BAGIAN 46 - INISIAL 'A' UNTUK AYANA, KAN?

Mataku menelisik beberapa sudut hotel di lantai lima untuk mencari Ayana yang katanya tadi, ia ingin keluar kamar sebentar hanya untuk mencari angin. Tapi nyatanya, sudah hampir tengah malam ia tidak kembali ke kamar.

Mataku tiba-tiba terkunci pada perempuan yang tengah terduduk di kursi panjang dekat dengan kolam renang. Itu dia. Sedang apa dia disana? Kurang kerjaan, bukannya tidur malah begadang terus. Aku berjalan mendekatinya dengan derap langkah kecil tak bersuara, berharap ia tak menyadari.

Aku berdehem pelan di belakangnya, "Tengah malam biasanya disini ada perempuan rambutnya panjang suka ketawa, suka ngikutin orang yang sendirian duduk disini," bisikku pelan dari belakang untuk menakut-nakutinya. Ia yang mendengar bisikanku dari belakang, spontan tiba-tiba tersedak dan makanan yang ia pegang hampir tumpah.

"Pak Jefri, bisa nggak, nggak usah nakut-nakutin saya!" ucapnya tajam sembari tangannya mengusap pelan sisa-sisa makanan di sudut bibirnya.

Aku sontak terkekeh pelan dan lantas ikut mendudukkan tubuhku di sampingnya, "Makan apa?" tanyaku seraya meliriknya yang tengah asik melahap makanannya lagi.

"Salad buah," jawabnya ketus. Dia masih marah soal ucapanku tadi. Biarkan saja. Semakin lama wajahnya ditekuk, aku semakin ingin mengacak-acak rambutnya.

"Beli dimana, kamu?"

"Tadi pesan antar pakek aplikasi,"

"Tanya mulu. Kenapa emang? Bapak mau juga?" tanyanya ketus ke arahku. Spontan aku terkekeh lagi. Bisa ku tebak, dia masih kesal dengan candaanku tadi. Wajahnya aja yang kelihatan galak, tapi nyalinya cemen urusan begini. Padahal tidak ada apa-apa disini. Aku saja yang suka menakut-nakutinya.

Aku mengangguk-anggukan kepalaku pelan dengan bibir yang masih menahan senyum, "Boleh, mana saladnya?" jawabku.

"Ya kalo mau salad ya beli sendiri lah," jawabnya enteng seraya menjulurkan lidahnya ke arahku.

Sialan!

Melihatnya yang masih menertawakanku, tanganku spontan menarik ujung telinganya dan mataku menatapnya tajam. Tidak peduli dia meringis atau tidak, "Aakkhhhh .... Sakit Pak!" pekiknya keras.

"Jangan keras-keras! Yang di belakang kamu ikut terganggu. Kamu teriak-teriak tadi," ujarku mengisyaratkannya agar tidak berteriak di jam tengah malam seperti ini.

"Bapak jangan makin nakut-nakutin!" gertaknya. Ia sedikit melebarkan matanya menatapku dan menggeser pelan duduknya mendekatiku.

"Telinga saya sakit, Bapak main narik aja," gerutunya lagi dengan bibir yang masih mengerucut, membuatku semakin terkekeh melihat raut wajahnya yang ikut ditekuk. Udah jelek, makin jelek, "Ya udah saya minta maaf, Mana salad buahnya?" ucapku mengalah.

"Nih ambil!" perintahnya ketus lagi seraya menyodorkan mangkuk plastik salad buah yang isinya hampir habis.

Aku berdehem pelan. Dengan mata yang sedikit meliriknya, "Tangan saya belum pakai hand sanitizer jadi nggak bisa nyendok sendiri," ucapku.

Ia mendengus kesal, dengan raut wajah yang masih ditekuk dan tatapan tajam masih menyorot ke arahku. Tangannya kemudian perlahan menyendok salad buah dan mendekatkannya ke arahku, "Nih," ucapnya melayangkan sesendok salad buah ke arah mulutku yang sudah siap terbuka.

"Enak?" tanyanya.

Aku mengangguk pelan seraya mengacak-acak pelan pucuk kepalanya, "Lumayan," jawabku mengulum senyum tipis ke arahnya dan beberapa detik kemudian mataku cepat-cepat aku alihkan ke arah ponsel yang aku genggam karena sedari tadi ponselku berdering menandakan ada notifikasi masuk di ponselku.

"Itu aplikasi dokter buat konsultasi medis ya, Pak?" tanyanya tiba-tiba yang sudah mendekatkan kepalanya di pundakku seraya matanya ikut melirik layar ponsel yang ku pegang.

"Iya, baru sempat saya buka," jawabku seraya meliriknya sekilas.

"Kamu mau konsultasi sama saya juga?" tanyaku lagi ke arahnya yang masih menempelkan kepalanya di pundakku.

