BAGIAN 41 - AFTER GRADUATION
"Kok mienya dijauhin sih? Saya mau ambil!" protesnya ke arahku saat tanganku menggeser mangkuk yang berisi mie ayam di hadapan Ayana. Aku meliriknya sekilas, dan mendapati dia yang memasang raut wajah masam ke arahku.
"Ambil yang lain!" perintahku.
Ia menggeleng cepat, bibirnya ia kerucutkan hampir tiga centimeter, "Nggak mau, orang saya cuma pengen makan itu." gerutunya.
"Mana piring kamu?" tanyaku mengulurkan tangan ke udara untuk mengambil piring Ayana yang masih kosong. Karena ia tak kunjung memberikan piring ke arahku. Aku terpaksa mengambil paksa piring yang ada dihadapannya, menuangkan nasi dan ayam kecap ke piringnya.
Aku terkekeh pelan saat melihatnya menggerutu. Salah sendiri, banyak makanan kenapa yang jadi raja harus mie ayam? Kalau dia bisa mengatur jangka waktu untuk makan mie, masih wajar. Sayangnya, Ayana orang yang keras kepala. Di bilang, makan mie tidak boleh terlalu sering tapi tetap saja dimakan sesering mungkin,
Kalo kamu sakit siapa yang paling khawatir?
"Makan!" perintahku tegas sembari meletakkan piring tadi di hadapannya.
"Pengen mie," ucapnya dengan nada sedikit manja.
Umi dan Abi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya memperhatikanku ribut dengan Ayana hanya gara-gara mie ayam di meja makan, "Ya udah lah Jef, orang makan mie cuma sekali-kali aja. Masak nggak kamu bolehin? Jadi suami jangan terlalu banyak ngatur lah, istri kamu nanti jadi tertekan," bela Umi.
Aku menghela napas pelan saat Umi sudah bersuara, "Jefri ngelarang karena—"
Nggak mau dia sakit.
Aku menjeda kalimatku sejenak mencari alasan yang paling tepat di hadapan Ayana, "—Karena mie ayam nggak baik buat kesehatan Mi, kalau dimakan terlalu sering." lanjutku kemudian.
Ayana masih mengunci mulutnya. Bahkan ia sama sekali belum menyentuh sendoknya dari tadi. Aku menghela napas panjang. Dasar keras kepala! Kalau begini sampai nanti juga dia nggak bakal makan, "Ya udah dikit aja. Saya yang ngambilin," aku mengambil piring Ayana lagi dan menuangkan mie sedikit di piringnya. Bukan mie ayam, tapi mie goreng biasa yang kutuangkan.
Umi kenapa juga masak aneka mie di hadapan Ayana?
Aku mendekatkan tubuhku ke arahnya. Tangannya sudah mulai menggerakkan sendok makannya dan memakan sedikit demi sedikit makanan yang ada di depannya, "Berantemnya di kamar aja. Nggak enak di lihat Umi. Berantem cuma gara-gara mie ayam." bisikku pelan.
Ia sontak memukul lenganku pelan, "Bapak ngajak ribut mulu." gerutunya lagi.
"Bisik-bisik apa sih Jef?" tanya Abi.
Aku menoleh ke arah Abi yang tiba-tiba bertanya ke arahku, "Nggak ada Bi, cuma mau nyuruh Ayana makan."
Umi tersenyum miring sembari tangannya menyenggol lengan Abi yang duduk di sampingnya. Aku memutar bola mataku malas. Pasti, Umi akan berulah lagi mencibirku dengan banyak kata-kata yang keluar dari mulutnya, "Bisik-bisik apa mau nyium Ayana?" cibirnya seraya terkekeh geli.
Aku spontan mendelik ke arahnya, "Umi jangan mulai!"
Ia hanya membalas dengan tatapan mengejek ke arahku dan pandangannya ia alihkan menatap Ayana yang tengah melahap makanannya, "Ay, Jefri romantis nggak selama kamu nikah sama dia?" tanyanya tiba-tiba ke Ayana.
Aku ikut menoleh ke arah Ayana dan mendapati dia hampir tersedak. Ia lantas mengambil segelas air dan meneguknya pelan, "Nggak pernah, Mi!" ejeknya.
Jangan dibongkar disini juga!
