BAGIAN 5 - TRAKTIRAN
Aku bernapas lega saat sosialisasi tadi pagi berjalan dengan lancar. Bagaimana tidak senang? Akhirnya, proker ini selesai juga. Proker yang bikin pusing tujuh keliling. Dan saat ini hanya tersisa 1 proker posyandu saja. Posyandu tidak seribet proker sosialisasi. Jadi tidak akan ada drama-drama seriweh sosialisasi. Dan empat hari lagi KKN-ku berakhir. Beri tepuk tangan! Maksud aku, tepuk tangan karena setelah ini tidak ada lagi Badak Liar.
Malam ini Pak Jefri mentraktir kami untuk makan malam karena proker sosialisasi berjalan sangat baik. Pak Jefri memang sudah berjanji jika proker selesai ia akan mentraktir makan kami. Dan janji itu ditepati saat ini. Kami semua sudah berada di dalam mobil Pak Jefri untuk mencari rumah makan terdekat. Pak Jefri yang menyetir dan Mamat duduk di samping Pak Jefri. Sedangkan aku, Dito, dan Adisa duduk di bangku belakang.
"Kalian mau makan apa?" tanya Pak Jefri seraya masih fokus menyetir.
"Terserah Bapak saja," jawab Adisa.
Pak Jefri mengerutkan dahinya, "Terserah kalian saja, saya ngikut." ucapnya pelan.
"Soto kayaknya enak Pak. Eh, tapi mie ayam juga enak. Nasgor jam segini juga enak kayaknya. Bingung Pak mau yang mana kalau ditraktir begini. Giliran ditraktir bingung mau apa, giliran beli sendiri apa aja pengen dibeli tapi pas lihat isi dompet tiba-tiba sekarat." sahut Dito.
Pak Jefri terkekeh pelan mendengar ucapan Dito, "Ya sudah, Di depan ada rumah makan. Nanti makan disana saja. Nanti kalian pilih sendiri." ucap Pak Jefri.
Raut wajah Dito semakin bersemangat. Ya bagaimana tidak bersemangat, sedari tadi belum makan apapun. Hanya roti sisa konsumsi acara sosialisasi, "Cihuiiii! Mantul nih!" seru Dito.
Pak Jefri memarkir mobilnya tepat di depan rumah makan. Rumah makannya tampak luas. Pasti menunya banyak. Dan sudah kuduga, Dito turun dari mobil terlebih dahulu mendahului yang lain.
Pak Jefri memesan beberapa menu untuk makan. Sedangkan kami mencari tempat duduk yang kosong. Dito memilih meja makan yang kursinya ada enam. Tiga kursi yang saling berhadapan. Ia mengambil duduk diantara Mamat dan Adisa. Dan aku duduk diantara 2 kursi kosong itu berhadapan dengan mereka. Itu artinya, kursi kosong sampingku akan ditempati Pak Jefri. Adisa memang sengaja mengambil duduk disana katanya biar bisa mengamati kegantengan Pak Jefri dari depan. Terserah dia saja.
Usai memesan makanan, Pak Jefri mengambil duduk di sampingku. Ya, karena hanya kursi itu yang kosong. Mau duduk dimana lagi?
"Pak, username Instagram Pak Jefri apa?" tanya Adisa tiba-tiba ke arah Pak Jefri yang baru mengambil duduk.
Dito menjitak kepala Adisa yang ada di sampingnya, "Udah punya pacar masih ngembat Pak Jefri aja Lo! Kebiasaan," cibirnya.
"Dengki mulu Lo!" Adisa berusaha membela diri.
Pak Jefri terkekeh pelan melihat tingkah Adisa dan Dito yang ada di depannya, "Buat apa tanya akun Instagram saya?"
"Mau saya follow, kali aja kalo saya nggak paham mengenai mata kuliah saya bisa tanya Pak Jefri."
Basi, Dis! Aku memutar bola mataku malas, Adisa bisa-bisanya modus mengatasnamakan mata kuliah. Pak Jefri lagi, senyam-senyum gak jelas pas ditanya username instagramnya. Bosen lihat senyumnya Pak Jefri kalau begini.
