening beberapa menit.
"Hm?"
"Pulang! Suami lo nyariin terus. Lo nggak kasihan ya? Hp lo udah kayak mbak-mbak olshop. Dari tadi bunyi terus. Diangkat kek! Telfonnya," perintah Rafi yang terus-menerus menyuruhku untuk kembali pulang.
"Jangan cerai! Kan masalah lo bisa dibicarakan baik-baik, Ay!" lanjutnya lagi.
Ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya lagi, "Kesalahan suami lo kan bisa dimaafkan Ay, harusnya lo jangan anggap semua laki-laki termasuk suami lo bakalan sama sikapnya kayak Bokap," bibirnya tertarik membentuk simetris tipis saat menatapku.
"Gue mah tau kalo lo cinta sama suami lo. Dari mata lo udah kelihatan," ucapnya lagi.
Matanya menatapku seraya mengangguk-anggukan kepalanya pelan seolah-olah dia meyakinkanku, "Ay, Ayolah! Gue jadi sahabat mah dukung yang terbaik. Jangan cerai! Meskipun gue pernah naksir lo tapi keduluan orang, setidaknya gue tetep jadi sahabat yang selalu dukung lo. Apapun itu, yang penting lo jangan ambil langkah yang gegabah gini."
Ia mengulum senyum tipisnya lagi, "Jangan gini! lo juga egois dong, nyiksa perasaan lo sendiri,"
Kepalaku menunduk saat Rafi menyelesaikan kalimatnya. Aku tak berani menatapnya karena takut tiba-tiba buliran bening ini akan terjatuh, "Raf, lo nggak tau gimana rasanya jadi gue. Bukannya gue mau banyak drama. Kalaupun disuruh milih jalan hidup, gue .... Gue juga nggak pengen dari kecil hidupnya banyak drama kayak gini!" balasku pelan.
"Tapi perasaan lo nggak bisa dibohongi, Ay! Dalam hati kecil lo, lo butuh dia. Lo cinta sama suami lo," sahutnya cepat. Aku tidak tau kenapa Rafi gampang sekali menebak perasaan seseorang. Padahal aku belum tentu merasakan itu. Itu cuma bayang-bayang yang terkadang melintas di otakku.
"Semua orang juga pengen hidup normal, Raf! Nggak banyak masalah. Gue juga pengen ngerasain bahagia dikit aja. Tapi nggak bisa," aku menjeda kalimatku beberapa detik untuk mengambil sisa-sisa oksigen untuk ku hirup. Karena jujur, sedari tadi rasanya sesak menyelimuti seluruh rongga paru-paruku, "Capek, pura-pura harus nggak ada masalah di depan orang lain terus. Gue nggak bisa sekuat Mama," lanjutku lagi.
Bayang-bayang wajah Mama tiba-tiba terlintas di depanku, yang membuatku ingin menumpahkan seluruh buliran bening yang sudah kutahan sedari tadi untuk keluar, "Kalaupun gini, gue mending ikut Mama dari dulu. Biar nggak ngerasain masalah kayak gini!"
Mata Rafi melebar saat menatapku, "Lo ngomong apa sih, Ay?" omelnya seraya memandangku dengan tatapan tajam.
Cairan bening di sudut kelopak mataku lagi-lagi menetes pelan, "Nggak ada anak broken home yang baik-baik aja Raf, sekuat apapun mereka di luar, pasti bakalan rapuh juga. Pengen ngerasain keluarga lengkap. Tapi nggak bisa," aku menjeda kalimatku sejenak dan menatap Rafi yang juga menatapku, "Gue juga pengen sembuh dari trauma. Nggak kebayang-bayang sikap Papa. Tapi—"
Rafi dengan cepat memotong kalimatku sebelum aku melanjutkannya, "Ay, tapi gue yakin sikap suami lo belum tentu kayak Bokap lo yang udah buat lo jadi trauma kayak gini,"
Aku menggeleng-gelengkan kepala pelan menatap Rafi yang masih ingin berusaha meyakinkanku, "Nggak menutup kemungkinan juga Raf, Pak Jefri juga akan bersikap kayak gitu," ketakutan ini terlontar dari bibirku. Dan Rafi yang mendengarnya, hanya membalasnya dengan helaan napas.
