BAGIAN 43 - CINCIN PERNIKAHAN HILANG

⚠️ Putar Vidio Mulmed sambil baca part wkwk

🌸🌸🌸

Ayana menunduk, manik-manik matanya masih tak berani menatapku sedari tadi, "Saya takut tangan saya tangan perusak," ucapnya lagi mengulangi kalimatnya.

Aku sedikit menghela napasku saat Ayana lagi-lagi menyalahkan dirinya, ia selalu menganggap dirinya tangan perusak, "Saya nggak nyuruh kamu lepas cincin itu. Jadi jangan dilepas dari jari kamu. Itu cincin pernikahan, nggak seharusnya kamu lepas gitu aja," ucapku seraya mengatupkan kedua tanganku di wajah Ayana dan mengisyaratkan matanya untuk menatapku. Tapi ia masih betah menunduk. Tak menatapku.

"Bentar saya ambil," ucapku pelan seraya mengacak-acak pucuk rambutnya dan beranjak dari tempat tidur. Aku berjalan menuju meja belajar yang Ayana sebutkan tadi untuk mengambil cincin pernikahan yang ia simpan di laci.

Tanganku menarik salah satu laci yang ada di meja belajar. Sedikit meraba-raba bagian dalam laci untuk mencari cincin itu. Dahiku sedikit berkerut saat mendapati laci itu kosong. Bahkan aku hanya menemukan beberapa lembar kertas tidak berguna disana. Mungkin di laci satunya. Tanganku mulai meraba-raba lagi laci sebelah kanan. Kosong lagi.

Kamu jangan main-main, Ayana!

"Ayana?" panggilku panik ke arahnya, dan tanganku masih sibuk mencari cincin itu. Tanganku berpindah ke rak buku meja belajarnya. Berharap cincin itu terselip disana.

"Hm?" gumamnya pelan.

Aku menoleh ke arahnya yang masih duduk di atas ranjang, "Kamu taruh di laci mana? Di meja belajar nggak ada." tanyaku mulai panik. Nggak, jangan sampai cincin itu tidak ada.

"Masak nggak ada? Ada kok, saya taruh di laci." Ayana mulai ikut beranjak dari ranjang dan berjalan mendekatiku, mencari cincin di meja belajarnya. Tangannya sedikit menyingkirkan barang-barang yang ada di atas meja belajar. Menyingkapnya satu persatu kertas yang berserakan disana. Kemudian tangannya beralih membuka laci meja dengan kasar. Tetap saja cincin itu tidak ada.

"MANA?" bentakku.

"Kamu taruh di dalam kotak cincinnya?" tanyaku lagi menatapnya tajam.

Ia berangsur menghentikan tangannya mencari cincin itu dan menunduk dalam tak menatapku yang berdiri di sampingnya. Jarinya sedikit bergetar memainkan ujung bajunya. Kemudian menggeleng pelan, "Ng .... nggak,"

Ceroboh! Bisa-bisanya cincin pernikahan ditaruh di laci tanpa memakai kotak cincinnya.

Sudut bibirnya sedikit bergetar, tangannya masih memainkan ujung bajunya, "Sa-saya nggak kepikiran kalo ada kotaknya. Beneran saya taruh sini kemarin. Tapi saya nggak tau kalo tiba-tiba sekarang nggak ada." terangnya ke arahku.

Aku mengacak-acak rambutku kasar, menatapnya tajam. Itu cincin pernikahan kenapa harus ceroboh melepasnya dan tidak menaruhnya di kotak cincinnya, "JANGAN MAIN-MAIN, KAMU! ITU CINCIN PERNIKAHAN!" bentakku.

Ia menatapku sayu, matanya sedikit memerah. Buliran bening yang ada di kelopak matanya perlahan menetes, "Sa-saya nggak bohong. Saya taruh disini." jelasnya ke arahku lagi seraya menunjuk laci meja belajar itu.

Aku sedikit mencengkram bahunya.
Mataku masih menatapnya tajam, "BUKTINYA SEKARANG NGGAK ADA! KAMU BUANG DIMANA?" bentakku lagi mencari kejujuran di matanya.