Ia menggeleng pelan, dan mendongakkan wajahnya menatapku, "Enggak. Emang saya mau konsultasi apa sama Pak Jefri?" tanyanya dengan dahi yang berkerut.

Tanganku perlahan mengacak-acak pucuk kepalanya dan beberapa detik mencium singkat pucuk kepala itu, "Ya siapa tau syaraf kamu ada yang rusak," jawabku terkekeh pelan.

Mendengar ucapanku, ia spontan sedikit mendelik. Tak terima dengan ucapan yang barusan keluar dari mulutku, "Enak aja kalo ngomong," sahutnya seraya memukul lenganku pelan.

Aku tertawa kecil dan membiarkan Ayana yang masih menggerutu. Mataku terfokus lagi ke layar ponsel yang ada digenggamanku dan membiarkan kepala Ayana yang masih betah bertengger di pundakku, seraya sesekali matanya ikut menelisik layar ponsel yang aku pegang, "Kuliah kedokteran susah ya Pak, dulu?" tanyanya lagi pelan.

Ada-ada aja pertanyaan kamu!

Mataku meliriknya sekilas dan beberapa detik kemudian beralih menatap ponsel lagi, "Nggak juga. Kenapa tiba-tiba tanya gitu?"

Kepala yang masih bersandar di pundakku itu kemudian menggeleng pelan, "Cuma tanya aja. Dulu saya pernah punya cita-cita jadi dokter waktu sekolah dasar. Tapi lama-lama nggak jadi soalnya insecure, otak saya kalo dibuat mikir berat gampang capek. Maunya rebahan mulu. Mana ada dokter yang kerjaannya rebahan mulu kayak saya?"

Aku sontak terkekeh geli mendengar pengakuannya, "Itu emang kamunya aja yang suka males-malesan terus," timpalku. Ia langsung memelototiku tak terima karena aku mengatakannya kalau ia memang pemalas, "Ya nggak males terus Pak. Enak aja! Dikit-dikit saya juga rajin," protesnya tak terima dikatakan pemalas.

"Karena saya yang maksa. Jadinya kamu rajin. Dikasih hadiah dulu baru rajin. Kayak anak kecil kamu,"

"Yang penting kan sekarang udah lulus," ucapnya bangga. Terserah dia. Semaunya aja. Aku malas berdebat dengannya. Aku kembali fokus ke layar ponselku lagi. Dan Ayana membiarkan kepala Ayana yang masih betah bersandar di pundakku.

"Pak, Mamat kan katanya tetangga Bapak, tapi kok selama saya tinggal di rumah Pak Jefri, saya jarang ketemu Mamat." tanyanya lagi. Pertanyaan apalagi ini? Ada aja yang ditanyakan Ayana.

"Neneknya yang tetangga saya, dia dulu sering main ke rumah neneknya. Tapi sekarang lebih sering pulang ke rumah orang tuanya," jelasku.

"Kamu tau Rahmad tetangga saya dari mana?" tanyaku balik.

Ia perlahan menjauhkan kepalanya dari pundakku, "Dari dia sendiri lah yang ngomong. Masak saya stalking, kurang kerjaan banget saya stalking Bapak. Pas KKN saya emang yang disuruh jemput Bapak buat persiapan sosialisasi proker. Harusnya yang jemput Bapak kan Mamat soalnya dia yang tau Pak Jefri. Malah saya yang disuruh jemput," terangnya.

"Kenapa mau jemput saya di perbatasan gapura desa waktu itu? Rahmat pernah bilang ya kalo ada pemateri sosialisasi yang ganteng? Makanya kamu langsung mau jemput saya?" godaku lagi seraya terkekeh pelan.

Spontan ia melebarkan matanya menatapku, "Kok Percaya diri banget jadi orang, enak aja. Mamat banyak alasan katanya sibuk ngurus posyandu, Adisa sibuk sama Pak Kades, Si Dito Geblek juga ikut-ikutan sibuk ngurus duit. Saya sendiri yang gabut. Nggak ada kesibukan. Lagian saya bukan anak kesehatan, main dimasukin aja ke devisi kesehatan. Kan kesel jadinya, nggak tau apa-apa. Berasa bego saya di devisi kesehatan," gerutunya.

Aku mengulum senyum tipis menatapnya, ia melanjutkan kalimatnya yang tadi belum selesai, "Terus ketemu Bapak juga ngeselin banget, sampai sekarang juga ngeselin sih! Cuma kadarnya aja yang berkurang dikit," tambahnya.

Aku hanya mengangguk-anggukan kepalaku seraya menahan senyum dan seolah mengerti yang ia maksud, "Kapan saya ngeselin?" tanyaku enteng.

Ia mendelik ke arahku, "Nanya kapan? Tiap hari Bapak bikin naik darah terus. Kok bisa-bisanya nggak sadar," gerutunya.

