BAGIAN 19 - (NOT) ACC!
⚠️ Sebelum baca! Pencet tombol vote jika suka dengan cerita ini. Jangan lupa komen dibawah juga ya?
Happy Reading!
❄️❄️❄️
"Kamu ini bagaimana? Penelitianmu arahnya bagaimana itu belum jelas. Buat rumusan masalah aja nggak jelas. Tata penulisan kamu juga masih sedikit kurang rapi. Rumusan sama fokus penelitian dipertajam lagi! Minggu depan saya tidak mau ada kesalahan," ucap Pak Reza merevisi proposal tugas akhirku. Pak Reza memang terkenal perfeksionis. Ada kesalahan satu titik juga langsung akan dikembalikan dan harus menghadap ke dia di pertemuan bimbingan selanjutnya.
"Iya Pak," jawabku pasrah.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Pak!" pamitku.
Sudah terhitung 9 kali aku menghadap ke Pak Reza untuk bimbingan skripsi. Tapi tetap saja, ada aja yang salah di mata Pak Reza. Kalau begini bagaimana aku mengejar seminar proposal dalam waktu 3 bulan?
Aku keluar dari kantor jurusan membawa setumpuk berkas revisi dari Pak Reza. Jadwal kuliahku memang saat ini sudah tidak terlalu padat. Hanya 2 mata kuliah dan skripsi saja. Magang dan KKN sudah aku ambil di semester sebelumnya.
"Gimana? Di Acc, Ay?" tanya Rafi mengagetkanku dari belakang. Rafi disini. Kebetulan dia satu dosen pembimbing denganku.
Aku menggeleng lemah, "Enggak,"
"Sama," ujarnya seraya terkekeh pelan. Bukannya sedih, dia malah tertawa ringan seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
"Muka lo kenapa ditekuk mulu elah! Nanti juga ada waktunya sendiri buat seminar proposal Ay," ucapnya menyemangatiku.
"Tapi nggak bisa ngejar tiga bulan ini,"
"Bisa, lo mungkin kurang niat!"
Lo nggak tau Raf, gue tiap hari ini ribut sama Badak kalo nggak ngerjain revisian. Giliran gue bimbingan di kampus, gue juga kena marah sama Pak Reza dan ujung-ujungnya nggak di Acc.
"Emang kalo lo seminar proposal minta gue bawain apa?" tanyanya lagi.
"Nggak minta apa-apa," tolakku. Tidak tahu mood-ku saat ini sedang berantakan.
"Yakin lo nggak minta apa-apa? Gue bawain album NTC sekardus juga lo nggak bakal nolak!"
Aku memukul lengan Rafi dengan map plastik yang berisi tumpukan kertas revisian, "NCT kali ah! Belibet amat Lo ngomong,"
Rafi terkekeh pelan, "Nah, gitu dong ketawa! Muka lo kayak baju belum disetrika seabad."
"Sialan!"
"Gue ke ruang himagro dulu ya? Mau bantuin ngurus diklat anggota baru." pamit Rafi saat ia mendapatkan pesan dari temannya. Rafi memang anak organisasi. Dikit-dikit rapat. Sampai sekarang semester akhir dan sudah waktunya turun jabatan, dia juga tetep betah di organisasi. Katanya, markasnya udah jadi rumah kedua setelah Kosan. Beda sama aku. Nolep!
"Ceileh! Nyari dedek emes buat digebet, yak?" godaku. Apalagi tujuannya kalau bukan ini?
"Gak lah, gue kan udah punya gebetan."
"Kok lo nggak cerita ke gue?"
"Sabar, nanti kalau udah wisuda aja gue kasih tau orangnya."
"Kelamaan nunggu wisuda,"
"Kalau gue cerita sekarang, gak surprise dong! Ya udah, gue ke ruang himagro dulu, ya?" pamitnya lagi.
Aku memutuskan untuk langsung pulang. Tidak ke kosan Karin ataupun kemana-mana. Karena memang akhir-akhir ini aku ingin di rumah saja. Tidak kemana-mana.
Dreett...dreett...dreettt...
