BAGIAN 27 - KEJELASAN

⚠️ Ya gitu pokoknya, kalo ide lagi lancar pasti update cepet. Selamat membaca ya? Baca dulu part ini sampai selesai, nanti kalau suka sama part ini kalian bisa pencet tombol vote. Makasih banyak udah nunggu dan baca sampai part ini. Aku tunggu komen dibawah ya? Makasih juga udah follow.

Happy Reading!

🌸🌸🌸

Siang ini aku masih berkutat di depan laptop yang ada di kamar. Terhitung selama dua jam yang lalu, aku mengerjakan revisi dari Pak Reza. Terkadang bosan, tiap hari yang jadi makanan sehari-hari cuma revisian tugas akhir. Ditambah lagi sejak kemarin sampai detik ini, Pak Jefri sama sekali tidak menghubungiku. Jangankan minta maaf, menghubungi untuk sekedar basa-basi saja tidak sama sekali.

"Capek!" Aku mendengus kesal saat mengamati beberapa kertas jurnal dan tumpukan revisian.

"Diperbaiki salah. Nggak diperbaiki salah. Kemarin udah bener, sekarang katanya salah lagi. Kata Pak Reza bener. Kata Bu Anggun salah. Otakku harus gimana lagi? Gimana mau ngejar sidang bulan ini, kalau gini-gini aja nggak ada yang bener." aku mengacak-acak rambutku kasar.

Aku meletakkan kepalaku di atas meja yang penuh dengan tumpukkan kertas revisian. Kedua tanganku aku gunakan sebagai tumpuan untuk tidur. Mataku terpejam. Kala lelah seperti ini, rasanya ingin dipeluk Mama. Cerita apapun yang ingin aku ceritakan. Tidak semuanya harus aku pendam sendiri. Pura-pura baik-baik saja di depan orang banyak.

"Ma, Ayana kangen. Boleh nggak sih, Ma? Ayana ikut Mama? Berdua sama Mama disana? Ayana kadang iri sama Pak Jefri yang bisa dekat sama ibunya. Punya orang tua yang lengkap. Ayah yang sayang ke dia. Nggak pernah ada pertengkaran yang buat Ayana takut." gumamku sendiri seolah-olah berbicara dengan Mama. Aku memejamkan mataku perlahan sampai-sampai aku tak menyadari sudut mataku mengeluarkan sedikit cairan bening.

"Kata orang lain seorang ayah adalah cinta pertama anak perempuannya. A-ayana sama sekali tidak pernah merasakan itu. Orang yang harusnya menjadi cinta pertama Ayana, malah menjadi pembunuh mental Ayana." Aku menggigit bibir bawahku yang sedikit bergetar.

"Tiap kali lihat Umi, Ayana selalu ingat Mama. Mau peluk Umi lama, tapi sayangnya dia bukan Mama Ayana sendiri." bibirku bergetar lagi, aku segera menghapus beberapa tetesan cairan bening yang menetes dari retinaku, "Cemen banget ya Ma, Ayana, gini aja nangis." ucapku seraya masih memejamkan mata.

Cklek!
Terdengar suara knop pintu yang dibuka seseorang. Paling juga Pak Jefri. Hari ini kan dia pulang. Tapi aku masih malas mengangkat kepalaku untuk menyambutnya. Aku masih sibuk berkutat dengan pikiranku sendiri. Tidak mau menanggapi Pak Jefri. Paling juga seperti biasanya, mancing keributan.

Pak Jefri masih bungkam. Ia sama sekali tak mengajakku berbicara. Bagus deh kalau begitu, aku tidak usah susah payah meladeni ucapannya. Mataku terbuka samar dan mengintip Pak Jefri yang terlihat duduk di sudut ranjang seraya tangannya menggulung lengan kemeja putihnya dan sedikit melonggarkan dasinya. Aku masih pura-pura memejamkankan mataku dan masih dalam posisi sama seperti tadi. Meletakkan kepalaku di atas meja belajar.

Namun selang beberapa menit aku memejamkan mata, aku sedikit terlonjak saat tangan kekar menggendong tubuhku dan memindahkan tubuhku di atas ranjang. Mataku masih pura-pura terpejam tidak merespon tindakan Pak Jefri saat ini. Pak Jefri sedikit menarik selimut putih yang ada di atas ranjang untuk menutup sebagian tubuhku.

