BAGIAN 28 - TENTANG DOKTER ALINE
⚠️ Aku kasih part panjang lagi bonus aku kabulin yang minta update hari ini wkwk. Sebelum baca, author tunggu komennya dibawah ya? Komen ajaaa pokoknya wkwk kalo suka sama part ini nanti di akhir pencet tombol vote ⭐
Happy reading!
🌸🌸🌸
"Buat kamu!" Pak Jefri menyodorkan satu kotak berwarna hitam dengan aksen pita polos berwarna merah. Ia meletakkan kotak itu di atas meja belajar yang aku gunakan sekarang.
Aku mengerutkan dahiku, melihat kotak kado yang Pak Jefri letakkan di atas meja, "Tumben, oleh-oleh dari Lombok?" tanyaku.
Ia menggeleng pelan. Tangannya menarik kursi yang ada di sampingku untuk ia duduki, "Bukan. Saya bukan beli di Lombok hadiah itu."
"Terus?"
"Tadinya mau saya kasih kemarin. Kamu malah marah-marah gak jelas ke saya," ucapnya seraya menarik telingaku pelan.
Aku menahan tangan Pak Jefri agar tidak menarik telingaku lagi, "Sakit, ih! Bapak sih mancing-mancing emosi saya," sahutku yang kembali berkutat di depan laptop lagi. Pagi-pagi begini, aku masih sibuk merevisi tugas akhirku. Karena memang, kemarin belum selesai sepenuhnya aku merevisi. Dan besok deadline bimbingan ke Bu Anggun.
"Kapan saya mancing keributan sama kamu?" tanyanya seraya menyilangkan kedua tangannya.
Aku lantas menghentikan aktifitasku. Sorot mataku menatap tajam tepat di depan mata Pak Jefri yang duduk sampingku, "Dua hari yang lalu, Bapak nggak telfon saya. Minta maaf kek, atau apa gitu? Malah nggak ada kabar sama sekali. KAN SAYA KESEL!"
"Ya kamu sendiri yang bilang, nyuruh saya nggak usah hubungi kamu." ucapnya membela diri.
"Halah! Bapak emang nggak peka jadi suami!" tukasku mengalihkan pandangan ke layar laptop lagi.
"Saya nggak telfon kamu bukan berarti saya nggak tau kabar kamu. Saya tau kabar kamu dari Umi."
Aku meliriknya lagi, "Tapi kan setidaknya kabarin sendiri, nggak usah lewat perantara Umi."
Pak Jefri mendengus pelan, ia memutar bola matanya malas untuk berdebat denganku sepagi ini, "Terserah kamu, nggak usah dibahas. Udah lewat juga. Kotak dari saya dibuka!" perintahnya mengalihkan pembicaraan.
Aku lantas mengambil kotak hitam tersebut. Tanganku sedikit membolak-balikkan kotak itu sebelum kubuka. Tumben sekali, Bapak Jefri yang terhormat memberikan hadiah ke aku dengan bungkusan rapi seperti ini, "Ini apa?" tanyaku penasaran.
"Buka!" perintahnya lagi.
"Jangan-jangan Bapak mau ngeprank saya? Kasih saya ular piton di kotak ini. Atau nggak? Kotaknya gede ternyata isinya cuma bolpoint satu doang. Atau nggak? Isinya nggak penting-penting amat yang kalau saya buka langsung bikin emosi lagi."
Ia menyentil dahiku, "Otak kebanyakan suudzon nggak baik,"
"Ya kan bisa aja, Bapak kan suka banget bikin saya naik darah!"
"Buka aja!" perintah lagi.
Aku tersenyum miring belum percaya sepenuhnya dengan apa yang diberikan Pak Jefri. Karena memang, dia salah satu orang yang tidak bisa dipercaya langsung. Bikin emosi setiap hari. Tanganku perlahan membuka kotak yang aku pegang dengan hati-hati. Alih-alih takut dibohongi Pak Jefri, aku membukanya perlahan. Dan aku mendengus kesal, saat isi kotak tersebut dibungkus lagi dengan balutan kertas kado, "Bikin repot kan bungkusnya. Saya yakin ini isinya cuma prank." gerutuku.
