BAGIAN 38 - FRIENDZONE
⚠️ Makasih banyak udah bertahan sampai part ini. Makasih udah vote part ini. Makasih udah komen sampai part ini juga. Dan makasih udah follow.
Akhir-akhir ini aku update selalu 2000 kata lebih. Semoga suka yak? Makasih udah stay sampai sini. Semoga sampai end ya?
Jangan lupa komen di bawah. Aku rindu kalian komen-komen di bawah. Jangan lupa vote juga. Jangan lupa follow juga. Aku biasanya taruh pengumuman update di wall. Kalian bisa cek.
Komen yang banyak ya? Biar aku bisa update cepet terus.
Happy reading!
🌸🌸🌸
Aku duduk di salah satu bangku kosong yang ada di Kantin Fakultas. Bukan untuk makan. Tapi hanya sekedar duduk-duduk saja. Karena aku juga bingung, arah tujuanku kemana setelah mengurus berkas di kantor jurusan hari ini. Dadaku sesak hanya untuk diajak beranjak pulang ke rumah. Jadi aku memutuskan untuk tetap di kampus.
Pagi-pagi, aku sengaja berangkat sendiri dan tidak menyuruh Pak Jefri untuk mengantarku ke kampus. Memang, ia sempat menawarkanku untuk berangkat bersama. Tapi aku menolaknya dan memilih berangkat sendiri. Dengan alasan aku ada keperluan mendadak di kampus. Padahal sebenarnya tidak terlalu mendadak keperluanku. Bisa diurus besok atau lusa. Untuk menghindar dari Pak Jefri, aku beralasan itu. Agar dia percaya.
Untuk sarapan pagi, aku tak lupa dengan kewajibanku. Aku sengaja memasak sebelum Pak Jefri bangun. Bukan untuk perutku, tapi untuk dia. Karena entah kenapa, sejak kemarin napsu makanku tidak ada. Biar dia saja yang makan.
Salah ya, kalau aku mendiami Pak Jefri terlalu lama? Tapi ini belum tiga hari. Jadi nggak terlalu lama juga. Habisnya, aku bosan hidup dengan teka-teki seperti ini. Kenapa setiap kali ribuan pertanyaan yang aku lontarkan selalu tidak pernah dijawab sepenuhnya?
"Ay, berkas-berkas lo jatuh. Untung nggak ke injek orang. Ngelamun apaan, sih?" ucap Rafi sembari memunguti beberapa berkasku yang berceceran di lantai. Aku tersandar dari lamunanku saat mendengar celetukan Rafi yang sudah duduk di sampingku membawa berkas milikku. Dan Karin sudah mengambil duduk di depanku.
Aku lantas mengambil berkasku yang ada di tangan Rafi. Beberapa berkas legalisir transkip nilai yang tadi jatuh ke lantai karena kecerobohanku, "Iya? Ma-makasih ya?" ucapku tersenyum samar.
"Pagi-pagi udah ngelamun aja Ay," seru Karin.
Aku mengerutkan dahiku, baru sadar ternyata Rafi sama Karin sudah ada di depanku. Padahal, aku hanya janjian dengan Karin di kantin Fakultasku. Rafi kenapa bisa kesini juga barengan sama Karin?
"Kalian kok bisa barengan? Janjian apa gimana?" tanyaku menatap Rafi dan Karin bergantian.
"Tau nih, Si Rafi. Pagi-pagi ngerepotin gue. Nyusul gue ke Gedung Fisip cuma buat curhat." gerutu Karin.
Curhat?
Rafi tampak menatap Karin tajam seolah-olah mengisyaratkanku Karin untuk tidak melanjutkan kalimatnya. Mataku mengarah ke Rafi dengan tatapan tanya, tidak biasanya dia curhat ke Karin juga, "Lo apain Karina, Raf? Curhat apaan?" tanyaku menatap tajam Rafi.
Ia menghela napas, "Si Karina mulutnya. Ka-kagak gue cuma curhat mau pinjem buku penelitian aja. Kali aja dia punya. Sekalian kata temen gue yang anak HI. Dia juga kesulitan ngerjain tugas akhir, jadi gue minta tolong Karin. Iya kan, Rin?" ucap Rafi menatap Karina sembari menaik-turunkan alisnya dan Karina membalasnya dengan anggukan cepat ke arahku.
