BAGIAN 35 - KENCAN DADAKAN

"Habis ini ke bioskop ya, Pak?" pintaku ke arahnya yang sedang sibuk berkutat dengan ponsel yang ia pegang. Curang banget, giliran aku main handphone nggak diizinin. Katanya 'kalo makan jangan main hp terus, main hp yang nggak penting dikurangi, mana bisa masuk materi kuliah kamu kalau kamu main hp terus' dan banyak alasan lainnya yang keluar dari mulut Pak Jefri. Giliran dia main handphone, kalau ditanya, pasti alasannya urusan pekerjaan, urusan pasien, urusan penting dan urusan-urusan lainnya yang membuat aku ingin memukul kepalanya seketika.

Ia menatapku sekilas, "Nggak. Pulang!" perintahnya menatap tajam ke arahku.

Aku mengerucutkan bibirku mendengar penolakan dari Pak Jefri, berharap Pak Jefri berubah pikiran mau di ajak ke bioskop, "Katanya biar nggak rugi bensinnya?"

"Mau ngapain kamu ke bioskop? Ini udah jam sembilan malam. Udaranya nggak baik buat kesehatan. Kamu habis sakit. Kalau kamu sakit lagi, saya nggak mau direpotin nganter ke rumah sakit!" ucapnya tajam.

Aku menghela napas panjang saat melihatnya menatap tajam ke arahku, padahal kan aku cuma ingin mengajaknya ke bioskop, apa susahnya?

"Saya kan udah pakek jaket. Bapak juga udah pakek jaket. Bapak besok kan nggak lembur-lembur amat kerjanya. Saya juga nggak ada kerjaan. Masak ke bioskop bentar nggak boleh sih? Pelit amat! Tau gitu kan saya jalan sama—"

Ia menghela napas panjang seraya mengusap wajahnya kasar lalu menarik ujung hidungku, "Oke!"

Aku sontak menepis tangannya yang bertengger di hidungku, "Akkhhh .... Pak, jangan kebiasaan narik-narik hidung saya, dong! Bapak kan punya hidung sendiri. Tarik aja hidung Bapak. Kebiasaan!" gerutuku.

"Habiskan makananmu!" perintahnya.

"Ikhlas apa nggak saya aja ke bioskop?" tanyaku lagi memastikan bahwa Pak Jefri menyetujui ajakanku.

"Hm," gumamnya pelan. Tak menatapku. Dan matanya masih menelisik beberapa dokumen yang tertera di ponselnya.

Aku mengerutkan dahiku meminta Pak Jefri memperjelas ucapannya, "Hm? Hm itu apa? Persetujuan apa penolakan?"

"Habisin makananmu dulu!" ucapnya mengalihkan pembicaraan.

"Ya gimana? Bapak ikhlas saya ajak ke bioskop apa nggak?"

Ia menghela napas panjang, "Iya," jawabnya singkat.

"Nggak ikhlas banget iya-in nya,"

"Habisin makananmu, cepetan!" ujarnya ketus.

"Pak, perut saya tuh kecil. Porsi yang dikasih Kang Nasgor banyak banget. Masak Bapak tega sih nyuruh saya habisin semuanya. Bantuin kek makan, jangan bisanya cuma nyuruh ngancem nyuruh ngancem aja."

"Dibilangin bantah mulu. Saya jadi curiga, dulu waktu sekolah, guru kamu apa nggak salah naikin kamu ke jenjang yang lebih tinggi? Kamu tukang membantah kayak gini,"

"Enak aja. Sok tau!"

"Emang kamu sekolah pernah ranking berapa?"

"Waktu SD peringkat 42 paralel." ucapku mendelik ke arahnya.

"Dari berapa siswa?"

"43 orang."

Gelak tawanya pecah saat aku menyebutkan peringkatku. Ya kan itu jenjang sekolah dasar, jenjang sekolah menengah kan yang penting aku masuk lima belas besar walaupun cuma lawan satu kelas. Tapi setidaknya kan udah lumayan, "Itu peringkat apa ukuran sepatu saya?" ucapnya diiringi tawa ringan.

Sialan lu Badak! Ketawa lu ngece banget!

