BAGIAN 53 - THE REASON

Menetapkan satu hati saja kamu tidak bisa. Bagaimana aku harus memberi kesempatan lagi? Aku lelah.

Ayana Aurora Pamungkas
@Thalassophobia

🌸🌸🌸

Aku berjalan dengan langkah gontai memasuki pintu rumah sepulang dari rumah sakit. Beberapa hari yang lalu aku sudah disibukkan dengan pekerjaanku lagi. Jadwal praktek di rumah sakit juga tidak bisa aku tinggal untuk mencari Ayana.

Ayana. Dia masih belum pulang dan tidak bisa dihubungi lagi. Terhitung hampir satu Minggu, dia meninggalkan rumah ini. Memilih untuk tinggal di Kos yang aku sama sekali tidak tau alamatnya dimana. Aku sudah beberapa kali melacaknya. Namun, tetap gagal. Ayana lagi-lagi menghindari dariku. Dan aku hampir putus asa mencarinya.

Kali ini tengkuk kepalaku rasanya sedikit nyeri. Aku benar-benar ingin merebahkan tubuhku di atas kasur. Mengistirahatkan tubuhku sejenak dari beberapa pikiran yang sulit untuk dicerna oleh otakku. Sebelum nanti malam, aku mencari Ayana lagi.

Tanganku membuka knop pintu kamar dengan sisa-sisa tenaga. Rasanya mataku sedikit berkunang-kunang. Tidak tau alasannya kenapa tubuhku akhir-akhir ini mudah lelah.

Saat diambang pintu kamar, mataku terkunci pada seseorang yang tengah membuka slinding wardrobe. Bola mataku sedikit melebar mendapati seseorang yang selama ini aku cari ada di kamarku. Sejak kapan dia ada disana? Ia tampak mengeluarkan beberapa berkas yang tertata rapi disana. Dan tampak mencari sesuatu di lemari itu, "Ayana," panggilku pelan.

Bibirku tertarik membentuk simetris tipis saat mendapati sosok yang aku cari belakangan hari ini. Perempuan itu yang setiap malam selalu menggangu pikiranku. Dan tidak bisa membuatku tidur tenang karena mencarinya. Saat ini ia ada di hadapanku. Dia pulang. Tapi sejak kapan dia ada disini?

"Ayana?" panggilku lagi saat tak mendapatkan respon darinya.

Ia spontan menoleh ke arahku dengan tatapan datar. Sorot matanya menatapku sekilas dan kemudian membuang pandangan itu ke sembarang arah, "Saya kesini cuma mau ambil surat nikah dan kartu keluarga," serunya pelan tanpa menampakkan ekspresi di wajahnya.

Raut wajahnya masih tak bersahabat. Membuatku ingin cepat-cepat menyelesaikan masalah ini. Aku lantas berjalan mendekatinya, "Buat apa?" tanyaku seraya masih berjalan mendekat ke arahnya.

"Buat urus surat gugatan cerai. Berkas saya kurang melengkapi surat nikah dan kartu keluarga," sahutnya cepat dengan tatapan datarnya.

Aku sedikit melebarkan bola mataku saat Ayana tiba-tiba membahas soal perceraian itu lagi. Mataku terpejam sejenak menetralkan pikiran-pikiran burukku yang terlintas di kepala, "Untuk apa kamu membahas masalah perceraian lagi. Sudah saya katakan saya tidak akan menceraikan kamu," tegasku.

Ia tak menanggapi ucapanku, tangannya merogoh Sling Bag yang mengalung di pundaknya, "Ini uang untuk ganti rugi cincin pernikahan yang sudah saya hilangkan," ucapnya seraya meletakkan beberapa lembar uang ratusan ribu di tanganku.

Aku menggelengkan kepala cepat. Rahangku mengeras menatap Ayana yang masih menatapku datar. Sungguh, saat ini Ayana tidak main-main.