Main rahasia-rahasiaan sama temen sendiri. Gue sleding lu lu pada!
Aku menatap Rafi dengan tatapan membunuh, "Awas Lo Raf, macem-macem sama Karin juga!" ancamku.
Sejak kejadian beberapa minggu yang lalu yang menimpa Karin, aku bisa dibilang sahabat yang paling over protective. Karin mungkin masih trauma dengan laki-laki karena masalahnya. Tapi untuk berteman dengan Rafi, aku meyakinkannya bahwa Rafi adalah teman yang baik. Dan perlahan Karin bisa mulai bergaul dengan laki-laki lagi. Mulai belajar menghapus masa lalu yang—tidak usah dibahas lagi, aku muak menyebut laki-laki bangsat itu.
"Iya, Tuan Putri. Nggak macem-macem. Btw, Muka lo kenapa ditekuk mulu?" tanya Rafi ke arahku.
Aku mengerucutkan bibirku, menatap Rafi dan Karin bergantian, "Belum makan,"
"Tumben lo belum sarapan. Jangan gitu Ay, lo mau sakit kayak kemarin-kemarin?" sahut Rafi. Ia lantas mengeluarkan dompet berwarna hitam yang ada di dalam saku, dan bangkit dari duduknya, "Gue pesenin makanan yak? Lu pesen apaan, Rin?" tanyanya ke arah Karin yang sedang memainkan ponsel.
Karin mendongak menatap Rafi yang berdiri, ia tersenyum menang, "Bayarin yak? Itung-itung buat administrasi curhat tadi," godanya sembari terkekeh.
Rafi melayangkan tangannya ingin memukul Karin. Namun, hanya sampai udara. Karena niat Rafi hanya bercanda. Tidak benar-benar memukul, "Mulut lu gue gampar ngomong lagi. Cepetan lu pesen apa?"
Karin hanya meringis, tersenyum dengan memperlihatkan gigi ratanya ke arah Rafi yang sudah bersungut-sungut. Aku yang melihat interaksi mereka ikut terkekeh juga, "Nasi goreng Bu Mega aja sama es teh." jawab Karin.
"Lo pesen apa Ay?" Gilirannya tanya ke arahku. Aku menarik sudut bibirku penuh, "Mie ayam," jawabku cepat.
Rafi sontak menggeleng tak menyetujui, "Mie Ayam udah gue blacklist dari Kantin Fakultas. Lu nggak boleh pesen itu." peringatnya menatapku tajam.
Aku menghela napas panjang, padahal aku ingin sekali makan mie ayam di Kantin Fakultas. Tapi karena Rafi yang mentraktir jadi aku harus menurutinya, "Ya udah ya udah, samain kayak Karin aja,"
"Tunggu yak! Gue ke Bu Mega dulu," ucapnya. Sayang Rafi banyak-banyak, sahabat terloyal sepanjang masa. Bersyukur, punya orang-orang baik yang membuatku tetap bisa bertahan sampai di titik ini. Meskipun hidup tanpa adanya kasih sayang dari dua orang tua sejak kecil. Layaknya yang orang lain rasakan. Tapi sahabat seperti mereka sudah lebih dari cukup sebagai penggantinya.
Usai melihat Rafi yang berjalan menjauh ke arah kedai Bu Mega. Aku menatap Karin penuh tanya, "Rafi curhat apa Rin ke lo?" tanyaku penasaran.
Karin mendongak, matanya menatapku seperti kebingungan mencari jawaban. Padahal aku hanya bertanya biasa, "Ng....Nggak ada, dia cuma tanya masalah penelitian sama curhat organisasinya."
Aku memicingkan mataku, yakin pasti ada yang disembunyikan dari Rafi dan Karin, "Bener?" tanyaku memastikan.
"I-iya, cuma itu doang. Be-beneran!" Ia tampak nyengir kuda dengan mengangkat tangan kirinya dan mengacungkan jari telunjuk dan tengah bersamaan membentuk huruf 'V'.
