5-Back to the Start
"Cinta satu malam, oh indahnya... Cinta satu malam buatku melayang..."
Sialan.
Aku terdiam, berusaha mendengarkan suara setengah-merdu-setengah-fals Tandya tanpa memikirkan maksud lain dari lagu itu.
Itu lagu jaman kapan sih? Pikirku jengkel.
Sebenarnya bukan karena lagunya atau Tandya yang nyanyi. Tapi entah kenapa otak sialan ini kembali ke kenangan dua bulan lalu.
Kenangan dimana Syahdan memutuskan bertunangan dengan orang lain sekaligus momen ketika aku kehilangan kegadisanku oleh orang asing.
Lagu ini seperti theme song. Cocok sekali.
Aku merenggangkan otot-ototku. Setelah seharian membuat storyboard untuk produksi iklan terbaru, rasanya begitu lelah. Tulang-tulangku rasanya tidak pada tempatnya. Tapi Tandya, Sesya, dan Bella malah mengajak refreshing ke tempat karaoke. Mengajak beberapa orang dari divisi lain.
Jadi disinilah aku. Di tempat temaram, dingin, dan bising. Aku hanya berminat menyanyi beberapa lagu. Sedangkan pikiranku sendiri lari ke kamarku, ke tempat tidur super nyaman dan tenang.
Tapi sekarang aku malah teringat kenangan panas di taman bibit itu. Gara-gara sebuah lagu.
Aku menghela nafas.
Aku masih patah hati karena Syahdan. Menurutku wajar saja, patah hati butuh penyembuhan dalam waktu yang lama.
Syahdan memang jarang ke kantor. Dia lebih banyak waktu mengurusi cabang baru dan karir berpolitiknya. Beberapa kali aku melihatnya di acara talkshow berbau politik atau sosial , baik yang formal dan yang santai di televisi. Atau membaca artikelnya di surat kabar atau media online.
Sebenarnya cukup membuat kerinduanku terhadap Syahdan berkurang memandangnya di televisi seperti itu.
Tapi selain kerinduan kepada Syahdan (dan upaya menata hati yang patah) perasaanku cenderung merasa terganggu.
Terganggu parah akan seorang lelaki asing yang kuberikan mahkotaku. Aku ingin menganggap ini hanyalah akumulasi perasaan penasaran dan euforia melakukan bersenggama pertama kali.
Aku tidak mau menganggap bahwa aku jatuh cinta kepada pria itu.
Yang benar saja. Aku mabuk, patah hati, dan dia memang tampan. Tidak cukup alasan untuk membuat jatuh cinta. Aku cukup percaya love at first sight itu hanyalah mitos belaka.
Aku berusaha mengenyahkan pikiran dua bulan lalu dengan membaca daftar lagu dan daftar menu makanan. Tidak berminat , tapi lebih baik daripada tidak melakukan apapun atau memikirkan yang tidak-tidak.
Aku pamit keluar, bermaksud menyerahkan pesanan makananku dan titipan cemilan dari Bella. Di sebuah ruangan, belok ke kiri dari ruanganku berbeda koridor, aku mendengar lagu keras.
Penyewanya tidak menutup pintunya.
Tidak mengganggu sih, toh setiap ruangan kan kedap suara.
Aku berjalan melewati ruangan tersebut tanpa melihat. Kurasa tidak sopan kalau melakukannya.
Aku menyerahkan daftar pesanan ke petugas, lalu kembali ke ruanganku.
Tapi kali ini, kepalaku reflek menoleh. Siapapun yang menyewa ruangan itu memang ingin tempatnya terbuka dan memancing orang lalu lalang melihat ke dalamnya.
Dan aku melihatnya.
Sepasang manusia, laki-laki dan perempuan, berciuman. Di keremangan cahaya dan suara hingar bingar lagu dari Sound system.
Berciuman secara sensual.
Si Pria menyentuh rambut Si Wanita. Si Wanita meraba dada bidangnya.
Untuk sesaat otakku membeku. Bahkan bagian bawah perutku ikut melilit.
Wow.
Mereka melakukannya di tempat umum. Maksudku, memang sih kalau di tempat karaoke pasti ada satu-dua yang dengan nekatnya berbuat seperti itu. Tidak bisa menahan gelora birahi.
Tapi tidak ada yang cukup gila membiarkan pintunya terbuka. Dijadikan bahan tontonan seperti ini.
Aku menelan ludah.
Aduh Ranu, ini bukan urusan kamu. Terus jalan! Jangan lihat! Biarkan mereka merasa dunia milik berdua.
Tapi mataku tidak mampu berkompromi. Dengan nakal mataku justru mencuri pandang dari sudut mata.
Tapi justru itu sebuah kesalahan.
Tiba-tiba Si Pria membuka matanya, langsung menangkap pandanganku.
Lalu kedua manik kami membesar. Sama-sama terkejut.
Probablitas bertemu orang asing dua bulan lalu sangat langka terjadi. Tapi kelangkaan itu terjadi padaku sekarang.
Pria yang berciuman itu adalah Mas Driver. Sopir taksi online yang sebenarnya menggantikan temannya. Yang tidak kuketahui namanya.
Yang berakhir bercinta denganku satu malam.
