BAGIAN 10 - PINDAHAN RUMAH
"Pak, lampunya dinyalain aja." ucapku membangunkan Pak Jefri yang sudah tidur di sampingku. Aku paling tidak suka tidur dengan lampu mati. Sial, tapi usahaku untuk membangunkan Pak Jefri tak berhasil.
"Pak, lampunya nyalain," panggilku lagi seraya menggoyang-goyangkan lengan kanan Pak Jefri agar segera bangun dan mau menyalakan saklar lampu kamar.
"Gak," jawabnya singkat dan masih memejamkan matanya.
"Nanti kalau Bapak grepe-grepe saya lagi bagaimana?"
"Gak usah banyak ngomong. Cepetan tidur!" perintahnya lagi.
"Pak tapi saya takut lampu dimatiin begini. Nanti kalo tiba-tiba di samping saya ada genderuwo bagaimana?"
Pak Jefri mulai beranjak dari tidurnya dan menatapku tajam, "Maksud kamu saya genderuwo?"
Salah ngomong gue!
"Bu-bukan gitu-"
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku Pak Jefri langsung memotongnya, "Cepet tidur!" Ia kembali merebahkan tubuhnya di sampingku seraya tangan kanannya ia tekuk di atas kepala.
"Pak, lampunya nyalain. Saya nggak berani." Aku masih berusaha membujuk Pak Jefri agar mau menyalakan saklar lampu yang ada di samping pintu. Kalau aku yang menyalakan saklar lampu, aku takut belum sampai menyalakannya ada hal-hal aneh di belakangku. Tidak-tidak, tidak usah dibahas yang itu.
Pak Jefri beranjak bangun lagi dan melirikku tajam, "Tidur dengan lampu nyala itu tidak sehat."
"Kayak bapak tau aja," cibirku.
"SAYA DOKTER!" teriaknya sedikit kencang ke arahku.
"Ya yang bilang bapak tukang jagal sapi siapa?"
Pak Jefri menatap ke arahku dengan tajam lagi dan lagi. Bisa-bisa mata Pak Jefri pindah ke kaki. Ia kemudian mendekatkan tubuhnya ke arahku, "Kalau kamu masih tetep membantah. Saya akan-"
Belum sempat Pak Jefri melanjutkan kalimatnya, aku langsung mendorong tubuh Pak Jefri menjauh. Aku begidik ngeri melihat tatapan Pak Jefri. Takut tiba-tiba Pak Jefri hilang kendali. Jangan sampai! Aku langsung menarik selimut menutupi semua tubuhku. Bodo amat dengan ancaman Badak Liar. Dikit-dikit ngancem, dikit-dikit ngancem.
🌸🌸🌸
"Cepetan!" seru Pak Jefri ke arahku yang masih menata beberapa baju dan barang-barang untuk aku pindahkan ke rumah Pak Jefri. Sebenarnya aku bosan pindah-pindah. Sebelum menikah dengan Pak Jefri aku susah payah memindahkan barangku dari kos-kosan ke rumah Tante Rizka. Lalu sekarang, baru menikah satu hari, Pak Jefri menyuruhku pindah lagi ke rumahnya.
"Cepetan!" serunya lagi karena aku tak menanggapinya tadi.
Bener-bener gak sabaran banget jadi orang!
Aku berdecak sebal. Berdecak dalam hati karena kalau aku berdecak di depan wajahnya pasti ia akan melakukan hal-hal ancaman yang no worth it sama sekali. Baru sehari menikah rasanya ingin pindah ke Pluto aja.
"Cepetan! Saya ada kerjaan banyak di rumah sakit." ucapnya lagi.