Aku mengangguk-angukkan seolah-olah mengerti saja, nantinya juga mereka akan cerita sendiri, "Muka lo kenapa Ay? Nggak kayak biasanya. Ayana yang bacot mana? Tumben," tanyanya balik ke arahku.
Aku mengulum senyum tipis ke arahnya, "Nggak ada papa!"
Ia menatapku lekat dan menelisik seluruh bola mataku, mencari kebenaran yang ada disana, "Bohong banget, tuh mata udah keliatan lagi nyimpen sesuatu. Kenapa? Ada masalah ya sama Pak Jefri?"
Lo cenayang ya, Rin? Tiap mau nutupin ketebak mulu.
Tangan Karin menepuk-nepuk pundak kiriku pelan sembari masih mengukir senyum simpulnya, "Ya udah Ay, kalo belum bisa cerita sekarang. Kapan-kapan juga gak papa.
Telinga gue siap nampung." ujarnya.
Rafi berjalan mendekat ke arahku, ia sudah membawa nampan berisi tiga porsi nasi goreng dan tiga gelas es teh di tangannya, "Gue udah kayak pelayan aja," gerutu Rafi seraya tangannya menyodorkan nasi goreng ke arahku dan ke arah Karin.
Aku sontak tertawa renyah melihat ekspresinya, "Cocok banget muka lo, pan kapan bantuin Bu Mega jaga warung yak?" seruku.
"Sialan!"
Rafi mengambil duduk di sampingku lagi, ia mulai menyendok makanan yang ada dihadapannya, "Cepet banget lu dah sidang, Rin?" tanyanya ke arah Karin yang juga sibuk menyendok makanannya.
"Emangnya lo mau jadi mahasiswa abadi?" ucap Karin menanggapi.
Ia terkekeh pelan. Sorot matanya menatapku sekilas, "Mau-mau aja kalo Ayana yang nemenin,"
Aku sontak memukul lengan Rafi dengan tumpukan kertas revisian, "Ya elah! Kadal, mulutnya kebiasaan!" ujarku mendelik ke arahnya. Enak saja, disuruh menemani menjadi mahasiswa abadi yang artinya tidak lulus-lulus.
"Baru juga ngomong gitu udah dibilang kadal, biawak, buaya, pakboi, cewek-cewek tuh sebenernya maunya gimana?" dengusnya pelan.
Aku tergelak mendengar sahutan dari Rafi. Sudah menjadi makanan sehari-hari dia dijuluki julukan-julukkan itu, "Gimana apanya?"tanyaku balik.
Rafi menggelengkan-gelengkan kepalanya, tak mau menanggapi lagi, "Dahlah males ngelanjutin,"
"Undangan wisuda, Tante Ratna Ay yang hadir?" ucap Rafi membuka topik baru.
Aku mendongak menatap Rafi yang juga menatapku, "Hm? Kenapa tiba-tiba tanya gitu?"
"Ya, tanya aja."
Aku menggeleng pelan. Bibirku masih tersungging tipis, "Belum tau Raf," jawabku seadanya. Aku memang belum tau siapa nanti yang harus menghadiri undangan wisudaku. Tadinya aku berniat meminta Pak Jefri, tapi aku masih malas bertatap muka dengannya.
Rafi hanya mengangguk-anggukan kepala seolah-olah mengerti. Ia berganti menatap Karin, "Lo ikut periode ini kan, Rin?" tanyanya.
Karin mengangguk cepat, mulutnya masih dipenuhi makanan, "Iya,"
"Kalo gue wisuda. Kalian hadir yak?" tanyanya lagi.
"Ya iyalah, Bor! Gimana sih? Temen sendiri wisuda nggak hadir. Cuma jangan minta hadiah macem-macem lu! Yang ada aja." sahut Karin cepat. Yang kemudian diiringi tawa Rafi. Dan aku juga ikut tertawa karena mereka.
Rafi menepuk-nepuk pundakku pelan sembari mengulum senyumnya, "Lo emang sahabat gue paling baik sejagat raya, Ay!"
"Ayana doang nih, gue kagak?" cibir Karin.
"Maksud gue, kalian berdua." koreksi Rafi membenarkan seraya tertawa kecil, "Tapi sayangnya, Ayana jomblo!" cibir Rafi ke arahku seraya terkekeh geli.
