BAGIAN 20 - SEMINAR PROPOSAL
⚠️ Terima kasih udah baca cerita ini sampai part 20. Terima kasih juga udah vote cerita ini dan terima kasih udah komen juga. Maaf baru sempat update.
Happy reading!
🌸🌸🌸
"Besok seminar proposalmu jam berapa?" tanya Pak Jefri yang masih berkutat dengan laptopnya di meja kerjanya. Sedangkan aku sedang mempelajari ppt-ku untuk persiapan seminar proposal besok.
"Jam 9." jawabku singkat. Akhirnya, setelah sekian purnama, aku bisa mendapatkan jadwal seminar proposal. Walaupun ada beberapa kendala sebelumnya. Dan sedikit terlambat dari jadwal target yang aku buat.
"Memangnya Bapak besok mau datang ke seminar proposal saya?" tanyaku ke arah Pak Jefri yang masih fokus dengan laptopnya.
"Saya ada jadwal praktek."
"Berarti Bapak nggak datang besok?"
"Memangnya kamu berharap saya datang, besok?"
"Terserah Bapak deh! Saya juga nggak ngundang Bapak datang ke seminar proposal saya."
"Ya sudah, berarti terserah saya juga saya mau datang atau nggak,"
Aku tak menanggapi omongan dari Pak Jefri yang keluar dari mulutnya tadi. Lebih baik aku merebahkan tubuhku di atas ranjang. Aku tidak mau membuang-buang waktu untuk berdebat dengan Pak Jefri. Karena besok pagi aku dihadapkan dengan seminar proposal yang kesekian kalinya aku tunggu-tunggu dari bulan lalu.
Usai berkutat dengan laptopnya, Pak Jefri ikut merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Matanya menatap langit-langit atap sembari menyilangkan kedua tangannya. Dan kemudian melirikku sekilas.
"Besok berapa orang, temanmu yang jadwal seminar proposal sama dengan kamu?"
Datang enggak, tanya mulu lo Badak!
"Empat,"
"Ppt kamu sudah kamu pelajari?" tanyanya lagi.
"Bapak tanya mulu kayak Dora,"
Pak Jefri melirikku tajam ke arahku, "Apa susahnya jawab pertanyaan saya?"
"Bapak juga, Apa susahnya datang ke seminar proposal saya?"
Pak Jefri menghela napas panjang. Tatapannya masih tajam ke arahku, "Saya sudah bilang saya ada jadwal praktek di rumah sakit. Kamu harus paham dengan profesi saya,"
Aku memposisikan tidurku miring membelakangi Pak Jefri. Malas juga tengah malam seperti ini debat dengan Pak Jefri.
"Besok pagi, nggak usah masakin saya. Saya pagi-pagi harus ke rumah sakit. Saya nggak bisa antar kamu ke kampus."
🌸🌸🌸
Aku keluar dari ruang 71, ruangan yang biasanya digunakan untuk jurusanku mengadakan rapat, sidang, semhas, dan sempro. Hampir dua jam aku ada di dalam. Sebenarnya presentasiku tidak terlalu membutuhkan waktu lama. Yang membutuhkan waktu lama adalah koreksi dan kritikan dosen penguji. Usai seminar proposal, rasanya lega, satu tugas sudah aku selesaikan.
Aku berjalan mendekat ke arah beberapa temanku yang berkumpul di kursi ruang tunggu. Beberapa dari mereka ada yang sudah sidang ada juga yang masih proses pengajuan judul. Tidak apa-apa, alur takdir seseorang kan berbeda-beda. Tidak ada yang terlambat. Semua hanya butuh proses untuk menjemputnya.
"Selamat, Ay!" ucap salah satu teman kelasku.
"Selamat, Ayana!"
"Makasih," jawabku seraya mengambil beberapa bouquet kecil hadiah dari temanku.
"Ayana, akhirnya tinggal penelitian sama revisi ya?" ucap Karin seraya memelukku. Dia datang bersama pacarnya.
"Selamat, Ay!" ucap Aldo.
"Sama-sama,"
"Lo gimana?" tanyaku balik ke Karina.
"Gue Minggu depan sidang, doakan lancar ya? Aldo juga," jawabnya seraya melirik Aldo.
Aku menepuk pundak Karina, "Iya dong! Pasti gue doain. Nanti malam, keluar beli mie ayam Bang Sobri yuk? Udah lama kita nggak nongkrong disana,"
Karina melirik ke arah Aldo sekilas. Dan kemudian berganti menatapku dengan tatapan tidak enak karena menolak ajakanku, "Lain kali ya Ay? Gue udah janji buat nemenin Aldo--"
"Ya udah nggak papa, lain kali aja." Potongku sebelum Karina melanjutkan kalimatnya.
