BAGIAN 32 - GENGSI LEVEL GURAME
⚠️ Yang kemarin udah nungguin mereka up makasih yak 🥰 gw bawa part panjang terus nih wkwk kalau suka silahkan tinggalkan jari untuk memencet vote dan tulis di kolom komentar yak wkwk. Kalau suka.
Mau di next kapan lagi ceritanya? Makasih btw udah setia sama Duta Gengsi sampai part ini. Ini udah jauh banget btw kita bersama Duta gengsi sejagad raya. Pengen cepet-cepet end. Tapi gw belum siap pisah sama mereka. Wkwkkw
Yodah selamat membaca!
🌸🌸🌸
Aku duduk bersandar di sisi ranjang. Dengan dahi yang penuh dengan tempelan plester kompres demam yang dibeli Pak Jefri di apotek kemarin. Tanganku menyendok semangkuk bubur penuh yang disiapkan Pak Jefri. Sebenarnya aku bosan dengan makanan bubur dan sejenisnya. Tapi kalaupun aku menolak pasti Yang Mulia Badak Bercula Lima akan mengeluarkan statementnya untuk memarahiku habis-habisan.
Pak Jefri keluar dari kamar mandi memakai kaos polos hitam dan celana pendek. Iya kan? Style andalannya di rumah kan selalu seperti itu. Tapi tak mengurangi ketampanannya walaupun di rumah. Loh? Aku mikir apa?
Ia berjalan mendekatiku, "Pagi ini obatnya cuma satu yang diminum. Antasida. Habis minum obat, kamu istirahat!" perintahnya sembari duduk di depanku.
Tangannya lantas memegang dahiku, meraba-rabanya pelan. Dan kemudian perlahan melepas plester yang menempel disana. Aku hanya diam memperhatikan perlakuan Pak Jefri akhir-akhir ini. Kalaupun aku membantah juga, tau sendiri bagaimana gengsinya ketika sudah terpojokkan dengan ribuan pernyataan.
"Nanti saya beli makan di luar. Kamu nggak usah masakin saya." ucapnya ke arahku.
Nah, gitu dong mandiri!
"Sekalian ya? Besok sampai seterusnya?" sahutku pelan sembari memasang puppy eyes andalanku.
Ia mengerutkan dahinya menatapku, "Apanya?"
"Saya nggak usah masakin Bapak," jawabku enteng.
Ia sontak menjitak kepalaku pelan, "Pernyataan itu berlaku kalau kamu sakit aja."
Aku mengerucutkan bibirku sembari menggelembungkan pipiku, "Kok gitu sih? Ya masak saya harus sakit-sakitan dulu baru bisa bebas dari Bapak."
"Masakin suami nggak ada ruginya." sahutnya lagi. Pak Jefri lantas menggeser duduknya mendekatiku dan menyodorkan kapsul yang ada di tangannya untuk ku minum. Ia sedikit membantuku meminum obat. Nggak usah kaget, nanti kalau aku sembuh juga balik lagi sikapnya.
"Terus .... gak usah GR, kemarin malam saya peluk kamu!" ucapnya sembari menarik daun telingaku yang sedikit tertutup anak rambut.
Spontan aku memukulnya dengan bantal guling yang ada di sampingku, bisa-bisanya menarik ulur perasaan anak orang, "SIAPA YANG GR? Bapak sendiri yang peluk-peluk saya." ucapku sembari memukul-mukul lengannya dengan bantal putih miliknya.
"Akkhhh .... AYANA!" Suara barinton itu terdengar memekik. Ia berusaha menahanku untuk tidak memukulnya lagi. Dan aku perlahan berangsur menghentikan tanganku untuk tidak memukulnya saat tangannya mencengkram pergelangan tanganku.
"Siapa tau saya perhatian gini ke kamu. Kamu langsung GR ke saya. Terus minta saya peluk kamu lagi." tambahnya. Ucapannya tidak tahu diri sekali!
Mau gue bantai aja sekarang!
