BAGIAN 49 - DONT SAY GOODBYE

⚠️ Foto di mulmet foto Ayana wkwk

JEFRI POV

Mataku membulat sempurna saat melihat Ayana sudah tergeletak di atas Rooftop Kapal, sendirian disana. Tubuh Ayana terkapar lemah di atas Rooftop dengan bibir yang tercetak pucat, "AYANAA!" panggilku kencang.

Aku spontan berlari ke arahnya dan menarik tubuhnya ke dalam dekapanku. Tanganku menepuk-nepuk pipinya pelan dan berusaha membangunkannya, "Ayana, bangun!" panggilku dengan nada yang cukup panik karena melihat raut wajah Ayana pucat tak seperti biasanya ketika ia sakit.

Berkali-kali tanganku menepuk-nepuk tubuhnya pelan, namun tak ada respon darinya. Bibir tipisnya masih terlihat pucat. Dari sudut kelopak matanya tampak sisa-sisa cairan bening masih menempel disana, "Ayana," panggilku lagi.

"Ayana, bangun!" panggilku berkali-kali. Namun, ia sama sekali tidak merespon panggilanku. Tanganku mencoba untuk mengecek denyut nadinya. Dan ternyata denyut nadinya berdetak lambat, hampir lemah.

Aku lantas sedikit meninggikan posisinya kakinya agar aliran darah menuju otak berjalan stabil lagi. Dan membantunya memasok beberapa oksigen yang sempat berhenti mengalir di otaknya, "Ayana," panggilku lagi untuk memancing respon dari tubuh Ayana.

Perlahan matanya sedikit terbuka namun tubuhnya mulai bergetar layaknya seseorang yang ketakutan, "Mama," gumamnya lirih dengan mata yang tampak setengah terpejam.

Syukurlah. Aku sedikit bernapas lega, setidaknya ada respon dari tubuhnya. Tanganku lantas melonggarkan ikat pinggang kecil yang melingkar di tubuhnya dan membuka satu kancing bagian atas bajunya agar ia tidak kesulitan untuk bernapas.

"Mama," gumamnya lagi namun dengan posisi mata yang belum terbuka sempurna.

Aku cepat-cepat menggendong tubuhnya masuk ke dalam dan membaringkan tubuhnya di atas sofa panjang. Matanya masih terpejam. Bibirnya terus bergumam memanggil Sang Mama.

"Maaf," ucapku lirih menyeka buliran cairan bening di sudut matanya.

Matanya masih tertutup rapat. Seolah-olah ia tak mau membuka matanya sedikitpun. Namun, bibir tipisnya tak henti-hentinya bergumam sedari tadi. Sesekali sudut matanya yang terpejam mengeluarkan cairan bening lagi dan lagi. Tanganku berusaha mengusap pelan sisa-sisa cairan bening yang ada di pipinya itu.

"Ayana ini saya," ucapku pelan menggengam telapak tangannya. Sedari tadi ucapanku tak direspon. Yang ia ucapkan di bibirnya hanya gumaman menyebut Mamanya. Tak menanggapi ucapanku sama sekali.

Mataku kemudian beralih menatap salah satu Kru Kapal yang berdiri di ambang pintu sedang memperhatikan Ayana yang terbaring lemah di sofa panjang. Aku mengisyaratkannya untuk berjalan mendekat, dan perlahan dia berjalan ke arahku, "Tolong bantu saya, buatkan air gula satu gelas untuk istri saya. Saya minta tolong juga segera kasih tau pengemudi kapal untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Gili Trawangan," perintahku padanya.

"Tapi sebentar lagi sampai ke tujuan, Pak," ucapnya memberitahuku.

"Saya mohon kembali ke pelabuhan semula. Istri saya sedang sakit. Nggak mungkin saya tetap melanjutkan perjalanan dengan keadaan istri saya sedang sakit," ucapku sedikit membentaknya.

Aku bahkan tak sadar, jika aku tengah membentak Kru Kapal tersebut. Cepat-cepat aku langsung menstabilkan emosiku dan meminta maaf ke Kru Kapal tersebut karena bentakanku tadi, "Maaf,"

Ia mengangguk mengerti apa yang aku perintahkan, "Baik Pak, saya akan beritahu pengemudi kapal,"

"Terima kasih,"

"Sama-sama," ucapnya seraya mengangguk pelan. Ia lantas berjalan kembali ke ruangannya dan melakukan tugasnya sesuai apa yang aku perintahkan tadi.