"Dulu gue nggak terlalu mempermasalahkan masa lalunya dia. Gue selalu anggap masa lalunya akan hilang juga lama kelamaan. Tapi nyatanya apa?" bibirku bergetar dan lidahku seakan kelu hanya sekedar berniat mengingat insiden di kapal saat bulan madu.
"Waktu bulan madu, sikap Pak Jefri malah memperburuk trauma gue. Gue udah mati-matian buat membuang semua trauma gue. Tapi dia—" aku menggantung kalimatku sembari menyeka cairan bening di sudut mataku.
Ia tampak menghela napas panjang, matanya terpejam beberapa detik dan kemudian menatapku kembali, "Lo kan udah cerita ke gue Ay, kalo dia udah jelasin masalahnya semua. Tinggal gimana tugas lo sekarang yang harus memaafkan," ujarnya pelan seraya matanya masih berusaha meyakinkanku.
"Tapi nggak menutup kemungkinan juga kan? Kalau gue beri kesempatan buat dia. Terus dia melakukan kesalahan yang sama lagi?"
Ia menarik sudut bibirnya lagi saat aku masih berusaha membantah, "Ay, memang ada tipe laki-laki yang mudah buat jatuh cinta. Contohnya gue, gue emang pernah suka sama lo. Tapi kalau lo bukan takdir gue. Ya berarti gue harus inget semboyan Kang Parkir." bibirnya tertarik lebar sembari menatapku dalam sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Ada juga tipe laki-laki yang sulit untuk jatuh cinta. Ya contohnya suami lo, dia tipe laki-laki yang nggak bisa sekali pandang wanita langsung jatuh cinta Ay. Gue paham. Ya mungkin kalo kagum ada. Tapi untuk dijadikan pilihan sebagai pendamping hidup, belum tentu dirasakan dia," lanjutnya lagi.
Ia sedikit berdehem sebelum melanjutkan kalimatnya lagi, "Gue laki-laki. Paham juga perasaan suami lo. Mantan calon istrinya dulu adalah wanita yang buat dia jatuh cinta yang pertama kalinya. Dan dulu mungkin wanita itu satu-satunya wanita yang bisa buat suami lo merasa ingin memilikinya sebagai pendamping hidup," jelasnya ke arahku.
"Tapi ya gitu. Lagi-lagi takdir nggak memihak untuk mempersatukan mereka. Yang tipe kayak gini memang susah move on. Setiap orang kan beda-beda cara nyikapin perasaannya,"
"Bokap lo ya Bokap lo. Suami lo ya suami lo. Mereka dua orang yang berbeda. Bokap lo untuk sekedar meminta maaf ke nyokap lo aja nggak mau. Sedangkan suami lo? Dia mengakui kesalahannya. Dia juga minta maaf ke lo. Dia nyari lo terus, dan berharap lo pulang,"
"Nggak bisa sepenuhnya salah dia. Awal mula pernikahan kalian kan juga dari perjodohan. Mana ada yang instan semua? Butuh proses juga buat menyamakan perasaan," jelasnya lengkap ke arahku.
Aku menimang-nimang rentetan kalimat Rafi yang baru saja terucap dari bibirnya. Aku sebenarnya ingin sekali pulang dan berdamai dengan masalah. Tapi lagi-lagi, bayang-bayang Papa selalu saja membuatku takut. Takut sikap yang dibawa Papa menyalur ke Pak Jefri. Takut juga kalau dia melakukan kesalahan yang sama lagi. Lebih mencintai masa lalunya, daripada mencintaiku.
"Gue kok sok bijak gini sih masalah pernikahan. Diri sendiri aja belum nikah, sok-sokan!" gerutu Rafi menyalahkan dirinya sendiri.
Aku meliriknya sekilas dan sontak terkekeh pelan saat Rafi menggerutu karena baru saja melontarkan kalimat-kalimat bijak ke arahku. Biasanya dia selalu saja bercanda di depanku. Tapi kali ini, sisi bijaknya keluar, bak anak organisasi kampus yang memimpin rapat.
"Nah, gitu dong senyum. Kan adem dilihat," celetuknya lagi yang membuatku ingin mencabik mulutnya.
"Kadal!" cibirku seraya melotot ke arahnya.
