9-Crossroads
Ada dua hal di dunia ini yang bisa membuatku lupa akan semua kesedihanku.
Liburan dan Mama.
Sudah tiga hari aku pulang-pergi rumah ke kantor yang berjarak lumayan jauh. Tapi rumah memang sesuatu yang bisa melenyapkan rasa kalutku.
Mamaku adalah wanita yang kuat yang pernah kutemui. Ia melakukan apapun sendirian sejak dulu. Papaku sudah meninggal sejak aku kecil, usia TK. Papa seorang karyawan biasa. Peninggalannya hanyalah rumah sederhana dan beberapa tabungan.
Sepeninggalan Papa, Mama lalu banting tulang kerja apapun yang halal, dan untungnya diterima bekerja di bank setahun kemudian. Aku yang masih kecil, sering dititipkan di rumah kerabat dekat.
Dua tahun lalu Mama memutuskan pensiun setelah jabatan terakhirnya sebagai staff senior.
Lalu membuka usaha catering dibantu Yuk Dya sekaligus menemani Mama dirumah kalau aku tinggal di apartment.
Aku memilih apartment karena lebih dekat dengan kantor. Mama pernah aku tawari ikut tapi menolak dengan alasan ingin menjaga rumah, salah satu harta peninggalan Papa.
Selama ini, tidak ada ungkapan apapun dari Mama untuk ingin menikah lagi. Walau mungkin sebenarnya Mama ingin punya lelaki di kehidupannya.
Atau mungkin saja, Papa adalah orang yang satu-satunya Mama cintai di dunia ini sehingga memikirkan pria lain pun tidak.
Aku tahu yang terakhir yang benar.
Karena Papa punya pemutar kaset tua dan Mama selalu memutar lagu-lagu lama dari kaset yang hebatnya tidak rusak. Lagu-lagu kenangan khas tahun 60-70-80an. Dalam dan luar negeri.
Kata Mama, itu adalah lagu-lagu kesukaan Papa. Papaku adalah audiophile--penikmat musik jenis apapun-- sejati, dia mendengarkan musik apapun asal itu enak baginya. Mungkin itu yang menurun padaku.
Nah dari kebiasaan Papa itu, aku tahu Mama sangat mencintai Papa sehingga merindukannya sedemikian hingga.
Sejak dulu, aku menginginkan kisah cinta sejati seperti milik Mama, tanpa adanya kematian yang cepat tentunya.
Tapi sekarang, disini lah aku. Tidur di kamar tua ku. Merenung kenapa kisah cintaku malah mengenaskan.
"Ranu, donat labu nya udah jadi nih." Panggil Mama dari bawah. Aku tersadar. Lalu menyahut singkat dan turun.
Mama lalu mengulurkan teh jasmine ketika aku duduk.
"Kamu nggak banyak kerjaan ya kok sering pulang?" Tanya Mama sembari membalur donat dengan gula icing.
"Lumayan kok Ma. Tapi masih bisa santai." Jawabku sambil menyesap teh.
"Mending kamu buat istirahat di apartment daripada jauh-jauh disini."
"Ih kok jadi nggak suka Ranu pulang sih Ma." Rajukku.
"Nggak juga. Mama mah seneng aja kamu sering pulang. Cuma Mama khawatir aja kamu jobless gara-gara putus sama Syahdan. Dia kan bos kamu." Celetuk Mama.
Mama memang suka mengeluarkan uneg-uneg walau itu sangat pedas dan tajam.
"Nggak kok. Kita baik-baik aja. Malah Syahdan sering nanyain Mama."
"Hmmm nanyain Mama mulu tapi nggak jadi mantu. Aduh sedih Mama dengernya. Kayak nggak jadi punya anak cowok."
Aku diam, hanya memandang lelah.
"Atau," Mama mengerlingku "kamu kesini karena galau masalah laki? Ada yang nggantiin Syahdan?"
