BAGIAN 34 - GARA-GARA INSIDEN DI DEPAN PET SHOP

⚠️ Hallo, yang kangen Bapak Badak yang terhormat mana suaranya? Uwaw, aku mau ngucapin makasih notif aku beruntun 3 hari aku tinggal. Makasih banyak udah mampir di cerita yang enggak jelas sama sekali ini wkwkkw. Makasih udah rela nungguin Pak Badak. Makasih udah vote Pak Badak. Dan makasih udah follow juga 😭 monnanges sekebon.

Nggak mau banyak bacot di intro yak wkwk aku mau ngasih part ini ke kalian. Semoga dapet feel-nya wkwk. Jangan lupa vote terus komen juga di bawah. Nanti aku balesin satu-satu komennya. Soalnya aku gabut, jadi aku suka bales-balesin chat. Eh, maksudnya komen wkwk

Happy Reading syeyeng!

🦏🦏🦏

Aku masih menggerutu sepanjang perjalanan. Bisa-bisanya main cium pipi di depan Pet Shop. Kalau sampai banyak orang yang lihat bagaimana? Pak Jefri makin kesini makin gak ada akhlaknya, "Habis ini kemana lagi?" tanyanya enteng tanpa merasa bersalah ke arahku. Ia yang masih sibuk menyetir melirikku sekilas.

Aku membalasnya dengan lirikkan tajam sembari bibirku masih betah mengerucut dari tadi, "Nggak mau kemana-mana. Mau pulang!"

Ia tampak menghela napas panjangnya, sedari tadi mobilnya hanya berputar-putar di jalan raya ini saja, "Terus, gunanya ngajak saya jalan cuma beli kucing? Bensin mobil saya rugi." cibirnya ke arahku.

Awalnya memang aku menyusun segudang tujuan untuk jalan-jalan malam, bukan hanya sekedar beli kucing saja. Tapi juga membeli kebutuhan ATK dan jalan-jalan untuk sekedar mencari street food sekitar sini. Tapi seketika rencanaku hangus gara-gara ulah Pak Jefri yang mencium pipiku tanpa izin, "Ya terus Bapak mau kemana lagi? Saya nggak mau ada kejadian di depan Pet Shop ke ulang lagi. Malu-maluin!" aku memukul keras lengan kirinya yang bertengger memegang tuas persneling mobil.

Ia sontak menatapku tajam, "AYANA! Jangan kebiasaan cari masalah kalo saya lagi nyetir. Kamu mau tanggung jawab kalau saya kecelakaan?"

"Salah sendiri cari gara-gara. Ini udah termasuk pelecehan. Bapak main cium pipi saya di area umum tadi. Nggak malu apa kalo banyak orang yang lihat?" aku mengusap-usap pipi kananku dengan ujung lengan bajuku.

"Saya tadi nggak bermaksud. Tadinya .... saya mau cium kucing kamu-"

"Nggak usah banyak alasan. Nggak mutu alasan Bapak. Makin kesini Bapak makin nggak bisa dibiarin. Jangan cari kesempatan dalam kesempitan. Mentang-mentang saya sakit. Mentang-mentang Bapak beliin kucing yang saya mau. Mentang-mentang semua pakai duit Bapak-"

Ia memotong kalimatku yang belum selesai sepenuhnya aku ucapkan, "Salah kamu sendiri banyak ngomong!" tukasnya ke arahku.

"Enak aja! Bapak udah nodai pipi saya. TANPA IZIN!"

Ia melirikku sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke jalan raya lagi, "Ya maaf," jawabnya enteng.

"NGGAK BISA! ENAK AJA CUMA MINTA MAAF."

Ia menghela napas lagi, "Ya terus kamu maunya bagaimana? Saya harus beliin kamu 100 album Korea buat kamu? Makin kesini kamu juga makin ngelunjak sama saya." ucapnya tajam melirikku.

"Yang bilang saya pengen dibeliin Album siapa? Saya nggak mau disogok album. Bapak pikir saya wanita apaan? Main sogok-sogokan terus dengan seenak jidatnya, Bapak main ngelakuin apa yang Bapak mau,"

"Saya udah minta maaf. Kurang apalagi? Lagian saya suami kamu. Apa salahnya saya ngelakuin kejadian tadi?"

"TAPI SAYA TETEP NGGAK SUKA!" teriakku ke arahnya. Benar-benar, saat ini rasanya ingin membuang Pak Jefri ke laut selatan biar dimakan Dugong. Aku memejamkan mataku dan berusaha mengatur napas. Memompa stok kesabaran yang masih tersisa, walaupun cuma sedikit.