Tanganku sontak mengusap wajahku kasar, "Ambil! Saya tidak butuh uang ini dan sampai kapanpun saya tidak akan menceraikan kamu, Ayana!" tegasku sekali lagi seraya meletakkan uang itu ke tangannya lagi.

Uang itu jatuh berserakan karena Ayana tidak ingin menerimanya. Tangannya ia sembunyikan di balik punggungnya saat tanganku berniat ingin menggengamnya lagi.

Ia menghela napas panjang. Bulir bening yang ada di sudut matanya mulai menutupi bola matanya. Iya, ia tengah menahan cairan di sudut matanya agar tak menetes di permukaan pipinya, "Saya nggak punya waktu banyak disini. Bapak taruh mana surat nikah dan kartu keluarganya?" tanyanya lagi menatapku tajam.

"Saya sudah tegaskan berkali-kali, Ayana! Saya tidak akan menceraikan kamu." ucapku mengunci matanya beberapa detik saat ia menatapku tajam.

"Saya sudah tau semuanya. Trauma kamu dan tentang Papa kamu. Tolong selesaikan masalah ini tanpa melibatkan perceraian. Saya ingin masalah ini cep—" ucapanku yang belum selesai sepenuhnya dipotong cepat olehnya.

"Terus kenapa kalau Pak Jefri tau?" ucapnya sedikit kencang menatapku tajam.

Ia menghela napas panjang. Saat ini satu persatu tetesan cairan bening di sudut kelopak matanya benar-benar menetes, bahkan sekuat apapun ia menahan cairan itu agar tidak menetes di hadapanku. Tetap saja, ia tidak bisa menahannya, "Kenapa? Menyedihkan ya hidup saya dari kecil?" ucapnya lagi sembari tertawa sumbang.

"Menyedihkan kan? Nggak sebanding dengan hidup Pak Jefri?" tambahnya lagi.

"Jaga omongan kamu, Ayana! Sejengkal pun saya tidak pernah membanding-bandingan takdir kamu dengan saya. Saya minta selesaikan masalah kita dengan cara baik-baik. Tanpa melibatkan kata perceraian," jelasku memperingatinya agar ia tidak mengucapkan kalimat yang tak pantas ia ucapkan.

"Saya tetap akan mengambil surat nikah itu untuk melengkapi berkas pendaftaran perceraian," desaknya ke arahku.

"Saya sudah bilang saya tidak akan menceraikan kamu!" tegasku berkali-kali seraya mengunci mata Ayana dengan tatapan tegas.

"Kenapa? Kenapa nggak bisa menceraikan saya? Bukannya lebih baik bercerai daripada saya harus—"

Aku cepat-cepat memotong kalimatnya, "Kamu jangan main-main dengan kata cerai, Ayana! Sampai kapanpun saya tidak akan pernah menceraikan kamu,"

Ia menatapku tajam. Sorot matanya yang dipenuhi sisa-sisa cairan bening itu menatapku dengan tatapan yang tidak bersahabat, "Bukankah malah bagus? Pak Jefri nggak terbebani lagi dengan hadirnya saya di kehidupan Bapak?"

Ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya, "Buat apa belajar mencintai saya? Saya cuma seseorang yang hadir di kehidupan Pak Jefri sebagai beban hidup,"

"Bukankah Amira lebih pantas dicintai Bapak dari pada saya yang cuma jadi beban hidup Pak Jefri selama menikah? Amira kan yang selalu spesi—"

"Saya bilang saya mencintai kamu, bukan orang lain. Dan bukan Amira." ucapku menatap tajam ke arahnya. Memberi penegasan kalau ucapanku tidak main-main kali ini.

"Kalau mencintai saya, kenapa Pak Jefri masih simpan foto Amira, kemarin?"

"Nggak usah terpaksa mencintai saya. Kalau hati Bapak masih nggak bisa menetapkan satu hati untuk Bapak cintai," tambahnya lagi seraya menghela napas kasar.

"Ayana, saya minta tolong kamu dengarkan penjelasan saya, kali ini!" ucapku mengunci tangannya dengan kedua tanganku. Menggengam tangan itu erat agar ia tak beralih pergi lagi.