Ia ikut terkekeh pelan saat menatapku yang tengah mendelik ke arahnya, "Ini Daki Kudanil jadi kesini nggak?
Udah jam segini, belum dateng juga!" tanyanya mengalihkan pembicaraan.
"Siapa? Karina?"
"Ya siapa lagi?"
Aku membulatkan mataku sempurna, "Jahat banget lo! Ngatain Karina daki Kudanil,"
"Jahat mana sama lo yang ngatain gue kadal kebelet kawin?" cercanya ke arahku.
"Ya kan emang lo kebelet kawin," ucapku membela diri.
Ia mengerutkan dahinya, tak terima menerima cercaan dariku, "Mana ada gue ganteng gini mirip kadal?"
Aku terkekeh pelan saat dia menggerutu berkali-kali karena aku sering mencercanya. Memanggilnya dengan sebutan kadal dan buaya karena dia sering gonta-ganti gebetan, "Es krim lo cepetan dimakan! Luntur semua tau rasa lo!" perintahku mengalihkan pembicaraan.
"Mana ada es krim luntur. Lo kira es krim kayak alisnya mbak-mbak pelakor yang kayak pedang Patimura terus kena air hujan?" ucapnya yang masih dengan nada sebal ke arahku.
Aku terkekeh geli melihatnya masih menggerutu. Dia yang melihatku terkekeh tak henti-hentinya memukul kepalaku pelan berkali-kali menggunakan bolpoint yang ia pegang, "Raf! Udah .... Gitu aja marah," ucapku yang berusaha mengambil bolpoint yang ia gunakan untuk memukul pucuk kepalaku.
"Bodo amat! Lo nggak ada kapok-kapoknya kalo ngatain gue," balasnya yang masih berusaha memukul-mukul pelan ujung kepalaku menggunakan bolpoint.
"Ayana," panggil seseorang dengan suara bariton khas miliknya. Rafi ikut menoleh ke arah seseorang itu, sontak menghentikan aktivitasnya memukuli ujung kepalaku.
"Pak Jefri," aku melebarkan bola mataku saat melihat laki-laki dewasa itu berdiri tidak jauh dariku. Matanya terlihat memerah. Dan raut wajahnya tampak dingin saat menatapku. Sejak kapan dia ada disini?
Ia berjalan mendekat ke arahku. Tangannya mencengkram kuat pergelangan tanganku, dan sedikit menariknya. Yang membuatku terlonjak spontan berdiri dan berjalan mengikuti langkahnya meninggalkan Rafi yang masih duduk disana, "Ikut saya!" ucapnya pelan namun masih bisa kudengar.
Ia menarikku berjalan menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari tempat makan tadi. Matanya masih terlihat memerah. Napasnya berderu cepat, jelas sekali ia sedang berusaha mengatur napasnya, "Masuk! Saya mau bicara sama kamu," ucapnya seraya membukakan pintu mobilnya.
Aku masih mengunci kakiku dan tak beranjak masuk ke dalam mobilnya saat ia memintaku untuk masuk. Bibirku seakan kelu hanya untuk mengeluarkan balasan sebuah kata untuknya, "Masuk Ayana!" perintahnya lagi dengan tatapan yang masih dingin ke arahku.
Aku menghela napas beberapa detik. Membalas tatapannya dengan tatapan dingin juga. Kakiku perlahan melangkah masuk ke dalam mobilnya, dan kemudian disusul olehnya yang juga masuk ke dalam mobil di kursi sopir pengemudi.
Hening. Tidak ada sahutan apapun. Ia tampak sedikit mengatur napasnya sebelum tangannya memutar kunci mobil dan menjalankannya pelan, "Bapak mau bawa saya kemana?" tanyaku ketus seraya meliriknya sekilas.
Ia menghela napas panjang, menatap jalan raya yang ada di depan, "Masalah kita belum selesai. Jangan menyiksa saya dengan pemandangan yang baru saja saya lihat. Cukup kamu menghindar dari saya beberapa hari belakangan, itu sudah membuat saya tersiksa. Jangan ditambah lagi pemandangan yang seperti saya lihat tadi," ucapnya lirih yang masih tak menatapku.
Memangnya kenapa menyiksa? Rafi saja bahkan mengklaim dirinya hanya sahabat. Tidak lebih. Terus kenapa tersiksa?