Ia lantas beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Aku spontan mengubah posisi tidurku menjadi terlentang saat Pak Jefri sudah masuk ke dalam kamar mandi.

Dan selang beberapa menit, Pak Jefri keluar dari kamar mandi mengenakan kaos tanpa lengan dan celana pendek abu-abu. Ia duduk di samping ranjang seraya melirikku sekilas, "Kalau sudah bangun, cepetan turun! Umi udah nunggu di meja makan." ucapnya. Aku masih diam. Tak merespon ucapannya.

"Besok kamu ke kampus jam berapa?" tanyanya lagi. Dan aku masih bungkam. Tak menjawab pertanyaan Pak Jefri yang baru saja dilontarkan.

Pak Jefri melirikku. Ia sedikit mendengus saat melihatku masih pura-pura memejamkan mata, "Kalau ditanya itu dijawab. Saya tau, dari tadi kamu cuma pura-pura tidur."

Aku menghela napas panjang dan beranjak dari tidurku. Aku lantas melangkah keluar dari kamar tanpa melirik Pak Jefri sedikitpun yang duduk di sudut ranjang. Kakiku berjalan menuruni anak tangga yang menghubungkan lantai dua dengan meja makan. Disana sudah ada Abi dan Umi yang sudah duduk di kursinya masing-masing. Ternyata, sayup-sayup langkah Pak Jefri terdengar di belakangku juga.

"Ini Ay, piring buat kamu sama Jefri. Siapin Jefri makanan ya?" Ucap Umi seraya menyodorkan dua piring ke arahku. Aku tersenyum samar. Tanganku lantas mengambil nasi dan lauk untuk dituangkan ke piring milik Pak Jefri. Usai menuangkan lauk, aku meletakkan piring tersebut ke depan Pak Jefri yang sudah duduk di sampingku. Tak lupa, aku juga mengambil makanan yang akan ku tuangkan ke piringku sendiri. Aku sengaja mengambil porsi sedikit karena memang kali ini aku belum lapar. Ralat, maksudku napsu makanku hilang saat melihat wajah Pak Jefri yang duduk di sampingku.

"Tambah lagi, Ay? Masak porsi kamu sedikit banget," perintah Umi.

Aku hanya tersenyum tipis ke arah Umi seraya menggeleng-gelengkan kepala pelan.

"Kamu sakit, Ay? Atau kamu habis nangis? Kok mata kamu merah?" tanya Umi heran. Aku nangis karena kangen Mama aja. Tapi entah kenapa, emosiku memuncak ketika melihat wajah Pak Jefri. Jadi intinya ini salah Pak Jefri.

"Sakit gigi kali, dari tadi ditanya nggak dijawab." sahut Pak Jefri.

Aku menghentikan makanku seketika saat mendengar ucapan darinya. Kali ini selera makanku sudah benar-benar tidak ada gara-gara melihat wajah Pak Jefri, "Mi, Bi, Ayana ke kamar dulu ya? Sudah selesai makannya." ucapku. Sebenarnya makanku belum selesai. Kurang sedikit lagi. Tapi aku sudah tidak ada selera makan lagi.

Umi dan Abi hanya mengangguk dan tersenyum samar ke arahku. Aku jadi merasa bersalah ke mereka. Aku berjalan ke kamar lagi menaiki anak tangga. Sedikit mempercepat langkahku agar segera sampai kamar.

Aku membuka knop kamar dengan pelan, dan berjalan menuju ranjang. Aku duduk di sudut ranjang seraya pikiranku masih berkecambuk. Muak melihat wajah Pak Jefri hari ini.  Bayang-bayang masalah kemarin yang menyuruhku mengambil program magister seenak jidatnya, menyuruhku ini itu, sampai masalah tentang makan malam.

Kok makan malam? Kenapa makan malam aku pikirin?

Cklek!
Suara pintu terbuka sedikit. Pak Jefri masuk dan menutup pintu kembali. Ia lantas mengambil duduk di sampingku, "Kalo marah sama saya bilang," ucapnya melirikku.

"Jangan kayak anak kecil, saya cuma nyuruh kamu S2 kenapa kamu marah berlebihan kayak gini?"

"SIAPA YANG KAYAK ANAK KECIL?" teriakku ke arahnya.