Ia menunduk dalam, kedua bahunya yang kupegang kembali bergetar, "Sa-saya nggak buang cincin itu. Saya beneran taruh laci meja ini, Pak!"

Aku menghela napas kasar menatap Ayana yang masih menunduk, "Cincin itu kecil. Kamu jangan sembarangan naruh. Harusnya kalo cincin itu beneran kamu taruh disini, sekarang pasti ada. Buktinya nggak ada apa-apa di laci." seruku.

Ia sedikit mendongak, mata yang sedikit memerah itu perlahan menatapku dengan tatapan nanar. "Saya nggak bohong, Pak! Saya beneran taruh sini." terangnya seraya menunjuk meja belajar itu lagi. Tapi buktinya mana? Cincin itu tidak ada.

"KAMU JANGAN MAIN-MAIN SAMA CINCIN PERNIKAHAN. JANGAN SEMBARANGAN SEMUA KAMU ILANGIN," bentakku spontan. Saat ini aku tidak bisa mengontrol emosiku di depan Ayana. Kenapa cerobohnya selalu ia tunjukkan disaat situasi seperti ini. Kenapa harus bertengkar dengan melibatkan cincin pernikahan?

Ayana meraih tanganku dan menggenggamnya pelan. Raut wajahnya tampak bersalah, "Ba-Bapak jangan marahin saya. Saya beneran taruh disini kemarin,"

"KAPAN KAMU NARUHNYA?" ucapku sedikit kencang.

"Lima hari yang lalu." ucapnya pelan.

"Lima hari yang lalu kamu bilang?" tanyaku tak percaya mendengar jawabannya. Selama itu dia melepas cincinnya? Dan sekarang cincinnya tidak ada.

Aku menghela napas kasar lagi dan masih menatapnya tajam, "Lima hari yang lalu itu lama, Ayana. Bisa aja cincin itu hilangnya udah lama, dan kamu baru sadar. Kenapa kamu bisa seceroboh itu? Jangan main-main sama cincin pernikahan!" lanjutku.

"Beneran saya taruh sini. Saya nggak tau. Kenapa sekarang nggak ada."

Aku tak mempedulikan ucapannya. Kakiku melangkah ke arah ranjang dan meninggalkan Ayana yang masih mematung disana. Bisa-bisanya cincin itu dilepas tanpa diletakkan di dalam kotak. Dan sekarang hilang.

Aku mendudukkan tubuhku di tepi ranjang. Mengusap kasar wajahku. Jadwal bulan madu itu besok. Kenapa harus ada pertengkaran seperti ini tengah malam sebelum bulan madu itu terjadi. Kenapa harus melibatkan cincin pernikahan?

Derap langkah Ayana terdengar berjalan mendekatiku yang duduk di tepi ranjang, "Pak," panggilnya pelan. Aku sedikit menoleh ke arahnya dengan tatapan datar. Ia berdiri satu langkah dari dudukku. Bayang-bayangnya tak berani mendekatiku.

"Pak, saya bener nggak bohong. Saya emang taruh cincinnya di laci. Saya nggak pernah mindahin cincin itu. Saya nggak pernah buang cincinnya. Saya nggak pernah ada niatan buat buang cincin dari Pak Jefri—" jelasnya arahku. Ia menjeda kalimatnya beberapa detik.

Buliran cairan bening di kelopak matanya menetes lagi. Tangannya kanannya mengusap pelan sisa air mata yang menetes di pipinya, "Saya minta maaf. Saya nggak ada niat buat ngilangin cincin itu. Pak Jefri jangan bentak saya. Saya takut!" lanjutnya lirih.

Ia menghela napas panjang dan berusaha menahan isaknya agar tak terdengar di telingaku, "Saya minta maaf, kalo cincin itu hilang. Saya janji bakal ganti cincinnya yang hilang. Kalo bisa Bapak nggak perlu kasih saya uang selama saya belum bisa ganti. Anggap aja buat ganti cincin itu." ucapnya lagi.

