[37] Separate
"Gimana tadi kuliahnya? Kamu udah beberapa hari absen. Pasti agak ketinggalan materinya, ya?"
Gue menoleh kaget yang tiba-tiba aja Lay membuka suaranya duluan tanpa ragu ditengah-tengah heningnya suasana mobil.
"H-hah? Eo-oh i-iya, lumayan," gue memandangnya sedikit bingung sambil menggaruk-garuk kepala gue canggung.
"Mau makan? Aku lagi mau nyoba ayam saus keju di richeese."
Gue nggak menjawab, dan membuang muka tanpa sadar. Memandangi jalanan di luar sambil berperangan kecil dengan semua pikiran-pikiran yang udah muncul di otak.
Kenapa Lay malah ramah gini ke gue? Harusnya dia nggak peduli dong dengan gue?
Dan kenapa juga tau-tau dia jemput gue pulang ngampus? Darimana dia tau gue udah mulai masuk kuliah lagi?
"Ra?"
"H-hah?"
Lay ketawa, dan gue terperangah melihat tawanya yang sedikit dipaksa. Gue tau itu bukan tawanya yang asli. Dia menyembunyikannya.
"Hah heh hoh mulu. Ayo makan. Kamu pesen sepuasnya, deh!" Lay mencubit pipi gue tiba-tiba.
Kenapa gue merasa berbeda dengan interaksi gue dan juga dia? Serasa asing dan juga aneh.
Mobil berhenti di depan bangunan rumah makan richeese yang baru aja buka. Lay tau gue lagi pengen ayam, karena sebenarnya gue jarang banget makan ayam saus keju kayak gini.
Ah, entah kenapa gue jadi kangen sama suasana pacaran kami dulu.
Gue masih enggan melepaskan seat belt. Mata gue menatap lurus ke arah bangunan di depan. Gue bisa merasakan tatapan Lay yang mengarah ke gue. "Kamu kok diem aja?" Dan dia senyum.
Rasanya sakit ngeliat Lay yang berusaha baik-baik aja kayak gini. Seakan kejadian beberapa hari lalu itu hanya angin lalu aja.
Gue menatap Lay tajam. Entah kenapa gue merasa kesel dengan tingkah sok baik-baik aja dari dia. Gue nggak mau dia sok kuat kayak gini.
"Kamu bisa nggak sih kayak biasa aja?"
Lay mengerutkan dahinya. Lalu dia menghadapkan tubuhnya ke arah gue. "Maksudnya apa?"
"Kamu! Kamu jangan pura-pura kayak gini!"
"Apa sih, Ra?"
Gue menghela napas berat. Mata gue mulai berkabut. Gue jadi merasa sedih gini ngeliat Lay yang masih aja bersembunyi di balik tubuhnya yang keliatan baik.
Kenapa gue bisa sebrengsek ini ngebiarin Lay kecewa?
"Kamu nggak usah senyum kayak gitu. Gak usah sok baik kayak gini, aku tau kamu masih kesel sama aku, kan? Lay, kamu nggak tau, ya kalo sikap kamu yang kayak gini malah bikin aku jadi tambah sedih dan merasa bersalah," kata gue pada akhirnya. Napas gue terasa sesak. Kalimat panjang gue tadi kayaknya udah menguras banyak tenaga.
Perubahan ekspresi Lay seketika membuat gue semakin merasa terintimidasi.
"Terus kamu maunya apa? Aku yang marah-marah dan nggak peduli sama kamu lagi?" Tanyanya datar.
"Bukannya kamu mau minta break? Terus kenapa kamu peduli lagi kayak gini? Jangan berpura pura baik-baik aja, Lay!"
Lay terdiam menatap gue. "Jadi kamu mau minta break beneran?"
Gue kicep setengah mati. Sebenarnya bukan itu maksud gue. Kenapa rasanya ribet banget mau ngomong aja?!
"Bu-bukan-"
"Kemarin itu aku cuma minta break aja, dalam artian kita menjauh sedikit. Tapi kayaknya," Lay membuang mukanya, dia menghela napas. Tiba-tiba aja perasaan gue jadi nggak enak. "Kamu beneran mau minta break up yang bener, ya?"
Gue langsung nangis.
Sialan, kenapa gue jadi lemah gini, sih?
Kenapa semua ucapan Lay seakan menelak gue di tempat? Kenapa gue malah jadi kayak salah bicara gini?
Gue jelas nggak menginginkan putus dengan Lay.
"Bukan gitu!"
"Terus gimana?! Kamu aja nggak bicara dan jujur sama perasaan kamu tentang Chanyeol."
Gue menatap Lay dengan terkejut. "Kenapa jadi Chanyeol?"