"Kamu juga. Bikin saya naik darah," jawabku santai.

"Tapi kan setidaknya saya masih baik jadi orang. Nggak kayak Bapak. Ngeselin terus tiap hari. Ngeselinnya sama saya doang. Sama Adisa sama Mamat sama Dito baiknya bukan main, main traktir sana sini. Curang!"

Mulutku terkunci dan masih bergeming tak menanggapi ucapan Ayana yang sempat sebal padaku. Ia masih terus menggerutu dan sesekali berdecak sebal karena kesal mengingat pengalaman buruk pertama kali bertemu denganku. Bodo amat, biarkan saja dia terus menggerutu. Wajah Ayana  menggemaskan kalau ia sudah meledak-ledak seperti ini.

Bibirku sedikit tersungging, menatapnya yang masih terus- menerus menggerutu. Tanganku perlahan sedikit menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajahnya karena tersapu angin, dan kemudian menyelipkannya di belakang telinganya, "Cantik," ucapku samar.

Ayana tertegun. Ia tiba-tiba menghentikan ucapannya dan menatapku tanpa berkedip, "M-maksudnya?" tanyanya tiba-tiba.

Aku segera menguraikan pandanganku ke kolam renang yang ada di depanku dan menetralkan detak jantungku yang sempat berpacu tidak normal, "Ng....Nggak, salad buahnya tadi cantik," ujarku tidak masuk akal sama sekali.

"Kirain Pak Jefri muji saya cantik," cicitnya.

Iya kamu cantik, kalo tidur!

Drett...drettt...dreettt
Aku menoleh ke arah Ayana yang tengah membuka layar ponselnya yang berdering. Melirik layar ponselnya sekilas dan mendapati ada sebuah pesan masuk di ponselnya. Tapi aku tidak tau pasti pesan dari siapa karena hurufnya terlalu kecil untuk ku baca sekilas.

"Pesan dari siapa?" tanyaku.

Ia hanya bergumam tak menjawab pertanyaanku, jari jemarinya masih sibuk membalas pesan tersebut, "Pesan dari siapa?" tanyaku lagi saat pertanyaanku tadi diabaikan.

"Oh ini? Biasa pesan dari kesayangan." jawabnya.

"Siapa?"

"Kepo deh, kebiasaan!"

Aku berdecak sebal saat menatap Ayana yang tengah tertawa ringan membaca pesan yang ada di ponselnya, "Kalo ada orang ngomong jangan kebiasaan main hp. Nggak sopan!" cibirku.

Ia melirikku sekilas dan tak lama kemudian mengalihkan pandangannya ke ponselnya lagi, "Kan nggak ada salahnya bales pesan dari kesayangan," protesnya.

"Mana HP-nya?" ujarku berniat merebut ponsel Ayana.

Ayana sedikit menjauhkan ponselnya dari tanganku yang berniat merebutnya, "Mau ngapain?"

"Mau lihat pesan dari siapa,"

"Pesan dari Umi ngirimin foto Badak lagi main bola kecil. Dia belum tidur jam segini. Lucu banget kan? Kangen dia jadinya. Emang Pak Jefri ngiranya pesan dari siapa?" jawabnya memperlihatkan layar ponselnya ke arahku.

Aku menghela napas lega, mengurungkan niatku merebut ponselnya lagi, "Bukan siapa-siapa,"

"Besok bangun pagi, siap-siap berangkat ke Gili Trawangan," ucapku mengalihkan pembicaraan.

Ia menutup ponselnya, dan kemudian menatapku dengan tatapan penuh tanya. Raut wajahnya seketika berubah, "Emang besok beneran jadi ke Gili Trawangan ya Pak?" tanyanya memastikan.

"Jadi. Emangnya kenapa?"

"Di undur sehari lagi boleh? Saya masih pengen jalan-jalan ke Mall sekitar sini, pengen beli sesuatu." ucapnya menunduk tak berani menatapku.

"Tadi udah beli piyama, beli makanan, beli sepatu. Mau beli apa lagi?" tanyaku lirih.

Ia masih menunduk, tak menjawab pertanyaanku, "Tante Arini udah nyiapin kapal buat ke Gili Trawangan. Nggak enak kalo kita ngundur jadwal," jawabku meyakinkan.

Ayana masih menundukkan kepalanya. Dengan bibir yang sedikit mengerucut ia memegang lenganku pelan, "Kenapa?" tanyaku pelan.

Tanpa aba-aba Ayana memelukku. Bibirnya sedikit bergetar. Ingin mengatakan sesuatu tapi tampak ia tahan jadi aku samar-samar tidak mendengarnya, "Saya takut—" ucapnya dengan suara parau.

