BAGIAN 29 - SALAH SEBUT NAMA

⚠️ Hai, I'm Back! Baca ini sebelum baca cerita wkwkw Maaf kemarin nggak sempet update. Jadi aku update sekarang. Nggak kemalaman kan? Aku mau ngucapin makasih banyak buat yang udah vote, follow sama komen. Gelaaaa! Komennya kok mayan banyak? Balik-balik ke lapak, ngecek notifikasi komenan semua wkwk. Makasih banyak ya? Jangan bosen-bosen sama cerita ini. Makasih udah nunggu juga. Makasih udah komen juga.

Aku tuh udah nyiapin ending dari awal buat outline. Kalaupun ceritanya mainstream dan gampang ditebak. Ya emang, author juga manusia. Pasti cerita dan alur juga mainstream gini-gini aja. Karena pembuat skenario dan alur terbaik adalah Allah. Tapi aku seneng banget kalian bisa enjoy baca cerita ini sampai part ini. Semoga stay sampai end ya?

Pesan aku kalau baca cerita. Ambil baiknya buang buruknya. Yang buruk jangan ditiru. Bijak memilih bacaan ya? Selalu gunakan jadi kalian untuk berkomentar yang baik ya? Dimana pun lapaknya. Bukan hanya disini aja. Kalau ada apa-apa atau ada masalah bisa curhat ke author lewat DM IG atau sosmed aku. Aku buka konseling wkwk karena aku udah anggap reader juga temen aku sendiri. Tanpa kalian aku gak bakal PD buat karya. Udah ah cuap-cuapnya banyak bacot banget wkwk.

Happy reading!

🌸🌸🌸

Aku menatap Dokter Aline dan Umi secara bergantian mengisyaratkan ada apa dengan Pak Jefri. Tapi mereka membalas tatapanku dengan tatapan tanda tanya juga. Aku semakin tidak mengerti. Niatnya hanya sekedar bercanda tapi malah jadi canggung seperti ini.

Kenapa juga ini Si Geblek!

"Aline nggak bermaksud tadi-" ucap Dokter Aline pelan ke arah Umi yang ada di sampingnya. Umi tersenyum samar ke arah Dokter Aline sembari menepuk-nepuk pundak Dokter Aline, "Nggak papa, Lin! Umi sama Abi juga udah sering lihat Jefri gitu. Nanti mood-nya juga balik sendiri, kok!"

"Memangnya, Pak Jefri kenapa sih, Mi? Ada masalah ya sama mantan? Tadi kita kan bahasnya mantan-mantan. Terus tiba-tiba dia main pergi aja. Emang ada apa?" Sorot mataku masih bertanya-tanya ke Umi. Namun, Umi hanya membalas tatapanku dengan senyum samarnya.

"Nggak ada apa-apa, Ay! Nggak usah dipikirin. Umi minta tolong, susul dia aja, ya?" perintah Umi pelan.

Aku mengangguk pelan. Meskipun aku tidak tahu pasti masalah Pak Jefri apa. Tapi aku yakin, ini masalah hati. Masalah apalagi kalau bukan hati? Mungkin Pak Jefri lagi kangen mantan yang putus satu jam tadi atau—Ah, kok jadi aku yang mikir aneh-aneh?

Aku melangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamar. Perlahan tanganku membuka knop pintu. Mataku menelisik tiap sudut kamar. Sorot mataku sama sekali tak melihat Pak Jefri di kamar. Padahal tadi jelas-jelas dia masuk kamar. Tapi samar-samar, telingaku mendengar suara kran shower menyala deras di kamar mandi.

Oh, mungkin dia kebelet boker kali ya tadi? Makanya main pergi aja!

Sembari menunggu Pak Jefri keluar dari kamar mandi, aku menyandarkan tubuhku di sisi ranjang. Satu menit, dua menit, tiga menit, sampai lima belas menit, Pak Jefri tak kunjung keluar. Padahal tadi pagi dia sudah mandi. Nggak mungkin kalau sekarang mandi lagi.

Kalaupun boker nggak mungkin selama ini juga?

Aku lantas menegakkan tubuhku dan berjalan ke arah kamar mandi. Tanganku mengetuk-ketuk pelan pintu kamar mandi. Tapi sayangnya, tidak terdengar dari dalam. Suara kran shower lebih keras dari pada suara ketukan pintu.