Lay natap gue tajam. Hati gue semakin sakit ngeliat cara natap dia. Lay nggak pernah memberikan tatapan yang seperti itu ke gue.
Tapi harusnya memang gue pantas menerima ini semua. Gue bahkan udah berjanji sama diri gue sendiri untuk menanggung semua resiko yang bakal terjadi dengan hubungan gue dan Lay.
"Aku tanya sama kamu sekali lagi, Rara. Do you like him?"
Gue terdiam lama. Dada gue masih terasa sesak. Bahkan mau natap Lay aja rasanya berat banget. Tatapan dia begitu menyakitkan buat gue.
Yang ada dipikiran gue saat ini adalah, gue nggak mau pisah sama Lay. Gue mau tetep sama dia.
Tapi, ini semua nggak bakal selesai kalo gue nggak jujur, kan?
"I like him, to be honest."
Gue berusaha buat nggak meneteskan air mata walaupun gue rasa itu mustahil.
"Tapi itu cuma berlangsung sebentar doang, Lay. Aku suka dia cuma sekedar kagum aja. Setelah itu, aku udah nggak lagi nyimpen perasaan," kata gue natap Lay langsung, berusaha meyakinkan dia.
Dia mandang gue tanpa ekspresi. Mukanya emang datar, tapi gue tahu kalo dia ngerasain rasa sakit yang amat sakit karena ulah gue.
Untuk pertama kalinya, dia memandang gue dengan ekspresi kayak gitu. Datar, dan juga.. Tatapan kecewa.
Jujur, gue menyesal. Padahal kita udah menjalin hubungan selama ini tanpa adanya pertengkaran yang berujung kayak gini.
Gue tahu semuanya tentang dia. Gue tahu kebiasaan dia kalo kecil sering makanin permen, gue tahu kalo dia suka banget foto alay tapi masih aja keliatan ganteng. Bahkan gue tahu kalo dia mempunyai trauma kecil.
Kita berdua tahu rahasia kecil kita. Kita berdua tahu semua aib yang pernah kita lakuin. We know about our story. About each other.
And he knows me so well. Like i do.
Nggak seharusnya hubungan kita berakhir cuma gara-gara kebodohan gue aja.
Gue nahan napas ketika dia semakin menatap wajah gue dalam. Tatapan menyelidik dan berusaha menelisik mata gue apakah gue bohong atau enggak.
Tapi sekali lagi. Gue coba buat nggak ngeluarin air mata walaupun itu semua gagal saat dia ngomong dengan datarnya.
"Let's break up, then. "
Gue melotot kaget. Semudah itukah? Semudah itu dia mutusin gue?
Ah, kenapa gue bodoh banget malah jujur tentang perasaan gue? Seharusnya gue nggak mengungkap perasaan gue yang sebenernya.
"Lay-"
"Sebenernya, aku bakal tetep mutusin hal kayak gini sama kamu walau kamu nggak jujur sama perasaan kamu ke Chanyeol."
Gue nangis sesenggukkan, lalu natap dia dengan frustasi. "Tapi aku udah nggak suka sama dia, Lay!"
"You did!"
Gue tersentak dengan bentakan Lay. Pertama kalinya Lay bentak gue, dan rasanya gue nggak mau mendeskripsikan gimana.
Jadi ini ya yang dibilang kalau orang sabar sekalinya marah nyakitin banget?
Lay natap gue tajam, "Kamu pikir aku bodoh dengan kalian berdua? Dari semenjak aku pulang dari China, dan makan-makan bareng di rumah kamu itu, aku udah tau kalau kamu ada apa-apa sama Chanyeol."
Gue nggak bisa menyembunyikan kekagetan gue.
Lay senyum pahit. "Tapi setelah itu aku selalu bilang ke diri aku sendiri, kamu itu nggak bakal ngelakuin hal kayak gitu ke aku."
"Tapi, yah. Aku nggak bisa maksain semuanya," Lay senyum. Kali ini bener-bener senyum manis yang selalu dia kasih ke gue.
Tapi bedanya, tatapan yang sekarang ini menyimpan kekecewaan dari dia.
Lay mengusap kepala gue lembut. "Oke, aku nggak mau sok keliatan baik-baik aja. Karena nyatanya aku nggak baik. Aku nggak mau liat kamu sama Chanyeol. Tapi, aku bisa ngatur itu semua selama kamu lebih nyaman sama Chanyeol."
Gue menggeleng-gelengkan kepala gue berkali-kali. Masih dengan nangis sesenggukkan. "Aku nggak mau. Nggak mau putus! Lay, jangan kayak gini."
"We should be!" Lay mengusap pipi gue, menghapus bekas air mata gue.
"Kamu cuma nggak mau pisah sama aku karena kamu udah terbiasa dengan aku, tapi sebenernya perasaan kamu udah berubah dan terbagi ke Chaneyol, Ra."
