BAGIAN 17 - PROPOSAL DAN PROGRAM KEHAMILAN
⚠️ WARNING INI RATED 13+
Kepalaku rasanya sudah tidak ada di tempat. Terhitung tiga jam aku berkutat di depan laptop untuk menyelesaikan deadline proposal tugas akhirku. Dosen pembimbingku tiba-tiba mengirim pesan di grub chat bahwa seluruh mahasiswa bimbingannya besok pagi harus menghadap ke dia dan membawa proposal lengkap. Sedangkan sekarang tanganku masih mondar-mandir mengetik bab dua yang belum selesai.
"Makan!" ujar Pak Jefri seraya menyodorkan cookies yang ia beli di supermarket tadi.
"Tumben baik," ucapku melirik sekilas Pak Jefri.
"Kalau nggak mau ya udah,"
"Ya mau lah Pak!" Aku mengambil cookies yang Pak Jefri berikan.
Pak Jefri lantas mengambil duduk di sampingku. Tangan kanannya mengambil salah satu buku metodologi penelitian yang ada di meja dan kemudian ikut membacanya. Kepalanya mengangguk-angguk seolah-olah mengerti isi buku yang ia baca.
"Daftar pustakamu kurang, sub bab pertama di kajian pustaka kenapa tidak kamu cantumin rujukkannya?" ujarnya seraya matanya ikut menelisik file proposalku yang ada di laptop.
Udah ngalahin dosen aja lu Badak!
"Cara mengutip itu dipelajari. Kalau kamu mengutipnya begitu apa bedanya sama menyalin? Kalimatnya diparafrase biar nggak kena plagiasi."
"Buku tata bahasa dan cara parafrase ada di rak buku kamar sebelah. Kamu bisa pakai buku itu." ujarnya lagi.
"Iya Pak Iya," jawabku pasrah ke arah Pak Jefri yang sibuk mengomentari tugas akhirku yang ada di laptop.
"Pak," panggilku pelan ke arah Pak Jefri yang sedang memainkan ponselnya.
"Hm,"
"Saya besok bolos bimbingan sekali ya?"
Pak Jefri melirikku dengan tatapan membunuh, "Gak!"
"Pak ini kurang metode penelitian, tapi kepala saya udah pusing. Udah kayak diinjek-injek gajah. Saya pengen tidur." protesku ketika ia tak mengizinkannya.
"Saya udah bela-belain bantuin kamu disini, kamu malah pengen nunda-nunda."
Yang nyuruh Lo bantuin gue siapa?
Pak Jefri tiba-tiba beranjak dari duduknya, "Saya mau keluar sebentar. Kamu kerjakan bagian metode. Saya kembali, kamu harus sudah selesai. Terus tidur!"
"Bapak yang bener aja deh! Jangan samain sama otak Bapak. Saya mana bisa Pak, kalau kesurupan Einstain saya baru bisa."
"Saya nggak mau tau pokoknya harus bisa,"
Yang punya tugas siapa yang ribet siapa?
Aku menghela napas panjang saat melihat Pak Jefri mulai beranjak dari duduknya. Pak Jefri benar-benar tidak punya hati. Bukan dosen tapi seenak jidatnya nyuruh ini-itu. Sikap Otoriternya tidak pernah tertinggal dalam dirinya. Kalau begini, apa bedanya rumah sama kampus?
🌸🌸🌸
Aku terlonjak saat mendengar suara alarm ponselku yang berbunyi. Tadi memang aku tidur jam setengah lima pagi dan sengaja memasang alarm jam enam pagi untuk menyelesaikan tugas, tapi aku malah bangun jam delapan pagi. Sedangkan bimbinganku jam sembilan pagi.
Aku sedikit mengerjap-kerjapkan mataku mengingat-ingat semalam. Perasaan aku tidur di meja belajar menyelesaikan bab tiga tugas akhirku. Tapi ini kenapa aku sudah ada di ranjang? Pak Jefri? Tanganku meraba-raba sisi kiri ranjang. Dan ternyata Pak Jefri sudah tidak ada di ranjang. Pasti dia sudah berangkat ke rumah sakit.