"Ay, Aku sama Aldo izin nggak bisa lama-lama nemenin kamu ya? Aku mau nemenin Aldo ngurus berkas sidang,"
Aku menarik sudut bibirku membentuk senyum simpul ke arah Karin, "Iya nggak papa, aku doakan lancar semua."
"Makasih Ay,"
Aku menghela napas panjang. Aku kira Karina akan seperti biasanya, kalau aku ajak kemana-mana tidak akan menolak. Tapi, aku juga tidak boleh egois. Kali saja kepentingan Aldo lebih penting. Tapi aku juga butuh sekedar bertukar cerita ke teman dekatku. Tapi, sudahlah! Tidak usah dibahas.
Aku mengambil duduk di salah satu bangku panjang yang ada di depan ruang 71. Disini aku hanya ditemani beberapa bouquet bunga dan hadiah dari beberapa temanku. Beberapa dari mereka sudah pulang setelah memberi ucapan selamat. Pak Jefri pun belum memberikan selamat untuk seminar proposalku. Aku jadi semakin yakin kalau aku wisuda nanti, Pak Jefri juga tidak akan menyempatkan datang.
"Ceileh .... ngelamun mulu, Neng!" ucap Rafi yang mengambil duduk secara tiba-tiba di sampingku.
Aku terlonjak saat Rafi tiba-tiba mengambil duduk di sampingku, "Hobi lo ngagetin mulu,"
"Selamat sempro bininya Sehun, ceyol, bihun, rawon, dan kawan-kawannya yang gue kagak kenal siapa aja namanya itu,"
Aku terkekeh geli, "Hadiahnya dong Bor, Jangan selamat doang!"
"Nih buat lo, gue kagak beliin album. Tapi gue beliin kalender sama posternya yang ada gambarnya Exo. Boyband Korea banyak, Bor! Gue bingung mau kasih yang mana. Sampai gue tanyain ke mbak-mbak yang jualan poster. Dia nyuruh gue beli Exo, ya udah gue beli poster Exo."
"Widih! Nggak papa, bagus juga kalendernya. Beli dimana?"
"Rahasia lah, tapi itu gue beli pakek duit kas Himagro,"
Aku memukul lengan Rafi memakai tumpukkan berkas revisi dari Dosen, "Sialan! Gak mau gue nerimanya,"
"Bercanda Ay, masak gue sehina itu."
"Kak," panggil seorang perempuan ke arahku. Aku dan Rafi lantas menoleh bersamaan. Aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi tidak tahu namanya. Paling, adik tingkat.
"Rania ya?" tanya Rafi ke arah perempuan itu.
"Iya Kak Rafi,"
Bener kan? Kalau urusan kenal-mengenal adik tingkat, Rafi yang paling bisa diandalkan. Hampir setiap tahun, dia ikut mengurus Ospek Jurusan. Jadi tak heran jika dia kenal beberapa adik tingkat.
"Ada titipan ini buat Kakak." ucapnya seraya memberikan sebuah bouquet ke arahku.
"Dari siapa?" tanyaku penasaran. Aku tidak punya pengagum rahasia dan sejenisnya selama hampir empat tahun kuliah. Jadi tidak mungkin tiba-tiba ada bouquet bunga sebesar ini ditujukan ke arahku.
"Nggak tau, tadi saya disuruh kasih bunga ini ke Kakak,"
"Orangnya dimana?"
"Tadi disana," ucapnya sembari menunjuk ke arah balkon.
"Terima kasih,"
"Dari siapa Ay?" tanya Rafi penasaran juga.
Bunganya gede banget anjirr! Seumur-umur baru kali ini dapat bunga segede rumput gajah.
Aku menerima bunga tersebut dari tangan perempuan tadi, aku sengaja tak menjawab pertanyaan dari Rafi. Karena aku sudah menebak siapa yang memberi bunga ini. Hanya sekedar menebak siapa yang memberikan bunga ini. Tidak tahu benar atau tidak tebakanku.
"Gue kesana dulu ya Raf?" pamitku.
Aku beranjak dari dudukku dan berjalan ke arah balkon gedung yang ditunjuk adik tingkat yang memberikan bunga ini. Benar kan? Terlihat seseorang yang berdiri membelakangiku. Matanya memperhatikan pemandangan yang ada di kampus dari balkon lantai empat.
Badak, yakin gue itu punggungnya Badak!
Aku berjalan mendekatinya, "Saya ada jadwal praktek. Jadi kamu harus paham posisi saya." sindirku ke arahnya yang masih berdiri membelakangiku. Aku menirukan nada bicaranya tadi malam saat berdebat denganku.
Ia perlahan menoleh ke belakang, "Dapat kritikan apa tadi di ruangan?"
Bukannya kasih selamat malah tanya kritikan! Heran gue ada manusia kayak gini.