Aku menepis tangannya yang masih bertengger di pergelangan tanganku, "Kalo nggak pengen saya GR. Kenapa Bapak perhatian?" ucapku mendelik ke arahnya.
"Lagian Bapak juga sebenarnya cari-cari kesempatan kan sama saya kemarin? Mentang-mentang saya sakit. Terus main peluk-peluk aja. Ngaku aja Bapak juga seneng kan peluk-peluk saya?"
"Saya meluk kamu kemarin malam cuma—"
Ia menjeda kalimatnya beberapa detik seraya manik-manik matanya menatap lekat ke arah retinaku, dan kemudian dengan cepat ia mengalihkan pandangan saat kedua bola mata itu bertemu di satu titik, "Cuma buat mastiin kamu udah sembuh apa belum. Ya karena saya dokter, saya nggak suka lihat pasien atau orang lain sakit." alibinya membela diri.
"Lagian kamu juga kemarin malam bikin tangan saya pegel. Udah tau punya kepala berat, lengan saya kamu jadiin bantal semalaman." tambahnya mencari pembelaan.
Aku berdecak sebal dalam hati bisa-bisanya memutar balikkan fakta. Kalau ada lelang suami, sudah sejak jaman purba aku ingin melelang Pak Jefri, "Bapak sendiri yang nyuruh saya tidur pakai bantal lengan Bapak. Mentang-mentang punya lengan gede, terus pamer."
Ia menghela napas sembari memutar bola matanya malas seolah-olah mengisyaratkanku menyudahi perang mulut pagi-pagi seperti ini, "Ya udah nggak usah dibahas. Saya nggak mau ribut pagi-pagi dengan pembahasan nggak penting seperti ini,"
"Bapak yang mulai duluan."
Ia spontan menarik ujung hidungku pelan, meskipun pelan tetap saja sakit, "Kebiasaan bantah suami dikurangi, nggak sopan bantah ke suami terus." ucapnya ke arahku.
Aku lantas membalasnya dengan mencubit pinggangnya agar ia menghentikan aktifitasnya menarik hidungku, "Bapak tuh dari dulu hobinya mancing keributan mulu sama saya. Nggak pernah bikin saya seneng. Emosi mulu," Tanganku semakin kencang menarik dan menjamah pinggangnya yang terbalut kaos hitam yang ia pakai.
"AYANA!" ucapnya tajam sembari mengunci kedua tanganku agar tidak menjelajahi pinggangnya dengan cubitan keras.
"Mulai sekarang fokus sidang sama wisuda kamu. Jangan kebanyakan mikirin saya," ucapnya mengalihkan pembicaraan.
Aku membulatkan sempurna saat kalimat yang membuatku mual keluar dari bibir Pak Jefri, "Dih? Siapa yang mikirin Bapak. PD banget jadi manusia."
Ia tersenyum miring ke arahku, "Yang kemarin-kemarin tanya masalah pribadi saya siapa? Apa namanya kalo nggak mikirin saya?"
"Ya kan apa salahnya tanya-tanya. Lagian itu cuma tanya-tanya biasa. Bapak jangan GR dulu dong!"
Ia terkekeh pelan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, "Saya nggak GR. Saya nggak mau aja kamu berpikiran kalau saya—"
Ia sedikit menjeda kalimatnya lagi beberapa detik sembari menatapku yang ada di depannya, "Nanti aja kalo kamu udah lulus. Saya kasih tau." jelasnya melanjutkan kalimat.
Pak Jefri memang paling pandai membuat orang mati penasaran dengan seribu statement-nya, "Kasih tau apa? Kok nunggu lulus sih? Tinggal kasih tau aja pakek nunggu lulus. Tau sendiri kan saya paling nggak suka dikasih teka-teki,"
Tangan kanannya lantas mengambil segelas air minum yang ada di atas nakas dan meneguknya pelan, "Kalo kamu masih sakit, nggak usah ke kampus!" ucapnya tak mempedulikan cicitanku.