Aku meraba-raba tasku untuk mengambil ponselku yang berdering.
|Jefri Badak Bercula Lima
Saya di depan gerbang utama kampus. Cepetan kesini! Saya nggak mau nunggu lama.|
Aku tak membalas pesan dari Pak Jefri. Biarkan saja, aku malas membalasnya. Aku sudah tau apa yang akan dia katakan, dia pasti akan berkomentar yang tidak-tidak karena lagi-lagi tugas akhirku tidak di Acc dosen pembimbing.
Dreet...Dreett...dreettt...
Ponselku berdering lagi. Kali ini bukan pesan yang masuk melainkan sebuah panggilan yang masuk. Aku mendengus kesal, saat membaca nama yang tertera di layar ponselku. Dengan terpaksa aku mengangkat sambungan telepon dari Pak Jefri.
"Cepetan!" pekiknya keras dalam sambungan telepon.
"Iya,"
Giliran gue yang telat aja marah-marah!
Aku berjalan mendekat ke arah mobil Pak Jefri yang terparkir di depan gerbang utama kampus. Aku sedikit mempercepat langkahku. Karena tidak mau memperpanjang masalah dengan Pak Jefri.
Sampai di depan mobil Pak Jefri, aku lantas masuk dengan pelahan. Aku melirik Pak Jefri yang memasang tatapan tajam. Untuk kesekian kalinya tatapan tajam itu masih terpasang di wajah Pak Jefri. Kalau begini, aku semakin tidak ada mood untuk berbicara.
"Gimana bimbingan kamu?" tanyanya ketus.
Aku masih diam tidak menanggapi pertanyaan Pak Jefri. Karena percuma kalaupun aku menanggapinya, aku sudah tau jawabannya. Pak Jefri akan marah! Berkomentar yang tidak-tidak. Dan mengancam yang tidak-tidak. Kalaupun bersikap baik? Itu hanya kebetulan karena mood dia sedang baik. Selebihnya tetap sama seperti biasanya.
"Kalau ada yang bertanya itu dijawab," ujarnya lagi ketika aku masih diam tak menanggapi pertanyaannya.
"Kalau saya jawab, Bapak juga bakal marahin saya kayak biasanya."
"Kamu nggak di Acc lagi?" tebaknya.
Aku masih tak menjawab. Dan malah memalingkan pandanganku ke jendela mobil. Biar saja Pak Jefri bicara yang tidak-tidak sekarang. Anggap saja telingaku sudah kubuang ke Pluto.
Pak Jefri menghela napas panjang, "Ya sudah,"
"Ya sudah apa?" Aku menoleh ke arah Pak Jefri yang masih fokus menyetir.
"Ya sudah mau gimana lagi," jawabnya pasrah.
Aku mengerutkan dahiku tak percaya. Hampir 8 Minggu lebih setiap kali aku ada jadwal bimbingan dia yang paling banyak memarahiku karena aku tidak di Acc dosen, "Bapak tumben nggak marahin saya?"
"Kamu minta saya memarahi kamu?" ucapnya melirik sekilas ke arahku.
"Terserah Bapak, itu kan hak Bapak."
"Tumben kamu nggak bantah?"
"Capek,"
"Ikut saya ke rumah sakit, sekarang!" pintanya ke arahku.
Aku memberengut kesal ke arah Pak Jefri, "Nggak mau, saya mau pulang."
"Saya cuma sebentar di rumah sakit. Ngambil berkas,"
"Kalau gitu saya tunggu di mobil aja."
"Ya udah, kamu saya kunci di mobil. Kaca mobil nggak usah dibuka."
Aku membulatkan mataku sempurna ke arah Pak Jefri, "Bapak mau bunuh saya apa gimana?"
"Ya makanya ikut turun!"
"Mau ngapain saya ikut turun? Bapak mau pamerin saya ke temen Bapak. Kalau saya istri Bapak?"
"Gak usah kebanyakan GR. Saya cuma mau kamu bantuin saya bawa berkas. Berkasnya banyak, kamu yang bawain semua."
Gak tau diri banget Badak!
Aku memukul keras lengan Pak Jefri yang masih fokus menyetir, "Enak aja! Terus Bapak bawa apa?"
"Saya nggak bawa apa-apa, saya cuma lihatin kamu bawa tumpukkan berkas saya." jawabnya enteng.