Jef, Ayana sama-sama anak tunggal kayak kamu. Bedanya kamu lebih beruntung, masih punya Umi sama Abi lengkap. Ayana nggak seberuntung kamu. Kamu harus jaga dia.

Aku menghela napas panjang, melihat Ayana yang masih menunduk. Perkataan Umi itu lagi-lagi melintas di kepalaku saat aku bertengkar dengan Ayana seperti ini. Bola mataku lantas menatapnya samar.

"Bapak jangan bentak saya kayak tadi. Saya takut! Saya takut Pak Jefri pukul saya. Saya takut Pak Jefri kayak Papa." cicitnya.

Aku menghela napas lagi, mengatur emosiku. Aku ingin marah. Tapi ini sepenuhnya bukan salahnya. Aku benci dia menyalahkan dirinya sendiri. Aku kecewa dia menyalahkan diri sendiri dan main-main dengan cincin pernikahan.

Jangan apa-apa egois. Kamu lebih tua dari Ayana. Bicarakan baik-baik. Kamu anak satu-satunya Umi. Jangan bikin Ayana sedih!

Aku melangkahkan kakiku beranjak mendekatinya yang masih mematung di tempat. Ia masih menunduk, bahunya sedikit bergetar. Tanganku perlahan menariknya dalam rengkuhanku. Ia tampak sedikit terlonjak saat aku tiba-tiba menariknya dalam pelukan. Ia masih mengira bahwa aku akan marah dan membentaknya lagi.

"Bapak marah kan sama saya? Cincin itu mahal ya? Cincin itu nggak pantas ya Pak di jari saya? Saya nggak bisa jaga. Buktinya saya ngilangin cincin itu." ujarnya lagi menyalahkan dirinya.

Umi cuma minta kamu jaga Ayana. Jangan ditolak lagi permintaan Umi.

Aku mengeratkan tubuhnya dalam pelukanku. Bagaimana kalo memang pernikahan ini nggak bisa diteruskan suatu saat nanti. Apa yang bakal aku katakan ke Umi. Aku tidak bisa memenuhi janjiku. Sehari sebelum bulan madu saja sudah ada pertengkaran perkara cincin pernikahan yang hilang. Bagaimana jika aku benar-benar tidak bisa menjaganya sepenuhnya, "Saya beneran nggak bermaksud ngilangin cincin itu. Saya nggak tau kenapa tiba-tiba nggak ada—" ucapnya lirih.

Aku semakin menenggelamkan kepalanya di dadaku dan mengeratkan pelukanku lagi. Berharap emosiku sedikit turun. Berharap marahku hilang. Berharap aku tidak membentaknya lagi yang membuatnya takut, "Udah malem. Kamu tidur! Besok pesawatnya berangkat jam sebelas siang," perintahku pelan mengalihkan pembicaraan.

Aku sedikit menguraikan pelukanku. Dan menatapnya samar. Bibirku mengukir senyum tipis ke arahnya sebelum aku beranjak mendekati ranjang. Dan merebahkan tubuhku.

"Pak Jefri," panggilnya pelan yang ikut beranjak mendekati ranjang dan merebahkan tubuhnya di sampingku.

"Belum apa-apa tangan saya udah jadi perusak ya?" ucapnya lagi. Aku memejamkan mataku beberapa detik detik dan menghela napasku pelan. Kenapa lagi-lagi kamu menyalahkan diri kamu sendiri?

Bola matanya menatapku lekat, dan kemudian beralih menatap sembarang arah saat cairan bening itu keluar lagi dari kelompok matanya dan spontan langsung ia usap, "Bener kata Papa, Ayana lahir cuma jadi beban orang lain. Beban dia, beban Mama. Sekarang beban Pak Jefri." ucapnya.

Aku menghela napas lagi mendengar ucapannya, memposisikan tubuhku menghadap Ayana, "Kamu ngomong apa?" tanyaku pelan.

"Cincinnya belum ketemu. Saya jadi beban buat Pak Jefri." ucapnya menunduk.

"Nggak,"

"Pak Jefri marah kan sama saya?"

