[29] Lisa's Statement

Gue mengulurkan tangan gue sambil memberikan helm ke Chanyeol. Dia senyum kecil dan mulai nyalain mesin motornya.

Yah, walaupun kita bersikap biasa aja dan memutuskan untuk nggak terlalu dekat, tapi Chanyeol tetap yang anter gue pulang-pergi ke kampus. Itu juga yang diamanatkan sama Lay ke Chanyeol.

Iya, Lay nyuruh Chanyeol anter gue.

Dan gue pikir itu nggak seharusnya Lay lakukan. Lay salah ngambil tindakan.

Karena apa? Dengan begini, bukan membuat jarak antara kami berdua, tapi malah sebaliknya. Padahal seharusnya gue dan Chanyeol nggak perlu bertemu sesering itu. Maksud gue, gue mau kita itu hanya menjalin hubungan kayak gue sama anak-anak ampas yang lain.

Hubungan pertemanan yang biasa aja.

Iya, gue tau gue labil. Di awal gue bilang gue nggak mau ngejauh dari Chanyeol. Dan gue udah memikirkan ini beberapa kali.

Nyatanya gue nggak sanggup menerima kekecewaan yang nantinya bakal gue dapat dari Lay.

Karena gue masih sayang sama dia.

Jadi gue nggak terlalu memikirkan perasaan gue ke Chanyeol terlalu dalam. Mungkin ini adalah perasaan suka yang cuma mampir bentar doang.

Chanyeol masih natap gue, seperti menunggu gue masuk ke dalam. Dari tadi dia hanya menyalakan mesin motor tanpa berniat untuk gas motornya.

Gue yang ditatap Chanyeol langsung mengerut heran. "Lo gak balik?"

Chanyeol menggeleng polos. "Tunggu lo masuk. Sana masuk."

Dan sialnya, setiap perlakuan Chanyeol itu selalu membuat gue malu setengah mati. Gue yakin jantung gue sekarang lagi joget-joget nggak jelas.

Dengan dia yang nunggu gue dan tatap gue kayak gitu, udah ngebuat gue salting.

Ini sebenernya ngebingungin banget, deh!

Gue natap dia sinis untuk menutupi saling gue ini. "Sana ih minggat! Sok perhatian banget nunggu gue masuk."

Chanyeol bukannya kesel, malah ketawa. Sial, nggak tau aja dia gue deg-degan kayak gini ngeliat dia ketawa.

Dia ngangguk sambil senyum. "Ya udah, gue balik, Nyonya."

Gue balas ngangguk-ngangguk dengan gaya bossy sambil naik turunkan tangan gue, pose orang lagi ngusir. Chanyeol kekeh kecil lagi, habis itu dia udah menjauh dari sekitar rumah gue dengan motornya.

Sepergian dia, gue langsung menghela napas lega. Nggak tau ya kalo gue tadi nahan napas karena salting.

Bangsat emang Chanyeol.

🍊🍊🍊

Hari ini rencananya gue mau ngerjain tugas Bu Seohyun bareng anak-anak ampas, Lisa, Salsa sama Mika.

Sebenarnya gue doang sih yang ngerjain tugas Bu Seohyun. Lisa sama Mika karena beda kelas sama gue, mereka ngerjain tugas mereka yang katanya deadline malam ini.

Kalo si Salsa, nggak tau gue. Dia nggak ada kerjaan kayaknya, anak gabut. Makanya dari tadi cuma gangguin gue doang sambil mainin sedotan di gelasnya.

Iya, kita kerjain tugas di café deket kampus yang emang di sini suka ada banyak anak mahasiswa ngerjain tugas sambil ngopi.

"Bangsat, kalo bukan karena Bu Seohyun, gue ogah ngerjain tugas beginian," gerutu gue masih sambil ngetik, tapi nggak nyantai.

Lisa sedikit melirik ke gue, terus balik lagi fokus ke pekerjaannya. "Emang berapa lembar lagi?"

"Dikit, sih. Tinggal 20 lembar lagi," jawab gue dengan nada sarkas.

"Banyak itu goblok!" Celetuk Mika yang dari tadi nguping.

Mika, anak terampas yang pernah gue kenal, tiba-tiba sok perhatian sama gue dengan nanya, "Kok lo bisa sih dapet nilai C? Sebego-begonya lo juga nggak mungkin dapet nilai C. Lo tuh paling sering dapet B, A yang jarang."

Nah, inilah yang membuat gue terkadang terharu sama pertemanan kita berempat. Kita itu selalu tau apa aja tentang diri masing-masing. Kita tau semua rahasia-rahasia yang sebelumnya nggak pernah kita umbar ke orang lain.