Aku menarik napas dalam sebelum melontarkan kalimatku yang sudah ada di ujung bibirku. Mataku menelisik bola matanya mencari celah-celah hangat disana. Namun, yang aku temukan adalah tatapan tajam lagi.

"Saya bukan laki-laki yang pandai mengutarakan perasaan, Ayana. Saya bukan laki-laki yang mudah untuk jatuh cinta. Saya sering tidak tegas dengan perasaan saya sendiri—" aku menjeda beberapa detik sebelum melanjutkan kalimatku.

"Saya pernah mencintai Amira. Untuk kali pertamanya saya benar-benar mencintai seseorang. Beberapa tahun yang lalu, ketika saya sudah menyelesaikan pendidikan saya, saya mencoba untuk melamarnya. Tapi ternyata dia belum bisa menerima saya," ucapku pelan seraya mataku masih menatapnya dalam.

Tapi Sang Empu malah mengalihkan pandangannya ke sembarang arah dan tak membiarkan matanya beradu pandang denganku. Aku lantas memejamkan mataku sebelum melanjutkan kalimatku lagi, "Saya kenal dekat dengan dia karena Kakaknya kebetulan yang mengurus pesantren milik Abi,"

"Dulu, dia membuat saya pertama kali benar-benar merasakan jatuh cinta yang sebenarnya. Saya sulit untuk jatuh cinta. Tapi ketika saya bersama dia. Saya merasakan ada hal yang berbeda. Sampai saya berniat untuk menjadikannya sebagai istri saya," jelasku seraya menatapnya dalam.

"Sebenarnya saya ingin menghargai perasaan kamu dengan tidak menceritakan apa-apa tentang Amira saat ini. Tapi kamu perlu tau sekarang,"

"Saya memutuskan untuk melamarnya. Tapi dia mengatakan belum siap. Dan saya masih menunggunya sampai dia siap. Ketika dia sudah hampir siap menikah dengan saya, saya memberanikan diri untuk melamarnya lagi. Tapi sehari sebelum itu terjadi, dia dijodohkan dengan seseorang,"

Aku menjeda ucapanku beberapa detik seraya kepalaku menunduk dalam. Tanganku masih mengunci tangannya erat dalam genggamanku, "Waktu itu saya hancur, Ayana. Terserah kalau kamu mau bilang saya bodoh masalah cinta. Tapi saya cuma ingin kamu tau tentang ini," tegasku menatapnya tajam.

"Amira menikah dengan seseorang yang pernah dia cintai juga. Hati saya saat itu belum bisa menerimanya. Saya masih berusaha selalu ada untuk dia sebisa saya," ucapanku terjeda saat menatap Ayana yang tengah menatapku dengan tatapan datarnya.

Aku meneguk salivaku sejenak sebelum melanjutkan kalimatku, "Waktu dia kecelakaan dan keadaanya hampir 90% kritis—" aku sedikit menjeda kalimatku, dan menatap matanya dalam.

"Saya ada di rumah sakit itu. Tapi saya tidak bisa apa-apa dan tidak bisa selalu menjaganya. Karena saya harus sadar batasan saya menjaga dia. Saya hanya bisa melihatnya dari jauh. Tanpa bisa menjaganya lagi. Karena dia sudah menikah," jelasku lagi

Tanganku menggengam erat kedua tangannya dan tak membiarkan ia melepas genggaman itu, "Beberapa tahun berlalu, saya belum bisa jatuh cinta dengan seseorang lagi. Umi berkali-kali menjodohkan saya dengan anak temannya. Begitu juga dengan Abi, yang juga selalu menawarkan saya untuk menikah dengan teman sahabatnya,"

"Tapi tidak segampang yang orang-orang pikir. Hati saya sulit untuk jatuh cinta, Ayana. Saya tidak tau. Kalaupun saya bisa jatuh cinta dengan orang lain selain Amira. Saya sudah lebih dulu melupakan Amira," paparku lagi menatapnya sayu.