"Arrghhh!" Aku sedikit memegangi perutku yang tiba-tiba melilit. Aku berusaha untuk beranjak ke kamar mandi dan bersiap ke kampus. Tidak peduli sakit perut atau tidak. Aku tidak punya waktu banyak. Kurang dari lima belas menit aku harus membersihkan tubuhku dan bersiap-siap ke kampus.
Usai membersihkan tubuhku dan bersiap-siap, aku memasukkan laptop dan kertas-kertas bahan bimbingan yang ada di meja belajar. Jari-jemariku berpindah mengambil ponsel yang ada di atas nakas. Sebelum aku masukkan ke dalam tas, aku mengecek terlebih dahulu pesan masuk yang ada dalam ponsel.
Dreett....Dreet....dreett
Aku membuka satu pesan yang baru saja masuk dalam ponselku.
Bimbingan skripsi Pak Reza (Grub)
Pak Reza
Saya sedang ada urusan di luar kampus. Bimbingan hari ini ditunda dulu.
Aku menghela napas kasar, "Nyesel mandi! Tau gini kan tadi malam nggak perlu debat sama Pak Jefri buat begadang."
Aku berdecak sebal seraya meletakkan ponsel ke atas nakas lagi.
Dan kemudian, aku lantas merebahkan tubuhku lagi di ranjang. Perutku masih terasa sakit. Tidak pernah absen sakit perut ketika datang bulan seperti ini. Aku berusaha memejamkan mataku untuk tidur lagi.
Dreet...dreett...dreett..
Ponselku di atas nakas kembali berdering menandakan terdapat panggilan masuk. Tapi aku malas mengangkatnya.
Tanganku sedikit meraba-raba atas nakas untuk mengambil ponselku. Aku sedikit memicingkan mataku membaca panggilan masuk yang ada di ponselku. Dan seketika memutar bola mataku malas saat membaca nama Badak yang tertera di layar ponsel.
"Apa?" jawabku ketus.
"Nanti saya jemput kamu di kampus jam berapa?"
"Saya nggak ke kampus."
"Kenapa? Kamu bolos bimbingan?"
"Bisa nggak Bapak sehari aja nggak Suudzon sama saya?"
"Terus kenapa?" tanyanya ketus.
"Saya libur bimbingan. Udah ah! Bikin emosi telfonan sama Bapak."
Aku mematikan sambungan telepon dari Pak Jefri tanpa pamit. Biar saja, mood-ku saat ini sudah berantakan karena libur bimbingan. Ditambah lagi, Pak Jefri yang setiap hari selalu berburuk sangka terhadapku.
Dreettt..Dreett...Dreett....
Ponselku bergetar beberapa kali lagi. Aku menghela napas kasar lagi dan lagi saat melihat nama Badak tertera di ponselku.
"APASIH PAK?" ucapku sedikit teriak.
"Kamu sekarang dimana?"
"Saya di rumah. Jangan telfon saya lagi. Saya males ngangkatnya, perut saya sakit," ucapku dengan penuh penekanan.
Aku langsung mematikan sambungan telfon lagi. Tanganku menekan tombol power yang ada di ponsel untuk mematikan layar ponsel. Kalau ponselku mati kan Pak Jefri tidak bisa menelfonku lagi.
Aku kembali merebahkan tubuhku di atas kasur. Kram di perutku masih terasa sakit. Tidak tahu harus apa selain merebahkan diri di kasur.
Selang beberapa menit, terdengar derap langkah kaki yang masuk ke kamar. Siapa lagi kalau bukan Pak Jefri. Aku pura-pura tidak dengar saat Pak Jefri berkali-kali memanggilku.
"Ayo ke rumah sakit!" ucap Pak Jefri yang sudah duduk di pinggir ranjang.