Aku memukul lengannya kencang, tidak peduli ia kesakitan atau tidak, "NGGAK USAH KETAWA! mentang-mentang juara olimpiade terus ngeremehin saya."

"Saya nggak ngeremehin kamu—"

"Nggak ngeremehin tapi ngejek. Sama aja!"

"Yang penting kamu kuliah dapat suami pinter. Bonus itu." sahutnya percaya diri.

"Dih! Sombong amat jadi manusia."

"Dulu sebenarnya kamu bisa ranking satu. Tapi kamunya aja yang pemalas. Jadinya temen kamu yang ranking satu. Semua orang bisa dapat ranking satu kalo dia punya tekad sama usaha. Nggak melulu soal yang punya IQ besar dia juara kelas. Kadang yang punya IQ tinggi tapi dia males buat ngasah bakal kalah sama yang IQ standart tapi dia rajin."

Aku memutar bola mataku malas, "Tumben bijak." cibirku. Sekarang bijak sedetik kemudian ngajak berantem lagi. Percuma!

Mataku mengecek pesan masuk yang ada di ponselku, "Ayana, habisin makananmu!" perintahnya kesekian kali.

Baru juga mau main hp!

Aku meletakkan ponselku lagi ke atas meja dan mengurungkan niatku untuk mengecek pesan yang masuk, "Tapi jadi ke bioskop ya?"

"Habisin makanannya!"

"Pak! Pertanyaan saya belum dijawab."

Ia mengerutkan dahinya, "Yang mana?"

Yang mana pala lu gue tabok!

"JADI KE BIOSKOP KAN?" teriakku mendekat ke arah telinganya.

Ia menarik telingaku pelan saat aku berteriak kencang ke arah telinganya, "Saya bayar makanannya dulu." Pak Jefri beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kasir untuk membayar pesanan makanan. Usai membayar makanan, ia berjalan menuju mobilnya dan aku mengekor di belakang sembari membawa Badak yang ada di gendonganku. Akhirnya, Badak bangun dari tidurnya. Aku lantas memasukkan Badak ke keranjang tidur miliknya. Dan menaruh Badak di kursi jok tengah mobil.

Dan aku duduk di kursi depan samping Pak Jefri. Pak Jefri tampak menyalakan mesin mobilnya sembari tangannya mengatur tuas persneling yang ia genggam, "Emangnya kamu kesana mau nonton apa malem-malem begini?" tanyanya melirikku sekilas.

Aku menggelembungkan pipiku sembari berpikir film apa yang akan ditonton nanti. Awalnya, memang aku tidak punya rencana ke bioskop. Rencana ini tiba-tiba terlintas di otakku saat aku makan nasi goreng tadi, "Romance cinta-cintaan bagus kali ya?" usulku melirik ke arahnya.

"Saya nggak suka genre itu."

Aku mengerutkan dahiku, apa salahnya menonton film romance? Lagipula, film romance kan menggemaskan. Siapa tau dia terinspirasi berubah sikap layaknya cowok-cowok yang ada di film-film,  "Kenapa sih? Kan cowoknya romantis. Nggak kayak Bapak. Galak, suka ngancem, suka marah nggak jelas, suka ngatur-ngatur. Bapak bisa contoh tuh cowok-cowok di film biar bisa romantis. Jangan kerjaannya marahin saya mulu tiap hari." cibirku.

Aku sontak mendapatkan tatapan tajam darinya. Tangannya hampir bertengger di telingaku lagi. Untung saja, saat tangan itu di udara aku langsung menepisnya, "Terlalu dramatis. Yang lain aja,"

"Apa? Film keluarga? Nggak suka ah, Pak! Bapak kasih saran, dong!"

Ia tak menanggapi pertanyaanku. Sial, padahal aku sudah menunggu jawabannya dari tadi. Matanya fokus mencari tempat parkir bioskop terdekat, menelisik area parkir yang kosong. Dan sorot matanya menemukan satu tempat kosong untuk parkir mobilnya. Tak menunggu waktu lama, Pak Jefri memarkirkan mobilnya disana.