Aku hampir terbatuk, tenggorokanku sakit karena teh yang kuminum seperti dipaksa masuk.
"Nggak, ih apaan sih Mama daritadi. Ranu udah bilang Ranu nggak mau berhubungan dulu sama laki-laki." Protesku.
"Sampai kapan? Syahdan aja udah tunangan."
Aku menghela nafas "Ma, ini bukan lomba antara aku sama Syahdan siapa yang duluan nikah." Aku berujar lelah "aku sekarang memang males punya pacar. Apalagi nikah."
Mama masih menatapku.
"Nggak tahu besok-besok." Tambahku. Cepat-cepat sebelum keluar kalimat menguras emosi lainnya dari mulut beliau.
Apa jadinya reaksi Mama kalau tahu anaknya ini memutuskan selibat-- tidak menikah seumur hidupnya?
Aku bisa membayangkan Mama akan menyeretku ke Kantor Urusan Agama dan menikahkanku dengan siapa saja.
Kini Mama yang menghela nafas "Pokoknya kamu bahagia, mama juga senang."
Mama lalu memberikan piring donat kepadaku "Ranu, yang perlu kamu ingat adalah ketika kamu nikah nanti, laki-laki yang kamu pilih adalah orang yang bakal kamu temani seumur hidup. Apalagi masa-masa sulit."
"Tapi laki-laki yang baik adalah yang bakal memberikanmu kenyamanan bahkan di masa-masa sulit."
Aku memandang Mama yang tersenyum.
"Papa kamu, walau kita dulu hidup pas-pas an, bisa bikin Mama ngerasa hidup 'mewah' walau cuma makan 3T. Tempe, tahu, telor."
Aku menggigit donat dengan hati-hati. Masih mendengarkan.
"Bukan materi. Tapi bisa menjaga suasana dan perasaan pasangan masing-masing. Dan yang terpenting adalah perasaan dicintai sampai kita mikir 'Ah, untung aku nikah sama orang ini.' Itu mewah sekali, Ranu."
Aku menunduk. Tampak serius dengan makananku padahal dalam hati aku seperti diaduk-aduk.
Mama berdiri, pamit ke toko bahan kue sama Yuk Dya. Meninggalkanku di meja makan.
Aku menghela nafas.
Mataku berair. Aku terlalu sering ingin menangis akhir-akhir ini.
Aku tidak akan memiliki kisah cinta seperti Papa-Mamaku
Laki-laki terbaik yang pernah kutemui sudah selangkah akan menuju pelaminan dengan orang lain.
Aku tidak tahu apakah masih ada laki-laki baik di negara yang masih memegang adat timur yang tinggi ini, mau menerima diriku yang sudah tidak utuh.
Aku tahu keputusanku malam itu bersenggama dengan orang asing sangat impulsif; bodoh dan nekat karena emosi dan mabuk.
Tidak bisa diubah apa yang terjadi. Menyesal pun juga nggak guna.
***************************************
"Ran,"
Aku menoleh. Syahdan sudah datang ke kantor sepagi ini. Padahal aku sengaja datang pagi untuk menikmati kantor yang sepi.
Tapi diantara sekian pagi, Syahdan memutuskan ke kantor hari ini, hari dimana aku sedang tidak ingin bertemu dengannya.
"Oh, Pagi Pak." Aku mencoba formal dan basa-basi. Syahdan menghela nafas.
"Bisa kita ngomong, Ran?" Tanya Syahdan. Aku menatap Syahdan. Aku tahu apa yang ingin dia bicarakan, tapi aku belum ingin.
"Ya silahkan." Ujarku. Aku menjaga nada suaraku tenang. Tapi malah terdengar dingin.
"Nggak disini. Mari kita cari sarapan di bawah." Ujarnya. Aku menunduk ke arah lantai, melihat sepatu kami yang berjarak.
Bahkan sekarang perasaan kami ikut berjarak.