"PAK, BUKA PINTUNYA!" aku menggedor-gedor pintu kamar mandi dengan keras. Berharap jika Pak Jefri cepat keluar.

"PAK JEFRI YANG TERHORMAT! SAYA MAU KENCING! JANGAN EGOIS DONG, KAMAR MANDI DI PAKAI SENDIRI. GANTIAAAN!" ucapku lagi sembari berteriak.

"BAPAKKKKKK!" pekikku. Aku menggedor pintu sembari berteriak lagi sampai-sampai napasku terengah-engah. Aku lantas sedikit mengatur napasku perlahan, mencoba menggedor-gedor kembali pintu kamar mandi, "JEFRI, EMAK LO BELUM BAYAR TAGIHAN AIR. JANGAN DIHABISIN!"

Klek!
Ia perlahan membuka pintu kamar mandi. Retinaku mengamati tubuh tegap Pak Jefri yang berdiri di depanku. Aku sedikit mengerutkan dahiku melihat Pak Jefri yang tadinya memakai kaos hitam polos, sekarang sudah basah kuyup dari ujung kaki sampai ujung rambut.

Ngapain Lo Badak?

"Pak!" panggilku lagi.

Ia masih tak bergeming. Sorot mata elangnya menatapku membunuh. Aku sempat bergidik ngeri melihat Pak Jefri yang berdiri di depanku saat ini. Spontan aku mengambil beberapa langkah ke belakang. Alih-alih takut, jika ia tiba-tiba benar-benar menjadi psikopat yang ingin membunuh mangsanya.

Namun, selang beberapa detik ia menatapku, Kakinya kemudian melangkah melewatiku yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Aku hanya mengamati gerak-gerik yang ia lakukan saja. Sebenarnya kenapa sih, Anda?

Dan aku sontak terperanjat saat Pak Jefri saat ini tiba-tiba membuka bajunya yang basah kuyup tadi.  Ia bertelanjang dada. Tangannya meletakkan baju basah yang ia pegang ke keranjang baju kotor. Sial, mataku ternodai lagi kan? Saat ini ia mengambil satu kaos biru polos dan celana panjang jeans yang ada di lemari dan berjalan ke kamar mandi melewatiku tanpa menatapku yang masih mematung di tempat.

Selang beberapa detik, ia keluar dari kamar mandi sudah memakai baju yang ia bawa tadi, "Ganti baju tuh di kamar mandi. Jangan kebiasaan disini! Mata saya jadi ternodai gara-gara Bapak!" sindirku ke arahnya.

Ia masih bungkam tak menanggapi ucapanku. Dasar, Badak! Seharusnya kalau ada yang bicara ya ditanggapi jangan diabaikan begini. Eh, tapi kemarin aku juga begini sih!

Pak Jefri lantas mengambil kunci mobil yang terletak di atas nakas dan hendak berjalan keluar kamar, "Bapak mau kemana?" tanyaku.

"Bukan urusan kamu," sahutnya cepat.

Aku sedikit menahan tangannya agar ia menghentikan langkahnya untuk keluar kamar, "Tunggu, saya ikut!" ucapku sembari menarik lengan Pak Jefri.

Ia melirikku tajam saat aku tak segera melepas tanganku menarik lengannya. Sorot matanya mengisyaratkan aku untuk melepas tanganku yang sedari tadi bertengger di lengannya. Namun, aku tak kunjung melepaskan. Sampai tangan Pak Jefri sendiri yang melepaskan cengkraman tanganku.

Ia berjalan keluar kamar dan tak mempedulikanku yang berjalan juga mengekor di belakangnya. Kakinya menuruni anak tangga dengan langkah cepat. Sampai aku hampir terpeleset karena mengejarnya.

"Pak, tungguin!" ucapku saat sampai di teras rumah. Dan Pak Jefri masih berjalan dengan langkah cepatnya.

Ia sedikit menghela napas panjang. Kakinya menghentikan langkahnya, "Kamu ngapain ngikutin saya?" ucapnya menatap tajam ke arahku.

"Kan saya udah bilang saya ikut Bapak!" jawabku santai.

"BUAT APA?"

Aku terlonjak kaget saat Pak Jefri berteriak ke arahku, "Ya santai dong nggak usah ngegas!"

Ia menghela napas panjang lagi, "Saya cuma mau beli sikat gigi di depan, ngapain kamu ikut?" ucapnya memperjelas.

