BAGIAN 48 - THALASSOPHOBIA (2)

Aku terlalu sering mengorbankan perasaanku untuk melihat orang lain bahagia. Sampai-sampai semesta seolah-olah tidak mengizinkanku untuk bahagia.

°°° AYANA POV  °°°

Mataku menatap manik-manik mata Pak Jefri untuk mencari celah-celah disana, berharap aku menemukan jawaban di matanya, karena mulutnya sedari tadi masih bungkam, "Jawab Pak! Bapak masih mencintainya kan? Terus sikap Bapak selama ini ke saya untuk apa?"

Ia menatapku nanar. Bibirnya masih terkunci, tak menjawab apa yang aku tanyakan saat ini, "Saya terlalu percaya diri menganggap Pak Jefri udah mencintai saya, padahal kenyataannya tidak,"

Perlahan tangannya berniat untuk memegang tanganku, tapi dengan cepat aku menepisnya, "Ayana," panggilnya lirih dengan tatapan sayu.

"Ayana dengerin saya!" pintanya berniat memberi jawaban, namun nihil. Ia mengusap kasar wajahnya, dan lagi-lagi tak bisa membuka bibirnya untuk memberiku penjelasan.

Buliran bening di mataku tak sengaja menetes saat menatapnya, "Saya harus dengar penjelasan Bapak yang mana lagi? Kalau perasaan Pak Jefri udah jelas, bukan saya orang yang ada di hati Pak Jefri. Perasaan Bapak sama lisan Bapak itu nggak pernah sama," ucapku sembari mengusap cairan yang ada di sudut kelopak mataku dengan satu tangan.

Aku mengatur deru napasku yang tersengal-sengal, mata sayuku menatapnya penuh tanda tanya, "Pak Jefri selalu bilang kalau saya istri Bapak. Tapi itu cuma di lisan. Bukan di hati Bapak,"

Buliran air di kelopak mataku lagi-lagi tak sengaja menetes, bibirku seolah-olah tak mampu berbicara lagi. Tapi aku butuh mengatakan semuanya. Mengatakan apa yang ingin aku katakan saat ini.

Tangan Pak Jefri memegang pundakku yang bergetar, menghela napas pelan dan beberapa detik kemudian menatapku dengan tatapan sedu, "Ayana, saya akan berusaha membuka hati untuk kamu. Tapi saya butuh waktu," ucapnya lirih.

Aku menghela napas sesak, mendengar kalimat yang baru saja ia katakan. Aku yakin sampai kapanpun Ia akan terus menjawabnya seperti itu. Sampai kapan aku harus menunggunya? Aku lelah berdebat dengan masalah yang sama.

Aku sedikit menyingkirkan tangannya yang bertengger di pundakku, "Kalau Bapak terpaksa. Lebih baik jangan buka hati Bapak untuk saya. Saya nggak mau Pak Jefri terpaksa membuka hati untuk saya."

Sebenarnya aku tidak ingin menangis di depan orang lain. Tapi aku tidak bisa menahan buliran bening ini. Buliran ini keluar tanpa diminta, "Saya tau kalau pernikahan ini atas dasar perjodohan. Nggak gampang mempertahankannya kalau salah satu yang berjuang mencintai. Maafkan Almarhum Mama saya yang meminta perjodohan ini, kalau Bapak terpaksa mencintai saya,"

"Ayana, saya—" kalimatnya terhenti saat aku mencoba memotong ucapannya, "Lagi pula saya juga capek, konflik-konflik kayak gini selalu saja melibatkan Amira. Dan saya juga nggak tau dia siapa. Saya nggak mau nantinya dipikiran saya, terus-menerus menyalahkannya dan berburuk sangka sama dia,"

Bibirku yang bergetar, aku terpaksa mengulum senyum getir di depannya "Dari dulu saya kira Pak Jefri udah belajar membuka hati untuk saya dan melupakan dia. Nyatanya enggak ya Pak? Sebegitu besarnya ya? Cinta Bapak sama dia," ucapku seraya berusaha mengulum senyum meskipun tanpa getir.

"Kadang saya ada rasa iri sama dia. Bertahun-tahun dicintai Pak Jefri. Di tempatkan di ruang spesial yang ada di hati Bapak,"

"Ayana—" ucapnya lagi. Namun dengan cepat aku memotong ucapannya lagi ke sekian kalinya, "Sedangkan saya? Saya nggak pernah dapat ruang di hati Pak Jefri. Kadang saya bingung sama perasaan Bapak ke saya. Saya salah ya jatuh cinta sama Pak jefri?"