"Ngomong disini aja ya Dan." Aku menolak. Aku sedang tidak ingin menatap Syahdan. Takut terjadi gejolak emosi terhadapnya.
"Nggak, ini harus dibicarakan dengan serius." Ujarnya tegas. Tatapannya sangat tajam.
Ini adalah Syahdan yang sulit dibantah.
"Oke," aku akhirnya mengiyakan "apapun yang bakal kamu katakan nggak akan menambah buruk hariku."
Syahdan menatapku sendu. Tapi ia lantas bergumam pelan dan lembut "Makasih, Ran."
Kami lantas ke bawah, ke cafe. Memesan kopi dan latte serta paket breakfast. Kami putuskan makan di rooftop. Sepi dan suasananya menunjang apapun yang akan kami bicarakan berdua.
Karena kami tahu bahwa pembicaraan kami akan sangat pribadi.
Aku bersedekap sembari duduk di bangku rooftop. Menunggu apapun yang akan Syahdan katakan. Udara pagi Metro membuat suasana sedikit sejuk.
Syahdan duduk tegak. Itu adalah gesture di saat dia akan menembak dan memutuskanku dulu.
"Ran, aku mau minta maaf atas apa yang aku lakukan waktu itu. Sungguh, aku nggak bermaksud merendahkanmu." Ujar Syahdan. Aku tahu dia akan membahas itu.
Aku menghela nafas "Nggak apa-apa. Aku sudah memaafkan. Maaf aku juga emosi. Aku hanya... Kau tahu. Rasanya agak nyesek aja."
Lalu aku tersenyum "aku baik-baik aja dan akan terus baik-baik saja. Jangan salahin diri terus sampai-sampai kamu mikirin masa depanku."
Syahdan terdiam. Ia masih duduk tegak.
"Sungguh Syahdan Syarief. Kamu ini baik banget jadi orang. Saking baiknya sampai orang salah paham. Cobalah sedikit egois, jangan mikirin orang lain. Apalagi mikirin masa depanku." Ujarku meyakinkan.
Syahdan membuang muka, lalu mengerlingku dalam.
"Tapi alasanku melakukannya bukan untukmu Ran. Alasanku justru sangat egois." Ujarnya dalam.
Aku menatap Syahdan tidak mengerti.
"Aku," Syahdan menautkan jemarinya di atas meja. Memandang jemarinya sejenak sebelum akhirnya menatapku.
"Aku ingin meyakinkan diriku bahwa aku bisa berhenti mencintaimu dengan melihatmu jalan sama orang lain." Ujar Syahdan melanjutkan.
Mulutku kelu, kepalaku berusaha mencerna kata-kata Syahdan.
"Aku mencintaimu, Ran. Masih mencintaimu seperti dulu. Jujur saja aku gila sendiri memutuskanmu!"
Kini aku yang duduk dengan kaku.
"Syahdan, kamu nggak bisa ngomong kayak gitu sekarang. Gia---"
"Ya Tuhan Ran! Gia dan aku dijodohkan! Kami nggak ada perasaan apapun! Bahkan sekarang dia kabur entah kemana!" Syahdan mengerang.
Aku mengerjapkan mata "kabur?"
"Iya! Setelah pertunangan itu dia kabur! Entah kemana! Keluarganya berusaha menutupi tapi aku akhirnya tahu kalau dia nggak kembali ke Australia."
Syahdan berusaha mengatur nafasnya. Rahangku mengeras. Aku merasa prihatin kepada Syahdan, sungguh.
"Syahdan, aku turut sedih..."
"Aku nggak sedih, Ran. Aku lebih merasa marah karena keadaan ini memaksaku dan Gia melakukan hal-hal yang tidak kami sukai. Tapi Gia mengambil tindakan, sedangkan aku hanya bisa putus asa." Ujar Syahdan.
