BAGIAN 44 - HONEYMOON

⚠️ Putar mulmed!

🦛🦛🦛

Aku berdiri di depan cermin sembari mengancingkan kemeja bagian atasku, menyisakan satu kancing paling atas yang terbuka. Beberapa detik usai mengancingkan kemejaku, tanganku sedikit menggulung lengan kemejaku sampai siku.

"Pak Jefri," panggil Ayana pelan, ia tengah duduk di tepi ranjang sembari tangannya mengelus-elus kucingnya yang ada di pangkuannya.

"Hm?" gumamku seraya menatapnya dalam pantulan cermin. Ia menghela napas pelan, matanya menatapku sekilas dan kemudian pandangannya ia alihkan menatap kucingnya, "Nggak jadi," ujarnya kemudian.

Aku sontak berdecak sebal, menatapnya tajam dari pantulan cermin, "Kalo ngomong yang jelas," cibirku.

Aku kemudian membalikkan tubuhku menghadapnya yang masih duduk di tepi ranjang, kakiku berjalan mendekatinya dan meraih tangannya untuk beranjak, "Ayo turun! Nggak usah banyak ngomong yang nggak penting,"

Ayana lantas ikut beranjak, tangannya masih betah menggendong kucing miliknya. Kucing yang kemana-mana selalu ingin ia bawa. Sampai bulan madu ke Lombok pun ia ingin membawanya. Tapi aku melarangnya. Buat apa jauh-jauh liburan ke Lombok bawa-bawa kucing? Nggak penting!

Aku sedikit menarik tangannya agar ia mempercepat langkahnya, Namun beberapa detik kemudian ia menghentikan langkahnya sampai-sampai langkahku juga ikut terhenti, "Kenapa?" tanyaku.

Ia menggeleng-gelengkan kepalanya pelan seraya menunduk. Dari kemarin, raut wajahnya tampak ragu pergi ke Lombok, "Kamu ragu kenapa?" tanyaku memastikan.

Ia menoleh ke arahku, kepalanya menggeleng lemah, "Nggak papa," jawabnya.

"Disana berapa hari?" tanyanya pelan.

"Lima,"

Ia sedikit terperanjat. Bola matanya menatapku sayu lagi. Bibirnya mengerucut, "Kok banyak?" tanyanya.

"Kenapa?"

Ia masih menatapku dengan tatapan memohon, berharap jumlah harinya dikurangi, "Setengah hari nggak bisa?" tawarnya.

Aku terkekeh pelan mendengar tawarannya. Tanganku menarik ujung hidungnya pelan. Bisa-bisanya menawar bulan madu hanya setengah hari, "Mana ada bulan madu setengah hari,"

Ia tampak mengerucutkan bibirnya saat aku menolak tawarannya. Tawaran tidak masuk akal sama sekali. "Bapak udah nggak marah sama saya?" tanyanya pelan, menatapku dengan tatapan sayu.

Aku sedikit menghela napas panjang. Ayana mengulangi pertanyaan itu lagi. Yang artinya, ia masih ingin membahas cincin itu. Iya, aku paham. Ayana masih memikirkan cincin pernikahan yang hilang itu. Tapi aku tidak suka, kalau nantinya ia terus menerus menyalahkan dirinya sendiri. Aku sempat marah dan kecewa, tapi aku tidak mau memperkeruh suasana dan mengulang perdebatan lagi, padahal harusnya hari ini tidak ada perdebatan diantara aku dan Ayana.

Aku mengulum senyum simpul dan menatapnya lekat, "Memangnya saya kelihatan marah?" tanyaku balik ke arahnya.

Ia menggeleng cepat, tangannya masih sibuk mengelus-elus punggung kucing yang ada digendongannya, "Tapi muka Bapak marah nggak marah sama aja, tetep ngeselin!" cibirnya.

Kali ini aku tidak mau cari perdebatan. Kalau aku menanggapi cibiran Ayana, aku yakin tidak akan selesai sampai nanti malam. Jadi aku tak mempedulikan cibirannya. Tanganku menarik lengannya, dan mengisyaratkannya untuk menuruni anak tangga.

Di ruang makan sudah ada Umi dan Abi yang duduk disana. Umi menyuruhku untuk sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat ke Bandara. Jangan sampai pertengkaran kecil tadi malam, terdengar Umi dan Abi, "Jef, nanti kalau sudah sampai disana, langsung hubungi Tante Arini ya? Dia katanya udah nunggu," ucapnya ke arahku.