"Saya mau dibawa kemana?" tanyaku lagi karena sedari tadi ia tidak menjawab pertanyaanku dan malah mengalihkan pembicaraan.
Ia masih bungkam. Seakan-akan mengunci mulutnya agar tidak terbuka, "Bapak jangan pura-pura nggak denger! Turunin saya sekarang," pintaku kesal karena diabaikan.
Ia melajukan kecepatan mobilnya di atas rata-rata yang membuat jantungku seakan loncat ke kaki saat ia mengerem secara tiba-tiba. Karena di depan ada lampu merah yang mengisyaratkannya untuk berhenti, "Bapak mau bawa saya kemana? Saya mau turun. Kalo mau setor nyawa jangan bawa-bawa saya," gerutuku saat ia masih mengabaikan ucapanku lagi.
Kakinya menginjak pedal gas lagi, saat lampu lalu lintas sudah berubah warna menjadi hijau. Ia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata lagi. Dan mataku membulat sempurna saat mobilnya tiba-tiba berhenti di area depan tempat pemakaman umum yang juga menjadi salah satu tempat peristirahatan terakhir Mama, "Kenapa Bapak bawa saya kesini?" tanyaku sebal saat tak mendapati jawaban darinya lagi.
Ia turun dari mobilnya dan berjalan melewati depan mobil untuk membukakan pintu di sebelahku, "Ayo turun!" ucapnya pelan dengan pandangan yang tak menatapku.
Kakiku perlahan turun dari mobil. Mengikuti arah jalannya. Aku membiarkan ia berjalan mendahuluiku. Sedangkan aku memelankan langkahku satu meter darinya.
Tunggu. Kenapa ia berjalan melangkahkan kakinya ke arah makam Mama? Aku mengikuti langkahnya pelan dari belakang. Tidak tau apa yang dia maksud, kenapa tiba-tiba mengajakku kesini.
Langkahnya terhenti di depan makam Mama. Aku sontak ikut menghentikan langkahku. Berdiri tak jauh darinya. Sedangkan ia? Perlahan berjongkok di depan makan Mama seraya tangannya mengusap pelan batu nisan yang bertengger disana.
"Ma, ini Jefri. Menantu Mama, suami Ayana. Jefri kesini mau jenguk Mama," ucapnya kemudian yang membuatku mengatup-katupkan bibirku, melebarkan telingaku mendengar apa yang baru saja ia katakan.
"Ma, terima kasih sudah melahirkan putri satu-satunya yang Mama punya. Dan sekarang sudah menjadi istri Jefri. Terima kasih sudah melahirkan dia. Tugas Mama sekarang pindah ke Jefri. Jefri yang akan bertanggung jawab menjaganya," ucapnya lagi seraya mencium sekilas nisan Mama.
Aku masih mematung di tempat. Mencerna apa yang baru saja ia katakan. Bibirku terkunci. Dan telingaku sedikit melebar lagi mendengar apa yang akan ia katakan di depan makam Mama.
"Mama bahagia disana kan? Maaf kalau Jefri sering menyakiti anak Mama. Maaf kalau awal perjodohan Jefri sulit untuk mengakui perasaan Jefri sendiri. Maaf sering membuat Ayana kecewa juga. Dan maaf, Jefri sering buat kesalahan yang sama," ucapnya lagi sembari memeluk batu nisan milik Mama.
Aku yang melihatnya sekarang, cepat-cepat mengalihkan pandanganku ke segala arah. Cairan bening di mataku lagi-lagi menetes kalau sudah ada di makam Mama. Dan kenapa? Pak Jefri sukses membuatku meneteskan cairan bening ini lagi disini.
"Untuk kali ini Jefri nggak main-main sama janji Jefri sendiri, Ma! Jefri akan menjaga dia, karena Jefri mencintainya,"
"Mama, jangan khawatir! Mama harus bahagia disana. Mama sudah berkali-kali terluka selama hidup Mama. Sekarang Mama harus bahagia. Ayana sudah sama Jefri. Jefri akan menjaganya," ujarnya seolah-olah meminta restu ke Mama sembari tangannya mengusap pelan batu nisan milik Mama lagi. Untuk kali pertamanya Pak Jefri bersimpuh dan menangis di depan makam Mama.
