BAGIAN 33 - PAPA BADAK PERANG MARTABAK
⚠️ Gelaaa ini udah 2000 lebih kata yang gw tulis. Panjang banget nulisnya maraton dari tadi siang sampai sekarang. Yuk ah, jangan lupa apresiasi tangan author yak wkwk vote, komen dibawah juga kalo suka. Terserah deh komen apa aja penting yang baek-baek wkwkwk terus makasih udah ngefollow juga.
Aku izin menghilang 3-4 hari yak buat revisian tugas akhir. Kalo udah selesai aku balik lagi kesini. Makasih udah support karya yang nggak jelas ini wakwkak.
Selamat membaca Syeyengku.
🌸🌸🌸
Aku sedikit meringis saat tangan Pak Jefri mengusap-usap dahiku yang terbentur sisi bath up tadi. Usai insiden dahi terbentur, Pak Jefri menyuruhku untuk lekas membersihkan tubuh. Padahal, aku benar-benar tidak ada niatan untuk mandi pagi kalau tidak ada kelas.
"Cuma sakit sedikit, gak usah berlebihan!" ucapnya sembari masih mengompres dahiku yang sedikit memar.
Bangke lu!
Aku masih mengunci mulutku malas menanggapi Pak Jefri, coba bayangkan? Kepala terbentur di sisi bath up yang sedikit runcing. Apa tidak sakit, hah? Ditambah lagi pagi-pagi, udaranya tidak bersahabat untuk mandi. Mood-ku jadi 180 derajat berubah pengen obrak-abrik wajah Pak Jefri. Sayangnya, masih ada stok kesabaran di rongga paru-paruku, "Sudah saya obati. Cuma memar dikit, nggak kenapa-napa itu." ujarnya lagi menatapku.
Ya tetep sakit lah bego!
Aku memukul dada bidangnya dengan kencang tak peduli ia meringis atau tidak, yang terpenting aku bisa melampiaskaan kemarahanku, "Jangan kebanyakan gerak. Saya lagi kompres kamu ini. Kalo mau pukul saya, ya nanti!" ucapnya seraya mengunci kedua tanganku yang terus-menerus memukulnya.
Aku mengerucutkan bibirku menatap Pak Jefri tajam, "KEPALA SAYA BENJOL GARA-GARA BAPAK. Kalo saya hilang ingatan bagaimana? Bapak mau tanggung jawab?" teriakku.
Sialnya, aku yang sudah bersungut-sungut dan meledak-ledak ia hanya membalasnya dengan tawa ringan seolah-olah tidak terjadi apa-apa denganku, "Cuma terbentur dikit, mana ada hilang ingatan. Kebanyakan nonton tv, kamu." ucapnya.
Aku mendengus kesal melihatnya yang masih tak kunjung menghentikan gelak tawanya, "Ya kan bisa aja, otak saya langsung hilang ingatan gara-gara Bapak benturin kepala saya di bath up tadi."
"Saya belajar anatomi otak manusia nggak setahun dua tahun, tapi hampir sepuluh tahun. Jadi jangan bikin alasan ke saya yang nggak masuk akal tentang hilang ingatan." jelasnya ke arahku.
"Ya kan siapa tau otak saya sensitif. Kebentur dikit langsung hilang ingatan."
"Kalaupun gagar otak dan hilang ingatan juga pasti ada faktor lain. Bukan kebentur dikit langsung gagar otak. Gagar otak ringan juga belum tentu menyebabkan hilang ingatan."
"Tetep aja—”
Ia menempelkan telunjuknya di bibirku seolah-olah mengisyaratkanku untuk tidak melanjutkan ucapanku, "Udah, cepetan istirahat! Jangan sering-sering self diagnosis yang belum tentu terjadi. Bahaya buat diri sendiri. Lagian kalau saya nggak paksa kamu buat mandi juga kamu nggak bakal mandi seharian."