"Bapak nyuruh saya ini itu biar Bapak dapat wanita yang sepadan kan kayak Bapak? Makanya saya di suruh ini itu seolah-olah saya nggak punya ruang sendiri buat hidup saya. Bapak nyuruh cepet-cepet lulus. Nggak mikirin gimana prosesnya saya ngerjain penelitian. Gimana saya merasa bersalah sama diri saya sendiri ketika lihat teman-teman saya sudah sidang sedangkan saya masih gini-gini aja. Bapak malu kan sebenernya? Karena saya nggak sepadan sama Bapak yang dulunya punya IPK cumlaude, lulus tepat waktu, menang lomba sana-sini, aktif organisasi. Sedangkan saya nggak bisa lulus 3.5 tahun. Nggak bisa lulus tepat waktu. Cuma jadi mahasiswa kupu-kupu. Nggak punya keberuntungan takdir yang bagus—"

Bibir bawahku bergetar saat ingin melanjutkan kalimatku, "Saya juga nggak mau seperti ini. Saya nggak bisa nyalahin takdir. Saya udah usaha, udah buat target lulus, udah buat target impian. Tapi nyatanya takdir saya beda sama temen saya. Termasuk sama Bapak."

Pak Jefri menyondongkan tubuhku ke arahku, ia mengunci manik-manik mataku, "Saya juga pernah di posisi kamu. Jangan cuma lihat saya di posisi sekarang. Kalau kamu lihat saya diposisi dulu saya juga banyak berjuang. Saya pernah dibully waktu sekolah dasar. Saya dibilang kurus kering, sering dapat bully-an sana sini. Sampai masuk SMP saya memutuskan untuk sering nge-gym dan olahraga. Dan sekarang hasilnya kamu lihat sendiri. Bukan sampai situ saja, saya pernah jadi bodoh. Dapat nilai hampir nol semua di raport. Sampai Abi sempat marah besar sama saya." ucapnya seraya mengunci kedua pergelangan tanganku dengan tangan kekarnya.

"Saya anak tunggal, siapa yang akan Abi dan Umi banggakan kalau bukan saya. Saya mati-matian belajar. Begadang tiap hari cuma biar nilai nol saya ketutup. Sampai saya memberanikan diri untuk ikut olimpiade. Saya mati-matian belajar disana—"

Tidak peduli berapa tetes cairan yang keluar dari sudut mataku di depan Pak Jefri. Emosiku sudah tidak terkontrol. Aku menatap tajam mata Pak Jefri dan memotong kalimatnya yang belum selesai ia lontarkan, "Kalau Bapak kurang puas sama prestasi Bapak sendiri, kenapa Bapak nyuruh-nyuruh saya sepadan akademiknya sama Bapak?"

"Saya nggak pernah bilang saya harus punya pasangan yang sepadan. Saya nyuruh kamu punya akademik dan pendidikan bagus cuma untuk—"

Ia menjeda beberapa detik ucapannya, "Saya nyuruh kamu punya nilai akademik bagus untuk masa depan anak sa-saya. Saya mau anak saya dapat ibu terbaik yang bisa dia contoh. Kurang jelas, alasan saya?" ucapnya yang masih mengunci manik-manik mataku.

Aku tertegun saat Pak Jefri mengatakan kalimat itu. Nggak! Pak Jefri pasti bercanda. Aku yakin dia tidak benar-benar serius mengatakan itu, "Bohong! Bapak cuma nyari alasan kan biar saya—"

"SAYA SERIUS DENGAN KATA-KATA SAYA!" ucapnya mendekatkan tubuhnya ke arahku. Aku memejamkan mataku saat Pak Jefri hampir tak menyisakan jarak sampai bau parfumnya sedikit tercium ke hidungku.

Cklek!
Pintu kamar terbuka, terlihat Umi ada di ambang pintu. Aku spontan mendorong tubuh Pak Jefri sedikit menjauh dari dudukku.

"Aduh .... Maaf Jef, Umi gak sengaja ganggu! Tadinya Umi cuma mau kasih makanan ini ke istri kamu. Ayana kan tadi cuma makan sedikit. Jadi malah ganggu disini, ya udah terusin! Ini makanannya, Umi ke bawah dulu ya?"