Gue cuma mendengus sebal. "Tanya aja nih sama nenek Salsa!"

Salsa protes, "Kalian ada dendam sama nenek gue, ya?! Heran, tiap kali aja nenek gue dibawa-bawa. Digentayangin baru tau rasa lo!" Katanya dengan muka-muka kesel yang mendramatisir.

"Bangsat, bacot banget dari tadi. Diem lo, nyet!" Kata Lisa pada akhirnya sambil nunjuk-nunjuk Salsa dengan tatapan mengancam.

Akhirnya dengan kalimat Lisa yang entah kenapa berhasil buat Salsa diam, kita bertiga bisa khusyuk ngerjain tugas.

Sesekali kita nyuruh Salsa untuk mesen kopi lagi untuk kita karena udah tinggal setengah.

"Nyet, gantian kek elah, bukan babu gue, bangsat!" Kata dia yang baru aja duduk sambil naro kopi pesena kita di atas meja. Gue mendesis sambil natap dia sinis. "Halah, minum gue diminum aja juga. Tuh, tinggal setengah monyet!" Mata gue membulat kaget pas melihat kopi yang sama sekali belum gue sentuh tinggal tersisa setengah gelas.

Emang anak ampas ini si Salsa.

"Mesen lagi aja, sih," kata Lisa masih fokus nulis di kertas.

Terus tiba-tiba Mika bangun dari duduknya, natap Salsa. "Ayo, nyet. Temenin gue beli minum. Ada yang mau dipesen lagi nggak?" Mika natap gue dan Lisa bergantian.

Gue jawab dengan gelengan sambil mendumel kesal, sedangkan Lisa geleng acuh masih fokus dengan tugasnya.

Akhirnya itu duo ampas pergi ke kasir untuk mesen lagi. Si Salsa sempet nabok bahu gue, karena dia juga kesel dituduh-tuduh gue tadi.

Ya emang siapa lagi yang minum minuman gue kalo nggak dia? Kan ini gelas ada di tangan Salsa pertama kali. Dia yang nganter minumnya.

Emang resek itu orang!

Tanpa sadar gue ngelus-ngelus dada, sabar sabar.

"Ra."

Gue yang nggak terlalu peduli sama panggilan Lisa cuma berdehem pelan.

Dia terdiam sebentar, masih nulis. Kemudian dia ngomong. "Lo nggak ada yang mau diceritain ke gue gitu?"

Tangan gue tiba-tiba berhenti ngetik di atas laptop. Mata gue terfokus ke layar laptop, tapi pikiran gue langsung melayang kemana-mana.

Gue menormalkan ekspresi gue dan mulai lanjut ngetik lagi seolah-seolah biasa aja dengan pertanyaan Lisa.

Gue tau Lisa pengen tau sesuatu tentang hal itu.

Dan gue mencoba untuk menghindar.

"Cerita apa?" Tanya gue santai.

Lisa natap gue, dia seperti menunggu gue ngomong, dan gue langsung merasa nggak nyaman dengan tatapan dia.

"Lo yakin? Gue nggak bakal ngasih kesempatan untuk dengerin cerita lo untuk kedua kalinya, lho."

Anjir, sekarang aura si Lisa kayak tajam banget gitu.

Gue yang nggak nyaman, langsung balik natap Lisa. Apa gue harus cerita ke dia, ya?

Lisa menghela napasnya lelah ketika gue nggak kunjung membuka mulut. "Lo tau gue nggak bakal ceritain ke siapa-siapa."

Gue akhirnya berhenti mengetik, dan mulai natap Lisa dengan tatapan nggak biasa.

Mulailah gue menceritakan semuanya tentang Chanyeol yang bilang dia suka gue, terus dia nyium gue, dan Chanyeol yang mengajak gue untuk jadi teman aja dan seperti ini aja dengan alasan dia nggak mau nyakitin Lay dan gue.

Tapi gue nggak menceritakan kalo gue juga udah ngaku ke Chanyeol gue suka sama dia.

Lisa cukup kaget dengan cerita gue. Dia terdiam sebentar. Terus natap gue dengan penasaran. "Terus, lo jawab apa?"

Gue mengernyit, "Jawab apanya?"

Lisa dengus kesal. "Pas Chanyeol ngomong suka sama lo, lo jawab apa?"

Gue neken ludah gue sendiri, terdiam. Entah kenapa rasanya susah banget untuk menceritakan ke Lisa kalo sebenernya gue juga ada rasa sama Chanyeol. Tapi gue nggak mau sampai Lisa membenci gue, karena udah berkhianat ke Lay. Gue nggak mau pandangan Lisa tentang gue itu berubah jadi cewek nggak bener.

