Special Part! (Zack POV)
Part ini sengaja aku munculkan sebagai hadiah untuk para pembaca atas perayaan sudah setahun semenjak cerita Tetanggaku pertama kali ditulis.
Semoga isinya tidak mengecewakan.
Happy reading!
(Btw, ini republished, ya)
. . .
"Satu tahun." Aku menggumam seraya memperhatikan tanggal yang sengaja aku lingkari spidol hitam di kalender, setelah itu menoleh ke ranjang. Pada sosok yang tengah tertidur lelap, meringkuk di balik selimut yang bahkan tak berhasil menutupi setengah dari tubuh telanjangnya.
Ah, sial. Aku tidak mau sampai membuatnya kelelahan lagi, tetapi bagian tengah tubuhku langsung saja mengeras tanpa dapat dicegah. Sebaiknya aku melakukan kegiatan lain untuk menyenangkannya ketimbang harus mengulang lagi momen bercinta yang tak terhitung kali telah kami lakukan.
Namun, setibanya di dapur aku tidak tahu harus memulainya dari mana karena memang selalu Charlie yang mengacak-acak isi dapur dan menyiapkan menu makanan. Sekarang sebuah pemikiran betapa aku hanya terlalu mengandalkan nafsu dan tak pernah membantunya sedikit pun membayang. Membuat aku merasa belum bisa menjadi sosok kekasih terbaik yang sering kali Charlie bangga-banggakan. Pun, para teman gadisku juga pernah mengeluh. Memintaku untuk tidak terlalu membuat Charlie repot lantaran dia sering sekali mengantarkan makanan dan membereskan kamar apartemenku walau sedang lelah.
Aku menaruh telur kembali ke lemari pendingin. Ganti mengambil roti tawar yang lalu mulai aku masukkan ke alat pemanggang, setelah itu membasuh muka.
Ada satu hal yang tak pernah Charlie ketahui tentang aku. Diriku yang tidak pernah bisa berhenti terlalu banyak memikirkannya. Semenjak kami pertama kali bertatap muka dan aku menyaksikan ekspresi tak biasa di wajahnya. Senyum canggung dan suara tergagapnya yang bagiku tampak lucu ketika itu. Juga pengakuan darinya yang membuatku nyaris gila hingga akhirnya nekat menyatukan hubungan kami.
Di mataku Charlie Anderson adalah sosok manis yang luar biasa. Sekalipun dia pernah mengaku tak cukup percaya diri diperkenalkan sebagai kekasihku, beberapa kali merasa kecewa sebab takut tak cukup membuatku puas di atas ranjang. Sebaliknya, aku lebih banyak dihantui pikiran demikian.
Aku hanyalah seorang mahasiswa biasa. Yang bagi Charlie tampan, sempurna, mampu melakukan segalanya. Padahal tanpa dia, aku tidak yakin aku mampu. Jika bukan berkat dukungan darinya, aku pasti sudah memutuskan untuk berhenti kuliah sebab lelah.
Aku lelah menghadapi banyak sekali godaan di luar sana. Tidak ingin sampai membuat Charlie sakit hati jika sampai memergoki aku tengah dihadang dan dipaksa meladeni beberapa tindakan tak senonoh orang-orang yang mengaku menyukaiku. Jennifer satu kali pernah mengadukannya, sekaligus memprotes lantaran aku kurang tegas dan tidak bisa marah.
Ya, benar. Aku tidak bisa marah. Tak pernah satu kali pun dalam hidup aku pernah mengamuk, meluapkan murka bahkan berteriak sampai membuat segan semua orang. Aku tidak bisa. Sifat mommy menurun padaku selaku putra bungsunya. Dan hal itu yang membuat aku sering kali dianggap ... lemah.
Aku saja kalah dari Charlie. Meski sosoknya pendiam dan pemalu, dia pernah satu kali marah padaku dan itu sungguh memori yang tak enak untuk diingat.
Waktu itu hari natal.
"Aku akan membuat kue untuk kita. Apa kau akan pulang ke apartemen malam ini?"
Aku yang saat itu tengah sibuk di acara keluarga besar di rumah hanya mengiyakan tanpa pikir panjang. "Aku akan datang."