"Ya pokoknya saya ikut!" aku tetap bersikukuh ingin ikut Pak Jefri. Meskipun ia hanya beralasan untuk beli sikat gigi saja. Namun tetap saja, ini juga permintaan Umi untuk mengikuti Pak Jefri.

"Kayak anak kecil," cibirnya ke arahku. Hal biasa, Pak Jefri mencibirku seperti ini. Mentang-mentang dia sudah tua. Aku selalu dapat cibiran seperti itu.

Aku memutar bola mataku malas saat Pak Jefri menekan tombol kunci mobil, "Katanya cuma beli sikat gigi di depan. Ngapain bawa mobil? Jalan kaki kan bisa." sindirku balik.

Ia melirik ke arahku sekilas dengan tatapan malas juga, "Bukan urusan kamu!" jawabnya acuh.

Aku mengambil paksa kunci mobil yang Pak Jefri pegang di tangannya, "Saya aja yang nyetir!"

Ia merebut kunci mobil yang ada di tanganku, "Nggak! Saya beli mobil pakai uang. Kalo kamu yang nyetir pakai mobil saya. Mobil saya bisa rusak!"

"Saya nggak mau aja Bapak kayak di sinetron, ngebut-ngebut di jalan terus tabrakan."

"Memangnya apa urusannya sama kamu kalo saya ngebut di jalan?"

"Saya nggak mau jadi janda, kalo Bapak mati gara-gara ngebut di jalan. Terus saya jadi istrinya siapa? Sungjin sama Sehun nggak mau nikahin saya kalo saya janda."

Mata elangnya menatapku tajam lagi seolah-olah ingin mencabik mulutku, "KAMU DOAIN SAYA—"

"Bukan begitu, maksud saya—"

Pak Jefri tak mempedulikan omonganku. Ia berjalan menuju mobilnya, "Kok ditinggalin Pak! Tunguin!" aku menyusul Pak Jefri yang sudah masuk mobil terlebih dahulu. Ia menyalakan mesin mobilnya tanpa bicara sedikitpun.

Hening! Sepanjang perjalanan Pak Jefri hanya menatap beberapa kendaraan yang melintas di depannya. Tanpa mengajakku bicara atau apapun. Bahkan saat aku ingin memutar audio mobilnya. Pak Jefri menepis tanganku dan tidak mengizinkanku memutar audio mobil sama sekali.

Aku menghela napas panjang, "Pak, mie ayam yuk? Atau makan kerak telur? Atau kemana gitu? Masak cuma beli sikat gigi bawa mobil segala. Sayang bensinnya dong!" ucapku menatap ke arahnya. Namun, sang pemilik mata yang kutatap masih mengunci mulutnya.

Lama-lama sariawan lo, Badak!

"Pak!" Panggilku lagi.

"Sakit gigi ya Pak? Dari tadi diem aja. Saya capek ngomong!" ucapku menggoyang-goyangkan tangan Pak Jefri pelan.

"Kenapa sih?"

"Pak!"

"Anybody home?"

"Hello? Eperibadeh"

"Spada .... Apa saya bisa bicara dengan Dokter Jefri Alfareza yang sok ganteng?" ucapku berbicara sendiri karena Pak Jefri sedari tadi masih tak menanggapi ocehanku. Katanya beli sikat gigi? Tapi sudah lima belas mini market dilewati, Pak Jefri tak kunjung menghentikan mobilnya. Sebenarnya ini mau kemana sih?

"Pak, jangan diem aja dong! Saya capek ngomong sendiri berasa ngomong sama tembok."

"Pak, muka Bapak tuh nggak enak dipandang kalo ditekuk terus. Senyum kek, ketawa kek, atau apa gitu? Biar ganteng kayak Sehun—"

Pak Jefri memotong kalimatku, "BERISIK!" ucapnya sedikit kencang.

"Bapak marah sama Dokter Aline gara-gara ngomong tadi? Dokter Aline kan belum selesai ngomong. Saya juga belum tau dia mau ngomong apa. Udah dipotong  aja sama Bapak."

"Ya jangan marah dong Pak, Dokter Aline juga nggak sengaja. Tapi kalo boleh tau emang ada apa sih? Bapak diselingkuhin sama mantan Bapak yang baru pacaran sejam itu ya? Atau Bapak—"

Aku menerka-nerka masalah Pak Jefri, "Eum .... Bapak pernah gagal nikah sama Mantan Bapak?"