Ya Gusti, Sok ngartis nih Si Badak!
Pak Jefri kemudian membuka aplikasi Instagram yang ada di ponselnya, sedangkan Adisa sudah bersiap-siap mencari username di kolom pencarian, "Username-nya apaan Pak?"
"Jefri454317368." dikte Pak Jefri pelan.
"Bhak! Itu kupon jalan sehat apa nomor togel? Banyak banget nomornya," Aku sontak tertawa sedikit kencang saat Pak Jefri mendikte username akun Instagram miliknya.
"Arrrrgghhhh!" pekikku.
"Kenapa, hm?" tanya Pak Jefri menoleh ke arahku.
Kenapa-kenapa pala lu!
"Sepatu bapak nginjek kaki saya," teriakku seraya meringis kesakitan. Serius, kaki Pak Jefri sebelas dua belas sama kaki gajah. Sakit banget! Pak Jefri langsung menyingkirkan kakinya yang menginjak kakiku.
Sontak Mamat, Adisa, dan Dito ikut tertawa melihatku mengaduh kesakitan. Apalagi Pak Jefri, dia orang paling semangat kalau melihatku menderita seperti ini. Lihat saja, tertawanya paling keras diantara yang lain.
Ya Gusti! Orang-orang nggak ada akhlaknya semua.
Terlalu banyak bercanda sampai diantara kami tak menyadari bahwa dua pelayan yang mengantar makanan menghampiri kami. Ternyata Pak Jefri pesan makanan banyak juga. Ada delapan menu yang ia pesan. Tapi dipikir-pikir yang menghabiskan semua ini siapa? Ah, paling juga Dito.
"Silahkan makan!" ucap Pak Jefri seraya mengambil soto ayam yang ada dihadapannya.
Dan aku mengambil mie ayam. Memang diantara semua menu makanan. Mie ayam adalah jagoanku dimana pun aku berada. Ralat, bukan mie ayam. Tapi semua jenis mie aku suka. Apalagi mie instan. Dia adalah dewa penolong ketika tanggal tua. Adisa mengambil nasi goreng. Mamat mengambil Bakso. Dan Dito? Tidak usah ditanya dia mengambil makanan apa, yang jelas dia mengambil 3 piring berisi rendang, gule, dan sate. Nggak kebayang berapa hektar luas perutnya.
"Pak Jefri, habis ini balik ke Jakarta?" tanya Dito sembari tangannya masih sibuk menyendok makanan yang ada di depannya.
"Enggak, saya besok ada penyuluhan lagi di desa sebelah. Tugas dari rumah sakit."
"Terus Bapak pulangnya kapan?" tanpa aba-aba aku ikut menyahut. Tau kan maksud aku? Pengusiran secara halus gitu, biar nggak ketemu Pak Jefri lagi.
Pak Jefri melirikku sekilas, "Besok lusa,"
"Kalian selesai KKN kapan?" tanya Pak Jefri balik.
"4 hari lagi Pak," jawab Mamat.
"Oh," jawabnya singkat seraya menganguk-angukkan kepalanya pelan.
"Pak, di rumah sakit kebanyakan dokternya tua apa muda Pak?" Serius, random banget pertanyaan dari Dito.
Pak Jefri melirik Dito sekilas seraya bibirnya menyunggingkan senyum tipisnya, "Ada yang tua, ada yang muda,"
Dito masih penasaran dengan jawaban Pak Jefri jadi ia menanyakannya lagi, "Kebanyakan yang mana Pak?"
"Senior,"
"Terus Pak, yang dokter senior punya anak seumuran saya nggak Pak? Siapa tau gitu bisa dijodohin,"
"Tanya mulu Lo! Udah kayak introgasi narapidana aja." ucapku ke arah Dito.
"Memangnya kamu jomblo Dit?" tanya Pak Jefri.