Mataku beralih lagi menatap Ayana yang terbaring lemah di depanku. Aku yang duduk di tepi sofa, lantas menautkan jari jemariku dengan jari jemarinya yang masih lemah, "Ayana, ini saya." ucapku mengeratkan genggamanku.

Pak Jefri selalu bilang kalau saya istri Bapak. Tapi itu cuma di lisan Bapak. Bukan di hati Pak Jefri.

Aku tersenyum getir saat mengingat perdebatan tadi sebelum Ayana pingsan. Sorot mataku memperhatikan raut wajahnya yang masih pucat. Sampai sekarang tubuhnya masih sedikit bergetar layaknya seseorang yang ketakutan, matanya masih tak berani untuk terbuka, dan bibirnya sedari tadi masih terkatup-katup bergumam memanggil Sang Mama.

"Ayana pengen ikut Mama,"

"Ayana takut air itu,"

"Ayana sendirian,"

Buliran yang bersumber dari kelompok matanya terjatuh lagi, spontan aku menyekanya cepat. Memperhatikan raut wajahnya yang masih sangat pucat.

Bagaimana saya harus memahami masa lalu Bapak? Sedangkan Pak Jefri sendiri nggak pernah ada usaha untuk menguburnya.

"Maafkan saya, saya akan berusaha," jawabku lirih mengingat ucapan Ayana yang terlontar dari bibirnya sebelum ia pingsan.

Bukan saya kan yang harusnya pakai kalung itu? Tapi orang lain. Kalaupun saya yang pakai, saya takut kalung itu rusak. Tangan saya, tangan perusak.

"Tangan kamu bukan tangan perusak, Ayana! Jangan pernah bilang kalo kamu punya tangan perusak," ucapku mengeratkan genggaman tanganku dalam sela-sela jari-jemarinya.

Saya akan ganti cincin itu secepatnya, sebelum saya ke pengadilan agama untuk mengurus surat gugatan cerai.

Aku menghela napas panjang. Kata-kata yang selama ini tidak pernah ingin aku dengar, malah terlontar dari mulut Ayana, "Saya mohon jangan mengatakan hal itu, saya tidak bisa menceraikan kamu," ucapku seraya menyeka air matanya yang menetes lagi.

Sebelum kapal berhenti di pelabuhan, aku harus menelfon asisten Tante Arini untuk menjemputku. Tanganku merogoh ponsel yang ada dalam saku celanaku, dan menekan nomor ponsel asisten Tante Arini untuk meminta bantuan.

Beberapa detik kemudian sambungan telepon itu terhubung, "Halo Pak?" ucapnya dari sambungan telepon.

"Tolong siapkan kendaraan menuju ke hotel. Saya sekarang perjalanan ke Pelabuhan Bangsal. Saya membatalkan perjalanan ke Gili Trawangan karena istri saya sakit," perintahku pada asisten Tante Arini.

"Baik Pak, saya siap-siap kesana." jawabnya dalam sambungan telepon.

"Terima kasih,"

🦛🦛🦛

Sejak tiga jam yang lalu, Ayana masih belum mau membuka matanya. Ia masih terbaring lemah di ranjang. Selalu saja bibirnya bergumam tentang Sang Mama. Sesekali matanya masih mengeluarkan cairan bening.

Aku menghela napas panjang, melihatnya terus-menerus masih seperti ini. Tolong jangan seperti ini, Ayana? Ini kali pertamanya aku melihatnya sakit sampai seperti ini.

"Mama, Ayana nanti sama siapa? Ayana pengen ikut sama Mama," gumamnya lagi.

Bibirku mengulum senyum getir saat melihat Ayana mengigau tentang Mamanya lagi. Kakiku lantas melangkah berjalan mendekatinya, seraya membawa satu kotak plester hansaplast kompres demam yang sudah hampir habis dan tidak punya persediaan lagi. Tanganku juga membawa tensimeter untuk mengecek tekanan darah Ayana. Karena sedari tadi demamnya belum turun juga, dan takutnya tekanan darahnya masih dibawah rata-rata normal.

Aku duduk di tepi ranjang seraya menempelkan tanganku di dahinya. Ternyata, suhu tubuhnya masih sama seperti sebelumnya. Tanganku lantas menempelkan satu plester hansaplast kompres demam di dahinya, "Cepat sembuh. Maafkan saya," ucapku mengusap-usap pipinya pelan.

