BAGIAN 40 - NASEHAT UMI
JEFRI POV
Tanganku membereskan beberapa buku novel yang aku pindahkan dua minggu yang lalu di rumah Umi. Aku sengaja memindahkan buku ini ke rumah Umi agar Ayana tak berpikiran yang macam-macam. Aku juga ingin sedikit demi sedikit menyingkirkan buku-buku ini.
Satu kardus penuh. Isinya hanya buku-buku novel yang dulu sempat ingin aku berikan ke Amira. Tapi belum sempat ia menerimanya. Ia sudah memilih hati lain. Bibirku menyunggingkan senyum getir, mengingat hal-hal yang tiba-tiba melintas di pikiranku.
"Ayana nggak ikut?" aku menghentikan aktifitasku saat suara Umi mengagetkanku dari belakang. Umi yang sedang berada di ambang pintu kamar perlahan berjalan mendekatiku yang tengah membereskan novel-novel ini.
"Nggak ikut," jawabku singkat, menoleh ke arah Umi yang berdiri tepat di belakangku.
Ia duduk di tepi ranjang sembari matanya masih memperhatikanku merapikan beberapa buku di lantai untuk aku masukkan ke kardus, "Kenapa?" tanyanya penasaran.
"Lagi ngurus kucingnya di rumah," bohongku. Padahal Ayana tidak ikut kesini karena ia masih sedikit mengabaikanku. Umi hanya mengangguk-anggukan kepalanya seolah-olah mengerti apa yang aku katakan.
Aku menoleh ke arahnya, "Mi," panggilku pelan.
"Apa?"
"Jefri minta .... Maksudnya, Jefri nitip buku-buku ini taruh di perpustakaan pesantrennya Abi ya?" pintaku.
"Buku apa?" tanyanya mendekatiku.
"Buku novel ini."
"Kenapa tiba-tiba dititipin ke perpustakaan? Itu buku-buku kamu kan? Kenapa nggak kamu taruh di rak buku rumah kamu aja. Biasanya kan gitu," ia sedikit menghujani pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk aku jawab.
Aku mengulum senyum samar menatapnya, "Nggak papa, kali aja buat nambah koleksi buku disana. Di rumah Jefri udah ada buku yang sejenis itu,"
"Ya udah taruh ke ruang tengah aja, nanti biar Umi bilang ke Abi buat mindahin buku itu ke perpus pesantren."
"Makasih Mi, maaf!"
Ia mengernyitkan dahinya, "Kok minta maaf sih? Ada apa?" tanyanya heran.
"Nggak ada apa-apa. Emang nggak boleh minta maaf ke Ibu sendiri?"
"Nggak jelas kamu Jef,"
Tangannya tiba-tiba menarikku pelan dan menyuruhku untuk duduk di tepi ranjang, "Umi tadi masak ayam kecap banyak. Sekalian kasih ke Ayana ya? Dia sidang hari ini kan?"
"Iya,"
"Kamu suaminya kok malah nggak dateng sih? Gak waras!"
"Jefri ada jadwal praktek di rumah sakit. Nggak bisa ditinggal juga,"
Ia tampak menghela napas panjang, memutar bola matanya malas, "Kerjaan mulu. Kamu udah nikah sekarang. Umur udah mau tiga puluh tahun, nggak bisa nempatin mana kepentingan rumah tangga sama kepentingan kerjaan. Istri juga butuh disenengin,"
"Jefri tau, Mi!" jawabku.
"Tau tapi nggak dilakuin. Umi perempuan, tau juga perasaan Ayana. Lihat wajah Ayana ketahuan nggak bahagia sama kamu. Kamu apain dia?"
"Nggak ngapa-ngapain," sahutku.
Ia berdecak sebal mendengar jawabanku. Aku hanya bisa menjawab pertanyaannya dengan jawaban-jawaban singkat, karena takut Umi semakin marah kalau dia tahu aku dan Ayana akhir-akhir ini sering berdebat, "Kemarin pas ambil kucingnya kesini, mukanya nggak kayak biasanya?" ucapnya curiga. Ibuku yang satu ini memang tidak bisa dibohongi, apalagi urusan seperti ini dan melibatkan menantu kesayangannya.
"Jef, jawab Umi! Kok malah diem. Kamu ngelamun apa sih? Lagi berantem sama Ayana?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk pelan, meng-iya-kan pertanyaannya, "Dikit,"
"Masalahnya apa?"
"Jefri nggak bisa kasih tau masalahnya."
"Kamu suami. Harus tau mana yang terbaik buat istrimu dan kehidupan rumah tanggamu. Jangan apa-apa egois. Sekarang udah nikah, nggak kayak dulu yang masih hidup sendiri. Apa-apa sekarang harus berdua. Umi tau, pernikahan atas dasar perjodohan memang sulit mengontrol hati."