"Iya," jawabku singkat.

Tangan Ayana menurunkan kucingnya dalam gendongannya. Dan membiarkan kucingnya bermain di lantai. Usai menggendong kucing, ia sedikit mencuci tangannya di wastafle dapur. Dan mengambil duduk di sampingku.

"Kemarin malam kamu teriak-teriak ada apa?" tanya Umi menatapku.

Bola mataku menatap Ayana sekilas yang juga tengah menatapku. Tapi kemudian ia menunduk dalam tak berani menatap Umi, "Nggak ada apa-apa. Umi mungkin salah denger," jawabku bohong.

"Bener nggak ada apa-apa?" tanyanya lagi.

"Iya, kemarin malam Jefri tidur jam sebelas. Mana mungkin teriak-teriak. Umi salah denger mungkin," bohongku. Aku sudah menduganya kalau Umi pasti mendengar pertengkaran kemarin malam. Mungkin ia hanya mendengarnya samar-samar karena kamar Umi dan Abi ada di lantai satu.

Umi sedikit mengangguk-anggukan kepalanya seolah-olah mengerti, "Ya udah, disana matanya dijaga!" pinta Umi ke arahku.

"Kalo Jefri macem-macem kasih tau Umi ya, Ay? Atau jewer aja telinganya." ucapnya ke arah Ayana.

"Iya Mi,"

"Ayana?" panggil Umi. Ayana menoleh ke arah Umi. Sorot mata Umi memperhatikan jari Ayana. Ia menatapnya tak berkedip.

Ayana yang menyadari tangannya tak memakai cincin apapun langsung menyembunyikan tangannya di bawah meja, raut wajahnya tampak gusar saat Umi menatapnya, "I-iya Mi?" jawabnya terbata-bata.

"Kamu nggak pakai cincin? Cincin pernikahan kamu nggak kamu pakai?" tanya Umi lagi ke arahnya.

Melihat raut wajah Ayana yang tampak bingung, aku lantas memegang tangannya yang ia sembunyikan di bawah meja, "Ada di tasnya," jawabku ke arah Umi.

"Kok ditaruh di tas? Nanti kalau ilang gimana? Kenapa nggak dipakai aja. Biasanya juga dipakai. Pakai sekarang ya?" Umi tak sengaja menghujani beberapa pertanyaan ke arah Ayana. Sampai aku menyadari kalau tangan Ayana yang aku genggam kembali bergetar.

"Nanti aja kalo udah sampai Lombok dipakai, Mi!" jawabku menutupi. Aku tidak mau menambah masalah kalau Umi tiba-tiba menanyakan hal-hal yang tidak-tidak. Lebih baik tidak memberitahu Umi dulu masalah cincin pernikahan yang sebenarnya hilang.

"Ya udah terserah, Umi cuma nyaranin jangan keseringan dilepas. Dipakai terus ya? Nanti kalo hilang gimana?"

"Iya Mi," jawab Ayana pelan seraya kepalanya menunduk tak berani menatap Umi.

"Dulu waktu persiapan pernikahan kalian yang terbilang singkat banget itu kan Umi yang bantu milihin cincin. Umi pilih cincin itu soalnya menurut Umi cincinnya bagus, nggak terlalu kelihatan mewah, elegan juga. Jadi menurut Umi pasti cocok di jari kamu. Umi juga nggak mau asal-asalan kasih cincin buat menantu Umi. Iya kan? Kalo Jefri sendiri yang milih cincinnya kan selera dia jelek. Nggak bisa milih cincin yang bagus. Jadi Umi yang pilihin sendiri. Dijaga baik-baik ya? Jangan keseringan dilepas cincinnya ya sayang?" pinta Umi pada Ayana.

Ayana mengangguk lemah, "Iya Mi,"

"Ayana izin ke kamar mandi dulu ya?" seru Ayana, ia mulai beranjak dari duduknya. Kepalanya masih menunduk dan berjalan ke arah kamar mandi yang terletak di samping dapur.

Umi mengerutkan dahinya menatap punggung Ayana yang berjalan ke arah kamar mandi, sedetik kemudian pandangannya beralih menatapku, "Ayana kenapa? Kelihatan kayak nggak enak badan gitu?" tanyanya.