Aku membiarkan ia mengeratkan pelukannya. Tidak mengerti apa yang Ayana takutkan. Setiap kali aku membahas jadwal ke Gili Trawangan ia selalu mengalihkan pembicaraan. Sama seperti sekarang ini. Dia menyembunyikan semuanya.

"Saya beneran nggak berani naik kapal. Saya takut," ucapnya lagi dengan bibir yang sedikit bergetar.

Tanganku mengusap-usap pucuk kepalanya pelan, "Takut kenapa?" tanyaku padanya lagi. Beberapa detik ia tak langsung menjawab pertanyaanku. Mungkin saja ia tidak terbiasa naik kapal jadinya tidak berani ke Gili Trawangan. Aku menepuk-nepuk pundaknya pelan, "Ada saya .... nggak usah khawatir, nggak perlu takut. Saya ada di dekat kamu."

"Gimana kalo ternyata Pak Jefri tiba-tiba ninggalin saya? Terus saya sendirian disana?" tanyanya ke arahku.

Aku mengerutkan dahiku, mencerna kalimat yang baru saja diucapkan Ayana, "Kamu ngomong apa? Saya nggak kemana-mana," jawabku meyakinkan.

Ia tak menanggapi ucapanku dan semakin mengeratkan pelukannya, seolah-olah mengisyaratkanku untuk tidak berangkat kesana, "Nggak usah dipikirin, nggak ada apa-apa. Kalo kamu takut naik kapal, besok dicoba buat nggak takut. Pegangan tangan saya. Pelan-pelan, besok dicoba," ucapku mencoba menenangkannya lagi.

"Pak Jefri beneran nggak ninggalin saya kan besok?"

Aku menggelengkan kepala pelan seraya mengulum senyum tipis, "Nggak,"

"Bener kan Pak?"

"Iya Ayana,"

Tanganku kemudian sedikit mengurai pelukannya dan mengisyaratkan Ayana untuk ikut beranjak, "Ayo masuk! Di luar dingin," perintahku agar Ayana segera kembali ke kamar.

Ia kemudian ikut beranjak dari duduknya berniat untuk melangkahkan kakinya. Tapi beberapa detik kemudian aku menahan langkahnya, "Kenapa?" tanyanya.

"Buat kamu," ucapku mengeluarkan sebuah kotak perhiasan kalung di saku celanaku. Kalung hati dengan lapisan emas putih. Dalam bandul hati tersebut terdapat ukiran huruf 'A'.

Aku meletakkan kotak tersebut di tangan Ayana, dan ia perlahan membuka kotak perhiasan tersebut, "Kalung? Tumben ngasih saya kalung? Beli dimana? Kok saya nggak tau Bapak tadi di Mall beli kalung? Nyolong di Mall ya?" ia menghujaniku dengan beberapa pertanyaan yang tidak perlu aku jawab.

"Ada hurufnya juga disini?" tanyanya lagi. 

"Huruf A? Huruf A ini beneran buat saya?" ucapnya saat membaca ukiran huruf kecil di bandul hati tersebut.

Aku lantas meraih kalung tersebut dan mencoba membantunya untuk memasang kalung itu di lehernya. Kedua tanganku melingkar di lehernya untuk memasang kalung tersebut. Menyingkirkan beberapa anak rambut yang menghalanginya. Dan tak membutuhkan waktu lama kalung itu sudah terpasang di lehernya.

"Cium pipi istri sendiri boleh kan?" bisikku usai memasangkan kalung itu di lehernya. Ia masih mematung. Tak menyadari kalau aku sudah selesai memasangkan kalungnya. Matanya bahkan terus-menerus mengerjap-kerjap, tak percaya kalau aku memberikan kalung itu.

Cup!

Bibirku menyapu pipinya, dan memberi kecupan singkat disana tanpa meminta persetujuannya. Aku terkekeh pelan melihat Ayana yang masih betah mematung. Matanya masih menatapku nanar dan tangan kanannya perlahan memegang bandul kalung yang menempel di lehernya, "Inisial A ini beneran buat Ayana kan? Apa buat inisial A lainnya?" ucapnya samar ke arahku.

Bersambung...

Malang, 1 September 2020

🌸🌸🌸

Kasih tau yang typo ya? Akhirnya aku bisa update part ini setelah aku Hiatus selama seminggu. Sebenernya aku nggak berniat hiatus lama. Tapi keadaan di real life yang membuatku harus menunda untuk update cerita ini. Ada beberapa masalah yg harus aku selesaikan disana. Maklumi ya? Aku usahakan tetap update. Makasih udah ada beberapa yang mengingatkanku update. Makasih udah bertahan sampai sini. Makasih banyak 🥰 aku nggak berharap lebih untuk cerita ini. Semoga kalian tetep suka.

Doakan aku bisa update sehari sekali kayak dulu ya? Makasih banyak udah tetap nunggu.

See you next chapter. Maaf kalo belum ada feel di part ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top