Tangan kiri Pak Jefri mengusap kasar wajahku tiba-tiba, dan tangan kanannya masih ia gunakan untuk mengendalikan stir mobil, "Jangan teriak-teriak di mobil saya! Saya udah minta maaf. Kurang apalagi?"

Aku semakin geram karena tangannya dengan seenak jidatnya mengusap kasar wajahku, "Saya nggak mau tidur di kamar Pak Jefri." ucapku tak menatapnya dan fokus menatap ke arah jendela mobil. Pemandangan jendela mobil lebih enak dipandang daripada wajah Pak Jefri. Tau begini kan aku duduk di jok tengah mobil bareng Badak. Duduk di samping Pak Jefri makin bikin darah tinggi naik.

"Terus kamu mau tidur sama sia-"

"SAMA BADAK," teriakku memotong kalimatnya.

Ia mengerutkan dahinya saat mendengar jawabanku. Dan cepat-cepat pandangannya ia alihkan ke depan lagi, "Tidur sama kucing nggak baik buat kesehatan," jawabnya.

"Mana ada! Jangan buat teori yang nggak-nggak. Saya nggak punya riwayat penyakit asma." jelasku. Ya kan, Pak Jefri memang paling pandai membuat alasan yang tidak masuk akal.

"Terus kamu mau tidur dimana? Gudang?" tanyanya lagi seraya menyunggingkan senyum mengejeknya.

"Ruang tamu sama Badak."

Ia masih memasang senyum miringnya seolah-olah mengejekku. Kepalanya mengangguk-ngangguk pelan seraya tangannya masih fokus menyetir, "Kalau kamu sakit lagi. Bukan salah saya. Saya nggak mau juga kamu repotin suruh nganter ke rumah sakit."

Tanganku sudah meremas kuat ujung bajuku, otakku sudah meledak-ledak menanggapi perdebatan dengan Pak Jefri malam-malam seperti ini, "Bapak hobi banget sih bikin saya emosi."

Orang lain malem weekend-nya romantis-romantisan bareng pacarnya. Gue seumur-umur kagak pernah romantis-romantisan. Sekalinya nikah, sama modelan Badak yang bikin emosi tiap hari begini.

Ia lantas melirikku sekilas kemudian selang beberapa detik gelak tawanya mengejek ke arahku, "Ya terserah kamu. Mau tidur di gudang ataupun di ruang tamu bareng putih-putih rambut panjang suka ketawa-"

Aku sontak mendelik ke arahnya, "Jangan coba-coba nakut-nakutin saya!"

"Saya nggak nakut-nakutin kamu. Saya cuma bilang aja, selama lima tahun saya tinggal sendirian di rumah. Di gudang dan ruang tamu memang banyak hal-hal-"

"HAL-HAL APA? orang jelas-jelas saya kemarin-kemarin tinggal sendirian di rumah waktu Bapak pergi ke Lombok. Nggak ada apa-apa tuh? Bapak jangan ngada-ngada deh! Mentang-mentang saya takut begituan terus seenaknya nakut-nakutin. Gak ada akhlak!"

"Ya karena kamu cuma berdiam diri di kamar aja. Nggak kemana-mana." jawabnya enteng lagi.

"Apa bedanya? Kalo di ruang tamu ada hal-hal yang Bapak sebutkan tadi kenapa di kamar nggak ada? Nggak masuk akal!" cibirku.

"Ya memang di kamar saya sendiri yang tidak ada apa-apa."

"Halah, kalo pengen bohongin saya pakek cara yang cerdas dong! Mana percaya saya sama mulut Bapak."

Ia masih memasang senyum miringnya, "Ya udah terserah kamu, saya kan cuma ngasih tau aja yang kamu nggak ngerti. Biasanya muncul jam satu malam-

"PAK, MULUT BAPAK TUH JANGAN NGOMONG YANG ANEH-ANEH MALEM-MALEM BEGINI."

"Saya nggak ngomong aneh-aneh-"

Aku menghela napas panjang mengatur oksigen yang hampir terbuang sia-sia karena Pak Jefri, "Oke, saya tidur di kamar. Tapi bareng Badak juga. Jadi bertiga. Badak di tengah."

Ia sontak menatapku dengan tatapan membunuh seolah-olah tak menyetujui permintaanku, "Kucing kamu punya tempat tidur sendiri. Ngapain di ranjang saya? Kalo dia buang air besar sembarangan, kamu mau tanggung jawab nyuciin sprey?"

"Mau,"

"Saya yang nggak mau!"