"Nggak tau," sahutku singkat. Tapi mataku melirik sekilas mata Ayana sebelum ia beranjak dari tempat duduknya. Manik-manik matanya sedikit memerah. Pasti, ia sedang memikirkan cincin lagi.

"Kamu udah bawa obat-obatan kan? Minyak angin? Atau sejenisnya buat nanti di jalan kalo Ayana sakit?" tanya Umi.

"Udah,"

"Jagain Ayana, Umi nggak mau dia kenapa-napa disana. Kamu sebagai suami harus jaga istri,"

"Abi juga pesan sama kamu. Abi minta kamu jadi laki-laki yang tanggung jawab disana sama istri kamu. Jangan cuma tanggung jawab urusan pekerjaan aja ya, Jef?" Abi ikut membuka suara memberiku petuah.

"Iya,"

Ayana keluar dari kamar mandi dan berjalan mendekatiku yang sudah selesai makan. Ada sisa bulir cairan bening di sudut kelopak matanya. Kamu kenapa lagi?

"Barang-barang kamu udah siap semua kan? Taksinya udah datang kayaknya di depan." ujar Umi. Kebetulan yang memesan taksi online adalah Umi. Jadi ia tau kalau taksi yang ia pesan sudah ada di depan rumah.

"Jefri sama Ayana berangkat dulu," pamitku mencium punggung tangan Umi dan Abi secara bergantian. Disusul Ayana yang berdiri di belakangku.

"Hati-hati ya?" ujar Abi.

"Hati-hati disana. Pulang-pulang bawa cucu ya?" ujar Umi menimpali seraya terkekeh pelan.

Aku hanya mengangguk. Tak mempedulikan candaan Umi. Tanganku menarik lengan Ayana dan mengisyaratkannya untuk mempercepat jalannya. Benar saja, sopir taksinya sudah ada di depan rumah. Ia sedikit berlari ke arahku dan membantuku mengangkat koper yang aku pegang dan koper milik Ayana. Aku dan Ayana masuk ke dalam mobil terlebih dahulu yang kemudian beberapa menit disusul oleh sopir taksi yang juga masuk ke dalam mobil.

Aku duduk di samping Ayana di kursi jok tengah mobil. Sedari tadi Ayana selalu menatap pemandangan luar dari jendela taksi, "Kenapa?" tanyaku ke arahnya.

"Ayana,"

"Ayana, are you okay?"

Ia masih mengunci mulutnya, mengabaikan pertanyaanku. Pandangannya nanar menatap kaca jendela. Sampai ia tak menyadari aku berkali-kali bertanya, "Kamu mikir apa?" tanyaku.

"Mikirin kata-kata Umi tadi di meja makan? Mikirin cincin lagi?" tanyaku lagi.

Buliran cairan bening yang sedari tadi ia tahan akhirnya pecah. Tapi dengan cepat ia menghapus buliran yang terjatuh di pipinya sebelum menatapku, "Kalo beneran hilang, Umi bakal kecewa ya Pak?" tanyanya lirih ke arahku.

"Nggak," jawabku singkat.

"Pak Jefri kecewa sama saya?"

Aku tersenyum simpul seraya mengangguk pelan, "Kecewa—" kalimatku terjeda beberapa detik menatap manik-manik matanya lekat, "Kecewa kalo kamu terus menerus bahas masalah ini. Saya nggak suka."

"Kalo pulang dari Lombok cincin itu belum ketemu. Ya sudah nggak papa, beli lagi. Atau kamu mau bikin sayembara yang bisa menemukan cincin dapat hadiah?" candaku menahan tawa agar ia ikut tertawa juga.

Ia mengerutkan dahinya, menatapku penuh tanya, "Hadiah? Pak Jefri mau ngasih hadiah ke orang yang menemukan cincin? Tapi kan cincinnya hilang di rumah." jawabnya menunduk. Matanya malas menangapi candaanku karena ia merasa menghilangkan cincinnya di rumah. Bukan di jalan. Jadi tidak mungkin ditemukan orang lain.

"Siapa tau hilang di jalan? Kamu nggak sadar," sahutku.

"Emang kalo sayembara, Bapak mau ngasih hadiah apa ke yang menang? Kalo yang menemukan cincin itu ternyata perempuan, Bapak mau nikahin dia? Bapak nikah lagi?"