Aku spontan menatapnya tajam, "Jefri nggak bisa disamain sama anak-anak muda jaman sekarang. Yang kemana-mana nyatain cinta pakai coklat sama bilang I love you." jelasku membenarkan ke arah Umi.
Bola mata Umi berotasi. Bibirnya menyunggingkan senyum miring ke arahku, "Kamu aja yang tukang ngeles. Buktinya Abi yang udah tua masih tetep romantis sama Umi. Iya kan Bi?" cibirnya.
Aku berdecak sebal. Bukan kali ini. Tapi berkali-kali, kalau Umi sudah berdalih, tidak ada yang bisa membantah, "Bi, belain Jefri dong!" pintaku menatap Abi saat Umi memojokkanku terus-menerus.
"Emang bener kata Umi kamu. Kamu udah menikah sekarang. Belajar romantis sama istri itu perlu." seru Abi.
"Kalo kamu nggak romantis-romantisan sama istri kamu. Kapan punya momongannya?" tambahnya.
"Kapan Jef? Umi udah nggak sabar mau gendong cucu sendiri. Masak anak orang lain terus yang Umi gendong?"
Aku melirik Ayana sekilas yang juga tengah melirikku. Sebenarnya aku masih tidak ingin membahas masalah ini di depan Abi dan Umi. Aku belum siap melakukannya. Ayana juga, aku yakin dia juga belum siap. Meskipun sekarang posisi dia sudah lulus kuliah.
"Iya, nanti!" jawabku seadanya tanpa menatap Umi dan Abi.
🌸🌸🌸
Usai acara wisudanya Ayana tadi pagi, Umi memang menyuruhku untuk menginap di rumahnya sementara. Aku juga tidak tau apa alasannya. Mungkin saja dia ingin berlama-lama ingin menantu kesayangannya menginap di rumah. Untuk apa lagi kalau bukan untuk menemaninya memasak.
Aku mendudukkan tubuhku di tepi ranjang, mengamati Ayana yang sedang mengoleskan beberapa produk skincare di wajahnya. Apa memang semua perempuan memakai berbotol-botol produk setiap malamnya?
"Ngapain lihatnya gitu, sih?" tanyanya menatapku dari pantulan cermin.
"Lama!" cibirku ke arahnya.
Ia memutar tubuhnya duduk menghadapku, "Apanya yang lama?"
Aku berdecak sebal, "Tadi siang kamu foto KTP apa foto wisuda? Saya nunggunya berjam-jam." ucapku penuh penekanan.
Ia tampak menghela napas panjang, "Tadi lagi foto bareng temen kelas masak nggak lama, sih? Sayang lah, empat tahun sekali nggak foto-foto."
Bukan masalah foto. Tapi posisi Ayana dengan mahasiswa itu terlalu dekat. Tukar posisi dengan yang lain kan bisa? Kenapa harus berdekatan? Bikin sakit mata, "Nggak perlu deket-deket juga," seruku dengan nada ketus.
"Deket-deket apa? Ya masak foto jaraknya semeter per orang? Bapak aneh deh! Ketahuan jarang foto-foto sama temen-temennya nih pasti," cibirnya balik ke arahku.
Kamu yang aneh. Udah punya suami masih beri harapan ke laki-laki lain.
Aku mendengus kesal menatapnya, "Umi sama Abi kelamaan nungguin kamu."
Ia berdecak sebal, matanya mendelik ke arahku, "Padahal Umi sama Abi nggak protes. Bapak aja yang banyak protes." ejeknya lagi.
Ia berjalan mendekatiku, dan mengambil duduk di sampingku, "Bapak tuh harusnya nyenengin saya. Tadi pagi kan saya udah wisuda. Udah agak lumayan beban saya. Saya udah dapat gelar Sarjana Pertanian. Apa yang Bapak mau kan udah terlaksana. Jangan bisanya marahin saya mulu."
Aku menatap bola matanya. Berminggu-minggu bola mata ini yang mengabaikanku, "Terus rencana kamu setelah lulus mau apa?" tanyaku menarik pipinya kanannya.
Ia sontak menepis tanganku yang masih bertengger di pipi dan menatapku tajam, "Sakit dodol!" omelnya.
"Nggak tau. Belum kepikiran." lanjutnya dengan nada ketus.
"Daftar S2." saranku cepat.