"Ayo ke rumah sakit cepetan?" ucapnya lagi saat aku tak merespon ajakannya.
Aku beranjak dari tidurku dan duduk menghadap Pak Jefri, "Nggak! Orang saya cuma nyeri menstruasi."
"Wajah kamu pucat,"
"Nanti juga sembuh. Mending Bapak bantuin saya aja sekarang," ucapku memegang lengan Pak Jefri.
Ia mengerutkan dahinya, "Bantuin apa?"
"Beliin saya pembalut di minimarket depan gapura masuk perumahan."
Pak Jefri sontak membulatkan mata sempurna, "Sa-saya nggak tau jenis-jenis itu di mini market. Saya antar kamu saja,"
"Masalahnya perut saya kram. Dibuat jalan juga sakit,"
"Terus saya harus gimana?"
"Bapak kan bisa baca. Masak harus saya edukasi dulu beli beginian?"
Ia menghela napas panjang, "Mereknya apa?"
"Terserah Bapak, yang penting 36cm"
"Cepetan!" teriakku mendorong tubuh Pak Jefri agar segera beranjak.
Pak Jefri tampak kebingungan dengan apa yang aku katakan. Salah sendiri, pagi-pagi sudah membuatku naik darah. Eh, tapi ini bukan salah Pak Jefri juga sepenuhnya. Gara-gara perubahan hormon menstruasi juga mood-ku sering berantakan.
Sembari menunggu Pak Jefri kembali, aku memainkan ponselku. Biasanya untuk mengembalikan mood-ku aku lebih sering menonton Drama Korea. Cara jitu dan cara paling ampuh adalah salah satunya menonton drama Korea atau streaming Oppa.
"Ini titipan kamu," ucap Pak Jefri seraya menutup pintu kamar kembali. Tak memerlukan waktu lama Pak Jefri sudah kembali dan membawa kantong plastik hitam dari supermarket. Raut wajahnya tampak ditekuk saat kembali dari supermarket. Aku sontak terkekeh pelan melihat raut wajah Pak Jefri yang terlihat ditekuk.
Aku membuka kantong plastik yang diberikan Pak Jefri. Mataku membulat sempurna melihat isi kantong plastik tersebut. Pak Jefri benar-benar tidak bisa diandalkan dalam urusan seperti ini.
"Pak!" Pekikku.
"Apa?"
"Bapak jahat banget sih! Saya kan bilangnya 36cm. Kenapa Bapak belikan saya yang ini?" protesku.
"Memangnya kenapa?"
Memangnya kenapa pala Lo!
"Saya bilangnya 36cm Pak, 36cm! Bapak bisa baca nggak sih!"
"Yang 36cm kata kasirnya kosong. Jadi saya belikan yang ukuran lebih,"
"Tapi nggak gini juga Pak. Kenapa Bapak belikan saya pempers lansia?"
"Itu yang ukuran paling besar." belanya.
"Bapak! Kenapa nggak tanya kasir? Jangan bilang malu? Kalo gini kan saya yang repot. Lain kali Bapak harus tau edukasi urusan istri begini. Saya kan jadi emosi sama Bapak."
Pak Jefri menghela napas, "Ya sudah, ke rumah sakit aja sekarang!"
"Ya terus saya pakek Pampers ke rumah sakit?"
"Nggak usah banyak ngomong! Nanti gantinya disana aja."
"Nggak mau! Bapak yang bener aja. Saya mau disini. Nggak mau kemana-mana."
"Wajah kamu pucat, kamu jangan banyak membantah saya."
"Saya nggak mau! Nanti siang juga udah sembuh."
Pak Jefri menghela napas kasar. Ia lantas menekan-nekan layar ponselnya untuk memanggil salah satu dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi.
"Jangan tidur! Dokternya mau kesini." ucapnya ketus memperingatkanku untuk tidak tidur lagi.
"Siapa yang mau tidur sih?"
"Minum! Habiskan!" perintahnya seraya menyodorkan segelas air penuh dalam gelas.