Aku dan Pak Jefri cepat-cepat beranjak dari duduk dan berjalan mendekat ke arah Umi yang masih berada di ambang pintu, "Makasih, Mi!" ucapku seraya mengambil kotak makan yang ada di tangan Umi.

"Ay, pipi kamu kok merah? Diapain sama Jefri?"

Hah?

Aku membulatkan mata sempurna seraya meraba-raba pipiku, "Nggak... Orang nggak diapa-apain, Mi!"

Umi tertawa ringan melihat ekspresiku, "Masak sih nggak diapa-apain? Tadi Umi lihat sendiri Jefri—"

"Mi, makasih makanannya. Jefri mau tidur siang. Jangan diganggu!" ucap Pak Jefri memotong kalimat Umi.

Umi mengerutkan dahinya, "Tumben, siang-siang tidur,"

Pak Jefri memutar bola matanya malas menanggapi pertanyaan konyol Umi. Ia tersenyum samar ke arah Umi dan mengisyaratkan Umi cepat kembali ke meja makan bareng Abi. Ia lantas menutup pintu kamar usai Umi beranjak menuruni anak tangga. Dan sekarang tangan Pak Jefri mengunci ganda kamarnya.

"Pak, kok dikunci sih?"

"Umi kebiasaan, buka-buka kamar tanpa diketuk dulu."

"Ya tapi kan—"

"Saya mau tidur, nggak mau diganggu!" ucapnya memotong kalimatku. Ia beranjak perlahan untuk merebahkan dirinya di atas ranjang. Sayup-sayup, aku menyusulnya merebahkan tubuhku di atas ranjang juga.

"Pak," panggilku pelan.

"Hm,"

"Mau tanya,"

"Apa?"

"Eum .... Ng-nggak jadi,"

Ia berdecak sebal, "Kalau nggak penting. Nggak usah tanya!"

"Kalau saya tanya. Tingkat ke-GR-an Bapak pasti makin meningkat. Makanya saya nggak jadi nanya,"

Ia memposisikan tubuhnya miring ke arahku, "Tanya ya tanya aja. Ngapain saya GR,"

"Biasanya Bapak kan suka GR nggak jelas,"

Pak Jefri menatapku tajam, "Cepetan tanya apa?"

"Tapi jangan GR,"

"Nggak,"

Sebenarnya aku tidak suka menatap mata Pak Jefri begini. Tapi Pak Jefri memposisikan tidurnya menghadapku, "Eum .... Tentang Dokter Aline,"

Pak Jefri spontan tertawa, "Aline kenapa?"

Kan? Apa gue bilang? Otaknya Si Geblek nggak bisa kalo nggak GR.

Aku mengerucutkan bibirku dua centi sembari mendelik ke arah Pak Jefri, "Ya nggak usah ketawa ngeledek juga, muka Bapak makin burik."

"Memangnya nggak boleh kalo saya ketawa?"

"Cepetan jawab!" perintahku seraya mencubit pinggang Pak Jefri.

Pak Jefri menahan tanganku, "Arrghh .... Pertanyaanmu apa?"

Muter-muter mulu tinggal jawab!

"Bapak sama Dokter Aline,"

"Ya, saya sama Aline kenapa?" tanyanya balik.

Aku mendengus kesal lagi dan lagi, "Terserah Bapak! Capek muter-muter terus. Masak harus diperjelas,"

Ia terkekeh pelan. Matanya menatapku lekat, "Ka-kamu jatuh cinta sama saya?"

Aku menggeleng cepat, "Apa saya bilang, Bapak tuh suka GR nggak jelas gini."

"Ya terus kenapa tanya Aline terus? Apa namanya kalau nggak cemburu?"

"Saya kan cuma tanya, bukan berarti cemburu,"

Ia beranjak dari tidurnya dan mengambil ponsel yang ada di atas nakas, "Ya udah, saya telfon Aline sekarang biar dia kesini, terus Aline aja yang jawab."

"PAK! Jangan becanda!"

Bersambung....

Malang, 25 Juli 2020

🌸🌸🌸

Ini juga part yang panjang menurutku wkwk jangan minta kurang panjang lagi yak wkwkw makasih juga euy udah baca sampai bacotan author di kalimat terakhir ini. Aku sayang kalian. Sayang pokoknya.

Mau di next kapan? Komen dibawah.

See you next chapter. Jangan lupa ambil baiknya buang buruknya setiap chapter yang aku tulis ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top