Pak Jefri memarkir mobilnya di tempat lahan parkir khusus dokter yang tersedia di rumah sakit tempat ia bekerja. Aku juga tidak tahu aku harus melakukan apa disini. Lihat saja kalau sampai aku hanya diam bak Patung Pancoran, aku tidak segan-segan mengikat kepala Pak Jefri pakai kabel.
"Ayo turun!" perintah Pak Jefri seraya melepas seat belt yang ia pakai.
"GAK!"
Pak Jefri turun dari mobilnya. Dan kemudian membuka knop pintu yang ada di sebelahku. Ia lantas menarik paksa tanganku untuk turun dari mobil.
"Ayo!"
"Bapak lama-lama saya laporin ke Komnas Perlindungan Perempuan. Karena suka memaksa seenaknya dan melakukan kekerasan."
"Kekerasan apa?"
"Ini narik-narik paksa tangan saya,"
"Kamu kan istri saya, jadi mau saya apa-apain juga terserah saya."
"Tetep aja, itu namanya kekerasan mental. Psikis saya jadi terganggu gara-gara Bapak bikin emosi terus."
"Nggak usah banyak ngomong, ayo masuk!" Pak Jefri menarik pergelangan tanganku masuk ke dalam rumah sakit.
"Pak, jangan gandeng-gandeng saya! Udah kayak mau nyebrang aja. Pakek gandengan,"
"Kalau kamu nggak saya gandeng, kamu kabur seenaknya."
"Bapak nggak mau jauh-jauh dari saya?"
"Gak usah banyak ngomong yang nggak penting,"
"Pak Jefri," panggil seseorang dari belakang. Aku dan Pak Jefri menoleh. Ternyata salah satu perawat yang ada di rumah sakit.
"Ini berkas Pak Jefri yang ketinggalan tadi,"
Bilangnya setumpuk. Ini mah cuma selembar! Masih banyak juga berkas revisian gue.
"Makasih," ucap Pak Jefri.
"Ini siapa Pak? Adik sepupu?" tanya Perawat itu ke arah Pak Jefri.
"Bukan,"
"Kalau adik kandung, kan nggak mungkin. Pak Jefri kan anak tunggal,"
"Dia istri saya,"
"Saya kira Bapak nikahnya sama Dokter Aline,"
Pak Jefri menggeleng sembari bibirnya menyunggingkan senyum tipisnya, "Bukan,"
"Saya kira sama Dokter Aline. Soalnya banyak yang--"
"Bukan,"
Bukan-bukan mulu lo Badak dari tadi! Ditanya baik-baik juga.
"Saya Ayana," aku mengulurkan tangan kananku ke arah perawat yang ada di depan Pak Jefri.
"Ervina," balasnya.
"Kerja dimana?" Tanyanya ke arahku.
"Masih kuliah semester akhir,"
"Oh, masih kuliah. Ya, sudah saya pamit dulu ya Pak, Ayana?"
Pak Jefri dan aku mengangguk. Usai mengambil berkas, aku dan Pak Jefri kembali berjalan menuju parkiran mobil lagi.
"Udah Pak urusannya?"
"Sudah,"
"Ya udah, ayo pulang! Ngapain lagi disini?"
"Yang tadi jangan dimasukin hati."
"Apa? Yang mana?"
"Yang tadi,"
"Yang mana sih?"
"Nggak usah dibahas. Ayo pulang! Otak kamu gak nyampek saya ajak ngomong."
"Katanya berkas setumpuk. Ini mah selembar! Masih banyak kertas revisian saya." protesku.
"Tadinya setumpuk. Tapi saya takut kamu banyak ngeluh pas saya suruh bawa berkas. Kamu kan kerjaannya ngeluh mulu kalau saya suruh-suruh,"
Alasan aja Lo Badak!
Bersambung....
Malang, 11 Juli 2020
🌸🌸🌸
Maafiin author baru bisa update jam segini. Nggak ada ide sama sekali. Buntu! Yaudah ya? Terima kasih buat yah yang baca.
Makasih banyak udah baca sampai sejauh ini. Terus udah vote juga makasih. Terus udah komen juga aku terhuraaa 😭 makasih udah nungguin update 🥰
See you next chapter 🐻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top