"Apapun itu, pernikahan bakal ada masalah dan badainya sendiri-sendiri. Nggak cuma karena perjodohan, pernikahan atas dasar sama-sama udah cinta juga bakal ada badainya. Mau kecil atau besar. Diatasi bareng-bareng. Jangan sampai menghindar dari masalah."
Ia tampak menghela napas panjang, sebelum melanjutkan nasehatnya, "Kamu juga yang lebih tua dari Ayana. Mengalah, bicarakan baik-baik sama dia. Umi memang nggak tau masalah kamu sama Ayana. Tapi kamu anak satu-satunya Umi. Kamu harus paham apa yang Umi katakan tadi."
Umi menepuk pundakku pelan, "Jef, Ayana sama-sama anak tunggal kayak kamu. Bedanya kamu lebih beruntung, masih punya Umi sama Abi lengkap. Ayana nggak seberuntung kamu. Kamu harus jaga dia."
Aku masih mematung. Bibirku terkunci hanya untuk mendengar ucapan-ucapannya, "Dulu, Abi minta kamu buat ngurus pesantren tapi kamu memilih izin kuliah kedokteran dan merantau jauh dari Abi dan Umi. Abi sama Umi minta kamu kuliah di Kairo, kamu milih kuliah di Indonesia aja. Sekarang Umi mau minta sama kamu, kamu udah nikah. Tolong turuti kemauan Umi. Umi cuma minta kamu jaga istri kamu. Udah itu aja. Jangan ditolak lagi permintaan Umi ya?"
Sebenarnya aku merasa bersalah. Sempat beberapa kali menolak permintaan orang tuaku yang menyuruh ini itu. Tapi aku malah memilih mengejar impianku sendiri. Untungnya mereka adalah orang tua yang sangat baik, yang mendukung apapun yang aku lakukan. Sayangnya aku belum bisa sekedar membahagiakannya dari dulu.
Umi menepuk pundakku pelan lagi, "Umi nggak mau tau, tawaran voucher bulan madu yang Umi tawarkan ke kamu. Harus diambil setelah Ayana wisuda,"
"Kapan rencana mau kasih cucu ke Umi? Temen Umi cucunya udah kelas 2 SD. Umi belum gendong apa-apa," tanyanya lagi. Lagi-lagi masalah cucu yang dipertanyakan. Untuk melakukannya saja aku belum siap. Umi selalu saja menagihnya.
"Iya," jawabku singkat.
"Jangan iya iya aja. Usaha juga!"
"Umi nitip Voucher ini ya? Kasih ke dia. Bilang ke dia, ini dari Umi anggap aja hadiah wisuda,"
Aku mengerutkan dahiku membaca nama hotel yang tertera di tiket bulan madu yang Umi berikan, "Ini hotel mana?" tanyaku memastikan. Karena aku tidak asing dengan hotel ini sewaktu aku ditugaskan ke Lombok.
"Hotel milik temen Umi yang ada di Lombok. Gunain baik-baik hadiah dari Umi."
🌸🌸🌸
Aku membuka pintu kamar pelan. Mataku menangkap Ayana yang tengah sibuk memainkan ponselnya dan duduk bersandar di sisi ranjang, "Saya tadi nggak sempat datang ke sidang kamu," ucapku memberikan bouquet bunga ke arahnya.
"Albumnya nggak ada?" protesnya ketika aku memberikan bouquet bunga, dan buka album yang ia inginkan.
Aku sengaja tidak membelikan album, karena menurutku album miliknya sudah terlalu banyak. Buat apa beli lagi? Biar saja dia menonton di YouTube. Kalau dia ada perubahan belajar untuk persiapan test program magister, baru aku akan berubah pikiran membelikannya.
"Nggak ada," jawabku.
"Yang penting saya kasih hadiah," lanjutku lagi. Raut wajahnya tampak kecewa, bibirnya masih mengerucut sembari tangannya membolak-balikkan bunga yang aku berikan.
Aku terkekeh pelan saat memperhatikan raut wajahnya yang tak berubah sama sekali selama beberapa menit, "Marah?" tanyaku.
"Nggak, biasa aja." jawabnya datar seraya meletakkan bouquet bunga itu di atas nakas.
"Biasa aja kok muka ditekuk? Makin jelek,"
"Bodo amat!" sahutnya cepat.
"Badak belum kamu kasih makan?" tanyaku membuka topik baru.
"Udah," jawabnya datar lagi ke arahku. Aku menghela napas panjang, tidak tau harus membujuknya seperti apa agar tidak mengabaikanku lagi. Tidak enak ternyata, dia tidak bersikap seperti biasanya.
