Miss Doctor | Bokuto Koutarou



Hari ini merupakan waktu libur yang sempurna

Aku mengawalinya dengan secangkir teh di pagi hari, drama populer yang akan tayang sebentar lagi, serta beberapa beberapa lembar roti bakar selai coklat.

Setelah terus bekerja keras tanpa istirahat yang berarti, menangani banyak operasi, dan pasien, akhirnya aku mendapat jatah libur juga.

Sungguh rumit apabila mengingat apa yang terjadi semalam, aku pikir akan kehilangan pekerjaan saat hampir saja menggores pembuluh arteri pasien dalam proses bedah histerektomi yang memakan waktu hampir lima jam.

Tetapi, itu bukanlah masalah besar. Operasi berhasil dan pasien selamat. Pekerjaan menyembuhkan orang lain sudah cukup membuatku bisa menikmati sekaligus bersyukur menjadi seorang dokter.

Hari ini tidak ada yang boleh menganggu jadwal yang telah aku susun dalam catatan ponsel. Menikmati sarapan sambil nonton drama, berbelanja untuk memasak makan siang lezat, membaca novel, lalu pergi minum sambil makan ayam goreng bersama para sahabat sembari bergosip saling meledek tentang status hubungan masing-masing.

Mungkin akan dimulai dengan mereka yang mengatakan bahwa aku terlalu mencintai pekerjaan sampai lupa untuk mencintai lelaki mapan yang sudah mengantri di luar sana.

Lalu aku akan membalas dengan kata-kata seputar, "Apa hebatnya menjadi ibu rumah tangga? Kau hanya akan semakin pusing mengurus anak-anak yang sulit diatur. Belum lagi cemburu berlebih tentang suami yang berselingkuh dengan rekan kerjanya."

Tidak apa, imajinasiku memang begitu. Cukup liar.



Pagi yang tenang, secangkir teh manis, roti bakar selai coklat, dan sajian panas adegan drama pagi sensasional. Waktu yang berjalan tenang tiba-tiba saja berhenti menghidupkan instingku sebagai seorang dokter. Aku yang berencana menghabiskan waktu liburan sebagai seorang gadis biasa yang hanya mempedulikan dirinya sendiri mendadak banting stir pada diriku yang biasanya bekerja keras bersama pisau bedah, obat-obatan, dan beberapa laporan kesehatan.

Suara sirine ambulans begitu dekat, nyaris seolah mobil itu lewat di depan mataku sendiri. Mengalahkan keras suara dialog penuh konflik para pemain drama di televisi.

Tentu saja, mobil itu memang ada di depan rumahku, lebih tepatnya di depan rumah seberang yang bercat abu-abu minimalis dengan pagar hitam.

Cangkir teh hangat aku letakkan begitu saja, televisi masih menyala menampilkan adegan drama yang kini tidak lebih menarik dari apa yang sedang terjadi sekarang. Pikiranku langsung berlabuh pada sosok tetangga seberang rumahku; Bokuto Koutarou.

Kami sudah mengenal cukup lama, sebagai sesama penduduk kompleks yang masih melajang kami cukup akrab. Walaupun terkadang kita jarang bertemu ataupun sekadar bertegur sapa karena jam kerjaku yang sungguh sibuk.

Bokuto adalah lelaki tinggi dengan fisik yang luar biasa sehat. Sejauh ini, dia satu-satunya orang teraktif yang pernah aku kenal. Tingkahnya kadang konyol—kelewat membuat kesal—, namun disisi lain dia orang yang baik dan peduli pada sesama.

Helai rambut hitam bercampur putih yang mencuat tinggi, senyumannya yang bagai matahari pagi, dan bagaimana ia akan berteriak keras menyapaku saat kami berpapasan—sampai membuat orang disekitar menatap kami heran.

Walau sikapnya konyol atau bahkan hampir melewati kebodohan maksimal, Bokuto memiliki riwayat pendidikan yang bagus dan karir cemerlang sebagai seorang pelatih timnas untuk cabang olahraga voli.