"Nggak,"

Ia mendongak. Perlahan matanya menatapku lekat, "Bohong ya Pak?"

"Nggak, saya nggak bohong,"

"Mata Bapak kelihatan kecewa sama saya,"

"Tidur! Besok kamu harus bangun pagi. Siap-siap pagi-pagi, terus ke Bandara."

"Sebenarnya saya nggak pengen ikut kesana. Saya takut, saya—" kalimatnya terjeda lagi. Ia menghela napas panjangnya sebelum melanjutkan kalimatnya, "Saya masih mau cari cincinnya di rumah. Nggak usah ikut ke Lombok." lanjutnya.

"Nggak usah dipikirin masalah cincin. Umi udah nyiapin tiket buat kamu sama saya."

Kedua tanganku mengusap sisa buliran bening yang menetes di pipi Ayana, "Ini udah hampir jam satu pagi, nggak baik tidur tengah malam begini," ujarku.

Ia memposisikan tubuhnya membelakangiku. Mataku menatap punggungnya nanar. Kenapa setiap terlibat pertengkaran dengan Ayana ucapan Umi itu hadir lagi di pikiranku?

Mataku tak berpindah menatap punggung Ayana yang membelakangiku. Dahiku sedikit berkerut saat tahu kalau bahu Ayana bergetar. Terdengar isakan pelan darinya. Tapi ia menutupnya dengan bantal. Seolah-olah semua tangisnya tidak ingin ia ceritakan ke siapapun termasuk aku,  "Ayana?" panggilku pelan.

Ia masih bungkam dan menjawab panggilanku. Tangan kananku lantas memegang bahunya yang masih bergetar. Dan menariknya untuk menghadapku. Kepalanya masih betah menunduk. Tak menatapku sama sekali. Buliran bening itu menetes lagi, "Lihat saya!" perintahku pelan.

Aku tidak bisa melihat Ayana menangis seperti ini, "Saya nggak marah sama kamu."

"Bapak kalau marah sama saya bilang aja. Jangan nutup-nutupi. Mata Bapak udah kasih jawabannya dari tadi. Bentakkan Bapak itu juga udah ngasih jawaban ke saya kalo Bapak marah. Saya nggak bermaksud ngilangin cincin itu. Bapak jangan bentak saya, saya takut! Saya takut Bapak kayak Papa—"

Aku memotong kalimatnya yang menggantung, "Saya panik. Saya nggak sengaja bentak kamu."

"Nggak ada bentakan yang nggak disengaja. Belum apa-apa aja, saya udah ngilangin cincinnya. Saya makin nggak yakin untuk ikut pergi ke Lombok besok. Saya takut terjadi apa-apa karena salah saya."

"Kamu ngomong apa? Jangan pikirin aneh-aneh. Jangan sering nyalahin diri kamu. Ini udah malam. Tidur Ayana! Atau—" aku menghentikan kalimatku beberapa detik mencari kalimat yang bisa membuat Ayana berhenti menyalahkan dirinya sendiri, "Atau saya cium bibir kamu sekarang?" ucapku spontan.

Ia sedikit tersentak. Bola matanya sedikit melebar, mendengar kalimat terakhir yang baru saja aku ucapkan. Kalau nggak begini, dia akan terus berbicara yang tidak penting, "Jangan becanda Pak, saya serius!" ujarnya seraya mengerucutkan bibirnya.

"Saya juga serius,"

Ia menghela napasnya pelan, manik-manik matanya menatapku sendu, "Cincinnya gimana kalo beneran nggak ketemu? Pak Jefri pasti marahin saya kayak tadi. Gimana kalo Umi juga tanya? Ayana jawab apa? Umi pasti ikut kecewa sama saya kan? Umi pasti marah sama Ayana kan Pak?"

"Saya bilang tidur, Ayana!"