"I think you should know it when i can't forget all of things about you, i still wanna try to move on from how the greatest, grateful, and happiest time with you."
"You should try to find the other way to be happy with him, this time without me."
Lay mengecup kepala gue lama. Dan gue membiarkannya di sana, sambil sesenggukkan nggak berhenti. "Aku bakal tetep suka, sayang, and love all about you."
"Jadilah Rara yang ceria dan selalu cuekan walau kita udah bukan kayak dulu lagi."
🎀🎀🎀
"Pulang langsung mandi, makan, tidur. Jangan keseringan makan makanan sampah, Ra. Nanti kamu gampang sakit."
"Oh, iya. Aku minta barang-barang pemberian aku jangan dibuang, ya? Aku mohon. Siapa tau kalo tiba-tiba kangen sama mantan, kan bisa liatin aja barang-barang dari aku."
Gue natap jalanan di depan dengan kosong. Kenapa ucapan Lay itu seakan sebagai peringatan buat gue kalau sebenarnya gue udah melakukan hal fatal dengan melepaskan seseorang kayak Lay yang begitu sayang sama gue.
Kenapa dia masih begitu perhatian sama gue yang beberapa detik lalu diputusin dan udah jadi mantan?
"Ra? Kamu nggak turun? Hm?" Lay natap gue lembut. Gue lemah kalau diginiin. Akibatnya gue malah noleh ke dia dan balas tatapannya dengan memohon.
"Kamu nggak bisa tarik ucapan kamu tadi? Aku nggak mau putus."
Lay menghela napasnya. Dia membuang muka. Lalu mengambil tangan gue, diusapnya jari jemari gue dengan lembut.
Kenapa dia harus melepaskan gue kalau dia masih sayang?
Dan kenapa juga gue sempat dengan tega mengkhianati perasaan Lay?
"Perasaan kamu udah berubah, Ra. Kamu jauh lebih nyaman kalau sama Chanyeol. Aku bisa jamin itu. Mungkin selama aku di China, kalian saling mengenal lebih jauh dan semakin lama semakin nyaman satu sama lain."
Gue menggeleng-gelengkan kepala, lalu tanpa dia duga gue tarik tengkuk dia dan gue mendudukkan diri di pangkuannya.
Lay natap gue terkejut bukan main. Masalahnya ini posisi kita ambigu banget. Apalagi lagi di dalam mobil gini, gue nggak tau apakah kelihatan posisi kami kayak gini dari luar apa nggak, tapi toh ini udah di depan rumah gue.
Gue menempelkan bibir gue ke bibirnya, dengan penuh tuntutan dan terlalu terburu-buru. Gue sedikit kesal dengan Lay yang sedari tadi nggak membalas gerakan bibir gue di bibirnya.
Gue nggak tau apa yang ada dipikiran gue sekarang, tapi gue mau melakukan hal gila ini asalkan Lay bakal balik ke gue lagi.
Ya, gue egois.
Gue semakin menarik tengkuk Lay dalam, dibukalah kancing kemeja Lay satu persatu, dan gue tau ini semakin liar dan nggak baik.
Mungkin Lay udah mulai terbuai dengan gerakan gue, karena tangannya mulai mengusap punggung gue dengan lembut. Hal itu membuat gue sedikit jadi lebih gila dengan melepaskan kaos gue tiba-tiba dari tubuh gue, dan hanya meninggalkan tank top hitam ketat.
Usapan tangan Lay di punggung gue langsung terhenti dan gue terlonjak ketika dia mendorong tubuh gue menjauh sambil natap gue tajam.
"Rara! Kamu gila!"
"Nggak usah muna, kamu juga pasti mau, kan?" Entah setan darimana gue bisa semurahan ini di depan Lay. Gue kembali memajukan wajahnya ke arah gue, dan melumat bibirnya lagi.
Gue udah ngecewain dia lagi.
Lay mendorong gue lagi dan natap gue dengan pandangan nggak percaya. "Kamu bukan Rara!"
"Yes, i am!"
"No, you're not! You better end this fuckin' up or i'll do the same thing much worse than you," katanya dengan tatapan sarkas.
"Ya udah, kamu boleh lakuin apa aja ke aku asalkan kamu nggak pergi dari aku! Just fuck me up!"
"Rara!"
Plak!
Gue terdiam mematung. Teriakan dan tamparan Lay membuat gue nggak bisa berkutik. Seakan kalimat kerasnya tadi menampar gue balik ke kenyataan bahwa gue udah melakukan hal yang salah.
Bitch.
Gue langsung nunduk, mata gue mulai mengabur. Kemudian nggak berselang lama, air mata gue jatuh dan gue nangis lagi sesenggukkan.
"Aku nggak mau putus, Lay."