"Turun!" perintahnya saat mobilnya sudah terparkir rapi di antara deretan mobil-mobil lainnya. Aku lantas segera turun dari mobil dan mengambil Badak yang tadi aku letakkan di jok tengah. Kakiku lantas berjalan mendekati Pak Jefri sembari masih menggendong Badak, "Pertanyaan saya belum dijawab. Bapak kasih saran nonton film apa?"

"Film action," jawabnya singkat.

Aku menggeleng cepat, genre action memang aku tidak terlalu suka dan tidak terlalu paham jalan ceritanya, "Isinya berantem terus. Nggak mau."

Ia memutar bola matanya malas, "Ya terus apa?" tanyanya balik ke arahku.

"Ya Bapak ada saran lagi apa nggak?"

Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Tipis sekali sampai hampir tidak terlihat karena pencahayaan area parkir di malam hari kurang. Tapi aku masih bisa melihatnya, "Horor," ucapnya memberi saran.

Aku membelalakan mata sempurna sembari menarik lengan Pak Jefri, "UDAH MALEM! JANGAN MANCING PEKARA."

"Ada film horor yang gak serem."

"Dimana-mana film horor serem, Suprianto!"

"Ada."

"Nggak ah Pak, Bapak sama aja nyiksa saya di bioskop. Dibilangin saya nggak suka lihat horor."

"Ada film horor yang nggak serem. Percaya sama saya."

"Mulut Bapak dari dulu kan nggak bisa dipercaya,"

Pak Jefri masuk terlebih dulu ke bioskop. Ia sedikit menarik tanganku agar langkahku sejajar dengannya.

Antriannya tidak terlalu panjang, jadi aku dan Pak Jefri bisa langsung pesan ke petugas tiket, "Mbak, film yang sedang tayang malam ini apa?" tanya Pak Jefri ke petugas tiket bioskop.

"Genre romance nggak ada mbak?" sahutku memohon agar genre romance tayang di jam-jam seperti ini. Bodohnya aku, kenapa tidak mengecek terlebih dahulu di web resmi bioskop, film apa saja yang tayang hari ini. Jadi kan nggak usah tanya petugasnya. Ah, udah terlanjur juga.

"Disini semua genre romance tayang rata-rata pukul 7 malam paling terakhir." jawab petugas bioskop.

Sorot mataku tampak kecewa saat ternyata tidak ada jam tayang film romance di jam malam seperti ini, "Tapi dulu biasanya ada yang jam sembilan malam mbak,"

"Sudah kebijakan dari bioskop diubah jadwal kak," jawabnya lagi menjelaskan.

Aku memanyunkan bibirku satu senti seraya melirik Pak Jefri sekilas. Kalau nggak jadi ke bioskop, berarti pulang. Tapi aku masih bosan di rumah, "Terus adanya apa?" tanyaku lagi ke petugas tiket bioskop.

Petugas tersebut tampak mengecek jadwal yang tertera di layar monitor yang ada di depanku, "Horor, dokumenter, sama ada film detektif yang tayang hari ini." jelasnya.

"Mau film dokumenter?" tanya Pak Jefri ke arahku.

Aku menggeleng pelan seraya masih betah mengerucutkan bibirku, "Nggak suka,"

"Detektif?" tanyanya lagi

Aku menggelengkan kepalaku lagi, "Detektif bikin ikut overthinking. Udah malem males mikir."

Pak Jefri menghela napas panjang, raut wajahnya tampak bersungut-sungut karena lagi-lagi aku menolak, "Ya terus nggak jadi?"

"Terserah Bapak aja deh,"

"Ya saya terserah kamu. Kamu yang ngajak kesini. Nggak jadi?"

Aku menghela napas panjang, sebenarnya aku tidak mau menonton film horor. Sendiri ataupun ada temannya, film horor tetap menakutkan,"Ya udah horor," jawabku terpaksa.

"Eum ... Mbak, horor yang nggak serem-serem amat yang mana sih?" tanyaku ke petugas tiket.

Petugas tiket tersebut tampak terkekeh pelan, matanya menatapku dan menatap Pak Jefri bergantian. Kemudian tersenyum simpul, "Semua film horor nggak serem kalo nontonnya ada pasangannya, Kak!"