Aku spontan terkeheh mendengar pertanyaan dari Ayana. Sayembara macam apa itu? Hadiahnya harus menikahi yang menemukan cincinnya. Ada-ada saja, "Siapa bilang saya mau nikahin yang menemukan cincinnya. Saya cuma mau kasih hadiah aja, bukan menikahi."

"Hadiah apa? Uang jutaan? Mobil? Emas batangan? Atau apa?" tanyanya.

"Terlalu murah itu hadiahnya,"

"Ya terus kasih hadiah apa?"

Aku mengulum senyum, menatap matanya yang masih penasaran mendengar jawabanku, "Panci bocor. Siapa tau berguna juga buat dia masak," tawaku pecah.

Ia ikut memasang tawa kecil di bibirnya, saat mendengar jawabanku. Sampai-sampai aku tak sadar kalau sopir taksi juga ikut tertawa,  "Ngeselin!"

"Sini! Saya kalau marah, harus peluk kamu." ucapku menarik tubuhnya dalam rengkuhanku.

"Becandanya nggak lucu. Mana ada marah harus peluk-peluk,"

Tanganku semakin mengeratkan pelukanku. Sebenarnya aku tidak tega melihat Ayana berlarut-larut sedih karena memikirkan cincin pernikahan yang hilang. Aku sebenarnya masih kecewa karena Ayana ceroboh melepas cincin itu tanpa diletakkan di kotaknya. Tapi di depan Ayana, aku tidak bisa memasang raut wajah kecewa itu.

Aku menghela napas pelan, membiarkan Ayana bersandar di dada bidangku, "Nggak usah dipikirin masalah cincin. Kalo Umi tanya lagi dan cincinnya memang belum ketemu. Nanti saya sendiri yang jelasin ke Umi,"

🌸🌸🌸

📍Locco Hotel & Resort Lombok

Aku sedikit membantu sopir taksi menurunkan beberapa barang dan koper milikku dan milik Ayana. Usai menempuh perjalanan Jakarta-Lombok, Umi menyarankanku untuk singgah di hotel milik Tante Arini terlebih dahulu sebelum besok melanjutkan perjalanan ke Gili Trawangan.

Tanganku menyeret koper milikku dan menggandeng tangan Ayana memasuki hotel. Raut wajah Ayana sedari tadi tampak gusar. Aku lantas mengeratkan genggamanku, dan sedikit menarik tangannya berjalan mendekat ke arah resepsionis hotel untuk melakukan check in hotel.

"Permisi, saya mau check in hotel," ucapku ke arah salah satu petugas resepsionis hotel.

Petugas tersebut tersenyum simpul ke arahku, "Atas nama siapa? Boleh pinjam KTP-nya?" tanyanya.

Aku lantas mengangguk, mengeluarkan KTP yang ada di dalam dompetku dan menyerahkannya ke arah petugas resepsionis itu, "Pak Jefri Alfareza dari Jakarta? Tamunya Bu Arini ya?" tanyanya lagi saat membaca nama yang tertera di KTP-ku.

"Iya," Aku mengangguk pelan seraya tersenyum ke arah petugas resepsionis. Tanganku masih bertengger menggandeng tangan Ayana, karena sedari tadi aku perhatikan raut wajah Ayana tidak seceria biasanya. Aku bisa menebak, ia pasti masih memikirkan masalah cincin pernikahan yang hilang.

"Ini kunci kamar yang disediakan Bu Arini, mohon tunggu di lobby hotel ya Pak, Bu Arini sebentar lagi kesini. Katanya suruh tunggu di lobby dulu." perintah petugas tersebut memberitahuku.

Tanganku meraih kunci kamar hotel yang diberikan petugas resepsionis tersebut, dan kemudian menarik tangan Ayana untuk ikut berjalan ke arah sofa panjang yang ada di lobby hotel, "Kalau kamu capek, nanti kamu langsung istirahat aja. Jalan-jalannya besok. Nggak usah pikirin dulu masalah cincin itu." ucapku menenangkan Ayana yang sedari tadi masih mengunci mulutnya. Bergelut dengan pikirannya yang entah aku juga tidak paham ia memikirkan apa.

Sebenarnya aku juga masih memikirkan cincin itu, tapi aku tidak mau membuat Ayana semakin merasa bersalah karena menghilangkan cincinnya.