"Tapi kan saya nggak suka mandi pagi-pagi begini. Ya setidaknya lewat jam sembilan lah saya baru mandi. Bukan jam enam. Tau sendiri, udara lagi nggak bersahabat kayak gini. Mana dingin lagi,"
Ia tak menangapi cicitanku lagi. Tangannya berkutat memainkan ponsel yang ia genggam, sesekali tersenyum tipis menatap layar ponselnya, "Minta maaf kek, kepala orang ini, main jedotin seenaknya aja." sindirku.
Ia melirikku sekilas sadar akan sindiran yang aku tujukan ke arahnya, "Maaf," ucapnya singkat dan kembali fokus ke layar ponselnya.
Aku menggelembungkan kedua pipiku seraya menatap tajam Pak Jefri lagi, "Minta maafnya nggak ikhlas banget," sindirku pelan.
Ia menghela napas panjang karena berkali-kali aku sindir, "Saya minta maaf Ayana. Udah?" ucapnya memperjelas.
"Belum dimaafin kalo nggak kasih saya Album," sahutku.
Spontan Pak Jefri menatapku tajam seraya tangannya sudah bertengger di telingaku, "Ngelunjak!" ucapnya sembari tangannya masih menarik telingaku pelan.
Aku memukul lengannya yang tak kunjung ia singkirkan dari telingaku, "Pak! Sakit, telinga saya jangan ditarik-tarik. Ini kepala saya sakitnya pindah ke telinga semua,"
Ia tersenyum miring lantas menurunkan tangannya yang sedari tadi menjelajahi telingaku, "Uang untuk kebutuhan bulan ini sudah saya transfer." ujarnya mengalihkan pembicaraan.
Aku melebarkan retinaku, memastikan ucapan Pak Jefri benar, "Hah? Tumben? Ini kan masih awal bulan banget. Biasanya juga Bapak transfernya mendekati pertengahan bulan." Kalau masalah uang. Siapapun pasti akan melebar matanya. Termasuk aku. Ya walaupun, hanya memegang uang kebutuhan sehari-hari. Bukan uang lainnya.
"Cek sendiri di mobile banking kamu." perintahnya.
"Uang buat kebutuhan kuliah kamu, bulan depan saya transfer."
Aku mengangguk-anggukan kepalaku, menyetujui ucapan darinya. Memang, mulai awal menikah, dia yang menanggung semua biaya kuliahku yang tadinya menjadi tanggungan Tante Ratna sebagai pengganti Mama. Sebenarnya masalah mengenai materi dia dapat dikategorikan baik banget, aku juga sering melihatnya menyisihkan seperempat dari gajinya untuk disumbangkan ke panti asuhan milik keluarganya, untuk masalah ini aku memang mengakui kebaikannya. Tapi untuk masalah berdebat sehari-hari denganku yang membuat darah tinggiku naik, aku benar-benar tidak tahu harus mencekiknya atau menjambaknya untuk sekedar melampiaskan amarahku.
"Terus uang buat asuransi kepala saya yang kejedot mana? Itu kan gara-gara Bapak juga. Uang buat asuransi beli album EXO? Sekalian beli lightstick ya? Saya juga pengen Konbat. Tapi kayaknya denimalz Bang sama Jje juga lucu deh, mau ya satu dibeliin?"
Ia mengerutkan dahinya menatap malas, "Kok kamu ngelunjak jadi istri!"
Aku tertawa ringan sembari memukul bahunya pelan, "Becanda Pak. Tapi kalo dibeliin juga mau satu."
Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya pelan seraya tersenyum miring ke arahku, "Bapak nanti malam sibuk nggak?" tanyaku tiba-tiba.
"Mau apa tanya-tanya jadwal saya?"
Sialan!
Aku memukul pelan bahunya yang sudah memakai kemeja putih dengan setelan celana hitam dan dasi biru bergaris yang melingkar rapi di lehernya, "Cuma tanya doang ngapain sewot, sih? Bapak sibuk apa nggak?" tanyaku lagi dengan nada ketus.
"Habis ini saya ada keperluan di rumah sakit."
"Pulangnya?"
"Jam 7 malam,"
"Pas dong! Jalan-jalan yuk? Saya bosen di rumah."