"Yakin deh! Ini pasti buku metodologi penelitian lagi." protesku lagi. Ya kan memang, dari tekstur dan bentuk yang terlihat dari luar kertas kado itu berbentuk persegi dan teksturnya keras. Mirip buku penelitian. Jadi apa salahnya aku menebak itu buku penelitian lagi yang pernah Pak Jefri berikan beberapa bulan yang lalu.
Tanganku membuka perlahan kertas kado yang membalut hadiah dari Pak Jefri. Aku terperanjat mengetahui isi hadiah yang aku pegang sekarang. Aku mengerjapkan mataku tak percaya dengan apa yang aku lihat di depanku. Aku melebarkan sekali lagi mataku memastikan isi kotaknya adalah benar yang aku lihat, "Pak, ini serius kan?"
"Album Exo SC 1 Billion Views. Bapak beneran kasih saya ini? Atas dasar apa Bapak kasih saya Albumnya Sehun sama Chanyeol? Saya kan nggak lagi ulang tahun. Wisuda juga belum. Sidang juga belum." mataku berbinar seraya memeluk erat album itu.
Gila sih mau nangis sekebon! Pak Jefri kesurupan apa? Baru juga mau nabung buat beli tapi udah dapat gratis aja.
Spontan aku memeluk tubuh Pak Jefri erat yang sedang duduk di sampingku. Nggak peduli Pak Jefri sesak napas atau tidak saat aku peluk, yang terpenting aku dapat album. Aku semakin mengeratkan pelukanku dan bersandar di dada bidangnya, "Pak, makasih! Ini beneran kan ya? Saya nggak disuruh nyicil buat bayar album ini ke Bapak kan? Saya nggak mimpi kan dapat album Sehun yang baru rilis?"
"Mentang-mentang dada saya bidang kamu peluk-peluk saya terus. Nggak usah peluk saya lama-lama. Parfum saya bisa ilang, kamu peluk,"
Aku sontak menjauhkan tubuhku dari Pak Jefri, baru saja ingin berterima kasih lebih malah rusak suasana gara-gara kalimat yang baru saja ia lontarkan dari mulutnya, "Nyebelin!"
"Bapak kok tau saya pengen ini? Stalking saya ya?" tanyaku penasaran.
"Buat apa stalking kamu. Saya beli gara-gara kepencet mau beli jaket, kepencetnya album itu. Ya udah, dari pada mubazir, saya kasih ke kamu."
Aku memutar bola mata malas mendengar alasan dari Pak Jefri, "MANA ADA BEGITU!"
Emangnya gue bego apa? urusan beginian dibego-begoin!
"Nggak usah tanya alasan saya beli album itu dan dimana saya beli album itu. Kalau kamu suka, simpen! Kalau nggak suka, buang!"
"Suka lah, gila aja dibuang. Tapi besok-besok kalau ngasih hadiah sekalian sama lightstick-nya terus sama printilan lainnya juga ya?"
Pak Jefri menyentil dahiku pelan, "Ngelunjak!"
"Becanda Pak, kesannya matre banget saya minta ini itu ke Bapak. Pak Jefri ngasih ini aja, saya udah kayak ketiban gedung SM. Secara Bapak yang bikin emosi saya tiap hari tiba-tiba kasih hadiah ini. Kan saya seneng!"
"Nggak gratis itu," ucapnya santai sembari menyilangkan kedua tangannya di dada lagi.
Aku melotot ke arah Pak Jefri, "SAYA BILANG JUGA APA! Baru seneng sedetik udah bikin emosi." Aku memukul keras lengan Pak Jefri dengan album EXO-SC yang ada di tanganku.
"Ada syaratnya,"
"Apaan? Pakek syarat segala,"
"Pijitin tiap hari. Pagi hari sebelum kerja, pulang kerja, terus sebelum tidur, sampai saya tidur, terus—"
Aku memotong kalimatnya, "Oke! Mau mulai sekarang?" tawarku menantangnya.
"Bagus, kalau mulai sekarang." sahutnya.
"Oke bentar, saya ambil palu."
Ia mengerutkan dahinya, "Buat apa, palu?"