Syahdan lalu meraih jemariku. Menggenggamnya erat. Aku merasakan rasa sakit tapi jujur membuat dada mendesir.
"Aku juga akan mengambil tindakan. Aku akan menuruti perasaanku." Ujar Syahdan tegas "aku akan kembali kepadamu."
************************
Pikiranku kalut.
Bahkan meeting tadi aku tidak konsen sama sekali.
Siapa yang tidak kepikiran kalau mantan tiba-tiba mengajakmu untuk menjalin hubungan lagi.
Tapi aku tidak mengiyakan.
Aku tidak menerima ajakan Syahdan untuk kembali.
Aku masih mencintainya, kok. Sangat. Tapi aku memikirkan apapun yang bakal terjadi jika kami balikan.
Ada keluarga Syahdan dan keluarga Gia yang harus dihadapi.
Ada orang kantor dan pandangan orang-orang di sekitar kami.
Ada karir politik Syahdan yang dipertaruhkan.
Terutama, bagaimana jika Syahdan tahu bahwa ternyata aku sudah tidak perawan.
"Kalau aku, aku nggak peduli pandangan orang terhadapku. Tapi aku nggak akan menyerah, Ranu. Aku akan membuat kamu jatuh cinta lagi sama aku. Aku akan membuatmu bilang 'iya' lagi sama aku."
Itu adalah jawaban Syahdan atas penolakanku, sebelum akhirnya dia harus menerima panggilan dan harus menemui klien.
Aku kembali ke mejaku. Berusaha menenangkan diri dari semuanya sembari menyelesaikan pekerjaan.
Tapi tampaknya kedamaian tidak berniat menghampiriku hari ini.
Bunyi nada pesan itulah sumber malapetaka selanjutnya. Aku membukanya dan membaca pesan dari nomer asing itu.
Untuk sesaat aku kehilangan nafas.
Jantungku rasanya jatuh ke bawah kaki. Pikiranku hilang mendadak dan tiba-tiba semua aliran darah membeku.
Kukira itu pesan dari operator atau sponsor layanan produk dan jasa. Atau pesan undian penipuan.
Tapi itu jelas tertuju untukku. Khusus untukku.
Ranu nggak akan bisa pergi dari saya semudah itu.
Tunggu. Syahdan?
Aku mengetik balasan
Siapa? Maksudnya apa ya?
Terkirirm. Agak merasa horor menerima pesan tersebut.
Lima menit kemudian terdengar nada pesan lagi. Balasan.
Malam waktu terakhir kita melakukannya, Ranu lagi masa subur.
Jika mau pertanggung jawaban, Ranu bisa hubungi saya di nomer ini.
Itu dari Mas Driver. Dia tahu namaku. DAN DIA TAHU NOMERKU!!
Aku buru-buru membuka aplikasi menstrual yang kugunakan untuk mengecek apakah haidku teratur atau tidak.
Aku tidak percaya. Dia benar.
Jadi malam itu-- tepatnya dua hari lalu--- adalah salah satu masa suburku. Memang bukan puncaknya, tapi jelas masa subur.
Dan kami sama sekali tidak memakai pengaman. Penetrasi di dalam.
Bagaimana bisa aku bisa sebodoh ini?
Bahkan dia tahu masa suburku! Tahu darimana dia informasi se privat itu?
Oh bagus, Ranu. Selamat, kamu baru saja membuat sebuah cerita tragedi. Di dalam hidupmu.
Kemungkinan besar kamu akan hamil, Ranu. Lalu yang menghamilimu adalah pria asing yang mengetahui informasi privat tentang dirimu.
Ini seperti premis sebuah cerita horor thriller.
Aku menggigit bibir. Tampak kalut.
"Kenapa lo Ran?" Tanya Sarah sembari menggambar di pen tab. Aku berusaha menampilkan wajah tenang.
"Oh, ini. Kakak sepupuku curhat." Ujarku. Bohong. Duh.