"I love you, Zack. Merry Christmas."
"Merry Christmas, Sweetheart. I miss you. And I love you too."
Tepat setelah panggilan ditutup dan aku baru menyadari jika mungkin kini Charlie berada di apartemen seorang diri lalu berniat menghubunginya lagi, daddy dan mommy justru meminta bantuanku untuk menyiapkan pesta barbeque yang berlangsung sampai larut malam. Ponselku kehabisan baterai. Membuat aku ... melupakan Charlie satu malam itu.
Esok paginya sewaktu aku pulang dan membuka pintu apartemen, aku disambut wajah sembab Charlie. Dengan kue yang tampak lezat di meja, tak tersentuh.
"Aku pikir kau akan datang," ucapnya seraya berjalan menuju ke pintu.
Aku mencegahnya. "Astaga, Charlie. Aku ... lupa. Maaf, aku--"
"Setidaknya kau bisa memberitahu jika kau tak bisa datang, kan?" bentaknya. "Aku meninggalkan acara keluarga hanya supaya dapat merayakan natal bersamamu, Zack. Aku sangat menantikan hari ini sejak lama. Aku senang kau menyanggupi. Tapi, kenapa kau ... melupakannya begitu saja."
Aku hendak memeluk dan menenangkan amarahnya, tapi tak berhasil. Charlie mendorongku menjauh, berlari pergi dan hingga tahun baru tiba, tak kunjung kembali ke kamar sebelah. Ponselnya sengaja dimatikan. Seolah-olah dia menghukumku. Dan jelas itu berhasil. Karena aku sadar sikapku memang keterlaluan. Seharusnya malam itu aku menghubungi menggunakan telepon rumah, lagi pula aku hapal nomor Charlie. Namun, aku dan sifat pelupa ini tak terpikirkan hal itu sama sekali.
Hingga akhirnya aku kembali nekat demi Charlie, dengan cara datang ke tempat kakaknya bekerja agar aku bisa menemuinya. Sebab aku tahu dia pasti akan lari ke sana alih-alih ke kediamannya. Dan dugaanku benar.
"I'm sorry."
Charlie tak menanggapi ucapanku. Hanya bergeming dan membiarkan Catharine kakaknya, memperhatikan dalam kebingungan.
"Charlie, siapa dia? Temanmu?"
Charlie tak pernah menceritakan apa-apa rupanya.
Charlie menggandeng tangan Catharine. "Aku tak mengenalnya. Ayo, kita pergi."
Apa dia masih marah? Apa yang harus aku lakukan supaya dia bersedia bicara denganku lagi?
"Aku kekasih adikmu, Cath."
Terdengar lancang, tapi berhasil membuat langkah Catharine terhenti, sedangkan Charlie menoleh dengan sorot shock menatapku.
"Aku mohon, izinkan aku bicara dengannya. Berdua."
Catharine memandangku dan adiknya secara bergantian dengan sorot tak percaya. "Apa itu benar, Charlie?" Pundak Charlie ditepuknya pelan. "Mengapa kau tak pernah memberitahu aku apa pun?" Lalu tanpa aku sangka dia tersenyum. "Bicaralah padanya. Kau tidak lihat wajah pemuda itu berantakan karena terlalu banyak memikirkanmu? Beri dia kesempatan. Aku tidak suka adikku memperlakukan kekasihnya dengan cara tak dewasa begini. Hadapi masalahmu."
Hari itu, kami berdamai. Dan sebagai gantinya, Catharine mengundang aku makan malam ke rumah, sekaligus memperkenalkan aku sebagai kekasih adiknya pada kedua orang tua mereka. Anehnya, tak ada reaksi terlalu mengejutkan dari semua orang.
"Aku tahu Charlie lebih banyak memperhatikan para laki-laki ketimbang gadis. Jadi aku tidak akan kaget bila hari ini akhirnya datang," komentar Mrs. Anderson santai.
Aku tersenyum malu, menggenggam tangan Charlie di bawah meja dan mengusapnya. "Kalian memiliki sosok putra yang menawan. Aku beruntung bisa mengenalnya."