"Bapak bisa nggak kasih selamat dulu gitu, atau ngomong apa kek buat basa-basi."
Pak Jefri mengalihkan pandangannya sekilas. Dan kemudian menatapku lagi, "Itu bunga dari saya. Jangan dirusak! Saya belinya pakai uang."
Yang bilang beli pakek daun siapa?
"Tumben, kasih bunga. Mau belajar romantis kayak orang-orang?"
"Terpaksa. Kalau saya nggak bawa apa-apa kesini, kamu juga bakal komentarin saya yang tidak-tidak."
Aku berdecak sebal. Tidak bisa ya? Pak Jefri bersikap manis seperti orang-orang pada umumnya. Biar aku sedikit tidak terlihat jomblo. Atau mungkin Pak Jefri tidak bisa bersikap manis ke perempuan? Pantas saja dulunya mantan bujang lapuk.
"Terus katanya ada jadwal praktek di rumah sakit, kok kesini?" aku menyindirnya lagi.
"Udah selesai," jawabnya singkat.
"Kalau kamu sudah selesai sama urusan kamu. Ayo pulang! Jangan kebanyakan main di kampus. Punya otak dibiaskan buat belajar. Jangan kebanyakan main." ucapnya lagi.
Ya Gusti, mulutnya nggak pernah disaring kalau ngomong. Mentang-mentang udah lulus kuliah.
"Bapak nggak ada niatan ngajak saya makan-makan? Kan saya lagi seneng sekarang," ajakku ke arah Pak Jefri. Gagal mengajak Karina makan mie ayam, setidaknya menawarkan Pak Jefri untuk makan mie ayam bersama juga tidak salah. Dari pada aku harus pergi sendiri kesana.
"Kerjakan revisian kamu dulu. Biar cepet penelitian."
"Napas dulu lah Pak! Masak baru seminar proposal suruh revisian cepet-cepet."
Pak Jefri menghela napas panjang, ia mengambil duduk di salah satu kursi yang ada di balkon. Aku lantas ikut mengambil duduk di samping Pak Jefri.
"Pak!"
"Hm,"
"Saya kok tiba-tiba pengen Mie Ayam Bang Sobri,"
"Kenapa bilang sama saya?"
Gak peka banget Badak!
"Bapak nggak pengen juga?"
"Nggak,"
"Ya udah deh, saya titip barang-barang saya ini di mobil Bapak. Nanti saya ambil. Saya mau ke warung mie ayam Bang Sobri." ucapku seraya menunjuk beberapa hadiah yang aku pegang dan bouquet bunga dari Pak Jefri yang masih aku peluk. Aku sedikit memeluk bouquet bunga dari Pak Jefri. Karena memang bunganya terlalu besar untuk dipegang dengan satu tangan.
Pak Jefri nggak peka banget! Harusnya bantuin gue bawain barang-barang ini.
"Sama siapa?" tanyanya ke arahku tapi fokusnya ke layar ponselnya.
"Sendiri,"
Pak Jefri menghela napas lagi, "Ya sudah, saya antar!"
"Memangnya Bapak udah nggak ada jadwal praktek lagi setelah ini? Nanti Bapak nyalahin saya lagi kalau saya ganggu kerjaan Bapak,"
"Nggak,"
"Tumben baik, mau nganterin?"
"Kalau nggak mau, Ya sudah saya pulang! Kamu kesana saja sendiri."
"Iya mau, Bapak Jefri yang terhormat!" jawabku dengan penuh penekanan.
"Bapak emang nggak ada niatan buat bantuin bawa barang saya?"
"Kamu kan bisa bawa sendiri,"
Ya Gusti, jangan mau deh kalau punya suami modelan Pak Jefri kayak gini. Bikin emosi tiap hari. Percuma juga punya wajah ganteng nggak menjamin bahagia tiap hari.
"Tangan saya pegel Pak, bunga dari Bapak aja besar banget saya capek bawanya."
"Ya sudah, buang saja!" Pak Jefri menarik bunga yang ia beri tadi dari tanganku.
"Pak! Jangan dong, bunganya cantik masak mau dibuang."
Nggak mau cari masalah lagi gue, sekali-kali kepaksa muji dia biar seneng.
Bersambung....
Malang, 12 Juli 2020
🌸🌸🌸
Yuhuuu, aku update lagiii! Maaf telat. Soalnya lagi nyari ide di kolong kasur wwkwkwk makasih udah baca sampai part ini ya? Uwaw udah 4k aja Pak jep. Makasih udah komen juga. Makasih udah divote juga. Dan makasih udah follow author.
Abaikan typo dan sejenisnya ya? Author suka khilaf wkwkw nanti setelah selesai author revisi. Gambar bouquet bunga ambil dari pinterest ya? Bukan di endorse wkwkw
See you next chapter!
Aku sayang kalian 🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top