Masalahnya pasangan gue begini modelannya. Bikin emosi mulu.

Pak Jefri menatapku malas, sebenarnya ia sudah ingin pulang sedari tadi tapi aku menahannya. Dan malah mengajaknya kesini, "Jadi gimana?" tanyanya ketus ke arahku.

"Terserah Bapak aja,"

Ia menghela napas lagi, tangannya menunjuk salah satu film horor barat yang ada di layar monitor dan petugas tersebut mengangguk mengerti, "Film yang ini aja. Duduknya di seat mana? Belakang, pojok?" tanya Pak Jefri ke arahku.

"Nggak nggak. Gimana sih nonton horor duduk paling pojok. Ntar kalo tiba-tiba ada—"

"Ya terus dimana? Depan sendiri?" Ia memotong kalimatku yang belum selesai aku lontarkan.

"Horor malah duduk depan sih, Pak? Kecolok mata saya,"

Ia mengusap wajahnya kasar, mengatur napasnya perlahan, "Terus dimana?" ucapnya tajam ke arahku seraya tangannya menarik daun telingaku.

"Akkhh sakit! Di tengah!"

"Bilang dari tadi. Jangan muter-muter."

"Disini," Tangan Pak Jefri menunjuk salah satu gambar seat yang ada di layar monitor. Dan petugas bioskop menge-klik gambar tempat duduk yang Pak Jefri pilih. Petugas itu lantas memberikan dua tiket bioskop sesuai pesanan dan memberikannya ke Pak Jefri usai Pak Jefri mengulurkan beberapa uang yang ada di saku celananya. Dua tiket bioskop, diterima Pak Jefri.

"Filmnya mulai 15 menit lagi. Kucing kamu titipin petugas bioskop aja. Saya mau beli snack." perintahnya ke arahku yang masih betah menggendong Badak. Aku berjalan menghampiri salah satu petugas bioskop yang kebetulan berdiri di studio 4. Studio yang digunakan untuk memutar film yang baru aku pesan, "Mbak, boleh nitip kucing?" tanyaku.

Ia mengerutkan dahinya memperhatikan penampilanku dari atas sampai bawah yang masih menggendong Badak di tanganku, "Kucing?" tanyanya tidak yakin. Biasanya kalau aku ke bioskop memang hanya menitipkan makanan yang aku beli dari luar. Tapi ini beda, kucing yang aku titipkan. Mungkin, petugasnya heran.

"Eum .... Gimana ya?" tanyanya balik arahku.

"Boleh apa nggak, mbak? Kalo nggak boleh saya bawa masuk aja kucing saya."

"Tapi saya jarang—" ucapannya terpotong saat Pak Jefri sudah berdiri di sampingku.

"Udah kamu titipin kucingnya?" tanya Pak Jefri yang sudah membawa beberapa snack yang ia beli. Memang tadi aku meninggalkan Pak Jefri yang memesan snack, dan memilih menitipkan Badak ke petugas bioskop. Tapi petugas bioskop ragu banget buat dititipin kucing.

"Boleh kok, Kak! Taruh sini aja. Nanti saya jagain." sahutnya cepat.

Sialan lu! giliran ada Pak Jefri aja lu mau. Giliran gue, banyak alasan!

"Jagain kucing saya ya, Mbak? Saya sama suami saya mau masuk dulu. Jangan sampai ilang. Kucing saya berharga soalnya. Iya kan sayang?" Aku memeluk lengan Pak Jefri dan meliriknya sembari mengulum senyum terpaksa, mengisyaratkannya untuk tidak membuka mulut saat ini.

Pengen muntah manggil Pak Jefri pakai sebutan sayang.

Usai menitipkan Badak ke petugas bioskop, aku dan Pak Jefri berjalan beriringan menuju lorong masuk ke studio. Tanganku cepat-cepat aku singkirkan dari lengan Pak Jefri. Sangat yakin, setelah ini mulutnya akan mencibirku, "Saya tadi nggak denger, kamu ngomong apa sama petugas bioskop tadi,"

"Yang mana?" sahutku cepat.