Lalu apa yang terjadi pada orang sehebat itu? Setahuku Bokuto tinggal sendiri, lalu siapa yang menelpon ambulans? Siapa yang sedang dalam keadaan darurat?

Aku menatap beberapa petugas ambulans yang tidak asing keluar dari mobil dan membuka paksa pintu rumah Bokuto.

Pintu tidak terkunci, mereka masuk dan sesaat kemudian kembali menggontong tubuh seseorang.

Ini murni bukan karena penasaran, tiba-tiba saja aku sudah berjalan keluar rumah menghampiri para petugas yang sudah aku kenal tersebut.

"Dokter (Name). Kenapa bisa ada disini?" Salah satu dari petugas terkejut menatap kehadiranku yang seharusnya tengah libur hari ini.

"Aku tetangganya. Apa yang terjadi?"

Pada akhirnya aku gagal menikmati masa liburanku. Saat aku pikir akan berpisah sebentar dari obat-obatan, jarum suntik, dan beberapa hal yang berhubungan dengan medis, justru sekarang malah sebaliknya.

Aku memeriksa seorang pasien yang merupakan tetanggaku sendiri di dalam laju ambulans.

"Dia menelpon sendiri, mengatakan kami harus menyelamatkannya segera lalu memberi tau alamatnya sampai berakhir pingsan." Jelas salah satu petugas medis.

Kondisinya tidak begitu baik, aku berusaha mendeteksi gejala apa yang terjadi pada Bokuto. Tanpa sadar jantungku ikut berdegup tidak karuan kala melihat wajah yang biasa tersenyum cerah kini nampak tersiksa akibat rasa sakit.

Demam tinggi, sulit bernapas, mual, dan kram perut. Sudah bisa dipastikan bahwa si bodoh ini keracunan makanan.

"Sepertinya dia mau muntah lagi. Tolong bantu aku miringkan kepalanya."

Tanpa sadar aku mulai merasa khawatir, sepertinya Bokuto sudah lama menahan rasa sakit ini sampai akhirnya racun itu menyebar cukup jauh di tubuhnya. Lihatlah bagaimana ia kesulitan bernapas, dada naik turun itu, dan beberapa gejala yang mendekati dehidrasi.

Oh bagus Bokuto! Sebodoh apa kau ini sampai harus makan makanan basi atau yang sudah kadaluwarsa?



Wangi obat, langit-langit putih, dan deru suara penghangat ruangan menyapa indera Bokuto. Pertanyaan seputar apa-dimana-kenapa mulai melintas dibenak Sang Pemuda berambut dwiwarna. Otak Bokuto yang selalu dicurigai kekurangan kapasitas neuron berpikir cepat memproses keadaan, melakukan observasi dadakan untuk mencari tau jawaban dari segala macam pertanyaan tadi.

Jawaban yang pasti adalah rumah sakit, lihat? Dia cukup pintar bukan?

Lalu alasan kenapa sekarang ia berbaring tidak berdaya disini adalah...

Bokuto mencoba mengingat, menggali memori tentang kejadian terakhir yang ia alami.

Ah! Iya, Bokuto tanpa sadar meringis kecil.

Pintu terbuka, Bokuto bergegas bangkit mengubah posisinya jadi bersandar.

Seseorang muncul dari balik pintu, memakai jas putih dan stetoskop yang melingkar di lehernya.

Cantik dan intelektual.

Senyum Bokuto mengembang mengenal siapa dokter wanita itu.

"(Name)!!!"

Alis (Name) mengernyit heran, tidak menyangka bagaimana cerianya Bokuto setelah beberapa jam tersiksa oleh diare dan mual sampai berakhir tidak sadarkan diri akibat dehidrasi.

Bokuto tersenyum cerah, (Name) tanpa sadar jadi ikut tersenyum tipis. Memang benar, senyum Bokuto sangat cerah dan bisa menular pada siapa saja.

Sang Gadis mengambil kursi dan duduk disamping ranjang.

"Keracunan makanan, apa yang terjadi? Seseorang mencoba mencelakaimu atau memang kau mau bunuh diri?"

Belum sempat Bokuto membalas, (Name) kembali menambahkan kalimatnya,

"Ah! Atau karena kecerobohanmu sendiri?"