Ia mulai beranjak dari duduknya. Dan matanya beralih menatapku. Langkahnya perlahan berjalan mendekatiku dengan mata yang sudah memerah sedari tadi, "Ayana," panggilnya pelan.
"Saya tau kamu tidak bisa membohongi diri kamu sendiri kalau kamu juga mencintai saya," ujarnya pelan seraya matanya menatapku dalam.
Ia sedikit meneguk salivanya sebelum melanjutkan kalimatnya lagi, "Saya tau kamu kecewa sama saya. Karena saya berkali-kali melakukan kesalahan yang sama. Saya juga tau, kamu sulit memaafkan saya karena trauma kamu dan masa lalu kamu,"
"Saya sudah janji sama beliau untuk menjaga kamu. Saya akan berusaha lebih untuk tidak mengingkarinya. Ayana, maafkan saya yang tidak tegas dengan perasaan saya sendiri," lanjutnya lagi seraya perlahan tangannya menggengam tanganku.
Tangan kanannya perlahan merogoh saku celananya, dan mengeluarkan sebuah cincin. Aku membulatkan mataku saat melihat cincin itu tiba-tiba ada di tangan Pak Jefri.
"Cincin ini ketemu. Jangan pernah lepas dia lagi. Saya tau kamu lupa menaruh cincin ini. Saya tidak akan mengizinkan kamu melepas lagi cincin ini dan menaruhnya di sembarang tempat yang membuat kamu kesulitan mencarinya. Saya minta kamu menjaga cincin ini terus," pesannya ke arahku.
"Tolong ambil cincin ini. Kalau kamu juga mencintai saya. Saya harap kamu mengambilnya,"
Aku menatapnya sekilas sebelum pandanganku berpindah ke cincin yang ia pegang sekarang. Ada rasa takut untuk sekedar memakai cincin itu kembali. Namun, ada rasa ingin berdamai dengan takdir saat ini.
Mama akan dukung apapun yang kamu pilih. Kalau nanti kamu sudah dewasa, kamu harus mencintai suami kamu ya?
"Mama," gumamku lirih saat tiba-tiba bayang-bayang Mama dan ucapan Mama saat aku masih berusia awal belasan tahun muncul di otakku.
Jangan bikin Mama sedih. Kalau kamu nangis terus, Mama makin sedih. Mama pengen lihat kamu bahagia dengan laki-laki yang kamu cintai nanti kalau kamu sudah dewasa.
Bulir bening ini sengaja menetes lagi karena aku tidak bisa menahannya saat bayang-bayang Mama melintas di kepalaku. Aku memberanikan diriku untuk mengambil cincin itu di tangan Pak Jefri. Dan mataku terpejam beberapa saat ketika cincin itu sudah ada di tanganku. Dan aku menggengamnya sekarang.
"Terima kasih, Ayana!" ucapnya lirih seraya perlahan menarik tubuhku dalam dekapannya. Aku membiarkan tubuhku tenggelam dalam rengkuhannya.
"Saya .... Saya nggak tau kalau ke depannya, Pak Jefri masih mengulang kesalahan yang sama. Saya nggak bisa sekuat Mama yang bertahun-tahun bertahan sama Papa yang selalu menyakitinya,"
Aku menghela napas seraya memejamkan mataku beberapa detik sebelum melanjutkan lagi ucapanku, "Saya nggak janji bisa sekuat Mama. Saya juga nggak janji nantinya bisa mempertahankan pernika-" ucapanku terpotong cepat olehnya.
"Saya yang akan berjanji sama diri saya sendiri untuk tidak akan pernah mengecewakan kamu lagi," balasnya cepat.
"Dan saya akan berjanji sama diri saya sendiri untuk selalu menjaga kamu. Terima kasih, sudah mengizinkan saya untuk menjaga kamu," tambahnya lagi merapalkan semua janjinya. Kedua tangannya perlahan mengeratkan dekapannya, dan lebih menenggelamkan kepalaku tengah-tengah dada bidangnya.
"Maaf tadi saya sempat mengabaikanmu. Karena saya masih mengontrol emosi saya,"
"Saya cemburu saat kamu dekat dengan teman laki-laki kamu itu," ucapnya lirih lagi sembari mengeratkan dekapannya.
To Be Continue ....
Kasih tau mana yang typo....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top