Aku menghela napas panjang saat ia mengalihkan pandangannya lagi. Tanpa menatapku yang tengah melanjutkan kalimat, "Sampai saya bertemu kamu. Saya tidak pernah sebelumnya membayangkan harus menikah dengan kamu. Mahasiswi yang membuat saya naik darah sewaktu saya mengisi acara sosialisasi KKN,"

Ayana benar-benar membuang muka di hadapanku saat ini. Manik-manik matanya tampak mengunci mulutnya. Aku berharap ia menatapku. Namun, lagi-lagi, ia sama sekali tak berniat menatapku, "Saya hampir tidak ingin menerima permintaan perjodohan Umi. Tapi waktu itu saya sudah terlalu banyak mengecewakan dia," ucapku lagi.

Mataku menatapnya hangat, namun Ayana saat ini masih membuang muka, "Saya pikir selama saya menikah, hati saya tidak akan jatuh cinta sama kamu. Tapi nyatanya tidak. Takdir perlahan membawa hati saya untuk mencintai kamu. Tapi saya tidak sadar, Ayana!"

"Saya pikir dengan menyimpan foto Amira, Amira akan kembali sama saya. Tapi nyatanya, semakin saya kejar. Saya tetap tidak bisa mendapatkannya," lanjutku lagi memberi penjelasan ke Ayana.

Bulir bening di kelopak matanya perlahan menetes lagi. Aku tidak tau apa yang ia pikirkan sekarang. Sampai cairan bening itu menetes lagi di hadapanku.

Maafkan saya, Ayana! Tapi kali kamu harus tau. Saya lelah, terus-menerus dihantui masalah ini.

Ia tampak memejamkan matanya agar buliran itu tak menetes di hadapanku. Aku perlahan melepas genggaman yang ada di tangannya. Dan berniat mengusap sisa-sisa cairan bening yang membasahi pipinya. Namun, tangan Ayana dengan cepat menepisnya.

"Ayana, saya terlalu berlebihan mengejar apa yang tidak harus saya dapatkan. Sampai saya lupa untuk menjaga seseorang yang harusnya saya jaga," ucapku lirih menatapnya dalam.

"Saya terlalu sering membohongi perasaan saya sendiri. Berharap kalau perasaan tentang kamu akan hilang. Dan perasaan tentang Amira akan menetap. Tapi nyatanya, tidak bisa," tambahku lagi.

Kepalaku menunduk dalam. Memejamkan mataku beberapa detik. Dan menghela napas panjang sebelum aku melanjutkan kalimatku lagi, "Perasaan tentang Amira lah yang perlahan hilang, bagaimanapun saya berusaha keras untuk menggenggamnya. Dia tetap akan hilang perlahan,"

Aku sedikit mendongak seraya menarik sudut bibirku tipis. Dan menatapnya hangat, "Dan kamu perlahan tanpa izin menempati hati saya yang ditempati Amira,"

"Saya mencintai kamu, Ayana. Tapi saya tidak bisa menyadarinya. Karena saya tertutup dengan bayang-bayang Amira," tambahku lagi. Berharap Ayana akan paham saat aku telah mengatakan semuanya.

"Kalaupun saya tidak mempunyai perasaan lebih ke kamu, hati saya tidak akan sakit kalau kamu dekat dengan Rafi,"

Ayana perlahan menatapku saat aku menyebut nama teman laki-lakinya itu. Tatapannya masih datar. Bibirnya masih bungkam. Tak menanggapi ucapanku.

"Buku novel yang pernah ingin kamu pinjam. Sudah saya taruh semua di pesantren milik Abi. Agar saya tidak pernah mengingat-ingat Amira lagi,"

"Dan foto yang pernah menjadi perdebatan kita di kapal, sudah saya hilangkan. Saya tidak mau semakin memperkeruh masalah ini karena ego saya. Karena saya tidak tegas dengan perasaan saya sendiri," jelasku berkali-kali.