"Pak, kok ngalihin pembicaraan sih?" ucapku tak terima karena Pak Jefri mengalihkan pembicaraan sebelum pembahasan selesai.
Ia menyentil dahiku pelan, matanya mengisyaratkanku untuk tidak menanyakan hal itu lagi, "Cepetan istirahat! Jangan bantah kalo kamu nggak mau saya kurung di kamar jenazah rumah sakit." ucapnya menakut-nakutiku.
"Ini Bapak yang nyuruh loh? Saya bolos bimbingan."
"Izin. Saya nggak nyuruh bolos bimbingan. Izin pembimbingmu yang baik." tuturnya pelan.
Aku memutar bola mataku malas, sebenarnya aku sudah berniat izin ke Bu Anggun tapi Bu Anggun susah untuk dihubungi. Terlebih masalah perizinan kuliah dan bimbingan, "Masalahnya, Bu Anggun tuh kalo dichat centang birunya dimatiin. Nggak pernah dibales juga." protesku.
"Tetep izin yang baik." sahutnya.
Aku lantas mengiyakan permintaan Pak Jefri. Tanganku mulai mengetik pesan panjang yang akan dikirimkan ke Bu Anggun untuk meminta izin tidak ikut bimbingan Minggu ini terlebih dahulu karena sakit, jariku dengan lihai mengetiknya dan mengirimkannya cepat ke kontak Bu anggun. Aku lantas mencoba menghubungi Rafi juga untuk meminta tolong menitipkan izin tidak ikut bimbingan ke Bu Anggun karena kebetulan Rafi lagi-lagi satu dosen pembimbing denganku, "Saya sekalian nitip izin ke Rafi biar dia yang bilang ke Bu Anggun."
Spontan mata Pak Jefri menatapku tajam, "Izin sendiri!" perintahnya.
Aku tak mempedulikan Pak Jefri yang banyak protes. Yang terpenting aku dapat izin tidak ikut bimbingan. Tanganku memperlihatkan layar ponselku yang tertera sedang menelfon Rafi ke arah Pak Jefri, "Udah terlanjur telfon Rafi, Pak!" jawabku enteng.
Pak Jefri merotasi bola matanya malas. Ia lantas beranjak dari duduknya dan kemudian berjalan ke arah kamar mandi.
Aku mendekatkan ponselku ke telinga kananku saat sambungan telepon dari Rafi terhubung, "Hallo, Raf!"
"Iya, Ay? Ada apa? Tumben telfon duluan?"
Aku terkekeh pelan saat mendengar pertanyaan Rafi, "Lo ke kampus nggak Raf, hari ini?"
"Iya, kenapa?"
"Mau nitip izinin ke Bu Anggun. Sebenernya gue udah chat Bu Anggun tadi. Tapi biar afdol izinin pakek mulut juga ya? Tar bayarannya gopek!" ucapku diiringi tawa ringan.
Ia terdengar sedang terkekeh dari sambungan telepon, "Emang lo nggak ke kampus, Ay?"
"Nggak,"
"Kenapa?"
"Sakit,"
"Lo sakit apa? Gue bawain martabak, terang bulan, kebab, atau apa kesukaan lo yak? Makanannya gue antar ke rumah lo yak? Nanti share loc. Lo udah minum obat belum? Udah ke dokter? Habis bimbingan, gue antar ke dokter apa gimana?" ucapnya dengan nada sedikit khawatir. Iya kan, memang Rafi paling maju garda depan dari dulu kalau masalah temannya sedang sakit. Ya termasuk, aku.
Aku terkekeh mendengar pertanyaan bertubi-tubi dari mulut Rafi membuatku ingin menjitak kepalanya. Andaikan Pak Jefri seperti itu. Ah, tidak semudah yang dibayangkan di otak, Ferguso!
"Nggak usah, repot-repot, Bor! Orang nggak papa juga." jawabku.