Aku merogoh saku kemejaku untuk mengeluarkan tiket bulan madu yang Umi berikan tadi sore, "Hadiah dari Umi," ucapku menyodorkan selembar tiket voucher hotel ke arahnya.
"Ini apa?" tanyanya seraya membolak-balikkan tiket itu.
"Tiket dan voucher bulan madu."
"Bulan madu kemana?" tanyanya lagi masih dengan raut wajah datarnya, "Lombok," jawabku.
Ia mengembalikan tiket itu ke arahku sembari kepalanya menggeleng pelan. Raut wajahnya tampak tak menyetujui, "Sa-saya nggak bisa."
"Kenapa?" tanyaku. Aku menatapnya, ingin mengetahui jawaban kenapa ia menolak hadiah dari Umi. Namun, ia masih menunduk.
Aku menggeser duduknya mendekatinya, "Nggak enak kalo nolak pemberian Umi." ucapku pelan meletakkan tiket itu di tangannya. Ia menghela napas menerima tiket yang aku berikan tadi. Tiket itu ia letakkan di atas nakas di samping bouquet bunga tadi.
Ayana lantas merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan menarik selimut sampai menutupi setengah bagian tubuhnya. Ia perlahan memejamkan matanya. Aku tidak tau, sikapnya malam ini kenapa seperti itu.
Aku lantas beranjak dari dudukku. Melonggarkan ikatan dasi yang melingkar di leherku, dan melepasnya perlahan. Tanganku membuka satu persatu kancing kemejaku dan menanggalkannya.
Ke kamar mandi untuk sedikit membersihkan tubuhku. Seperti biasa, aku mengganti pakaianku mengenakan kaos putih polos dan setelan celana pendek hitam. Aku lebih menyukai tidur dengan mengenakan kaos putih polos dari pada piyama. Karena bagiku kaos putih polos lebih nyaman aku gunakan untuk tidur dengan setelan celana pendek selutut.
Aku menangkap Ayana yang tengah tertidur dengan posisi miring menghadap ke arahku, Tidak biasanya dia tidur di jam-jam seperti ini. Biasanya ia lebih sering tidur larut malam. Walaupun terkadang aku sering memarahinya karena ia terlalu banyak begadang hanya untuk menonton oppa-oppa kesukaannya.
"Ayana," panggilku menepuk-nepuk lengannya pelan memastikan ia benar-benar tertidur atau pura-pura tidur. Namun, tak ada sahutan darinya.
Tumben jam segini udah tidur.
Aku lantas meraih tangannya dan mengecupnya pelan. Bayang-bayang perdebatan di dalam mobil bersama Ayana masih sering melintas di otakku. Dia yang tidak tau apa-apa harus terlibat dalam masalahku, "Maafkan saya,"
Tangan saya tangan-tangan perusak ya Pak? Sampai Bapak nggak ngizinin saya buat pinjam novel itu?
Aku tersenyum getir saat mengingat ucapan Ayana beberapa Minggu yang lalu. Aku hanya tidak ingin ia memikirkan hal-hal yang tidak seharusnya ia pikirkan. Tentang aku dan Amira, "Nggak, tangan ini bukan tangan-tangan perusak. Kamu jangan berpikiran yang aneh-aneh untuk diri kamu sendiri." gumamku pelan seraya masih menggenggam tangannya.
Aku menyingkirkan sedikit anak rambut yang menutupi dahinya. Ayana tidak tau, mungkin tidak apa-apa kalau aku mengecupnya pelan lagi. Aku mengulum senyum tipis sebelum bibirku mengusap pelan pipinya.
Cup!
Bibirku tersungging saat berhasil mengecupnya pelan, "Kenapa saya belum bisa membuka hati untuk kamu?" gumamku. Senyum yang tercetak di bibirku perlahan memudar lagi saat mengingat beberapa kalimat yang Ayana katakan beberapa minggu lalu saat berdebat di dalam mobil.
Aku sedikit terperanjat saat ia tiba-tiba menggeliat kecil. Matanya sedikit terbuka dan menangkap kedua bola mataku yang masih menatapnya. Ia mengerutkan sedikit dahinya, "Ba-bapak ngapain?"
Aku menggelengkan kepalaku cepat, "Ng...nggak ada."
Ia masih mengerutkan dahinya menatapku tajam. Matanya beralih menatap tangannya, "Tangan saya kenapa dipegang-pegang?"
Sial! Aku lupa, tanganku masih bertengger menggengam tangannya. Aku lantas segera melepas tangannya agar ia tak berpikiran yang macam-macam. Alasan apalagi ini?