"Tapi saya nggak mau tidur sama Bapak berdua. Bapak udah berani macem-macem sama saya."

"Justru kalo kucing kamu di ranjang saya, terus dia buang air besar sembarangan. Saya bakal macem-macem sama kamu!" ancamnya lagi dan lagi.

"Tau ah, Pak! Ribut sama Bapak, nggak pernah mau ngalah."

"Kamu yang mulai duluan."

Aku berkacak pinggang mengarah ke Pak Jefri, "Sadar diri dong! Bapak yang mulai duluan."

"Nggak usah banyak ngomong. Saya nggak mau nerusin ribut sama kamu. Cepetan turun!" ucapnya seraya memarkirkan mobilnya di salah satu kedai nasi goreng yang ada di kiri jalan.

"Mau ngapain?"

"Beli makan," ucapnya yang kemudian beranjak turun dari mobil. Aku sengaja masih mematung di jok kursiku. Tidak mengikuti langkah Pak Jefri yang turun dari mobilnya.

Tak menunggu waktu lama, Pak Jefri membuka pintu di sampingku, "Kamu mau turun apa saya kunci di dalam mobil?" ancamnya lagi.

"Saya nggak laper,"

Ia menarik tanganku untuk turun dari mobil, tapi aku menepisnya, "Kamu belum makan, jangan bikin saya repot kalo sakit!" ucapnya tajam ke arahku.

"Saya mau makan di rumah." tolakku lagi.

"Nggak usah banyak ngomong! Nggak ada makanan di rumah." Ia semakin erat mencengkram pergelangan tanganku agar aku turun dari mobilnya.

"Badak belum turun. Jangan ditinggalin!" aku memukul lengan Pak Jefri yang menggandengku. Ia lantas menghela napas panjangnya dan kemudian melepaskan genggaman tangannya.

Tanganku membuka pintu jok kursi tengah mobil dan mengambil Badak yang aku letakkan disana. Badak masih tidur di keranjangnya. Dari pada, dia mati sesak napas karena tidak ada udara dalam mobil lebih baik aku bawa ke kedai nasi goreng.

Aku lantas mengikuti Pak Jefri yang sudah berjalan mendahuluiku masuk ke kedai nasi goreng Jawa. Ia mengambil duduk di salah satu bangku kosong yang ada di sana dan aku berjalan mendekatinya sembari tanganku masih menggendong Badak dan tangan kiriku menenteng keranjang tempat tidur Badak, "Mas, saya pesan nasi goreng 1 porsi sama air putih aja 2 porsi." ucap Pak Jefri ke arah pelayan kedai.

"Mie Ayam," koreksiku. Aku mengambil duduk di sampingnya. Dan kursi kosong yang ada di depanku aku gunakan untuk meletakkan Badak yang tertidur pulas disana.

"Nasi Goreng," ucapnya melotot ke arahku.

Pelayan kedai mengerutkan dahinya bingung mencatat makanan apa yang sebenarnya kami pesan, "Jadi pesan yang mana Mas?" tanyanya memastikan sekali lagi.

"Nasi Goreng, Mas!" ucap Pak Jefri ke arah pelayan tersebut.

"Mie ayam," sahutku kemudian.

"Nasi goreng, Mas!"

"Oke, tunggu ya? Ini jadinya nasi goreng pedes atau nggak?" tanya pelayan sembari tangannya sibuk mencatat pesanan.

"Pedes," sahutku.

"Nggak," ucap Pak Jefri.

"Pedes!"

Pak Jefri mendelik ke arahku, dan kemudian pandangannya ia alihkan ke pelayan lagi, "Nggak pedes Mas, Jangan dengerin omongan dia. Dia agak-" ucapnya seraya memberi kode ke pelayan dengan mengacungkan jari telunjuk sedikit miring di depan dahinya. Sial, mengisyaratkan ke pelayan kalau aku nggak waras.

Aku spontan menginjak kakinya yang kebetulan dekat denganku, "Akkhhh! Sakit!" erangnya mendelik tajam ke arahku.

"Bodo amat!"

Pelayan tersebut sontak ikut tertawa, "Ini pacarnya apa adiknya Mas? Kok cantik lucu,"

"Pembantu," jawabnya enteng.

Aku mencubit pinggangnya dan kemudian memelintir perlahan. Kapan lagi kan bisa menyiksa Pak Jefri kalau bukan sekarang, "Akkhh!" ia meringis lagi seraya tangannya mengunci tanganku agar tidak mencubitnya lagi, "Awas kamu!" ancamnya menatap tajam ke arahku.