"Ya buat mijit kepala Bapak,"
Pak Jefri menatapku tajam. Ia membusungkan tubuhnya ke arahku, "Mau saya bakar album yang barusan kamu terima?" ancamnya ke arahku.
Aku mendorong tubuhnya pelan, "Ya lagian Bapak, nggak ada akhlak nyuruh saya mijit terus. Enak di Bapak, nggak enak di saya. Bapak ikhlas ngasih hadiah apa nggak, sih?"
Pak Jefri beranjak dari duduknya dan berjalan menuju ranjang, "Ya udah lupakan masalah pijit, Besok pulang ke rumah. Malam ini nginep di rumah Umi lagi," ucapnya mengalihkan pembahasan.
"Emang, Bapak nggak ada jadwal praktek pagi ini?"
"Nggak,"
"Tapi saya ada keperluan sore nanti di rumah sakit." lanjutnya.
Aku ikut beranjak dari dudukku. Dan mendekati Pak Jefri yang menyenderkan tubuhnya di sisi ranjang, "Tapi besok jadi ke car free day kan?" tanyaku semangat.
"Besok saya nggak bisa. Minggu depan aja,"
Raut wajahku langsung berubah saat Pak Jefri tiba-tiba menolak ajakanku, "Minggu lalu katanya free sekarang bilangnya nggak bisa."
Ia melirikku sekilas, "Ada perubahan jadwal di poli syaraf. Kamu harus paham profesi saya." jelasnya. Tangannya masih sibuk memainkan ponsel pintarnya.
Aku berdecak sebal dengan alasan Pak Jefri. Kalau begini dari awal nggak usah bilang bisa diajak olahraga bareng, "Ya udah lah, saya ngajak Rafi atau Karin. Udah terlanjur semangat olahraga. Nggak enak kalo olahraga sendirian."
"Sama Karin," sahutnya.
"Tapi Karin juga belum tentu bisa. Dia masih pulang ke rumah orang tuanya. Ya udah, satu-satunya yang bisa diajak cuma Rafi,"
"Dia ada keperluan juga,"
Aku berdecak sebal lagi, "Sok tau ih Bapak, emang Bapak siapanya Rafi?"
"Ngajak yang lain aja," perintahnya.
"Ya terserah saya, kok Bapak yang ngatur."
Pak Jefri mendelik ke arahku, "Kamu istri saya, saya berhak ngatur kamu."
Tok....Tok....Tok....
Suara ketukan pintu terdengar, aku dan Pak Jefri sontak menoleh ke arah pintu bersamaan. Aku lantas berjalan menuju pintu dan membukakan pintu yang terkunci.
"Iya, Mi?" ucapku ketika melihat Umi di ambang pintu.
"Jefri dicari Aline di bawah," ucap Umi. Aku menoleh ke arah Pak Jefri dan mengisyaratkannya untuk segera turun.
Ternyata Pak Jefri juga menatapku dan kemudian manik-manik matanya beralih menatap Umi, "Suruh tunggu di ruang tamu aja. Nanti Jefri nyusul."
"Cepetan ya? Kasihan dia nunggu dari tadi." jawab Umi. Usai memanggil Pak Jefri, Umi menuruni anak tangga dan kembali ke dapur.
"SANA TURUN!" ucapku ketus.
Pak Jefri menarik pergelangan tanganku pelan, "Ayo!"
"Ayo apa? Orang yang dicari Bapak, bukan saya,"
"Memangnya kamu mau di kamar terus? Nggak takut saya pacaran di ruang tamu sama Aline?"
Aku menatap tajam Pak Jefri. Pacaran atau tidaknya kan terserah dia, "Nanti saya nyusul ke bawah!"
"Nggak usah banyak alasan, Ayo!"
Pak Jefri menarikku untuk ikut turun dan menemui Dokter Aline. Aku melihat Dokter Aline sedang duduk sendirian di ruang tamu seraya matanya sibuk menatap layar ponselnya. Umi, ia sedang ada di dapur. Tidak tau sedang memasak apa.
"Sorry nunggu lama, Lin!" ucap Pak Jefri ke arah Dokter Aline.