Ia menggeleng cepat. Tubuhnya berniat untuk beranjak mencari cincin itu lagi. Tapi tanganku cepat menahannya agar tak beranjak, "Saya nggak bisa tidur kalo cincinnya nggak ketemu. Coba Bapak jadi saya, Bapak juga pasti mikir. Saya mau cari, kali aja keselip. Mungkin di kamar mandi—"

"Udah jam satu malam. Cepetan tidur! Saya nggak marah sama kamu. Kalo kamu nggak tidur sekarang, kamu mau saya cium sekarang?" ancamku. Aku berusaha mengatur emosiku di depan Ayana saat ini. Takut, jika Ayana tak berani menatapku karena ketakutannya tadi saat aku tak sengaja membentaknya karena panik.

"Nggak bisa tidur. Saya takut Umi kecewa sama saya. Saya takut ada apa-apa. Saya takut gara-gara saya—"

Telunjukku perlahan menempel di bibir Ayana mengisyaratkannya untuk tidak berbicara lagi, "Nggak perlu mikirin yang macem-macem masalah cincin. Nggak ada apa-apa. Nggak perlu mikirin yang belum terjadi. Saya minta maaf udah bentak kamu tadi."

"Kalo cincinnya nggak ketemu gimana?" ucapnya mengulangi.

Aku menarik tubuhnya ke dalam pelukanku, mengabaikan pertanyaan sama yang terucap dari bibirnya berulang kali, "Tidur!" perintahku.

Masalah itu bisa datang kapan saja. Kalo kamu egois, kamu nggak bakal punya kesempatan buat perbaiki masalah itu, Jef!

Lagi-lagi ucapan Umi itu selalu melintas saat aku bertengkar dengan Ayana. Aku berusaha menepis pikiran-pikiran buruk yang ada di otakku. Hanya masalah cincin, tidak seharusnya aku membentaknya dan membuatnya takut. Tidak seharusnya aku membiarkan Ayana menyalahkan dirinya sendiri. Seharusnya besok aku fokus dengan bulan madu. Bukan malah bertengkar seperti ini tengah malam. Takut jika Umi dan Abi mendengarnya dan menanyakan yang sebenarnya terjadi.

Maaf!

Aku semakin mendekap tubuhnya erat, menenggelamkan kepalanya di dada bidangku, "Cincinnya hilang. Tangan saya kenapa ceroboh?" gumamnya pelan dalam pelukanku.

"Tangan saya beneran tangan perusak ya, Pak? Saya takut orang-orang akan benci saya karena tangan saya perusak. Saya takut Pak Jefri, Abi, sama Umi juga akan meninggalkan saya—"

Aku memotong cepat kalimatnya, "Tuhan nggak pernah menciptakan tangan manusia itu tangan perusak. Kamu jangan terus bicara seperti itu."

"Tapi tangan saya udah ngilangin—"

Cup!

Bersambung....

Malang, 20 Agustus 2020

🌸🌸🌸

Kasih tau kalo ada typo. Ada yang nungguin? Gimana baca part ini? Dapat feel nggak? Aku baru bisa update tengah malam begini. Ini udah pagi sih wkwk Aku harus nunda update lagi karena ada sesuatu. Aku sempetin update tengah malam. Semoga dapat feel ya?

Maaf bikin nunggu lama. Makasih udah komen di cerita ini. Udah vote terus udah nungguin juga. Jujur, aku seneng, aku tetep sempetin update meskipun tulisannya nggak seberapa bagus juga wkwk. Kalau aku telat update maaf ya? Semoga part selanjutnya bisa cepet.

Makasih tetep enjoy baca cerita ini. Tetep vote sama komen. Selamat tidur. Pamit tidur, jangan begadang ya? Baca besok aja pagi-pagi. Kalian tetep jaga kesehatan dimana pun kalian berada. Author nggak nyaranin baca tengah malam. Baca besok pagi aja. Jangan begadang, nggak baik buat kesehatan kata Pak Jefri wkwk. Tapi kalo author boleh begadang wkwk soalnya begadangnya ditemenin Pak Jefri. Ya Gusti, mikir apa nih gw 🤣

See you🥰 Pengumuman update tetep aku taruh di wall atau IG. Kalau tiba-tiba aku belum update, cek aja di wall atau IG ya? Jangan bosen-bosen baca Pak Badak dan Ayana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top