Aku menghela napas kasar, "Bapak bisa sabar gak! Saya lagi kemas-kemas ini. Nggak bantuin, protes mulu." cibirku ke arah Pak Jefri yang sedang memasang dasinya. Padahal kalau dilihat dia juga belum sepenuhnya selesai kemas-kemas. Ia malah baru selesai memasang dasi yang mengalung di lehernya. Jangan tanyakan kenapa tidak istri yang memasangkan dasi untuk suaminya! Bukannya aku tidak bisa memasang dasi, aku tidak mau nantinya tiba-tiba tanganku tanpa kendali mencekek leher Si Badak karena kesal dengannya.
"Ya makanya cepetan!" serunya dengan nada ketus.
Lelang suami bisa nggak sih!
Aku segera memasukkan beberapa barang yang akan aku bawa ke rumah Pak Jefri. Barangku sebenarnya hanya sedikit. Soalnya beberapa barang ada di kosku. Mungkin nanti siang aku juga akan memindahkan barang-barang yang ada di kosku.
"Sudah apa belum?"
"Sudah Tuan Raja,"
"Ayo turun!" perintahnya. Aku mengikuti Pak Jefri turun dari lantai dua kamarnya. Ia membawa tas ransel. Sedangkan aku membawa tas ransel kecil dan tas tengteng berukuran sedang. Tante Rizka sudah menunggu di bawah. Sedangkan Abinya Pak Jefri tidak di rumah. Ia sedang ada urusan di pesantren miliknya.
"Ayana, kalau ada waktu luang main kesini ya? Kalau bosan di rumah kesini aja." pintanya.
"Iya Umi,"
"Kalian hati-hati ya?"
Aku dan Pak Jefri mengangguk. Kemudian mencium punggung tangan Tante Rizka secara bergantian.
Pak Jefri memasukkan ransel dan tasku ke bagasi mobil. Dan aku masuk terlebih dahulu ke dalam mobil. Selang beberapa menit, Pak Jefri menyusul masuk ke dalam mobil.
Pak Jefri mengemudi mobilnya dengan kecepatan rata-rata. Jarak kampusku dan rumah sakit tempat kerja Pak Jefri satu arah. Jadi ia tidak perlu putar balik untuk mengantarku.
"Nanti saya pulang malam. Ada beberapa pekerjaan yang harus saya selesaikan di rumah sakit. Kamu jaga rumah." ucapnya tanpa melirikku dan masih fokus menyetir.
"Oke! Saya izin main ke kosan Karin ya Pak,"
"Kayak anak kecil," cibirnya.
Aku berdecak sebal saat Pak Jefri mencibirku, "Ya emang saya masih kecil, Bapak udah tua."
Mampus, Salah ngomong nih gue!
Pak Jefri menoleh ke arahku. Ia menatapku dengan tatapan tajam. Tatapannya tak terima saat aku mengatakan 'ia sudah tua'.
Padahal 'kan emang bener dia tua. Aku dan Pak Jefri terpaut jarak 8 tahun. Kalau dilihat dari umur Pak Jefri SD, gue baru lahir, cuy!
"Maksud saya, Bapak lebih dewasa." koreksiku.
Dreet...dreettt....dreett...
Suara ponselku berdering menandakan terdapat satu pesan masuk. Aku lantas membukanya.
Rafi ketua tingkat
Ay, kelas Bu Agni libur. Kasih tau grub kelas ya? Gue nggak ada paketan makanya gue sms lo.
Bajilak! Nyesel gue mandi. Tau gitu kan masih rebahan di rumah. Nggak ribut rebutan kamar mandi sama Badak.
"Pak, anterin saya ke kosan Karin sekarang aja." pintaku ke arah Pak Jefri.
"Kamu mau bolos?"
Bolos bolos pala lu!
"Kelas hari ini libur Pak. Nanti barangnya nitip taruh mobil Bapak dulu aja. Kalau Bapak udah pulang, saya bantu pindahkan."
"Jangan lama-lama."
"Apanya?"
"Mainnya."
"Et dah buset! Bapak kangen saya ya?"
"Saya nggak mau direpotin jemput kamu."