Ia menatapku tajam. Bibirnya ia tarik ke depan dua centi, "Jangan dulu, otak saya juga butuh istirahat." keluhnya.
"Terus, kamu mau ngapain?"
Ia tampak berpikir. Jarinya ia ketuk-ketukkan di atas pahanya, "Kalo buka usaha emang Bapak mau modalin?" tanyanya menatapku.
Aku mengerutkan dahiku menatapnya. Sontak tawaku pecah saat melihat wajahnya yang penuh tanya ke arahku, "Wajah-wajah kayak kamu emang bisa diandalkan buka usaha?"
Ia menatapku tajam seraya tangannya berkacak pinggang, "Kebiasaan ngeremehin orang mulu mulutnya." celanya.
Terpaksa aku menyetujui permintaannya. Meskipun aku tidak tau pasti, kemampuannya dalam mengelola usaha, "Oke, Kalau usaha kamu jelas. Saya bisa modalin." ucapku setuju.
"Ya udah kalo gitu." balasnya.
Aku mengernyitkan dahiku, tak mengerti apa yang ia katakan, "Ya udah apanya?" tanyaku balik.
"Ya udah, Bapak kan udah setuju. Saya dari dulu kepikiran buka usaha. Tapi nggak punya modal. Bapak modalin ya? Nanti untungnya saya yang pegang." terangnya kemudian.
Aku sontak menyentil dahinya pelan. Apa katanya tadi? Untungnya saya yang pegang? Nggak bisa. Aku yakin anak kecil seperti Ayana tidak bisa dipercaya memegang uang laba usaha, "Terus timbal balik buat saya apa? Saya dapat berapa persen dari laba kamu?" tanyaku menatapnya tajam.
"Jadi gini, sembilan puluh persen untuk saya, sepuluh persen untuk Pak Jefri. Deal?" terangnya. Ia mengulurkan tangannya ke arahku tanda persetujuan. Tapi aku langsung menepisnya, "Enak aja. Dimana-mana 50 persen bagi rata." protesku sembari menyentil dahinya.
"Kan Pak Jefri nggak ikut mengelola,"
"Tapi saya yang modalin,"
"Ya tapi kan—"
Aku spontan memotong kalimatnya yang belum selesai ia ucapkan, "Emangnya usahanya apa?"
"Buka Kos-kosan,"
Aku membelalakan mataku saat mendengar jawaban dari Ayana. Bisa-bisanya aku dibodoh-bodohi Ayana. Buka Kos-kosan modalnya banyak. Iya, memang untungnya juga banyak, tanpa perlu kerja keras lembur tiap hari. Tapi modalnya juga nggak main-main. Beli tanah, bangun rumahnya, belum lagi beli peralatan fasilitas di dalamnya. Dipikir mudah apa bagaimana? Dasar anak kecil!
"Kenapa emangnya?" tanyanya lagi saat aku tak meresponnya.
Aku mencubit kedua pipinya dan menatapnya tajam, "Modalnya mahal!"
"Akkhhh sakit!" pekiknya menyingkirkan tanganku.
"Kucing kamu saya jual juga nggak cukup buat nutup modalnya." jelasku lagi.
Ia mengerucutkan bibirnya saat aku tak menyetujui permintaannya. Salah sendiri, minta aneh-aneh. Kalaupun usaha yang kecil dan dia bisa mengelolanya, aku akan sangat setuju untuk memberi modal. Ini? Usaha Kos-kosan yang dipilih. Yang dipikir cuma untungnya, modalnya nggak.
"Tapi kan untungnya lumayan. Ayana nggak usah kerja. Tiap tahun dapat pemasukan. Ayana cuma ngurus Kosan. Kalo ada yang rusak di Kosan tinggal nyuruh tukang aja buat benerin. Nggak usah capek, cuma rebahan aja. Gimana? Cerdas kan?" jelasnya lagi dengan tatapan memohon.
Kamu cuma tau untungnya aja!
Aku menggeleng cepat, tetap tak menyetujui permintaannya, "Nggak, saya nggak setuju. Uang tabungan saya nggak sebesar yang kamu pikirkan buat modal Kos-kosan." tolakku lagi. Aku beranjak dari dudukku. Dan berjalan ke arah kamar mandi untuk mengganti pakaian tidurku, mengabaikan Ayana yang masih menggerutu sendiri.