Aku lantas meminumnya sedikit. Rasanya tidak enak sama sekali. Padahal cuma air putih.
"Saya bilang habiskan ya habiskan!"
Maksa mulu Lo Badak! Bikin darah tinggi makin naik aja.
"Saya ke bawah dulu. Dokternya sudah ada di depan." ucapnya seraya beranjak dari duduknya dan berjalan keluar kamar.
Aku menghela napas kasar. Lagi pula aku juga sudah biasa nyeri seperti ini kalau menstruasi. Kenapa Pak Jefri ribet sendiri? Panggil dokter segala. Mentang-mentang banyak kenalan dokter.
Cklek!
Pak Jefri masuk ke kamar lagi. Dan di sampingnya sudah ada seorang dokter perempuan berusia kira-kira empat puluh tahunan.
"Istrinya kenapa Jef?" tanya dokter tersebut.
"Tanya sendiri ke orangnya saja Dok," jawabnya seraya melirikku tajam.
Dokter tersebut terkekeh pelan. Ia mulai berjalan mendekatiku yang masih terbaring di ranjang, "Yang nyeri yang mana mbak?"
"Saya cuma nyeri menstruasi saja, Dok!" ucapku sembari masih memegang perutku yang terasa kram.
Dokter perempuan itu terkekeh pelan lagi. Ia mulai memeriksaku, "Ya, tidak apa-apa. Sementara saya kasih resepnya. Nanti ditebus di apotik. Kalau ada keluhan-keluhan aneh dan tidak wajar seperti biasanya. Langsung periksa ke rumah sakit saja ya?"
Aku mengangguk patuh. Aku mendelik ke arah Pak Jefri. Sudah kuduga kan? Aku hanya nyeri menstruasi biasa pada umumnya. Pak Jefri saja yang terlalu berlebihan memanggil dokter ini dokter itu.
"Bibirnya kenapa pucat, Dok?" tanya Pak Jefri pelan ke arah dokter. Tapi aku masih bisa mendengarnya.
"Tidak apa-apa Jef, saya sudah berikan resep. Obatnya diminum yang teratur."
"Oh iya, memangnya belum isi ya?" tanya dokter tiba-tiba. Sorot mata dokter menatapku dan menatap Pak Jefri secara bergantian.
"Maksud saya, istri kamu belum hamil Jef?" tanyanya ke arah Pak Jefri.
"Be-belum Dok," jawabnya singkat seraya melirikku tajam.
"Saya doakan cepet isi ya? Istrinya di manja Jef, ketika menstruasi begini memang hormon seseorang bisa berubah kapan saja. Ya kamu sebagai suami harus paham. Jangan buat istri tambah semakin stress."
Dengerin tuh apa kata Dokter! Jangan bikin orang stress mulu. Sekali-kali manjain istri beliin album gitu. Jangan bikin darah tinggi naik terus.
"Kapan ini mulai ikut program hamil?" tanya dokternya lagi.
Hah?
Aku dan Pak Jefri membulatkan mata sempurna saat mendengar pertanyaan dari dokter tersebut. Gara-gara Pak Jefri, dokter jadi bahas yang tidak-tidak. Lagi pula aku masih kuliah.
"Secepatnya Dok," jawab Pak Jefri.
Secepatnya pala Lo Badak! Gue masih kuliah.
Bersambung...
Malang, 9 Juli 2020
🐻🐻🐻
Maaf kemarin belum sempat update soalnya nggak ada ide sama sekali. Sebagai gantinya aku bikin part panjang.
Makasih banyak udah nungguin cerita ini update. Makasih udah vote dan komen. Makasih juga udah follow. Aku updatenya nggak tentu ya jamnya. Soalnya juga nyari bahan buat nulis part selanjutnya. Makasih banyak udah nungguin pokoknya.
Love you all dari Pak Jefri 🥰
See you next chapter.
Abaikan typo bertebaran!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top