Ia memutar bola matanya malas saat aku mengajaknya jalan-jalan. Pak Jefri memang paling tidak suka membuang-buang waktu untuk sekedar jalan-jalan yang menurutku itu bisa melepas penat, tapi tidak dengannya. Baginya jalan-jalan hanya buang-buang waktu yang seharusnya ia gunakan untuk menyelesaikan pekerjaan miliknya, "Kemana?" tanyanya malas.
"Ya pokoknya jalan-jalan. Nyenengin saya sehari bisa kali, ah! Jangan bikin ribut mulu."
"Saya nggak janji." tukasnya pelan.
Aku sontak mengerucutkan bibirku ketika mendengar ucapannya yang mengarah ke penolakan secara halus, "Ya udah deh, kalo Bapak lagi sibuk. Nggak papa, kan saya cuma tanya. Nanti saya ajak Rafi, keluar bentar cari angin," sahutku kecewa.
Ia menghela napas panjang, "Ya udah, tunggu saya pulang."
"Nungguin Bapak pulang doang kalo cuma disuruh di rumah aja ya mending jalan sama Rafi, Pak!"
Ia menangkupkan kedua tangannya di pipiku secara tiba-tiba yang membuat jantungku berpacu tidak normal, "Tunggu saya pulang, nanti jalan sama saya." ucapnya seraya melepas tangannya dari pipiku.
Aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku ke segala arah agar manik-manik mataku tak berpapasan dengan matanya, "Beneran nih? Ikhlas apa nggak? Ntar di jalan nyalah-nyalahin saya lagi gara-gara nggak ikhlas."
"Hm,"
"Hm apa?"
"Iya,"
"Gitu dong sekali-kali."
🌸🌸🌸
"Pak, berhenti!" perintahku ke arah Pak Jefri yang masih fokus menyetir. Ia lantas sedikit memperlambat kecepatan mobilnya. Dan menoleh ke arahku, "Kenapa?"
Mataku masih menatap salah satu Pet Shop yang ada di kiri jalan. Aku teringat percakapanku dengan Mama yang pernah membahas kucing. Mama ingin sekali memelihara kucing, tapi waktu itu aku tidak menyetujui karena aku takut jika kucingnya buah air besar sembarangan di rumah. Tapi saat ini keinginan untuk memelihara kucing muncul di benakku secara tiba-tiba, "Saya mau beli kucing. Boleh ya?" tanyaku memohon ke arah Pak Jefri.
"Buat apa beli kucing? Kamu nggak bisa ngurus. Ngurus diri kamu sendiri aja nggak bisa, mau ngurus kucing," tolaknya.
Aku mengerucutkan bibirku dan mengalihkan pandanganku ke arah jendela. Pak Jefri sontak menarik tanganku menghadap ke arahnya, ia merapikan jaket yang kupakai dan menarik resleting jaketku sampai ke atas, karena aku memakainya asal-asalan tadi, "Ya udah ayo turun!" perintahnya dengan nada ketus.
Masih aja ketus, baik dikit kek jadi orang!
Pak Jefri memarkirkan mobilnya di depan Pet Shop yang aku tunjuk. Usai terparkir rapi, aku lekas turun dari mobil dan disusul Pak Jefri yang berjalan di belakangku, "Tumben baik sama saya?" ucapku ke arahnya.
"Saya nggak mau ribut sama kamu,"
Aku masuk ke dalam Pet Shop beriringan dengan Pak Jefri. Mataku mengabsen beberapa kucing yang beraneka macam disini. Mereka sangat menggemaskan, tidur melingkar di keranjangnya masing-masing. Jujur, aku ingin mengadopsi semuanya. Kalau boleh.
"Mau cari kucing jenis apa, Kak?" ucap salah satu pegawai Pet Shop yang mengenakan seragam dress pink seksi dengan rambut panjang yang tergerai sebahu tersenyum ke arahku.
Anjirr! Ini pegawai Pet shop apa model majalah? Salah sasaran gue ngajak Pak Jefri kesini. Ntar matanya jelalatan lagi.