Gue nunduk, dan Lisa natap gue dalam. "Ra, jujur sama gue. Lo jawab apa?"

Gue menggeleng-geleng sambil natap Lisa dengan bingung. "Gue nggak tau, Lis. Gue juga nggak ngerti sama perasaan gue yang sekarang. Jujur, gue masih sayang dan cinta sama Lay. Tapi terkadang gue merasa, rasa sayang gue ke Lay ini udah nggak sebesar dulu."

Kalo udah bahas ginian rasanya gue pengen nangis aja.

Lisa diem lagi. Kemudian dia memicingkan matanya. "Secara nggak sadar lo udah suka sama Chanyeol yang lo benci setengah mati itu."

Gue menghela napas pelan. Gue nggak bisa berbohong ke Lisa. Lisa itu orangnya peka. Dia itu selalu tau kapan gue bohong atau gue jujur.

"Terus gimana?" Tanya gue sambil masang muka helpless.

"Lo maunya gimana? Putusin Lay? Gila lo!"

Gue balas natap Lisa dengan protes. "Ya siapa sih yang mau mutusin Lay? Gue juga nggak mau!"

Lisa memijat keningnya, kayaknya dia juga bingung. "Sejak kapan lo suka sama caplang?"

Gue terdiam sebentar. "Gue nggak pernah tau sejak kapan. Tapi kayaknya baru-baru ini."

"Ra, Ra. Lo gimana sih. Udah dikasih berlian kayak Lay, malah ngembat emas kayak Chanyeol juga," Lisa geleng-geleng kepalanya nggak habis pikir.

Ya, gimana ya. Emangnya gue suka sama Chanyeol itu sengaja? Nggak! Ini semua diluar pemikiran gue. Perasaan suka gue ini murni dateng sendiri.

"Tapi gue nggak nyangka sih, Chanyeol bakal nyerah sama lo. Gue kira dia bakal rebut lo dari Lay."

Gue nunduk, kayaknya lama-lama gue semakin sensitif kalo bicarain soal Lay. Tiap kali ngomong tentang Lay, gue rasanya pengen nangis.

Lisa kaget pas liat gue nangis, netesin air mata. "Nyet, jangan nangis, nyet!"

"Gue harus gimana, Lis? Apa gue pindah aja ya ke China biar ketemu sama Lay? Sumpah gue bingung. Gue bener-bener nggak mau nyakitin perasaan Lay sama Chanyeol. Gue sayang sama Lay, tapi gue juga suka sama Chanyeol. Kenapa gue bisa ngerasain dua rasa kayak gini ke mereka, sih Lis?"

"Gue nggak mau sampai dicap sebagai cewek nggak baik, padahal selama ini gue juga udah berusaha jaga jarak sama Chanyeol untuk menghargai Lay. Tapi ternyata, hati gue nggak bisa bohong, dia malah membagi perasaan gue ke Chanyeol juga," gue nangis sesenggukkan, bodo amat diliatin orang-orang. Gue udah merasa nggak berdaya banget. Nggak tau lagi harus ngapain.

Gue nggak tau bagaimana gue harus bersikap ketika Lay udah balik dari China.

Lisa natap gue panik dan juga pandangan kasian. Dia juga pasti bingung harus ngasih saran apa.

Akhirnya Lisa pasrah, dan mulai membuka mulut lagi. "Gue emang nggak suka dengan Chanyeol. Gue lebih dukung lo sama Lay. Tapi, ikutin kata hati lo, Ra. Kalaupun lo pisah sama Lay, bicarain baik-baik dan berpisahlah dengan baik juga. Gue yakin Lay bakal ngerti."

Gue natap dia heran, masih dengan sesenggukan. "Kok lo kayaknya malah doain gue pisah sama Lay, sih?"

Lisa natap gue kesel. "Kan itu cuma perumpamaan doang bangsat!"

Tapi kemudian, Lisa senyum dan pegang tangan gue, "Apapun keputusan lo, gue hargain itu. Pilih yang membuat hati lo lega, dan bahagia. Temuin kebahagiaan lo di siapa. Gue selalu dukung lo, Ra."

Dan begitulah cara Lisa memberi gue solusi. Gue salut sama Lisa yang sabar dengan kelakuan gue yang bejat banget.

Tanpa diundang, kayak jailangkung, Salsa dan Mika dateng terus nyerocos sambil bawa-bawa pesenan mereka.

"EH, NYET! NAPA LO MEWEK? JELEK TAU LO!"

Kadang gue pengen pecat mereka berdua jadi temen dan masukin mereka ke daftar death note gue.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top