Ia tersenyum miring. Sialnya tatapannya terlihat tampak mengejek, "Kata terakhir," ucapnya ke arahku.

"GR banget tadi saya cuma pura-pura begitu. Petugasnya ganjen sama Bapak."

"Memangnya kenapa kalo dia ganjen sama saya?"

"Memangnya Bapak mau sama dia?"

Ia terkekeh ke arahku, "Ya saya—"

Aku memotong kalimatnya malas mendengar jawaban bualan darinya, "Nggak usah dijawab! Filmnya udah mau mulai. Ayo!"

Aku berdecak sebal meninggalkan Pak Jefri yang masih mematung di tempat sembari tawanya tak berhenti sedari tadi. Biarkan saja begitu, biar lama-lama jadi gila karena kebanyakan tertawa. Tanganku menepuk dahiku sejenak. Oh iya, ini studio film horor. Kakiku rasanya terkunci di lorong studio tiba-tiba. Aku cepat-cepat berbalik arah menyusul Pak Jefri yang berjalan beberapa langkah di belakangku.

"Kenapa balik?" tanya ke arahku.

"Bapak jalan duluan,"

Ia menarik sudut bibirnya tipis seraya terkekeh pelan, "Bilang aja takut. Nggak berani masuk!" cibirnya.

"Pak, ini nggak serem kan?" tanyaku berjalan beriringan dengannya masuk ke dalam studio.

"Emang kamu nggak pernah nonton horor?"

"Kan saya udah bilang saya sukanya romance yang cowoknya uwu uwu-"

"Kebanyakan ngayal."

"Ya terserah saya, daripada Bapak-"

"Apa? Saya kenapa? Mau banyak ngomong lagi? Mau saya kurung di bioskop?"

"Ayo masuk!" perintahnya saat aku mengunci langkahku masuk di ambang pintu bioskop.

"Bapak aja deh yang masuk, saya nunggu di luar."

"Saya udah beli tiket. Jangan rewel!"

Aku menghela napas panjang. Memberanikan diri untuk masuk ke studio 4 sembari tanganku bertengger di lengan Pak Jefri. Aku mengunci tanganku dilengannya, seolah-olah tidak mau terlepas sedetikpun, "Pak, jalannya jangan cepet-cepet! Tungguin saya!" cicitku pelan. Langkah Pak Jefri memang tidak bisa disamakan dengan langkah kecilku.

Langkahku terhenti di nomor tempat duduk yang sudah Pak Jefri pesan. Aku mendudukkan tubuhku di kursi samping Pak Jefri. Dan kursi sampingku sudah diduduki orang lain dengan pasangannya.

Pak Jefri melepas jaket yang ia kenakan. Saat ini ia hanya memakai kaos hitam lengan panjang dan setelan jeans, "Pakek jaket saya!" perintahnya dan meletakkan jaket itu untuk menutupi bagian tubuh atasku yang sudah terbalut jaket yang aku kenakan.

Aku sontak menoleh ke arahnya, "Saya kan udah pakek jaket."

"AC bioskop terlalu dingin." jawabnya tak menatapku dan fokus menatap layar bioskop yang ada di depan. Padahal, film belum dimulai.

"Kalo AC bioskop dingin, kenapa bapak malah lepas jaket?"

"Jaket saya kalo saya pakai panas. Saya nggak suka panas."

Aku hampir menyodorkan jaketnya ke arah Pak Jefri, tapi tangannya menahanku, "Nggak ah, Pak! yang lainnya pakai jaket, masak Bapak sendiri yang nggak pakai?"

"Filmnya udah mulai. Jangan banyak ngomong, kamu!"

Bersambung....

Malang, 6 Agustus 2020

🐻🐻🐻

Ini part terpanjang yang aku tulis. Jangan bosen-bosen ya? Selamat membaca. Dan terima kasih udah banyak yang ngerekomendasi cerita ini ke yang lain. Aku sayang kalian. Maaf update telat karena ada masalah yg harus diselesaikan di real life wkwk. Selamat membaca dan see you next chapter.

Jangan lupa vote dan komennya ya? Aku tunggu 😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top