Ciittt!!!!
Suara ban mobil Pak Jefri berdecit dengan aspal. Kaki Pak Jefri tiba-tiba menginjak rem mendadak tepat di pinggir jalan raya. Untung saja, tidak ada mobil yang melintas di belakang. Kalau tidak? Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi, kepalaku?

Aku sedikit meringis dan meraba-raba keningku yang terbentur dashboard mobil, "Arrghhh.... Kalo nyetir yang bener dong, kepala saya yang jadi korban!" sentakku keras. Kalau aku tak memakai seat belt. Aku yakin, kepalaku bisa terbentur lebih keras.

Pak Jefri menatap tajam ke arahku yang ada di sampingnya, "Kamu kalo nggak tau apa-apa, nggak usah sok tau,"

Aku sedikit mengatur napasku lagi. Kali ini aku tidak mau ribut dengan Pak Jefri. Meskipun mulutku ingin memarahinya sejak tadi, "Saya kan cuma tanya Pak? Apa susahnya dijawab. Bapak marah sama Dokter Aline?"

"Bukan,"

"Terus?"

Ia menghela napas, "Saya marah sama kamu."

Aku mengerutkan dahiku menatap Pak Jefri, "Orang saya nggak salah apa-apa," belaku.

"KAMU BANYAK NGOMONG!" sentaknya ke arahku lagi.

"Saya banyak ngomong kan buat hibur Bapak. Kurang baik apalagi saya? Bapak yang ngeselin, saya yang hibur. Gratis lagi, nggak usah dibayar. Tapi kalo dibayar pakai Album, Lightstick, Denimalz, tiket konser, saya juga mau. Perjanjian aja deh, Bapak kasih saya printilan Kpop, saya hibur Bapak 24 jam. Kalo Bapak badmood. Atau perjanjian deh, kalau—"

Pak Jefri memukul stir mobil dengan tangan kanannya, "SAYA LAGI NGGAK MOOD DIAJAK BECANDA!"

Aku terlonjak saat melihat mata Pak Jefri yang memerah, "Ba-bapak kenapa bentak saya? Saya kan tujuannya cuma hibur Bapak." ucapku sedikit bergetar.

Ia menghela napas lagi. Matanya tak menatapku, "Buat apa kamu hibur saya kalau kamu nggak tau apa-apa masalah saya?"

"Bapak kok gitu sih? Hibur orang bukan berarti harus tau semua masalahnya. Saya—"

Aku menjeda kalimatku sejenak seraya berkali-kali mengatur oksigen yang masuk ke dalam paru-paruku, "—Terserah Bapak aja. Saya capek. Udah niat baik. Malah nggak dihargai," ucapku melanjutkan. Aku malas berdebat dengan Pak Jefri. Percuma, sisi egoisnya keluar. Dan, bentakan-bentakannya mengingatkanku pada apa yang dilakukan Papa ke Mama. Aku memutuskan untuk melepas seat belt yang melingkar di tubuhku. Tidak ada gunanya juga disini, jadi lebih baik aku turun dari mobil dan mencari kendaraan lain untuk pulang.

Pak Jefri menahan tanganku saat aku ingin beranjak turun dari mobil, "Amira, tunggu!" panggilnya pelan ke arahku. Ia sontak menarik tubuhku ke dalam rengkuhannya. Menenggelamkan wajahku di dada bidangnya. Ia mengeratkan pelukannya seolah-olah tidak ingin aku beranjak pergi, "Maafkan aku, Ra?" ucapnya lagi.

Aku mengerjap-kerjapkan mataku dan berusaha mempertajam telingaku. Yang aku dengar salah kan? Aku bahkan tidak tahu itu siapa?

Bersambung...

Malang, 28 Juli 2020

Gimana? Udah baca sampai kalimat terakhir? Komen dibawah wkwkwk awalan intro bacotan akhiran intro bacotan wkwk Jan bosen-bosen yak?

Kalau kalian suka sama part ini bisa pencet vote ⭐ untuk apresiasi author. Author tunggu komenannya dibawah. Karena jujur, makin banyak yang komen dibawah makin semangat aku nulisnya. Serius. Tapi dengan garis bawah, berkomentar yang baik ya?

Oh iya lupa selamat ulang tahun untuk salah satu reader aku ythaabl dan selamat ulang tahun untuk yang ulang tahunnya 28 Juli yang lain. Silahkan merapat wkwk

See you next chapter
Kalo aku ada salah mohon dimaafkan. 🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top