"Saya butuh waktu—" ucapnya menunduk, tak menatapku yang terus menerus memotong kalimatnya.

"Sampai kapan? Sampai kapan saya harus dengar jawaban Pak Jefri kalau Pak Jefri butuh waktu? Sampai saya nggak bernapas lagi ya?"

"Setiap kali ada konflik yang melibatkan Amira. Saya selalu bilang sama diri saya sendiri, kalau Pak Jefri nantinya perlahan bisa mengubur masa lalunya. Makanya saya selalu beri kesempatan untuk tidak berdebat lagi tentang masa lalu Bapak. Tapi sekarang? Saya lelah terus-menerus berdebat masalah ini. Masalah yang sama,"

Ia menghela napas panjang. Tangan kanannya mengusap wajahnya kasar, dan sedetik kemudian menatapku sayu, "Saya minta tolong sama kamu, tolong pahami masa lalu saya," ucapnya lirih.

"Bagaimana saya harus memahami masa lalu Bapak? Sedangkan Pak Jefri sendiri nggak pernah ada usaha untuk menguburnya," ucapku dengan bibir sedikit bergetar. Tangisku pecah lagi. Napasku tersengal-sengal, tak bisa melanjutkan kalimatku.

Aku lantas memompa sedikit pasokan oksigen yang ada di tubuhku sebelum melanjutkan kalimatku yang terhenti, "Kalau saya kesannya memaksa Pak Jefri untuk mencintai saya. Saya akan mundur,"

Tanganku menarik kencang kalung yang ada di leherku. Iya, kalung yang diberikan Pak Jefri kemarin. Rasanya aku tidak pantas memakai kalung itu. Aku saja yang terlalu percaya diri menganggap kalau kalung inisial A itu adalah Ayana. Belum tentu apa yang aku pikirkan benar. Karena banyak inisial A lainnya, bukan hanya Ayana.

"Kalung ini saya kembalikan," ucapku meletakkan kalung itu di tangannya. Ia sedikit termangu, saat aku mengembalikan kalung itu di tangannya, "Kenapa kamu kembalikan?" tanyanya.

Bibirku mengulum senyum getir mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutnya, "Bukan saya kan yang harusnya pakai kalung itu? Tapi orang lain. Kalaupun saya yang pakai, saya takut kalung itu rusak. Tangan saya, tangan perusak,"

Ia melebarkan matanya mendengar kalimatku yang baru saja terucap, tangannya perlahan meraih tanganku dan mengembalikan kalung itu di tanganku. Tapi dengan cepat aku menolaknya, "Ayana—" ucapnya ingin menjelaskan namun dengan cepat aku memotongnya.

"Nggak papa, saya juga nggak pantas pakai kalung itu—" kalimatku terhenti karena cairan bening di kelopak mataku menetes lagi, "Bukan hak saya memakai kalung itu," lanjutku.

"Untuk cincin pernikahan yang saya hilangkan. Bapak nggak perlu mencarinya. Saya akan ganti secepatnya pakai uang. Saya akan tanggung jawab buat ganti cincin itu. Maaf, udah buat cincin itu hilang, saya emang ceroboh." ucapku lagi. Otakku mengingat-ingat lagi kejadian tempo hari mengenai cincin pernikahan yang hilang karena salahku.

"Saya akan ganti cincin itu secepatnya, sebelum saya ke pengadilan agama untuk mengurus surat gugatan cerai,"

"Maksud kamu apa?" tanyanya cepat saat aku baru saja selesai mengucapkan kalimatku. Matanya sedikit melebar lagi, terperanjat saat aku memutuskan ini sepihak.

"Kalau perjodohan ini atas dasar permintaan Mama saya, yang membuat Pak Jefri terpaksa menerimanya. Saya akan urus surat itu secepatnya. Pak Jefri nggak perlu lagi terpaksa mencintai saya," jawabku menunduk.

Ia menggeleng cepat, tangannya lagi- lagi menggengamku, "Ayana, Kamu ngomong apa? Saya tidak akan menceraikan kamu,"

"Kalau alasan Bapak nggak bisa menceraikan saya karena takut mengecewakan Umi. Nanti saya sendiri yang bilang ke Umi. Saya yakin Umi juga paham," jawabku lagi seraya melepas tangannya yang masih bertengger menggengamku.