Aku menghela napas lega saat mengatakan ini ke Ayana. Ia masih menatapku datar. Namun, tatapan datar itu hanya ada di matanya saja. Tidak di hatinya. Buliran bening yang tadi sempat menetes, sudah bisa menggambarkan apa yang Ayana rasakan.

"Saya minta kamu jangan pernah menghindar dari saya lagi, Ayana. Selama berhari-hari saat kamu menghindar dari saya, hati saya kosong. Bayang-bayang wajah kamu selalu muncul di mimpi saya, hampir setiap hari." ucapku lagi seraya memegang kedua pundaknya erat dan mengisyaratkannya untuk menatapku .

"Saya hampir lelah mencari kamu. Saya hampir tidak fokus bekerja karena mencari kamu,"

"Kalung yang pernah saya berikan, itu untuk kamu. Buka untuk Amira. Waktu saya beli kalung itu. Saya tidak pernah berniat sedikitpun menyamakan diri kamu dengan Amira,"

Mataku terpejam beberapa detik, "Ayana, maaf saya sudah mengecewakan beberapa orang. Mengecewakan kamu. Mengecewakan orang tua saya. Dan mengecewakan Mama kamu,"

"Masalah rumah tangga ini bersumber dari saya. Saya minta maaf dan tolong jangan membahas tentang perceraian sekali lagi," lanjutku.

Aku menghela napas panjang. Menatap Ayana yang juga menatapku saat ini, "Tolong menetap disini lagi. Ini rumah kamu. Jangan menghindar dari saya lagi!"

Ia menggelengkan kepalanya cepat. Semburat merah di matanya tampak jelas karena terlalu lama menahan cairan bening yang akan menetes, "Nggak," ucapnya datar seraya menepis tanganku yang bertengger di pundaknya.

"Tolong jangan menghindar dari saya lagi," pintaku penuh harap berkali-kali seraya masih menahan tangannya.

Ia menepis tanganku lagi, "Saya memiliki luka jauh lebih besar dibanding ini. Jadi untuk sekedar memberi kesempatan. Saya belum bisa. Saya sudah terlalu banyak menelan luka. Bahkan saya sendiri sebenarnya tidak ingin terus-menerus mendapatkan luka yang sama. Namun takdir mengharuskan saya untuk menelan luka terus-menerus,"

Ia berusaha melepaskan genggamanku seraya menatapku tajam. Saat genggaman itu terlepas, tubuhnya berjalan gontai. Dan sedikit berlari meninggalkanku yang masih mematung di tempat, "Ayana!" panggilku.

To Be Continue...

Akhirnya, di penghujung cerita. Besok ending ya gaess 🥰 antara satu part lagi atau dua part lagi menuju ending. Endingnya antara happy dan sad. Tunggu aja nanti.

Kasih tau mana yang typo aku ngetiknya sambil ngantuk belum tidur wkwkwk gatau juga dapat feel apa nggak wkwk

Makasih udah baca sampai part ini. Uwuuu aku seneng. Sudah hampir menyelesaikan satu work ini.

Sebelum ending, aku mau main QNA bareng kalian yang baca part ini. Boleh minta diisi? Kolom nama yang ada di bawah ini. Boleh tanya sebanyak-banyaknya. Biar nanti dijawab oleh rekan-rekan saya yang bersangkutan ditanyai wkwk

Question for

Ayana Aurora Pamungkas

Jefri Alfareza

Rafi Pratama

Umi

Tante Ratna Pamungkas

Rahmad (Mamat)

Dito Kriwil

Karina

Bang Sobri Tukang Mie Ayam

Dokter Aline

Amira 🤣

Author

Lain-lain

Terserah ini mau tanya cast yang belum aku sebutkan, taruh sini aja.

Selamat mengisi. Boleh tanya sebanyak-banyaknya. Semoga banyak yang ngisi. Biar aku cepet-cepet update endingnya dan epilognya 🥰

See you...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top