"Jomblo Pak, saya bisa ngitung duit, ngitung harta, ngitung aset, yang saya nggak bisa cuma ngitung perasaan aja,"
Aku terkekeh geli mendengar jawaban dari Dito. Bisa-bisanya ini orang dengan percaya dirinya yang over mempromosikan ke-jombloan-nya ke Pak Jefri.
"Kalau Mamat jomblo?" tanya Pak Jefri lagi.
"Kalau Mamat sama Adisa mah nggak jomblo Pak, mereka berdua punya cemewew masing-masing. Beda lagi tuh sama sampingnya Bapak. Jomblo dari lahir,"
Aku mendelik ke arah Dito. Bisa-bisanya mengatakan seperti itu. Ya memang bener, aku memang jomblo dari lahir tapi ya nggak begini juga. Kan malu-maluin depan Pak Jefri.
Pak Jefri menganguk-anggukan kepalanya seraya tangannya masih fokus memainkan ponselnya, "Saya sudah tau,"
"Kok Bapak tau kalau Ayana jomblo dari lahir?"
"Kelihatan dari mukanya,"
Ya Gusti! Pengen nendang palanya Pak Jefri.
Aku mendelik ke arah Pak Jefri. Memasang tatapan tajam ke arahnya. Tapi sepertinya tidak berguna. Karena yang ditatap hanya sibuk memainkan ponselnya.
"Sudah selesai makannya?" tanya Pak Jefri.
"Be-bentar Pak, masih kurang semangkuk lagi." jawab Dito dengan mulut yang masih penuh dengan makanan.
"Dibungkus saja Dit, dimakan di posko." perintah Pak Jefri.
"Yaudah deh, aku kesana dulu ya? Minta dibungkusin pesanan yang belum dimakan." Dito beranjak dari kursinya dan mengambil makanan yang ingin dibungkus ke arah kasir.
"Kalian nggak nambah makanan lagi untuk dibungkus?" tanya Pak Jefri lagi. Wah gila! Makanan yang tadi dimakan aja belum sampai di usus. Pak Jefri udah menawarkan makanan lagi untuk dibawa pulang.
"Mau deh Pak satu sop ayam," Mamat bersuara. Dalam hatinya mungkin kesempatan nggak bisa datang dua kali. Jiwa anak kos memang sangat kuat kalau urusan traktiran.
"Aku juga ya Pak, nasi goreng lagi. Pacar aku belum makan soalnya." sahut Adisa.
Bajilak Si Adisa! Sampai pacarnya juga kecipratan.
"Ya sudah kesana! Susul Dito ke kasir. Nanti notanya disatukan saja." perintah Pak Jefri.
Adisa dan Mamat menyusul Dito yang sibuk memilih makanan yang akan dibungkus lagi. Ini mereka kesambet apa? Aku hanya memperhatikan dari jauh tingkah ketiga temanku yang sibuk menunjuk makanan mana saja yang dibungkus.
"Kamu nggak bungkus makanan juga?" tanya Pak Jefri ke arahku.
"Nggak," jawabku singkat.
"Oh,"
Oh? Oh aja ya kan? Cuma oh aja nih? Aku kira mau maksa suruh bungkus juga. Atau tanya kek 'kenapa nggak bungkus?'
Aku baru menyadari setelah 3 hari mengenal Pak Jefri. Pak Jefri tipe orang yang kalau sudah dijawab dengan satu jawaban tidak bertanya lagi. Ya kalau nembak cewek bagaimana Pak? Kan kadang cewek gengsi jadi harus ditanya dua kali. Pantas saja udah tua jomblo. Gak bakat nih nembak cewek!
Bersambung....
Malang, 25 Juni 2020
🦄🦄🦄
Akhirnya aku update lagiii. Jangan lupa vote ya komen juga kalau mau follow follow sekalian. Jangan follow ig nya pak Jefri. Tapi follow akun author ini. Wkwk
Sekian dari author sampai jumpa besok kalau update. Abaikan typo dan kesalahan kalimat ya nanti setelah end author revisi 🥰
Luv you
Istri Pak Jefri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top