"Kenapa Mama nggak ngajak Ayana pergi? Ayana takut sendirian, Ma! Ayana ikut Mama sekarang ya?" ia mulai bergumam lagi memanggil Mamanya.

"Ayana," panggilku pelan.

"Mama," Ia sedikit terlonjak. Matanya tiba-tiba terbuka lebar. Napasnya berderu cepat, dan tanpa aba-aba cairan bening itu menetes lagi dari matanya. Seperti layaknya seseorang usai mengalami mimpi buruk.

"Ayana, ini saya." ucapku pelan, tanganku perlahan membuka alat tensimeter yang sudah aku pegang. Dan mulai melilitkan menset tensimeter di lengannya. Matanya  menatapku datar yang sedang memakaikan menset di lengannya. Tubuhnya menurut tak melawan saat aku mengecek tekanan darahnya menggunakan tensimeter.

"Ayo makan! Kamu belum makan dari tadi," perintahku lembut. Saat ini tubuhnya masih cukup lemah karena pengaruh tekanan darahnya yang cukup rendah, bisa dibilang dibawah rata-rata normal tekanan darah seseorang. Jika ia terlalu banyak bergerak, ditakutkan kehilangan keseimbangan pada tubuhnya akan kembali terjadi.

Ia tak menanggapi ucapanku. Pandangannya ia alihkan ke sembarang arah, tak menatapku lagi. Sesekali cairan bening itu keluar dari sudut kelopak matanya usai menatapku.

"Ayana," panggilku pelan seraya tanganku berniat ingin memegang tangannya namun dengan cepat ia menepisnya. Kedua tangannya ia sembunyikan dibalik selimut agar aku tak bisa memegang tangannya.

Aku menghela napas panjang, saat Ayana mulai bersikap dingin seperti ini, "Kalau begitu kamu minum dulu. Tekanan darah kamu masih rendah, jangan banyak gerak dulu. Kamu istirahat aja," perintahku.

"Saya ke apotik depan dulu, mau beli plester kompres buat jaga-jaga besok. Kamu istirahat aja! Jangan banyak gerak. Saya juga mau nyari bubur buat kamu," ucapku lagi tanpa adanya respon ucapan dari bibirnya.

Sebelum aku benar-benar beranjak. Aku menoleh ke arahnya. Ia tampak menutup tubuhnya dengan selimut dan mulai memejamkan matanya. Pundaknya tampak sedikit bergetar, dan matanya yang terpejam berkali-kali meneteskan buliran bening disana.

Maaf, saya selalu buat kesalahan yang sama.

Langkah kecilku perlahan beranjak ke arah pintu kamar dan meninggalkan Ayana yang masih terbaring di atas ranjang. Aku berjalan ke arah lift dengan langkah gontai. Sesekali menengok ke arah belakang. Berat meninggalkan Ayana yang tengah sendirian di kamar.

"Jef," panggil seseorang.

"Tante Arini?" ucapku menoleh ke sumber suara. Dan ternyata Tante Arini juga berjalan berlawanan arah denganku.

"Jef, akhirnya Tante ketemu kamu disini. Ayana gimana keadaannya. Tante dapat kabar dari asisten Tante, kalau Ayana pingsan di Rooftop private yacht. Padahal kalian belum sampai ke Gili Trawangan," tanyanya dengan raut wajah sedikit khawatir dengan keadaan Ayana.

Aku mengulum senyum simpul ke arahnya, "Iya Tante, Maaf tadi Jefri langsung membatalkan perjalanan."

Ia mengangguk cepat mendengar kalimat yang aku ucapkan, mungkin ia sudah paham kenapa aku tiba-tiba membatalkan perjalanan ke Gili Trawangan, "Iya nggak papa. Terus sekarang keadaannya gimana?" tanyanya lagi.

"Tekanan darahnya masih rendah. Dia sedikit demam, ini Jefri mau ke apotik beli plester kompres. Sekalian mau beli bubur kalau ada yang jual di sekitar hotel,"

"Nggak usah beli. Nanti buburnya biar dibuatkan pegawai dapur hotel aja. Nanti Tante Arini bantu bilang ke bagian dapur hotel, biar buburnya di antar ke kamar kamu,"

"Makasih banyak Tante, kalau begitu, Jefri pamit ke apotik dulu, takut Ayana terlalu lama nunggu," pamitku.

Ia mengangguk pelan sembari mengulum senyum simpulnya ke arahku, "Iya, titip salam ke istri kamu, semoga cepat sembuh ya?" pesannya.