Dokter Aline mengalihkan pandangannya dan menatap Pak Jefri malas, "Udah biasa, dari dulu kan hobi anda memang bikin saya nunggu lama,"
Pak Jefri terkekeh pelan, "Bisa aja kamu!" ucapnya. Ia lantas mengambil duduk di depan Dokter Aline dan aku mengambil duduk di samping Pak Jefri.
"Ini Umi udah selesai masak. Nih, kalian cicipi!" ucap Umi seraya membawa nampan yang berisi empat jus melon dan sepiring lumpia.
Dokter Aline mengambil jus melon yang ada di depannya. Ia menyesap sedikit demi sedikit segelas jus yang ada di tangannya.
Uhuk!
Umi mengerutkan dahinya saat Dokter Aline sedikit tersedak, "Kenapa Lin, kok sampai keselek gitu?" tanya Umi penasaran.
"Tiga hari yang lalu, emang tenggorokan Aline sempat sakit, Mi! Tapi udah minum obat, kok!"
Umi tertawa ringan, "Kirain, nggak enak,"
"Eum .... Udah pas kok, Mi! Jusnya enak." sahut Dokter Aline.
"Kamu sakit tenggorokan kok Umi kasih lumpia goreng, Umi ganti ya?"
Ia menggelengkan kepala pelan seraya menarik sudut bibirnya, "Nggak usah, Mi!" jawabnya pelan.
Pak Jefri mengambil selembar tisu yang ada di meja dan menyodorkannya ke arah Dokter Aline, "Nih, tisu! Baju kamu kotor!" ucapnya seraya menyunggingkan senyum simpul ke arah Dokter Aline.
Hm, kadal! Aku memutar bola mataku malas menatap perlakuan Pak Jefri ke Dokter Aline. Dan sialnya, dia juga menatapku dengan tatapan mengejek.
"Berarti pas hari terakhir di Lombok itu, kamu sakit tenggorokan, Lin?" tanya Umi ke arah Dokter Aline.
"Iya. Dia nih Mi, tukang nyuruh-nyuruh minum obat disana," ujar Dokter Aline seraya tangannya menunjuk ke arah Pak Jefri.
"Ya, tugas saya disana jagain kamu!" sahut Pak Jefri yang sok pahlawan.
Buaya, bisa aja mulutnya!
Pak Jefri melirikku sekilas dan kemudian beralih menatap Dokter Aline lagi, "Lin, kemarin katanya ada yang mau ngomong sama kamu," ucapnya.
Dokter Aline mengerutkan dahinya, "Siapa?" tanya Dokter Aline. Mata Pak Jefri mengisyaratkan Dokter Aline untuk menatapku.
"Ayana? Mau ngomong apa?" tanyanya ragu.
Disini aku merasa terintimidasi gara-gara Pak Jefri, "Nggak .... nggak ada kok Dokter Aline," jawabku cepat sembari mencubit pinggang kiri Pak Jefri.
Pak Jefri menoleh ke arahku, "Ada. Yang kemarin kamu tanya, saya siapanya Aline?"
Sialan!
Aku mencubit pinggang Pak Jefri lebih keras. Dan menatapnya dengan tatapan membunuh. Bisa-bisanya, hal yang nggak penting seperti ini ditanyakan ke Dokter Aline langsung dan ada Umi di depannya.
"Arggh... Sakit!" Ia sedikit merintih.
Salah siapa mulutnya ember?
Dokter Aline dan Umi ikut terkekeh melihat Pak Jefri yang merintih kesakitan, "Kamu beneran tanya gitu Ay? Kenapa?"
"Dia cemburu sama kamu," sahut Pak Jefri cepat sembari tangannya masih mengelus-elus pinggangnya.
Buka aja semuanya disini!
"Menurut kamu aku siapanya Jefri, Ay? Pacar ya?" tanya Dokter Aline lagi ke arahku.
"Mantan katanya," sahut Pak Jefri.
Kok lu yang jawab mulu sih, Kadal!
Dokter Aline terkekeh pelan, "Aku emang mantannya Jefri Ay .... Mantan Majikan," jelasnya seraya diiringi tawa pelan. Umi yang duduk di samping Dokter Aline ikut menertawakan Pak Jefri.