Bola mataku dan bola mata Karin saling beradu tatap, saling mengisyaratkan untuk bungkam satu sama lain di depan Rafi. Aku mengisyaratkan Karin untuk tetap merahasiakan Pak Jefri dari teman kampus. Termasuk Rafi. Dan beberapa detik kemudian, aku menatap Rafi dengan tatapan mengejek juga, agar Rafi tidak berpikir yang tidak-tidak, "Kayak lo nggak aja," cibirku balik.
"Udah dibilangin. Gue tuh gebetannya banyak dari adik tingkat yang emes-emes sampai anak Himagro ada, anak BEM sampai anak UKM ada semua." ucapnya dengan nada sombong.
Aku berdecak sebal, mendengar ujaran dari Rafi yang mengaku gebetannya banyak, "Ciri-ciri buaya emang lo. Semua lo gebet. Semua lo baperin. Giliran merekanya udah baper. Lo bilangnya, aku kan baik ke semua orang. Kamu udah aku anggap adek sendiri. Kalo aku ngechat kamu nggak ada yang marah kan? Aku bawain martabak ya buat kamu? Dasar Rafi Pakboi!" cercaku.
"Nggak gitu Ay, emang gue baik ke semua orang. Apa salahnya kan baik ke semua orang? Berbuat baik kan juga ada nilai positifnya." ia masih dengan pendirian membela diri.
"Baik ke semua orang diatur porsinya Bang, biar anak orang nggak mudah baper. Namanya cewek lebih banyak menilai orang dari perasaannya daripada logika. Lo kasih perhatian dikit, langsung mikirnya udah demen aja. Gue jadi sahabat lo, tugasnya ngasih tau yang modelan begini. Adek-adekan lo tuh banyak banget yang ngira lo suka sama dia."
"Bener tuh, kata Ayana!" timpal Karin. Saat ini raut wajah Rafi merasa terpojokkan.
Ia sontak menggeleng cepat, "Nggak ada adek-adekkan. Mereka cuma adek tingkat biasa. Ya apa salahnya sih? Baik sama adik tingkat pas mereka diklat ospek jurusan. Ya tapi meskipun gue difitnah banyak gebetannya. Cuma satu yang belum kena—"
Karin memotong kalimat Rafi, "Kena apaan? Pelet?" tanyanya mengejek juga.
"Maksudnya cuma satu yang belum bisa didapetin. Susahnya minta ampun. Udah dikode dari dua tahun yang lalu, nggak peka-peka." ujarnya.
Aku mengerutkan dahiku menatap Rafi penuh tanya. Banyak banget gebetannya, "Siapa lagi yang lu ceng-cengin? Anak UKM yang mana lagi? Lo kok nggak cerita ke gue? Adek-adekkan lo yak?" tebakku asal.
Ia tersenyum tipis, "Ada Ay, cuma dia orangnya galak tapi sebenernya baik."
"Fakultas sebelah ya? Biasanya kan cantik-cantik tuh temennya Karin. Iya kan Rin?" tanyaku ke arah Karin.
Karin menggeleng pelan seraya tertawa cekikikan, "Bukan. Kejauhan fakultas sebelah. Orang fakultas sendiri aja ada yang cantik."
Aku beralih menatap Rafi yang masih sibuk menghabiskan makanannya, "Bener Raf? Fakultas sendiri? Bentar .... Kalo Faperta anak agribisnis tuh bening-bening cakep-cakep, Kata rang-orang Anak agrotek banyak dekilnya termasuk gue juga, sih! Soalnya kebanyakan di lahan mulu kerjaannya. Dikit-dikit ke lahan, dikit-dikit ke lahan. Hama udah jadi makanan. Faperta yang mana? Kasih tau cepetan! Capek nebak mulu lo gak jawab-jawab," ucapku memukul lengan Rafi.
"Bukan agribisnis. Kejauhan!" Aku beralih menatap Karin lagi, karena sedari tadi Karin yang menjawab, bukan Rafi. Ini sebenarnya mau main tebak-tebakan apa gimana?