"Lagian, nggak usah dijemput juga nggak papa. Saya bisa naik kendaraan umum."
Tiba-tiba Pak Jefri menginjak rem secara mendadak yang membuat kepalaku sedikit terbentur dashboard mobil. Ia lantas menatapku tajam, "Kalau begitu sekarang saja kamu naik kendaraan umum."
Ye, ngambek lagi nih si Badak!
"Becanda Pak, Bapak jangan gitu dong. Nanggung kan kalau saya naik kendaraan umum. Lagian kosan Karin udah mau sampai."
Nikah sama Badak itu harus ektra sabar. Umurnya aja yang gede tapi tingkahnya sebelas dua belas sama anak TK. Setiap hari bikin darah tinggi mulu. Kalau omongannya dibantah suka ngancem. Giliran aku yang bicara dia selalu bantah. Kan gak adil! Selalu tertindas.
"Turun!"
"Lah! kosannya kan masih 3 rumah lagi Pak. Kalau begini kan saya jalan kaki jadinya."
"Jalan kaki sehat buat kamu yang nggak pernah olahraga."
Olahraga ya olahraga, tapi nggak gini juga bego!
Aku turun dari mobil Pak Jefri dengan raut wajah yang tidak bisa didefinisikan. Kesel, pengen marah, pengen jambak, pengen tebas kepalanya Si badak. Stok kesabaran cuma dikit udah dirampas pak Jefri pagi-pagi begini.
Aku terpaksa berjalan sampai ke Kosan Karin. Pelarianku ketika tidak ada kelas selalu kesini. Meskipun disini juga gak ngapa-ngapain. Tapi setidaknya ada seseorang yang membuatku nyaman untuk bercerita keluh kesal.
"Rin, bukain pintunya woi gue di depan!" Teriakku saat sudah sampai di depan kamar Karina.
"Iya bentar," serunya.
"Kenapa lu kesini? Kelas libur?" tanyanya ketika melihatku ada di depan pintu.
"Iya, gabut gue. Daripada berantem mulu sama Pak Jefri mending kesini dah rebahan di kasur Lo."
Aku masuk ke kamar Karina dan merebahkan tubuhku di kasurnya. Ah, rasanya ingin mendinginkan kepalaku disini setelah adu mulut dengan Badak liar.
"Gimana semalem?" tanya Karina tiba-tiba.
"Gimana apanya?"
"Itu...."
"Apaan?"
"Ah masak Lo nggak tau rutinitas pengantin baru?"
"Otak Lo lama-lama gue colok,"
"Santai atuh Neng! Eum .... Gimana sih Lo kok bisa tiba-tiba nikah? Lo hutang cerita ke gue,"
Aku melirik sekilas Karina yang sedang duduk di meja belajarnya seraya tangannya asyik memainkan ponselnya, sedangkan aku tidur di kasur miliknya, "Gue awal ngerti Pak Jefri karena kebetulan dia Pemateri proker sosialisasi gue di KKN. Taunya pas gue kelar KKN. Tiba-tiba ada yang telfon gue, ibu-ibu. Gue kira ibu kos. Ternyata temen emak gue. Dia nyuruh gue ke rumahnya. Yaudah lah ya gue ngikut aja. Kan siapa tau penting. Taunya pas gue ke rumahnya. Temen emak gue ternyata emaknya Si Badak. Eh maksud aku, Emaknya Pak Jefri."
"Alur hidup gue dah kayak sinetron aja. Rencana nikah sama orang yang gue suka nyatanya gue kayak sinetron. Kejebak nikah perjodohan begini."
"Kok Lo nggak nolak?"
"Kalau urusan yang melibatkan Mama, gue gak bisa nolak. Sekalipun sebenernya gue pengen pindah planet karena berantem sama Si Badak."
"Emangnya Pak Jefri orangnya gimana?"