Catharine menjerit dan langsung mengambil foto kami berdua saking gemas. Sedangkan ibu dan ayahnya hanya tertawa.
"Apa tidak apa-apa?" tanya Charlie yang tengah duduk di teras rumahnya berdua denganku, menikmati musim dingin yang masih berlangsung.
"Kenapa?"
Charlie menatapku. "Apa tidak apa-apa ... jika keluargaku tahu?"
Aku membawanya mendekat, memberikan ciuman ke bibirnya cukup lama sebelum memberi jawaban. "Cepat atau lambat semua orang akan tahu. Karena aku tidak pernah berpikir akan putus atau melepaskanmu, jadi tentu tidak apa-apa."
Akhirnya dia tersenyum. Gantian memberi ciuman, lalu memelukku. "Maaf untuk yang kemarin. Seharusnya aku lebih banyak mengerti tentangmu."
Aku mengusap rambutnya. "Tidak masalah. Meski aku berharap kau tidak akan begitu lagi. Aku tidak sanggup jika kau marah dan menjauhiku, Sayang."
Charlie sekadar mengangguk.
"Jadi, bisa kita ke kamarmu sekarang? Aku sudah tidak tahan."
Malam itu, aku dan Charlie melakukan percintaan yang cukup panas dan sunyi karena tidak ingin sampai didengar oleh orang rumah. Membuat aku kian sadar betapa aku sangat mencintainya.
Dia adalah salah satu bagian paling penting dalam hidupku.
"Aku sungguh mencintaimu."
Charlie urung memasukkan roti ke mulutnya mendengar pernyataan cinta yang mendadak itu. Wajahnya yang masih tampak kusam dan lelah mengernyit, sebelum perlahan menunjukkan senyuman.
"Aku juga mencintaimu, Zack."
Aku berjalan menghampiri, kemudian berjongkok di sisi kursi seraya menggenggam sebelah tangannya. "Maksudku, happy first anniversary, Sweetheart."
Kedua mata Charlie membulat. "Ini ... perayaan hari jadi kita?"
Aku menggangguk. "Ya!"
Rautnya tampak kecewa. "Maaf aku lupa. Aku ... tidak menyiapkan apa-apa."
Aku terkekeh. Mengusap wajahnya, sesudah itu mendaratkan ciuman lembut ke pipinya. "Kau adalah hadiah terbaik yang aku miliki sepanjang satu tahun ini. Aku tidak butuh sesuatu lainnya. Cukup dirimu," bisikku bersungguh-sungguh.
Kedua mata Charlie berkaca-kaca. "Kau yang terbaik, Zack."
"Begitu juga denganmu, Sayang." Aku mencium bibirnya. "Aku ingin kau untuk terus ada di sisiku. Jangan pernah pergi."
.
"Ah, ah! Zack!"
Di bawah guyuran shower, tubuh Charlie menempeli dinding sambil aku gendong, sementara aku membuat tubuh kami semakin basah dan basah lagi. Aku mendorong masuk tanpa henti, tanpa mampu menahan diri. Desahannya, suaranya ketika menyebut namaku, memintaku menambah lagi kenikmatan untuk kami berdua selalu sukses membuatku semakin gila.
Charlie membuka mulut, membiarkan lidahku masuk dan bergoyang bersama indra pengecapnya yang lembab. Mengerang, meremas tengkukku kencang lalu serta-merta memekik lirih.
"Ini sangat ... nikmat, Zack. Angggh! Jangan berhenti."
Seolah-olah aku bisa. "Tidak akan." Aku menggeram, mencengkeram bokong Charlie lebih keras seraya menambah tempo tusukanku ke lubang bagian bawahnya. "Ah, sial. Aku ... akan keluar."
Charlie lalu berbisik, "Biarkan aku ... menelannya."
Aku tersenyum. Salah satu alasan mengapa aku sangat menyukainya sebagai kekasih sekaligus pasangan bercinta hingga detik ini adalah karena Charlie tak pernah ragu mengungkapkan apa yang dia mau. Membuat kami bisa dengan mudah saling memahami dan lebih leluasa memuaskan diri satu sama lain.