"Lo tau juga Rin? Yang diceng-cengin sama Rafi? Siapa sih? Main rahasia-rahasiaan sekarang." dengusku kasar. Dari tadi tidak ada yang menjawab. Dan Karin malah memberiku tebak-tebakan seperti ini. Padahal jelas-jelas, udah sahabat harusnya jangan tebak-tebakkan lah. Langsung kasih tau. Lagian kalau main tebak-tebakan, otakku juga males mikir.
"Udah-udah, makan! Nggak usah didengerin omongannya Karin. Mulut dia kadang minta disosor Kudanil." ucap Rafi enteng.
"Sialan lo dasar Pakboi semi Sadboi," ejek Karin ke arahnya. Tangan Karin memukul lengan Rafi dengan kertas revisianku, membuat Rafi meringis kesakitan. Aku menatapnya, sontak tergelak.
Dreett....dreeettt....dreettt....
Dering ponselku di atas meja tiba-tiba berdering menandakan panggilan masuk, aku sedikit meraihnya dan membaca nama yang tertera disana. Tawaku seketika berhenti dan wajahku berubah datar. Aku malas mengangkatnya. Aku memutuskan untuk menekan tombol merah yang ada dalam sambungan panggilan.
|Badak bercula lima |
|Panggilan masuk|
Dreett....Dreettt...Dreett
Ponselku berdering lagi. Aku menghela napas panjang saat lagi-lagi Pak Jefri menelfonku.
"Nggak diangkat Ay? Angkat aja! Kali aja ada yang penting." usul Karina yang menatapku dengan tatapan penuh tanya.
Aku tersenyum getir sembari menggeleng-gelengkan kepalaku, "Enggak, bukan apa-apa."
Dreet...dreett...dreett
Ponselku berdering lagi, kali ini menandakan pesan masuk. Aku lantas membuka pesan masuk tersebut.
Badak Bercula Lima
Saya sudah menunggu kamu di depan gerbang utama kampus, sejak dua jam yang lalu. Angkat telfon saya!
Ayana
Saya masih ada urusan di Kantor Jurusan. Tidak perlu dijemput, saya pulang sendiri.
Badak Bercuma Lima
Jangan menghindar! Saya tau kamu tidak ada kepentingan di Kantor Jurusan. Saya butuh bicara sama kamu sekarang.
Aku malas menanggapi pesannya lagi. Tanganku menekan tombol home screen dan mengunci lagi ponselku.
|Badak Bercula Lima|
|Panggilan masuk|
Aku lagi-lagi menekan tombol merah dalam sambungan telepon. Sepertinya, saat ini raut wajahku terlihat tampak gusar saat orang lain melihatku. Aku lantas menghela napas panjang, mencoba menetralkan pikiranku.
"Kenapa? Udah mau balik ya?" ucap Karin lagi. Ia sedari tadi memperhatikan gerak-gerikku, "Balik aja dulu, Ay? Kalo ada perlu." tambahnya. Rafi ikut menoleh ke arahku.
Aku masih mematung di tempat. Tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Tidak mau bertemu dengan Pak Jefri juga saat ini. Tapi ia sudah ada di kampus, menungguku. Saat ini pikiranku berkecamuk, bingung harus melakukan apa.
Aku menghela napas panjang lagi, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk beranjak dari dudukku untuk menemui Pak Jefri. Tidak tahu apa yang terjadi setelah ini. Kalaupun aku menghindar terlalu lama juga tidak akan cepat selesai masalahnya. Tapi sebuah tangan menahanku, aku sontak menoleh ke arahnya, "Gue antar ke depan yak?" ucap Rafi pelan.
Bersambung....
Malang, 9 Agustus 2020
🌸🌸🌸
Gelut gelut gelut gelut wkwkkw kagak becandaa wkwkwk gimana? Udah baca? Sampai kata terakhir? Dapat fee nggak sih? Takutnya nggak dapa feel wwkwkwk
Makasih banyak ya udah ngikutin Pak Jefri sampai part ini. Jangan lupa vote, komen, di bawah. Ayok aku tunggu komennya dibawah buat aku bales balesin satu satu wkwk
Banyakin komennya ya? Biar aku bisa update cepet lagi 🥰 see you Syeyengku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top