"Jefri," panggil seseorang yang baru masuk dari pintu utama hotel. Aku dan Ayana sontak menoleh bersamaan ke arah seorang wanita yang memanggilku. Dan ternyata benar, itu Tante Arini. Sahabat Umi yang memberikan fasilitas bulan madu untukku dan Ayana. Ia sudah menetap di Lombok selama dua puluh tahun dan menikah dengan seorang pengusaha properti asal Mataram. Kata Umi usaha milik suami Tante Arini itu, sudah memiliki 67 cabang di Indonesia.

Ia tersenyum simpul ke arahku, "Apa kabar? Umi sama Abi kamu kabarnya baik kan?" tanyanya ikut duduk di samping Ayana.

"Baik Tante," jawabku.

"Ini istri kamu, Jef?" tanyanya.

Aku mengangguk pelan, menatap Ayana sekilas yang tengah memasang senyum tipis ke arah Tante Arini, "Cantik," pujinya.

Ayana menatapku seraya menahan senyumnya karena ia mendapatkan pujian 'Cantik' dari Tante Arini, dan beberapa detik kemudian mengalihkan pandangannya lagi ke arah Tante Arini.

"Udah check in kan?" tanya Tante Arini lagi.

"Udah,"

"Malam ini istirahat aja dulu di hotel. Besok baru jalan-jalan. Tenang aja, disini ada kolam renang pribadi kok. Kamu kalo mau renang, renang aja Jef, bareng Ayana. Soalnya cuaca disini juga panas. Kamu bisa renang sepuasnya disini."

"Makasih Tante,"

"Tante nggak bisa lama-lama, Tante tinggal dulu ya? Selamat menikmati bulan madu kalian. Kalo ada apa-apa hubungi Tante," pamitnya beranjak dari duduknya, dan berjalan lagi keluar lobby hotel. Ia sedikit memasang senyum simpulnya ke arahku dan Ayana, sebelum benar-benar berjalan menjauh.

"Ayo!" Aku mengisyaratkan Ayana untuk ikut beranjak. Kakiku melangkah mendahuluinya. Kamar yang disediakan Tante Arini berada di lantai lima. Tanganku menekan tombol lift, dan menunggu pintu lift itu terbuka.

Selang beberapa menit, pintu itu terbuka. Aku sedikit menarik tangan Ayana lagi untuk masuk ke lift. Hanya ada aku dan Ayana di dalam lift sekarang.

"Setelah ini kamu istirahat aja dulu, nanti ikut saya," ucapku pada Ayana.

Ia menoleh, dahinya sedikit berkerut, "Ikut kemana?" tanyanya.

"Renang," jawabku enteng.

Aku terkekeh pelan saat melihat bola matanya sedikit melebar menatapku, "Renang?" tanyanya memastikan.

"Renang dimana?" tanyanya lagi.

"Di Hotel,"

Ia menggeleng cepat tidak menyetujui ajakanku. Apa salahnya disediakan kolam renang pribadi tidak dipakai sama sekali, "Nggak mau, saya nggak bisa renang." tolaknya.

Aku terkekeh geli. Sudah aku duga, ia menolak karena tidak bisa berenang. Tanganku sedikit menarik ujung hidungnya membiarkan ia sedikit meringis kesakitan, "Saya ajarin!" seruku.

Bersambung....

Malang, 22 Agustus 2020

🌸🌸🌸

Wattpad eror jadi aku nggak bisa update. Makasih udah baca. Tinggalkan jejak di kolom komentar dan vote ya untuk minta aku update cepet wkwkw

Semoga betah baca sampai ending 🥰 nggak bosen sama mereka yang dikit-dikit konflik dikit dikit mereda. Capek juga wkwk

Bagi yang bisa menemukan cincinnya Ayana dapat hadiah dari Pak Jefri. Cincinnya kecil warna emas ya. Bukan cincin batu akik wkwk yang menemukan bisa menghubungi Pak Jefri di kolom komentar.

Aku kasih potonya Badak pas ditinggal Ayana ke Lombok. Ya Allah Badak, kamu ditinggal pacaran sama Emak kamu ya? Tabok aja Bapak kamu kalo macem-macem disana wkwk cakar lagi aja aku bantu cakar pakek garpu ya? Wkwkw candaa wkwk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top