Aku sedikit memasang semyum ramah ke pegawai tadi, sedangkan Pak Jefri hanya bungkam dan sesekali masih sibuk memainkan ponselnya, "Saya lihat-lihat dulu ya?" ucapku ke arahnya. Aku menarik lengan Pak Jefri untuk mengikutiku.
Sebenarnya dia menyadari apa nggak sih di sampingnya ada cewek seksi? Apa pura-pura nggak lihat? Nggak mungkin lah nggak lihat!
"Silahkan," ucapnya ramah ke arahku.
"Mau ambil yang ini, kak?" tanyanya ke arahku lagi. Ia menunjuk salah satu kucing berwarna hitam keabu-abuan yang aktif meloncat-loncat bermain sendiri di keranjangnya. Tidak tahu apa yang dimainkan.
Aku menggeleng cepat tak menyetujui. Sebenarnya kucing itu bagus, tapi aku tidak terlalu suka, "Yang lain aja,"
Pak Jefri menoleh ke arahku saat aku menolak untuk membawa kucing yang ditunjuk pegawai tersebut, "Kenapa kamu nggak ambil yang itu?"
"Mukanya ngeselin kayak Bapak." jawabku enteng.
Ia memutar bola matanya malas sembari menghela napas panjangnya, "Terus mau ambil yang mana?"
Mataku mengabsen satu-persatu lagi kucing-kucing yang ada disini, mataku terhenti di salah satu kucing berjenis Anggora berwarna putih yang tertidur tenang dengan posisi melingkar. Sepertinya kucing tersebut nggak banyak tingkah jadi mudah diatur, "Ini kayaknya lucu deh, saya ambil ini ya?"
Introvert kali ya ini kucing? Yang lainnya pada heboh sendiri dia asik rebahan!
"Itu emang sedikit pendiam Kak, jadi ambil ini kan?" tanya pegawai tadi ke arahku lagi.
"Iya saya ambil ini."
Pegawai tersebut lantas mengeluarkan kucing tersebut dari keranjangnya dan menyerahkannya ke arahku, "Mau dikasih nama apa kucingnya?" tanyanya lagi.
Oh iya, kalau mengadopsi kucing kan tak lepas dari pemberian nama untuk Sang Kucing. Aku memutar otakku sejenak berpikir nama apa yang cocok untuk diberikan ke kucing yang ada digendonganku saat ini, "Eum .... Badak."
"Kok Badak Kak, ini kucing lho .... bukan Badak,"
Aku sontak tertawa saat pegawai tersebut menatapku heran karena aku memberi nama kucing ini dengan nama 'Badak', "Tapi saya maunya kasih nama itu." ucapku seraya melirik Pak Jefri sekilas.
"Sekalian beli makanan sama keranjangnya buat Badak ya, Pak?" pintaku ke arah Pak Jefri.
"Badak?" tanyanya heran tak sadar kalau aku sudah menamai kucing ini dengan sebutan Badak.
"Maksud saya kucing saya namanya Badak,"
Ia menghela napas panjang lagi, "Memangnya nggak ada nama lain selain nama Badak?"
"Nggak ada, udah deh! Lucu nama Badak itu."
"Ya udah, terserah kamu. Saya bayar dulu kucingnya."
"Saya ikut! Nanti kalo Bapak sendirian yang bayar, Bapak keasikan lihat pegawai-pegawai disini yang seksi lagi."
Aku dan Pak Jefri berjalan menuju kasir untuk membayar kucing yang tadi aku beli. Pak Jefri menyodorkan beberapa lembar uang ratusan ke arah kasir dan aku masih sibuk mengajak bicara Badak.
Dreett...dreett...dreett
Ponselku tiba-tiba bergetar menandakan ada panggilan masuk. Namun aku kesulitan untuk merogoh ponselku dalam saku karena sedang menggendong Badak.
"Pak, pegangin Badak, saya mau angkat telfon. Saya nggak bisa ngangkat ini kalo gendong Badak." renggekku.