Aku mengeluarkan ereksi perlahan dari bokong Charlie, kemudian menurunkan tubuhnya. Dia berlutut di bawah, melepaskan kondom, setelah itu melakukan oral beberapa detik lamanya yang seketika memancing spermaku menyembur. Aku mendesah, membiarkan seluruh air mani masuk memenuhi mulut Charlie yang menerimanya dengan senang hati. Begitu selesai menelan, dia menunjukkan senyuman menawan.
"Nikmat sekali."
Lihat? Bagaimana mungkin aku tidak tergoda jika dia terus seperti ini?
Aku menariknya mendekat, mencium bibirnya dalam-dalam seraya memainkan puting dada dan meremasi bokong seksinya.
"Zack?"
"Hm?" Aku menggigit pelan lehernya, sengaja meninggalkan bekas di sana.
"Ayo, sekali lagi."
Tiga kata itu berhasil membuat tegang kembali penisku yang baru saja melemas.
.
"Kau lelah?"
Dalam gendonganku, Charlie menggeleng. "Aku senang setiap kali bercinta denganmu. Jadi meskipun lelah, aku berusaha untuk tidak memikirkannya."
Aku tertawa. Membaringkan tubuh Charlie perlahan ke ranjang, setelah itu menatapnya lekat. "Tidak heran kau selalu kuat menerima serangan dariku."
Dia melirik ke bawah. "Tentu saja. Karena aku suka saat kau mulai memasukannya ke dalam."
Aku menerjang Charlie, menciumi lehernya gemas dan membuatnya tertawa geli. "Kenapa kau semakin hari semakin menggoda? Jika begini terus, aku bisa-bisa mencintaimu sampai mati."
Namun, mendengar kata-kataku sendiri membuat aku teringat sesuatu.
Melihat perubahan raut wajahku, Charlie seakan-akan menyadari sesuatu. "Ada apa?"
Aku mengusap dahinya, tersenyum masam. "Sejujurnya ...." Aku meneguk ludah sebelum melanjutkan. "Aku ingin minta maaf."
Dia mengernyit. "Kenapa?"
"Kita sudah satu tahun menjalin hubungan, tapi dalam kurun waktu satu tahun itu aku belum bisa menjadi kekasih yang baik bagimu. Maksudku, aku ... aku banyak berbuat salah. Tidak jujur. Sulit menolak keadaan yang tak diharapkan terutama ketika berada di kampus."
Tiba-tiba Charlie terkekeh. "Apa ini tentang semua orang yang masih suka menyentuhmu sembarangan dan memaksamu meladeni mereka?"
Aku gantian mengernyit. "Bagaimana kau tahu?"
Charlie bangun, beralih duduk di atas pangkuanku. "Aku tahu. Jennifer sudah menceritakan semuanya."
Kedua mataku membelalak.
"Aku hanya menunggu sampai kau memberitahuku melalui ucapanmu sendiri. Tadi." Dia mencium pipiku. "Dan aku senang mendengarnya."
Aku tak tahu harus bereaksi bagaimana. "Apa kau ... tidak marah?"
Charlie menggeleng cepat. "Tentu tidak. Marah kenapa? Selama ini kau tidak berselingkuh, tidak juga bermain-main denganku atau orang lain, pun tidak pernah menganggap hubungan ini sebagai lelucon belaka. Tak ada alasan bagiku kecewa atau cemburu." Dia memberi senyum penuh pengertian. "Seperti yang kau katakan, kau membutuhkan aku dan itu lebih dari cukup. Aku setuju, Zack. Itu pun cukup bagiku."
Aku memeluknya. "Terima kasih. Aku senang bisa memilikimu."
Dia mencium daun telingaku. "Karena kau memang milikku."
Miliknya yang paling berharga.
Aku sungguh menyukai seluruh bagian dari diri Charlie, tetanggaku tercinta.
---TAMAT---
AAA. Maaf ini cerita bonusnya malah kurang memuaskan. Ternyata susah juga nulis cerita homo lagi setelah sekian lama minggat dari dunia ghaib. 😂
Tapi tetap, semoga kalian semua suka.
Sampai jumpa di tulisanku yang lainnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top