Aku lantas beranjak meninggalkan Pak Jefri yang masih mematung di tempat. Dengan langkah gontai dan bibir yang masih bergetar, aku berjalan ke arah pintu Rooftop Kapal.

Aku ingin menangis lebih banyak sekarang tanpa ada Pak Jefri di depanku. Tanganku membuka pintu Rooftop dan berjalan satu langkah, lalu menutup pintu itu lagi.

Aku disini sendiri, terduduk di atas Rooftop Private Yacht. Tidak ada siapapun disini, hanya ada aku. Kakiku rasanya tak mampu berdiri. Saat ini, Aku melihat apa yang tidak ingin aku lihat selama ini. Laut luas mengelilingiku. Laut itu yang membuatku takut, "Ma, yang Ayana takutkan sekarang terjadi. Ayana akan bercerai sama Pak Jefri," ucapku meringkuk, memeluk lututku dan menenggelamkan kepalaku di sela-sela lutut.

"Ayana kira dengan bulan madu sama Pak Jefri, Ayana bakal sembuh dari ketakutan ini. Tapi nyatanya malah memperburuk," gumamku dengan bibir yang bergetar dan masih menenggelamkan kepalaku di tengah-tengah kedua lutut.

"Pak Jefri mencintai orang lain. Bukan mencintai Ayana. Bodoh ya Ma Ayana? Terlalu percaya diri kalau Pak Jefri mencintai Ayana, padahal bukan Ayana yang dicintai. Ayana nggak pantes dicintai laki-laki ya Ma?" ucapku seolah-olah berbicara dengan Mama. Dan seolah-olah menganggap kalau Mama mengelus-elus pundakku pelan. Dan tersenyum disana.

Aku membiarkan buliran bening ini menetes lagi, "Mama, Ayana pengen Mama disini. Ayana pengen ikut Mama. Ayana sendiri disini," kalimatku terjeda beberapa detik karena suara tangis dan deru napasku bersaut-sautan, "Ayana takut sendirian disini," lanjutku.

Kepalaku perlahan sedikit mendongak. Mataku menatap hamparan laut luas yang mengelilingiku. Aku sedikit menggigit bibirku yang mengatup, "Ayana takut air itu, Ma!" ucapku dengan mulut yang kubungkam.

Bayang-bayang Papa muncul lagi. Penyebab Mama meninggal adalah Papa. Laki-laki itu yang selalu menyiksa Mama. Laki-laki itu yang selalu memarahi Mama di depanku. Menganggap kalau Mama pembawa masalah dalam pernikahan. Padahal Mama tidak salah apa-apa. Dia yang sering menyiksa, karena sikap pemarahnya.

"Terus kamu kemana aja saat aku mengandung Ayana? Kamu tidak pernah pulang ke rumah untuk menjenguk Ayana. Kamu hanya bersenang-senang di luar, tanpa peduli dengan Ayana," ucap Mama seraya memegang pipinya karena Papa menamparnya lagi. Iya, pertengkaran itu terjadi di kapal saat aku, Mama dan Papa pergi ke Lampung.

"Sampai sekarang, Aku yang membesarkan Ayana sendiri, tanpa nafkah kamu." ucap Mama lagi. Tangan Papa geram ingin menampar Mama. Tapi masih ia tahan. Aku yang masih belum mengerti masalah apa yang mereka perdebatkan hanya bisa melihatnya dari kejauhan.

Mama menghela napas sesak. Tangannya sedikit memegang pagar pembatas balkon kapal yang tidak terlalu tinggi, "Aku masih bertahan, bertahun-tahun. Kamu cuma mementingkan ego kamu. Bersembunyi di balik sifat tempramenmu,"

Plak!

Tangan Papa yang akhirnya jatuh di pipi Mama. Satu tamparan itu mendarat di pipi Mama, "BANYAK NGOMONG! KAMU SEMBUNYIKAN DIMANA BERKAS-BERKAS ITU?" bentak Papa dengan amarah yang tak bisa ia ditahan.

Aku ingin menghentikan perlakuan Papa, dan menolong Mama. Aku ingin memeluk Mama. Tapi lututku rasanya lemah untuk melangkah kesana. Takut Papa memukulku juga.

Mata Mama sedikit berkaca-kaca. Napasnya berderu kasar, sorot matanya menatap Papa tajam, "Sampai kapanpun, surat itu akan ada ditangan Ayana kalau Ayana sudah besar. Aku tidak akan memberikan surat itu ke kamu,"

"KALAU KAMU MATI, AYANA AKAN PINDAH HAK ASUH KE TANGANKU." bentak Papa lagi.