Aku mengangguk dan kemudian melangkah masuk ke dalam lift saat lift sudah terbuka lebar. Tanganku menekan tombol close pada panel pintu lift untuk menutup pintu, dan kemudian menekan tombol satu untuk turun ke lantai dasar.

Selang beberapa menit, lift turun dengan sendirinya sampai di lantai satu, lantai paling dasar. Tanganku segera menekan tombol open untuk membuka pintu lift. Saat pintu terbuka sempurna, aku cepat-cepat keluar dari sana, dan berjalan ke luar hotel untuk mencari apotek terdekat.

Kata Tante Arini, di depan hotel ada satu apotek disana. Jadi aku menuruti apa katanya saja. Dari pada berjalan jauh-jauh mencari apotek lain yang akan membuang-buang waktu nantinya.

Iya benar, mataku menangkap satu apotek disana. Aku segera berjalan ke arah apotek itu untuk membeli plester kompres. Untuk obat-obatan lainnya aku sengaja tidak membeli karena sudah membawanya dari rumah. Jadi tidak perlu beli disini. Hanya plester kompres yang aku lupa membawanya banyak untuk persediaan.

Usai membeli plester kompres. Aku cepat-cepat kembali ke hotel lagi, tak perlu membeli bubur untuk Ayana karena bubur sudah disiapkan oleh Tante Arini. Takut Ayana menungguku terlalu lama aku lantas mempercepat langkahku menaiki lift.

Selang beberapa menit, pintu lift terbuka sempurna di lantai yang aku tuju, dan aku segera keluar dari sana melangkahkan kakiku cepat ke arah kamar, "Ayana, buburnya sebentar lagi diantar. Kamu minum—"

Ucapanku terhenti saat tak mendapati Ayana terbaring disana. Ayana kemana? Aku masuk ke dalam kamar dan mengecek pintu kamar mandi, barangkali ia ada disana.

"Ayana," ucapku seraya menggedor-gedor pintu kamar mandi.  Namun, tak ada sahutan di dalam sana. Raut wajahku mulai panik.

Ayana kamu dimana? Kondisi tubuhmu masih belum sepenuhnya stabil. Jangan buat saya khawatir lagi!

Aku membuka paksa pintu kamar mandi untuk mengecek apakah Ayana ada di sana atau tidak. Dan ternyata kamar mandi pun kosong. Tidak ada Ayana.

"Ayana kamu dimana?" ucapku panik seraya mengacak-acak rambutku kasar.

Aku lantas merogoh ponselku yang ada di dalam saku celana, untuk menghubunginya. Sambungan telepon dari ponselnya terhubung, namun tak kunjung ia angkat, "Ayana, angkat!"

"Kamu masih sakit, jangan buat saya khawatir. Angkat telfonnya, Ayana!" ucapku lagi saat tanganku menekan berkali-kali sambungan telepon untuk menghubunginya. Namun, satu pun ia tak mengangkat sambungan telepon itu.

Dreet...dreett...
Terdapat satu pesan masuk dalam ponselku. Aku lantas segera membukanya. Dan benar saja, Ayana yang telah mengirimkan pesan itu.

(1 Pesan Belum Dibaca)

Ayana Aurora
|Maaf kalau saya kesannya lancang ke Pak Jefri, karena pergi tanpa izin. Pak Jefri nggak perlu khawatir, setelah ini saya akan cepat-cepat mengurus surat gugatan cerai itu. Saya nggak mau Pak Jefri terus-menerus terbebani karena terpaksa mencintai saya dan peduli sama saya.|

"Ayana, jangan seperti ini. Kamu belum benar-benar sembuh,"

Aku mencoba menghubungi ponselnya lagi. Saat ini aku butuh bicara dengannya, "Tolong angkat telfon saya, Ayana!" ucapku panik.

To Be Continue....

Kasih tau mana yang typo ya? Segitu dulu ya? Part ini. Maaf nunggu lama. Tadinya mau update kemarin tapi ada kendala jadi nunda lagi. Aku mau ngucapin makasih banyak udah stay baca sampai sini. Terus udah komen vote juga. Pas lihat angka komen ternyata 100 lebih yang komen kemarin 😭
Segitu dulu, see you 🥰 kalo nggak dapat feel maaf banget :( tulisannya ya seadanya gini. Nggak bagus-bagus amat. Tapi semoga suka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top