"Becanda....becanda! Aku adik sepupunya Jefri. Bukan mantan atau pacarnya ya? Tapi memang banyak yang ngira aku pacarnya Jefri. Soalnya kita emang seumuran. Sekolah bareng sampai jadi dokter juga bareng. Cuma bedanya dia ambil spesialis syaraf kalau aku ambil spesialis anak. Ya gitu lah pokoknya, sampai bosen sendiri lihat muka dia terus."
Pak Jefri tersenyum miring, "Sekarang percaya?" tanyanya ke arahku dengan tatapan mengejek.
Dokter Aline ikut terkekeh geli, "Pokoknya kalau Jefri bilang soal mantan atau sejenisnya. Jangan langsung percaya! Orang dia nggak punya mantan. Nggak pernah pacaran. Yang ada pacaran sama buku mulu." jelasnya lagi ke arahku.
"Nggak juga," sahut Pak Jefri membela dirinya.
"Iya kan emang fakta, Men! Jaman kuliah yang lainnya ngegebet cewek. Anda sibuk pacaran sama Sobotta Anatomi, Prometeus, Junquiera, Sherwood, Harper,"
"Eh, tapi kamu pernah pacaran kan Jef, waktu kelas satu SMP, kalo nggak salah sehari atau sejam gitu langsung putus." Dokter Aline tertawa sedikit kencang. Aku dan Umi yang mendengarnya ikut menertawakan Pak Jefri. Habis riwayat anda ditertawakan seisi rumah. Itu pacaran apa upacara bendera satu jam langsung putus?
Aku masih terkekeh geli mendengar kalimat dari Dokter Aline. Tawaku diikuti Umi dan Dokter Aline yang tak hentinya. Membayangkan saja aku tidak sanggup apalagi melihat ekspresi Pak Jefri waktu putus dengan pacarnya? Sampai-sampai aku tak sadar kalau Pak Jefri sudah menatapku tajam sedari tadi.
Dokter Aline menghentikan tawanya, ia melanjutkan kalimat yang belum selesai ia lontarkan, "Mantannya cuma satu, Ay! Udah nggak tau kabarnya dimana. Nyesel kali ya Jef, dia sekarang? Kamu modelannya udah begini,"
Pak Jefri menatap malas Dokter Aline. Untuk apa membelanya sekarang kalau nanti menertawakan lagi, "Nggak juga," jawabnya.
"Nggak juga apa? Orang emang gitu faktanya." ujar Dokter Aline ke arah Pak Jefri.
"Jefri tuh susah banget jatuh cinta, Ay! Banyak nolaknya kalo dijodoh-jodohin. Kan sok ganteng banget ya kan? Mungkin gara-gara beberapa tahun yang lalu dia pernah-"
"Lin!" Suara barinton milik Pak Jefri mengisyaratkan Dokter Aline untuk tidak melanjutkan kalimatnya. Raut wajah Pak Jefri berubah datar. Aku spontan menoleh ke arahnya. Tapi sang pemilik suara itu, malah beranjak dari duduknya tanpa permisi.
Kenapa, sih?
Bersambung....
Malang, 26 Juli 2020
🌸🌸🌸
Gimana part ini? Udah baca sampai kata terakhir? Kalau udah? Jangan lupa pencet vote ya? Kalau kalian suka sama part ini.
Yuhuu, Si Kadal kenapa sih? Ngambek? Diketawain dari tadi? Pacaran cuma sejam? Wkwkwk ngambekan ih! Udah mau kepala tiga juga masih ngambekan! Wkwkw
Jan lupa komen ya? Mau dilanjut kapan? Jangan cepet-cepet aku nulisnya maraton kalo kalian minta cepet wkwkwk
Yang kemarin udah nebak Dokter Aline sodaranya Pak Jefri gila sih cenayangnya 100 sekali wkwk aku sampek capek muter otak bikin alurnya tapi ya udah deh sesuai jalan alur yang aku buat di outline awal aja. Nikmati aja yaaa makasih udah baca sampai sejauh ini.
Aku sayang kalian. See you next chapter!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top