"Ya udah ah, nggak jadi buka usaha Kos-kosan. Buka warteg aja!" teriaknya menyindirku. Aku terkekeh pelan mendengar samar-samar ia menggerutu sendiri tanpa aku pedulikan.
Usai mengganti pakaian dengan kaos putih polos tanpa lengan dan setelan celana pendek. Aku keluar dari kamar mandi. Aku mendapati Ayana yang sudah bersiap untuk tidur. Ia sudah memakai piyama kesukaannya, tidak pernah memakai piyama tidur yang diberikan Umi. Katanya, ia tidak nyaman memakainya. Dan Umi memang sengaja memberikan pakaian itu ke Ayana. Tau sendiri kelakuan ibuku itu.
"Foto yang tadi mana?" tanyanya tiba-tiba ke arahku yang masih berdiri di ambang pintu kamar mandi.
Aku mengerutkan dahiku tak mengerti yang dimaksud Ayana, "Foto apa?" tanyaku.
"Foto wisuda yang katanya Pak Jefri mau cetak langsung jadi itu. Sekarang albumnya mana?" tagihnya.
"Di laci nakas sampingmu," jawabku.
Matanya sontak berbinar. Random! Baru beberapa menit menggerutu, sekarang gara-gara foto langsung berbinar, "Beneran udah jadi?" tanyanya memastikan.
"Udah,"
"Kok cepet? Biasanya lama."
Bibirku memasang senyum miring, "Siapa dulu yang nyetak," jawabku dengan nada sombong ke arahnya.
Ia memutar bola mata malas seraya menjulurkan lidahnya menatapku, "Ya tukang cetak foto lah masak Bapak,"
"Saya yang nyuruh tukang cetaknya," ucapku dengan nada sombong lagi.
Ia tak mempedulikan jawabanku. Tangannya meraih album foto yang ada di laci nakas. Dengan posisi bersandar di sisi ranjang, ia membuka lembar demi lembar album foto itu. Aku memang sengaja mencetak semua fotonya. Karena memang dia yang meminta. Hampir total tujuh puluh poto yang ada disana. Bayangkan saja, orang yang tidak tertarik berfoto sepertiku, harus menuruti Ayana dan Umi untuk mencetak berpuluh-puluh Poto.
"Pak Jefri lihat deh, muka Bapak," serunya mengisyaratkanku ikut melihat album foto tersebut.
"Kenapa? ganteng?"
Ia memutar bola matanya malas, "Dih! PD banget jadi manusia."
"Terus kenapa muka saya?" tanyaku lagi.
"Ya makanya sini lihat!" jawabnya sembari melambai-lambaikan tangannya ke udara.
Aku berjalan mendekat ke arahnya, menyusulnya duduk bersandar di sisi ranjang, "Mana?" tanyaku.
Ia menggeser duduknya ke arahku, telunjuknya mengacung di salah satu foto yang memperlihatkanku sedang merangkul pinggangnya sedangkan ia bergaya dengan kedua tangan yang membentuk huruf V, "Ini burik banget nggak sih? Cuma tukang fotonya jago banget ngedit jadi terang," jelasnya.
"Mana? Nggak ada yang burik. Muka kamu itu yang burik. Tapi ketutup make up." balasku mencibirnya.
"Bilang aja saya cantik. Iya kan?"
"Nggak," sahutku cepat.
Ia tersenyum mengejek saat mendengar jawabanku. Tangannya lantas membuka lagi lembar berikutnya. Foto yang memperlihatkan aku yang tengah berdiri tegap seraya tersenyum kaku sedikit menampakkan gigi putihku sedangkan Ayana tersenyum simpul seraya tangannya merangkul lenganku. Jangan salah dulu, mengira aku dan Ayana bisa bergaya bak pasangan romantis. Foto ini semua adalah ulah Umi. Ia mengancamku yang tidak-tidak kalau aku tidak menuruti ucapannya untuk berfoto dengan Ayana.
"Pak, muka Bapak kenapa senyumnya nyengir gini sih? Gigi Bapak kayak gigi kuda," ucapnya terkekeh geli
Aku spontan menjitak kepalanya pelan, "Ulangi sekali lagi kamu ngomong?" ancamku.
Ia menyengir sembari mengusap-usap lenganku pelan, "Nggak .... Nggak .... Becanda!"