"Ta-tadi, tubuh kamu menindih tangan kamu. Jadi saya pindahin," alasan tidak masuk akal sama sekali. Jelas-jelas Ayana tidak menindih tangannya. Bodo amat! Yang jelas, semoga alasan itu berguna saat ini.
"Terus ngapain lihatin saya gitu?" tanyanya lagi seolah-olah mengintimidasiku.
Aku sontak mengalihkan pandanganku ke langit-langit kamar untuk menghindari tatapannya, "Nggak. Siapa yang liatin kamu. Saya tadi .... cuma lihat jidat kamu ada kotoran cicaknya,"
Tangannya sontak memelintir pinggangku saat mendengar alasan yang keluar dari mulutku, "Aaakkhh! Sakit!" erangku. Tangan Ayana terbuat dari apa? Sampai-sampai pinggangku berwarna biru kalau dia yang mencubit.
Ia melepas tangannya yang ada di pinggangku dan masih mendelik menatapku tajam, "Biarin! Sembarangan kalo ngomong," serunya.
Aku mengubah posisiku menjadi duduk bersandar di sisi ranjang. Dan beberapa menit kemudian disusul Ayana yang juga bersandar di sisi ranjang. Tangannya meraih ponselnya di atas nakas, dan memainkannya lagi.
"Ayana," panggilku.
"APA?" teriaknya kencang melirikku.
Aku terkekeh geli melihat ekspresi wajahnya yang terus menerus ditekuk, "Kamu lihat bunga plastik yang ada di rak itu?" tanyaku mengisyaratkan Ayana untuk melihat bunga plastik yang terpajang di rak buku meja kerjaku.
Ia melirik sekilas bunga plastik tersebut dan menatap ponselnya lagi, "Kenapa? Mau belajar gombal?"
Spontan tanganku menyentil dahinya pelan, "GR,"
Ia masih fokus menatap layar ponselnya dan masih memasang wajah datarnya, "Ya terus kenapa suruh lihat bunga plastik segala?"
"Biasanya kalo malem dia gerak-gerak sendiri," jawabku menakut-nakutinya. Aku tahu, ia paling tidak suka ditakut-takuti dengan hal-hal yang berhubungan dengan hantu kalau malam-malam seperti ini. Jadi apa salahnya aku menjahilinya sesekali?
Ia sontak menatapku tajam dan meletakkan ponselnya di atas nakas lagi, "Jangan kebiasaan nakut-nakutin! Kualat tau rasa," ucapnya memelototiku.
"Saya serius,"
Kedua tanganku menangkupkan wajah Ayana dan mengisyaratkannya untuk memperhatikan pot bunga plastik itu lagi beberapa menit, "Lihat aja nggak usah berkedip semenit!" perintahku. Ia menurut, matanya tak berkedip menatap bunga itu.
Aku menurunkan tanganku dari wajah Ayana dan sedikit menggeser dudukku menjauh darinya, tapi tanganku tiba-tiba tertahan oleh satu tangan yang memeluk lenganku, "Bapak!" pekiknya.
"Bunganya gerak-gerak kan?" tanyaku lagi.
"Mana? Orang nggak gerak juga," jawabnya mendelik ke arahku. Namun, ia masih betah mengaitkan tangannya memeluk lenganku.
"Kalo saya senggol gerak-gerak sendiri," aku terkekeh geli saat melihatnya ketakutan. Padahal, di rumah ini tidak ada apa-apa. Aku saja yang mengada-ada agar Ayana takut dengan acamanku.
"Aaakkhhh!" erangku saat Ayana memelintir pinggangku kencang.
"Tidur di luar! Saya nggak mau tidur sama Pak Jefri!"
Bersambung....
Malang, 13 Agustus 2020
🌸🌸🌸
Author note : Kasih tau mana yang typo. Maaf ya, baru update aku lagi nggak ada ide. Ada yang nungguin? Ini sudut pandang Pak Jefri. Semoga suka.
Kalau sampai part 40 ini layak dibaca untuk kalian, silahkan tinggalkan jejak ya? Aku masih proses nulis part 41. Kalau misalkan membosankan tidak apa-apa, simpan saja jangan kasih tau ke author hehehe.
Maaf kalau banyak bacot di author note. Mau ngucapin terima kasih banyak udah nungguin, udah vote sampai part ini udah komen juga. Dan udah follow.
Author pamit see you. Makasih udah selalu baca cerita ini. Jujur, siapapun kalian yang baca ini. Aku sayang kalian, kalian udah nyempetin buat mampir di lapak ini.
Kenapa nggak ada 'see you next chapter' diakhir note authornkayak biasanya? karena aku lagi insecure pakai kata 'see you next chapter'. Takut kalian kecewa sama endingnya juga wkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top