Lay mengusap kepala gue dan tangannya dia bawa ke pipi gue. "Maaf, maaf. Sakit, ya? Aku minta maaf."
Gue semakin nangis sesenggukkan. Rasanya capek kayak gini. Nggak bisa apa-apa selain nangis dan memohon.
Lay membawa gue ke pelukannya, masih dengan posisi duduk gue di pangkuannya. "Maaf aku udah nampar kamu, Ra. Maaf," dia mengecup kepala gue lembut. Suaranya terdengar lirih banget, mungkin dia merasa bersalah karena udah nampar gue.
Harusnya gue yang minta maaf ke dia.
Gue sudah jadi murahan. Dan itu pasti bikin dia kecewa.
"Walaupun kita udah nggak ada hubungan kayak dulu lagi, tapi aku akan tetap memperlakukan kamu kayak cewek yang paling aku sayang, Ra. You're my precious girl."
Apa ini artinya Lay masih aja nggak bisa membiarkan gue jadi pacarnya lagi?
"Aku nggak mau kehilangan kamu."
"Kamu nggak kehilangan aku. Aku masih ada di sini. Lay masih jadi orang yang pernah mengisi hati kamu. Aku nggak bakal bisa lupain kamu."
"Mending sekarang, kamu coba mikirin perasaan kamu yang sekarang. Aku yakin kalau kamu mencoba untuk mencari, kamu akan tau jawabannya kalau sebenarnya kamu itu udah suka sama orang lain."
"Bilang kalau Chanyeol jahatin kamu. Aku nggak akan segan-segan untuk hajar dia lagi. Bilang juga kalau Chanyeol ternyata nggak bisa balas perasaan kamu, karena dia bego udah ngerelain cewek kayak kamu."
Gue menatap wajahnya, dia senyum manis banget. Gue nggak bisa kalau misalnya dia terus-terusan ngasih gue senyum dia itu, rasanya hati gue ancur kalau gue memutuskan untuk merelakan dia.
Lay ngusap pipi gue, dan mengecup dahi gue lama. "Makasih ya udah jadi Rara yang disukain sama Lay."
🎄🎄🎄
Gue berjalan gontai menuju gerbang rumah setelah gue udah melihat mobil Lay menjauh dari pekarangan rumah. Gue menghela napas pelan, masih berat rasanya saat liat mobilnya itu menjauh.
Gue jadi merasa Lay memang udah pergi dari kehidupan gue. Memikirkan itu semua membuat mata gue yang udah sempat mengering menjadi lembab lagi.
Jujur gue nggak bisa menerima ini semua. Tapi gue tau, sebanyak apapun air mata yang gue keluarin, Lay nggak akan mau sama gue lagi.
Iya, sih. Gue udah ngecewain dia beberapa kali. Bertingkah murahan lagi.
Gue terisak pelan sambil berjalan lesu. Gue menyudahi acara nangis gue dan memilih untuk menatap kosong tanah yang ada di rumah gue.
Tapi kemudian, langkah gue terhenti ketika gue melihat ada sepasang kaki berhenti di depan gue. Pandangan gue memang nggak lagi memerhatikan sekitar, jadi gue cukup kaget melihat ada seseorang tiba-tiba di depan gue.
Gue mendongak, dan perasaan gue tiba-tiba tambah hancur melihat orang itu. Hati gue merasa sakit, tapi di sisi lain gue merasa senang dan lega.
Dia natap gue dengan iba. Lalu dia mendekati gue. "Lo kenapa nangis?"
Sayangnya dia tau kalo gue habis nangis. Padahal gue nggak pengen dia liat gue nangis.
Gue natap dia dalam diam, masih dengan pandangan kosong. Entah apa yang sedang gue rasakan sekarang, tapi gue malah merasa jauh lebih baik saat ngeliat dia.
Seharusnya gue marah ngeliat Chanyeol. Seharusnya gue benci dia. Seharusnya gue kesel dan muak ngeliat dia karena dia alasan yang bikin Lay putusin gue.
Tapi kenapa gue malah merasa senang dan lega kayak gini?
"Ra? Lo kenapa, hm?" Chanyeol mensejajarkan kepalanya dengan kepala gue, dia natap gue dengan lembut.
Kemudian entah apa yang terjadi, bukannya gue mukul-mukul dia dan ngatain dia, tapi justru gue malah nangis sesenggukkan lagi, kali ini tangisan gue lebih keras daripada tangisan saat sama Lay.
Chanyeol yang melihat gue nangis langsung membawa gue ke dekapannya. Diusapnya kepala gue lembut sambil mengatakan sesuatu yang menenangkan gue.
"Sstt, semuanya baik-baik aja. Ada gue."
TBC
Always vote + comment ❤️
Regards,
Regina.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top