Ia mengerutkan dahinya seraya mengambil Badak dari gendonganku, "Dari siapa?"
Aku merogoh ponselku dari saku jaket dan membaca nama yang tertera disana, "Rafi, paling juga ngasih kabar tadi udah ngizinin ke Bu Anggun."
"Hallo Beb, eh salah .... Hallo Raf!" ucapku sengaja melirik Pak Jefri sekilas. Dan dia hanya membalasnya dengan tatapan malas.
"Mau martabak apa nggak Ay? Ini gue lagi beli martabak buat anak UKM Voli. Siapa tau lo mau dibungkusin martabak juga."
"Dari tadi pagi martabak mulu yang lo bahas. Kagak usah, ntar kapan-kapan aja makan martabaknya,"
"Ya udah, cuma ngabarin itu aja sih! Gimana? Udah mendingan sakitnya?"
Aku terkekeh pelan, "Udah, nggak papa. Dari tadi juga udah nggak papa. Cuma sakit dikit doang!"
Aku menyusul Pak Jefri yang sudah mendahuluiku berjalan ke arah mobil. Ia terlihat berdiri di depan mobil sembari tangannya masih menggendong Badak. Aku sedikit berjalan ke arahnya dan masih berbicara dengan Rafi dalam sambungan telepon.
"Jaga pola makan Ay, jangan sakit! Banyak yang khawatir ini termasuk gue."
Aku terkekeh pelan mendengar suara Rafi yang katanya terlihat khawatir namun aku tidak tau jelas kebenarannya. Paling juga cuma candaan, "Sa ae lo, Kadal!"
"Ya udah dulu yak?"
"Iya Raf,"
Tanganku menekan tombol merah yang ada di sambungan telepon dan lantas menyimpan ponselku lagi ke saku jaket. Saat ini aku berdiri di depan Pak Jefri yang masih menggendong Badak. Tanganku memasukkan keranjang milik Badak dan beberapa makanannya yang aku beli tadi ke bagasi mobil.
"Bahas apa? martabak martabak?" tanya Pak Jefri ketus.
"Ih .... Kepo!"
"Dia mau beliin kamu martabak?" tanyanya lagi.
"Iya, emang kenapa? Tapi sayangnya saya nyuruh lain kali aja soalnya lagi nggak pengen."
"Bilang ke dia kalo saya masih mampu beliin kamu martabak segerobak-gerobaknya. Nggak perlu dia yang beliin."
Gelak tawaku pecah di depannya secara tiba-tiba saat mendengar pengakuan dari Pak Jefri, "Lucu banget, Papa kamu ya Badak, katanya nggak cemburu. Baru mau dibeliin Rafi martabak aja udah bersungut-sungut,"
"Siapa yang cemburu? Saya nggak cemburu. Cuma nggak suka aja lihat caranya dia—"
"Sama aja itu cemburu. Ih... Papa Badak cemburu," ledekku.
"Siapa Papa Badak?"
"Bapak kan Papa nya Badak. Soalnya sama-sama Badak," ucapku diiringi tawa ringan. Tanganku merebut Badak dari gendongan Pak Jefri.
Spontan Pak Jefri yang tidak terima dengan hal itu ia lagi-lagi menarik telingaku, "Ngomong sekali lagi, saya nggak denger!"
"Aaakkhhh ..... Pak sakit!"
"Bapak nggak kapok apa ya bikin saya sengsara. Ini tuh namanya udah kekerasan dalam rumah tangga. Harusnya Bapak saya laporin ke Komnas Perlindungan Perempuan biar Bapak masuk penjara. Terus Bapak—"
Cup!
Bersambung...
Malang, 1 Agustus 2020
🌸🌸🌸
Terima kasih udah vote, komen, follow dan suka sama cerita ini.
Jangan lupa rekomendasikan ke siapa aja ya barangkali suka juga mereka.
Seluruh gambar hanya pemanis dan disponsori oleh Gugel dan pinterest wkwkw
See you next chapter. Jan lupa komen di bawah ntar w balesin satu satu wkwkw
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top