"Mas sama mbak ini adik kakak yang bikin gemes ya? boleh buat saya aja nggak Mas, Adiknya? Cantik juga saya lihat-lihat."

Dih! Ganjen banget lu, Kang Nasgor.

Pak Jefri menggeleng-gelengkan kepalanya sembari terkekeh pelan ke arah pelayan itu, "Dia istri saya,"

"Oh .... Saya kira adiknya tadi. Maaf, saya nggak tau kalo Mas suaminya. Tau gitu kan saya nggak godain tadi. Ya udah, saya buatin pesenannya dulu ya?" pelayan tersebut berbalik arah dan berjalan menuju dapur. Aku memutar bola mataku saat Pak Jefri juga menatapku. Kemarin-kemarin akur, sekarang berantem lagi. Kan bosen! Nggak ada romantis-romantisnya.

"Nggak usah GR, saya akui kamu istri saya di depan Kang Nasgor tadi!" ucapnya seraya meletakkan ponselnya di atas meja yang berdekatan dengan ponselku.

Aku berdecak sebal, mau diakui mau tidak nggak penting-penting banget, "Bodo amat!"

Selang beberapa menit, pelayan tersebut kembali membawa nampan yang berisi pesanan yang Pak Jefri sebutkan tadi, "Ini nasi gorengnya. Selamat menikmati!" ucapnya.

"Kenapa cuma pesen satu porsi, sih? Pengiritan apa gimana?" tanyaku ke arah Pak Jefri.

"Kamu yang makan,"

Aku mengerutkan dahiku sejenak, perasaan tadi yang berniat membeli makanan kan dia, kenapa aku yang disuruh untuk makan?

"Terus Bapak nggak makan?"

"Saya udah kenyang," jawabnya menatapku sembari menyilangkan kedua tangannya di dada.

Sok keren lu, ah!

"Nggak usah bohong deh! Bapak mau pesen satu porsi kode pengen sepiring berdua kan?" cibirku.

Ia menghela napas seraya menarik ujung hidungku pelan, "Dibilangin saya udah kenyang. Banyak ngomong kamu. Cepet makan!"

Aku menepis tangannya yang bertengger di ujung hidungku, "Saya nggak mau nasgor," ucapku mendelik ke arahnya.

"Jangan buang-buang uang saya! Saya beli nasi goreng pakai uang bukan pakai daun."

"Saya kan nggak minta! Yang pesen Bapak sendiri bukan saya yang minta."

Manik-manik matanya menatapku membunuh seolah-olah lelah dengan ucapanku, "AYANA AURORA PAMUNGKAS! Ngomong sekali lagi, kucing kamu saya jual." ancamnya lagi. Bosan tiap kali berurusan dengan Pak Jefri, ada aja yang menjadi sasarannya. Dulu mengancam album, sekarang mengancam kucing. Besok apalagi?

"Habisin!" perintahnya.

Bibirku mengerucut dua centi seraya dalam hati menggerutu hebat karena ancaman-ancaman yang diberikannya, "Nggak habis. Jangan maksa mulu!"

"Habisin atau saya-"

"Ngancem mulu kerjaannya."

Dreett...Dreett...dreett...
Suara ponselku tiba-tiba berdering di atas meja. Aku mengerutkan dahiku melirik nama yang tertera di ponselku.

Rafi Pratama

|Panggilan masuk|

Mata Pak Jefri juga ikut melirik sekilas layar ponselku dan kemudian dengan cepat menekan tombol telepon berwarna merah yang ada dalam layar sebelum aku mengangkatnya.

Aku membulatkan mata sempurna saat melihat Pak Jefri tanpa izin mematikan sambungan telepon dari ponselnya yang belum sempat aku angkat tadi, "Kok dimatiin sih? Kalo ada yang penting gimana?"

Ia memutar bola matanya malas, "Nggak sopan malam-malam telepon orang." jawabnya.

Bersambung....

Malang, 4 Agustus 2020

🌸🌸🌸

Dah segitu dulu yak? Jangan lupa vote sama komen di bawah. Kalo bingung mau komen apa di bawah, komen pakek emot badak aja. Btw emot badak yang mana sih wkwkk ngada-ngada gw mah wkwk.

🦏🐂🦌 Nggak tau ah wwkwk dari tadi nyari emotikon badak nemunya malah begitu wkwk. Oke skip.

Makasih banyak yak see you next chapter. Aku usahain update cepet soalnya lagi seneng aja banyak yang komen sama vote. Semoga bisa up cepet deh wkwkw.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top