Opsi terakhir benar, Bokuto tidak mengelak, yang bisa ia lakukan hanya tersenyum menampilkan sebuah cengiran tanpa dosa. Akibat terlalu lapar, Bokuto tidak sadar sudah membuka kaleng kornet yang sudah basi. Salahnya juga yang membiarkan makanan tersebut mengendap bertahun-tahun di lemari pendingin.

(Name) memutar bola mata jengah, "Berhati-hatilah, itu berbahaya. Terlambat sedetik kau tidak akan mampu diselamatkan."

"Tapi Kau berhasil menyelamatkanku." Sahut Bokuto

"Yah, kali ini saja." Dengus Sang Dokter.

"Kau tau, walau kesadaranku tipis kemarin aku masih ingat ada malaikat yang membantuku."

"Benarkan?" (Name) melirik tertarik.

"Dia sangat cantik, dia memeriksa denyut nadiku, memastikan suhu tubuhku, dan melakukan CPR. Aku pikir perasaan menyiksa seolah neraka itu sedikit berkurang saat ada dia." Jelas Bokuto semangat.

"Wah benarkan? Mimpi yang bagus." Komentar (Name) agak gugup.

"Aku sadar, kalau ternyata itu Kau!!" Bokuto tiba-tiba memeluk (Name), padahal selang infus masih terpasang di tangannya.

"Terima kasih Bu Dokter!!"

Sesuatu menggelitik (Name), membuat gadis itu tersenyum gugup dengan wajah bersemu merah akibat sikap Bokuto yang tidak terduga.

"Bokuto, berat."

Bokuto mengerjap menyadari sesuatu dan langsung melepaskan pelukannya, "Ah maaf!"

Sesuatu yang aneh datang, Bokuto merasakan debaran itu lagi, tanpa sadar wajah Sang Pemuda jadi ikut bersemu merah.

Tadi itu hanya gerak refleks karena terlalu senang, Bokuto menggerutu mengutuk diri sendiri.

(Name) berdehem pelan, "Sepertinya kondisimu sudah mulai stabil, mengingat seberapa banyak Kau mengoceh hari ini."

Bokuto menatap tetangganya bingung, "Apa itu pujian?"

(Name) tersenyum, Bokuto membuang muka malu.

"Tentu saja tidak, Kau sudah bisa keluar besok supaya pasien lain bisa tenang tanpa suara berisikmu itu."

Bokuto cemberut, "Jahat sekali. Bagaimana bisa ada malaikat sejahat Kau."

"Aku bukan malaikat, bay the way." Balas (Name) skeptis.

(Name) bergegas bangkit dari kursi, Bokuto tanpa sadar menjadi panik sendiri seolah tidak rela membiarkan dokternya pergi begitu saja.

"Mau kemana?!"

(Name) menatap Bokuto bingung, "Tugasku sudah selesai, Kau baik-baik saja dan boleh pulang besok Tuan Bokuto Koutarou."

Sang gadis berbalik pergi, Bokuto membuka mulut namun kembali mengatupkannya saat bingung harus bicara apa untuk menahan (Name).

Padahal mereka tetangga, tetapi selalu jarang bertemu. Padahal Bokuto sangat ingin mengenal (Name) lebih dekat, tetapi selalu saja tidak ada kesempatan karena Si Gadis begitu sibuk bersama pekerjaan.

Tidak! Ini bukanlah yang ia inginkan! Bokuto harus melakukan sesuatu sebelum ini menjadi pertemuan terakhir mereka. Masa iya dia harus sakit dulu agar bisa bertemu (Name).

Gagang pintu diputar dan kini sudah terbuka setengah, Bokuto baru saja mau teriak namun dihentikan oleh sepatah kalimat dadakan dari (Name).

"Oh ya, gara-gara Kau, liburku jadi berantakkan. Kau harus mentraktirku besok tetangga."

Manik madu mengedip tidak percaya, (Name) masih tersenyum menunggu jawaban.

Senyum Sang Pemuda mengembang cerah, manik berbinar bahagia.

"Te—Tentu saja! Ya!! Besok!"



End

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top