"Tapi lo lagi sakit, Ay! Gue nggak mau aja ada apa-apa nantinya."
"Udah sembuh. Cuma masih sakit dikit doang. Kayak lo nggak tau gue aja deh! Nanti juga bisa jingkrak-jingkrak lagi bareng oppa-oppa."
"Emangnya lo sakit apa?"
"Asam lambung biasa."
"Telat makan lagi lo, Ay? Sampai kambuh?" ucapnya masih sedikit terdengar khawatir.
"Makan mie instan sama cabe bubuk lima porsi sekaligus. Soalnya gue udah laper. Dan kebetulan di rak dapur ada mie instan 5 bungkus. Ya udah, gue masak semua pakek cabe bubuknya. Terus tiba-tiba perut gue perih kebanyakan makan,"
"Ya lo juga. Makan nggak pakai aturan. Mau bunuh diri jalur undangan lo?"
Aku sontak tertawa mendengar jokes Rafi yang baru keluar dari mulutnya, "Nggak mikir sampai situ Raf, pokoknya gue makan aja."
"Ya udah nanti gue izinin ke Bu Anggun. Lo cepet sembuh! Kalo ada apa-apa kasih tau gue."
"Thanks bro,"
"Iya, sama-sama yak? Jadi apa nggak ini martabaknya?" Ucapnya lagi menawarkanku martabak.
"Kagak usah, kapan-kapan aja!"
"Yoi,"
Tanganku lantas mematikan sambungan telepon dari Rafi dan kembali meletakkan ponselku di atas nakas.
"Udah, pacarannya?" ucap Pak Jefri tiba-tiba ke arahku. Ia sedari tadi sudah keluar dari kamar mandi dan duduk di meja kerjanya. Dan sekarang ia beranjak berjalan mendekatiku.
Aku mengerutkan dahiku sejenak sembari menatapnya geli, "Kenapa? Cemburu ya?"
Ia hanya membalasku dengan senyum miringnya dan kemudian duduk di tepi ranjang, "Gak level cemburu sama mahasiswa seumuran dia." ucapnya sembari tangannya sibuk memainkan ponsel yang ia genggam.
"Dih! Sombong amat jadi orang."
Pak Jefri menatapku malas, "Memangnya nggak ada teman kamu selain dia? Apa memang kamu nggak punya temen di kampus?"
Aku sontak melotot ke arah Pak Jefri sembari berkacak pinggang di depannya. Bisa-bisanya mengatakan kalau aku tidak punya teman di area kampus. Ya kalau teman banyak, tapi yang buat nyaman dan satu frekuensi bisa dihitung pakai jari, "Emangnya kenapa kalo saya temenan sama Rafi? Kok sewot sih?"
"Yang sewot siapa? Saya cuma tanya,"
Aku memutar bola mataku, malas menanggapi pertanyaan-pertanyaan tidak penting yang Pak Jefri ajukan, "Rafi tuh sahabat Ayana yang bikin nyaman. Dia apa adanya. Dari awal kuliah, meskipun dia sibuk organisasi tapi disela waktu dia tetep nyempetin waktunya buat main sama saya. Dia anaknya paling baik dan perhatian sama temen termasuk sama Ayana. Terus dia juga-—"
Ia memotong kalimatku sebelum aku meneruskannya, "Laki-laki sama perempuan. Kalo berteman dekat. Nggak ada yang nggak melibatkan perasaan."
Aku mengernyitkan dahiku lagi, tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Pak Jefri barusan, "Kok Bapak jadi sok tau gini sih? Nyolong quotes di google ya? Lagian Rafi nggak pernah bilang begitu. Kita mah temen udah kayak sodara sendiri."
"Karena saya laki-laki. Saya tau dia punya perasaan sama kamu." jelasnya.
Kenapa jadi dia yang mendikte hidupku? Jelas-jelas aku dan Rafi hanya teman. Dan Rafi juga udah aku anggap layaknya Abang sendiri, "Kok jadi bahas Rafi. Katanya nggak cemburu, Kenapa malah ngulik-ngulik Rafi?" tanyaku ke arahnya.