Tangan Ayana membuka lembar berikutnya lagi. Sesekali tertawa pelan sendiri melihat beberapa pose foto yang tercetak di album itu. Aku mengulum senyum tipis menatapnya, "Ayana," panggilku pelan.
Ia sedikit mendongak dan menatapku "Hm?" gumamnya.
"Jangan sering mengabaikan saya lagi," jawabku lirih. Sampai hampir tidak terdengar.
"Kenapa? Baru diabaikan beberapa minggu udah kangen sama saya?" ejeknya memukul bahuku.
"Bukan kangen. Saya cuma mau bilang. Mengabaikan suami itu durhaka. Kamu mau durhaka sama saya?" elakku lagi.
"Bikin istri emosi juga durhaka." belanya.
"Tiga hari lagi berangkat ke Lombok. Kamu setuju kan?" tanyaku memastikan lagi mengenai hadiah dari Umi.
Aku menatap Ayana lekat. Kenapa dengan Lombok? Setiap kali aku ingin membahasnya, dia selalu mengalihkan pembicaraan, "Kenapa?" tanyaku ke arahnya yang masih menunduk. Tak menatapku.
"Keberatan dengan bulan madu sama saya? Kalo iya, dibatalin aja. Nanti saya yang bilang ke Umi." lanjutku lagi karena tak mendapat tanggapan darinya.
Ia sedikit mendongak, manik-manik matanya menatapku. Dan deru napasnya terdengar, "Nggak usah, sa-saya setuju." jawabnya pelan.
Aku sontak tersenyum simpul. Tapi beberapa detik kemudian aku menahannya karena di depan Ayana. Aku kira dia akan menolak hadiah dari Umi. Tapi ternyata dia menyetujuinya.
Cup!
Bibirku spontan menyapu pipinya pelan dan memberi kecupan singkat disana, "Makasih." ucapku.
Mata Ayana tampak membulat sempurna saat aku menciumnya. Ekspresinya sama seperti aku mencium pipinya singkat ketika berada di depan Pet Shop beberapa bulan yang lalu, "Pak Jefri!" pekiknya.
"Kenapa cium saya tanpa izin? Ini udah dua kali Bapak cium-cium saya. Di depan Pet Shop sama sekarang disini. Awas aja kalo sampek tiga kali—" cercanya ke arahku.
Aku terkekeh pelan mendengarnya, "Cuma sekali. Di depan Pet shop aja." elakku. Padahal setiap kali dia tertidur, aku selalu mencuri kecupan singkat itu.
"Terus yang tadi apa, Supriyono?" gerutunya. Tangannya tak henti-hentinya menarik pinggangku. Tanganku berusaha mengunci tangannya agar tak menarik pinggangku lagi, "Yang tadi nggak sengaja. Jadi nggak ke itung."
Bersambung...
Malang, 15 Agustus 2020
🌸🌸🌸
Maafkan aku yang nggak update 2 hari kemarin. Aku lagi stuck nggak ada ide. Terus tadi mau update, aku lagi ada jadwal kondangan temen nikah. Haram tanya, kondangan mulu giliran ngundang kapan? Haram tanya kapan nikah wkwk
Aku mau ngucapin ke reader yang mungkin baca ini yang baru mendapatkan pengumuman SBMPTN kemarin. Untuk yang ketrima, selamat ya? Semoga ilmunya bisa digunakan sampai nanti. Pokoknya belajar terus di tempat baru ini. Semangat terus. Untuk yang belum ketrima. Nggak papa, nggak usah sedih ya? Kalo jalannya bukan saat ini. Ada ribuan jalan lain yang menunggu. 4 tahun yang lalu author juga sama. Dapat warna merah di SBM, emang beberapa tahun sempat terpuruk, tapi kalau terpuruk terus kapan bisa bahagiain diri sendiri? Jangan sedih ya? Sini curhat ke istrinya Pak Jefri. Anjay wkwk pokoknya semuanya tetep semangat ya?
Udah itu aja ya, makasih udah nunggu. Makasih udah vote komen sama follow. Kasih tau mana yang typo. Kalau aku ngga update berarti lagi sibuk di dunia nyata. Jangan ditungguin yak? Ini aku ngetiknya nyempetin malam sampai jam dua.
Bye pamit tidur see you 🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top