"Lo mending gak usah tau deh, kalau gue ceritain disini bisa-bisa barang-barang yang ada di kosan Lo gue obrak-abrik."
"Tapi kan Pak Jefri cakep, tajir, dokter, paket combo. Kurang apalagi? Udah kayak novel-novel romance. Kentang kayak Lo dapetnya yang paket combo."
"Paket combo lu kira Mekdi,"
"Lo kan udah nikah, kok nggak panggil Mas atau Hubby, gitu? Malah manggilnya masih Pak."
"Hubby Hubby pala Lo. Gue juga heran, orang-orang kalau manggil suaminya pakek sebutan Mas kok bisa romantis yak? Gue manggil Pak Jefri pakek sebutan Mas yang ada gue kayak manggil Mas-mas batagor. Ya, makanya gue manggil dia Pak aja."
Dreettt...dreeett....dreeettt
Suara dering pesan dalam ponselku berbunyi. Aku mengecek pesan yang masuk. Raut wajahku berubah ketika membaca nama pengirim pesan.
Ganggu orang lagi ghibah aja Lo!
"Siapa Ay? Tumben room chat Lo rame?" tanya Karina.
Jefri Badak bercula lima
Jangan kebanyakan main! Saya tidak jadi pulang larut. Jam 2 siang saya pulang. Kalau sampai kamu belum pulang. Barang-barang Kpop kamu saya bakar.
"Kemakan omongan Lo sendiri kan sekarang, dulu ngatain gue bucin sama pacar gue. Sekarang Lo sendiri yang bucin, kan?" seru Karina ke arahku. Ia sedikit mencibirku. Karena aku tak menanggapi pertanyaannya tadi.
Aku menatap tajam ke arah Karina, "Bucin apanya Bego! Nih si Badak ngancem lagi." Aku memperlihatkan pesan singkat yang di kirim Badak ke arah Karina.
Karina terkekeh melihatku memaki-maki Pak Jefri, "Ngakak banget gue, Seorang Ayana yang mendapatkan predikat jomblo dari lahir sekalinya nikah dapatnya Badak bercula lima."
"Sialan Lo Rin,"
"Bales gini aja, iya suamiku sayang. Cepetan!"
"Mual gue manggil sayang ke Badak." Aku memutuskan untuk membalas pesan Pak Jefri.
Ayana Istri Sehun
Iya Pak.
"Lo bales apaan?"
Aku menunjukkan ponselku ke arah Karin. Karin mengerutkan dahinya saat membaca jawaban pesan yang sangat singkat yang aku kirimkan ke Pak Jefri.
"Kok cuma gitu sih?"
"Ya terus mau gimana?
"Sini gue ajarin biar Pak Jefri makin klepek-klepek sama Lo,"
"Nggak! Lo ngajarinnya sesat. Yang begini nggak perlu diajarin gue."
Dreett....dreett...dreett...
Saat ini giliran ponsel Karina yang berdering. Aku melirik sekilas. Oh, ternyata panggilan telepon dari Aldo--Pacar Karina.
"Bentar ya, gue angkat telfon dulu." seru Karina dan kemudian keluar kamar untuk mengangkat telfon. Kalau Aldo menelfon Karina. Tandanya, aku akan menjadi patung pancoran yang ada di kosan Karina. Mau curhat sampai berbusa, meskipun telinga Karina terlihat menyimak curhatanku, tapi tetap saja pikiran Karina akan terfokus pada layar ponsel miliknya. Sudah dipastikan seperti itu.
Bersambung....
Malang, 1 Juli 2020.
🌸🌸🌸
Ini udah panjang yak? Oke selamat membaca. Aku bingung mau nulis apaan tadi. Nggak ada ide sama sekali.
Terima kasih sudah vote terus komen terus follow juga. Sampai jumpa besok-besok ya kalau aku nggak mager kayak tadi pagi wkwkwk abaikan typo gaesss aku khilaf malam-malam wkwkwk
See you.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top