Ia menghela napas panjang, "Capek ngomong sama anak kecil."
"Capek juga ngomong sama orang tua," ucapku enteng.
Ia sontak menatapku tajam dan beranjak mendekat ke arahku, tangannya sudah hampir bertengger di telingaku. Untuk saja aku cepat-cepat menepisnya, "Saya sama kamu cuma beda delapan tahun. Kenapa kamu selalu bilang saya tua?"
"Ya karena Bapak selalu aja marah-marah nggak jelas ke saya. Kayak lagi marahin anaknya."
"Kamu banyak nggak benernya. Jadi saya punya kewajiban memarahi kamu."
"Halah, bener nggak bener Bapak tetep marahin saya buktinya."
"Bantah sekali lagi, saya tarik kuping kamu sampa putus!"
"Kalau saya nggak punya kuping, Bapak kan—"
Pak Jefri spontan beranjak mendekatiku dan hampir tak menyisakan jarak. Tangannya langsung mencubit pinggangku. Aku berusaha menghindar dan memukulnya memakai bantal apapun yang ada di dekatku. Namun sialnya, Pak Jefri malah menggendongku dengan dua tangannya ala bridal style dan membawaku ke kamar mandi, "Pak! Turunin saya. BAPAK MAU BAWA SAYA KEMANA? SAYA MASIH SAKIT. TEGA BANGET!" erangku berusaha memberontak dan memukul-mukul dada bidangnya agar ia lekas menurunkanku.
"Saya mau tenggelamin kepala kamu di bath up kamar mandi biar kamu nggak banyak ngomong," ucapnya menatap tajam ke arahku.
Aku semakin keras memukul dada bidangnya, "Nggak mau! Ini masih pagi. Saya lagi musuhan sama air. Pak! Dingin,"
"Saya nggak peduli. Cepetan mandi!"
"Saya masih sakit, nggak boleh mandi!"
"Saya nggak suka punya istri bau."
"Ya udah, Bapak nggak usah jadi suami saya."
Ia menatapku tajam, "Cepetan mandi!"
"Enggak, saya masih sakit,"
"Ya terus kalo kamu sakit, kamu nggak mandi? Air hangat ada. Jangan banyak alasan!"
"Saya lagi musuhan sama air. Pak, dingin! SAYA NGGAK MAU!" teriakku seraya masih mengalungkan tanganku erat di leher Pak Jefri. Berharap Pak Jefri hanya main-main dan tidak benar-benar menyuruhku mandi sepagi ini.
Namun, selang beberapa detik Pak Jefri hampir mencoba melepas tangannya yang menggendongku, "PAK!" pekikku. Aku masih mengalungkan erat tanganku di lehernya sebagai tumpuan agar tidak terjatuh.
Tangan kananku menarik salah satu telinga Pak Jefri agar ia menghentikan ancamannya. Dan naas, Pak Jefri kehilangan keseimbangan. Sontak tubuhku dan tubuh Pak Jefri tercebur ke dalam bath up yang sudah terisi air penuh. Aku meringis pelan karena kepalaku terbentur sisi bath up yang sedikit runcing.
"AYANA!"
Bersambung...
Malang, 1 Agustus 2020
🌸🌸🌸
Akhirnya aku update. Dahlah ya? Wkwkwk segitu dulu btw itu udah 2230 kata lebih mampyusss banyak banget ye kan gw ngetiknya dari semalaman sampai pagi pagi butaaa wkwkwk candaaa deng wkwk
Kalo suka kasih apresiasi bintang yak anjay banget apresiasi segala wkwkkw kalo suka aja. Soalnya aku nggak mau maksa kalian buat suka cerita ini. Kalian udah nyempetin baca ini aja aku udah kayak ketiban gedung JYP. *Lebay bet wakakak
Oke yak makasih kesekian kalinya buat kalian. Pamit see you next chapter.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top