"Apa?" Sarah antara tertarik dan tidak, tapi dia menuntut jawaban dari nada suaranya.
"Hmmm gimana ya?" Aku menggaruk kepala. Memikirkan cara untuk berkilah. Lalu aku teringat cerita salah satu kakak sepupuku yang sekarang sudah beranak empat.
"Jadi," aku memulai "kakak ku ini sudah punya anak empat."
"Ebuset, kayak iklan beli tiga gratis satu." Timpal Sarah, sekarang ia tertarik.
"Ya gitu deh. Lalu masalahnya sekarang, hmm, dia kemungkinan hamil lagi." Jawabku.
"Hah?!" Tandya yang ikut mendengarkan memekik "nggak KB?"
"Kayaknya... Nggak." Jawabku ragu.
Mana paham aku soal KB? Gimana ini jawabnya?
"Jadi dia curhat kalau abis ena-ena. Padahal lagi masa subur. Dia takut...."
Aku menelan ludah. Aku menceritakan diriku sendiri, jadi aku agak takut ketahuan "jadi dia takut hamil."
"Ya jelas bakal hamil lah!" Sahut Sarah "ena-ena pas masa subur. Nggak pake KB. Kakak lo khilaf banget!"
Aku tertohok. Duh, Sarah. Kamu seperti mengata-ngataiku langsung.
"Tapi ada morning-after pill kan?" Zania menyeletuk tiba-tiba. Aku menoleh ke sampingku. Menyerngit ke arah Zania.
"Itu, pill KB yang kita minum abis berhubungan. Kalau kita lupa pakai KB atau pengaman. " Lanjut Zania "aku minum kok kalau lagi lupa pake pengaman. Apalagi kan aku abis lepas IUD."
"Hmmm apa itu berhasil?" Tanyaku harap-harap. Zania mengangguk.
"Aku masih dapet mens. Berarti berhasil kan?"
"Ada efek samping? Maksudku apa mirip aborsi?" Tanyaku cemas. Walaupun aku belum siap hamil, tapi jelas aborsi bukan pilihan hidupku.
"Beda, Ran. Kalau udah jadi janin, ya nggak mempan. Tapi kalau masih hmm apa ya istilahnya? Ya pokoknya kalau belum jadi daging--belum jadi mahkluk, dia bisa mencegah."
"Kalau misal," aku mencari kalimat "kalau misal udah berhubungan lama apa masih bisa?"
Zania menatapku, lalu menggeleng "aku nggak tahu. Tapi kayaknya bisa."
"Wah, pengetahuan baru nih." Ujar Tandya.
"Eh tapi lo jangan ena-ena sembarangan juga!" Sahut Zania "nikah dulu atuh."
"Iya, iya Bunda." Gelak Tandya. Sarah ikut tertawa. Aku tersenyum.
Aku mengingatkan diri sendiri untuk mampir ke apotik. Membeli satu-satunya harapan untukku saat ini.
Lalu aku melihat sesuatu di mejaku. Zania mengulurkan tangannya. Di balik tangannya, aku melihat bungkus karton.
"' Sepupu' lo kayaknya lebih butuh." Ujar Zania pelan. Nyaris tidak terdengar. Aku mengerjapkan mata.
"Eh, nggak usah, dia-- dia bisa beli sendiri."
"Lebih cepat lebih baik." Zania lalu berdiri dan pamit ke kamar mandi.
Aku menatap Zania dan morning after pill bergantian. Aku menghela nafas. Zania mungkin tahu bahwa aku yang lebih membutuhkan.
Aku segera memasukan pill itu ke dalam tas. Menata pikiran dan perasaanku.
Semoga aku tidak harus menelepon Si Driver itu.
Tidak harus meminta pertanggung jawaban atau menggantungkan masa depanku kepadanya.
Seseorang yang kemungkinan besar sangat berbahaya.
**********************************
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top