"SAMPAI AKU MATI PUN AYANA TIDAK AKAN PINDAH HAK ASUH KE TANGANMU,"

Mendengar bentakan perlawanan dari Mama, emosi Papa meluap. Tangannya mengepal, "PEREMPUAN NGGAK TAU DIRI," bentaknya lagi. Aku sontak langsung berlari ke arah Mama saat Papa berniat ingin mendorong Mama ke laut lepas.

"Mama ...." teriakku kencang memeluk Mama.

Bukan Mama yang hampir terdorong, namun tubuh mungilku. Mama masih di atas kapal. Tangan kuat Mama berhasil memegang pagar pembatas balkon Kapal yang tidak terlalu tinggi. Menyangga tubuhnya agar tidak terjatuh. Namun, tangan mungilku tidak bisa menahan keseimbangan. Aku hampir terjatuh di laut lepas. Kakiku menggantung keluar pagar pembatas dan tangan mungilku memegang pagar itu sebagai tumpuan agar tidak terjatuh.

"Ayana pegangan Mama sayang, Mama tarik kamu," Aku hanya menangis ketakutan, takut dengan ombak yang ada di tengah laut, yang sudah hampir menyentuh kakiku yang menggantung. Untung saja, lagi-lagi tangan kuat Mama menarik tubuh mungilku untuk naik ke atas kapal lagi.

Tubuh ringkihku bergetar hebat saat sudah ada di atas kapal lagi. Mama menggendongku masuk ke dalam kapal. Dan meminta bantuan beberapa kru kapal untuk menolongku agar tidak menangis lagi, "Ayana! Ini Mama. Kamu baik-baik saja Nak, Jangan nangis ya?" ucap Mama memelukku.

"Ayana, Ayana ini Mama," ucapnya lagi. Mama mengusap pelan cairan bening yang ada di sudut kelopak mataku.

Beberapa penumpang kapal menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, mengapa tadi ada sedikit keributan? Tapi Mama hanya tersenyum ke arah mereka mengisyaratkan tidak ada apa-apa. Bahkan, ketika ada salah satu dari mereka yang sempat melihat kejadian itu, ia ingin melaporkan ke kru kapal agar ditindaklanjuti, tapi Mama menolaknya.

Papa. Laki-laki itu hanya diam. Tak menolongku ataupun menolong Mama. Aku tidak tahu, hatinya terbuat dari apa sampai bisa-bisanya melukai wanita kuat yang memeluk tubuh mungilku ini.

Aku tersadar dari bayang-bayang kejadian itu lagi. Pipiku sedari tadi sudah basah karena buliran cairan bening ini yang terus-menerus menetes, "Ayana pengen Mama disini," gumamku dengan bibir yang bergetar dan masih tak berani menatap laut yang mengelilingiku saat ini.

"Ayana pengen ikut Mama,"

"Ayana pengen sama Mama sekarang,"

"Ayana takut,"

"Ayana takut air itu,"

Tubuh ringkihku bergetar hebat saat kapal yang aku tumpangi lagi dan lagi  melewati sedikit goncangan ombak. Aku menenggelamkan kepalaku di sela-sela lutut. Angin laut berhembus mengenai tubuhku. Dadaku rasanya semakin sesak, dan aku hampir kehilangan pandanganku.

Tubuhku perlahan tidak bisa menahan keseimbangannya, aku terjatuh di atas Rooftop kapal, pandanganku bahkan hampir hilang namun samar-samar aku masih bisa mendengar suara ombak laut yang berdesis disana, "Ayana pengen sama Mama," ucapku lirih.

"Ayana," seseorang memanggilku kencang. Aku tidak tau pasti siapa itu. Aku hanya mendengar suara samarnya di telingaku. Pandanganku sudah benar-benar hampir hilang.

"Ayana, bangun!" ucapnya meraih tubuhku dalam rengkuhannya. Aku masih bisa merasakan dekapan itu. Tapi mataku seakan tidak bisa terbuka untuk melihat siapa yang memelukku, "Ayana pengen ikut Mama," ucapku lirih sebelum pandanganku benar-benar hilang.

"AYANAAAAAA!"

To Be Continue...

Akhirnya update cepet kan? Wkwkw Makasih udah stay baca sampai sini. See you next chapter 🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top