Tatapan kami bersiborok lama. Menelaah. Mempertanyakan masing-masing keberadaan kami disini.
Tapi akhirnya, aku memutuskan kontak mata. Dengan kaku, aku berpaling. Melangkahkan kaki dengan canggung dan mati rasa. Dengan langkah lebar, buru-buru aku masuk ke dalam ruanganku sendiri.
Aku segera duduk. Menenangkan diri. Meminum air putih tanpa merasa lega sedikitpun.
Apa-apaan sih itu tadi?
Itu tadi beneran dia. Walau ada beberapa perubahan dalam fisiknya semenjak terakhir bertemu.
Mas Driver malam itu seperti anak kuliahan. Dia memiliki raut muka jenaka dan bersih.
Yang tadi, dia tampak jauh dewasa. Memelihara sedikit kumis dan jambang. Bahkan rambutnya yang seperti anak jaman sekarang, tadi berubah berantakan.
Tapi jelas sosok itu adalah dirinya.
"Lo kenapa, Ran?" Tanya Bella "muka lo pucet. Beneran deh."
Aku menggeleng. Alih-alih melihat jam di pergelanganku.
"Gue, gue pulang ya? Badan gue capek banget." Aku buru-buru bangkit, meminta ijin yang lain. Satu per satu mereka mengingatkanku untuk hati-hati di jalan.
Aku keluar tergesa, menatap sebentar ruangan terbuka tadi lalu buru-buru pergi. Setengah berlari menuju tempat parkir.
Aku segera menyalakan mobil. Tidak sabar membelah jalanan.
Tapi aku belum ingin pulang. Jadi aku tidak menuju rumah. Aku membiarkan tanganku mengemudi kemanapun dia suka.
Kemudian aku berhenti, tepat di pinggir taman dimana aku dulu biasa berjalan-jalan dengan Syahdan. Menghela nafas.
Perasaan aneh menelungsup.
Aku menekan dahi di kemudi. Bayangan Mas Driver yang bercumbu dengan wanita itu terus menghantuiku.
Membuatku sesak.
Apa-apaan sih ini? Itu kan sudah dua bulan lalu! Lagipula aku kan yang minta kami seperti orang asing? Lagipula itu hak dia mau melakukan apapun!
Tapi aku tetap merasa sesak.
Aku memberikan keperawananku kepada pria yang mencumbu wanita lain. Aku mengambil konklusi bahwa Mas Driver itu adalah pria mesum. Ia bercumbu dengan siapapun.
Apanya yang 'harus menemuinya jika terjadi sesuatu?'
Seharusnya aku tidak usah protes, toh aku lah yang murahan waktu itu. Mengumbar selangkanganku kepada pria asing.
Lalu dengan keyakinan palsu bersumpah berselibat; tidak akan berhubungan dengan pria manapun setelah keperawananku hilang.
Setelah Syahdan memutuskan untuk memberikan masa depannya kepada orang lain, aku sudah skeptis tentang menjalin suatu hubungan.
Aliran hangat menyentuh pipiku.
Aku merasa di titik terendah. Harga diri dan emosi.
Setelah beberapa menit, aku membesit hidung. Menghapus air mata dengan tissue.
"Ranu, jangan pikirkan apapun. Masa depanmu masih panjang. Kamu harus kuat, seorang diri."
Aku mengucapkannya kepada diriku sendiri, dengan getir.
*******************************
Aku meletakkan kepalaku ke meja di balkon kantor. Aku ngantuk sekali. Semilir angin di lantai enam sungguh nyaman.
Kemarin malam aku mencoba tidur, tapi tidak bisa. Kuputuskan membaca beberapa buku. Tetap tidak mengantuk.
Aku selalu begitu jika ada sesuatu.
Aku ingin menyangkal telah terjadi sesuatu dalam diriku.
Hingga akhirnya aku baru tertidur pukul empat pagi dan bangun pukul enam, dan berangkat ke kantor setelahnya.
Sekarang lah serangan ngantuknya bekerja, ketika jam sibuk.
Aku memejamkan mataku, bermaksud tidur ayam ketika aku mencium bau pekat kopi latte dan uap panas. Aku membuka mata.
Di hadapanku sudah ada segelas karton kopi panas dari cafe terkenal. Kebetulan satu gedung dengan tempat kerjaku.
Aku mendongak.
Syahdan tersenyum. Menyambutku.
"Oh, emm Pak. Maaf saya ngantuk." Aku buru-buru bangkit. Aku selalu menjaga sikap formal kepada Syahdan di kantor. Sebelum dan sesudah putus.
Bagiku, profesionalisme itu penting.
"Santai aja, Ran. Minum dulu gih." Syahdan lalu duduk di sampingku. Dia sendiri menyesap americano sembari mengudap banana butter bread hangat.
Kami duduk dalam keheningan. Aku dapat mencium bau parfum Syahdan dari tempatku. Aroma leather dan vetiver.
Ini parfum yang aku hadiahkan untuknya.
"Gimana sama story boardnya iklan kosmetik yang kemarin di rapatkan?" Tanya Syahdan membuka suara. Aku menyesap latte sebelum menjawab.
"Aku udah bikin sih sesuai permintaan mereka. Tinggal direvisi sama diomongin ke sutradaranya." Jawabku. Syahdan mengangguk.
Terjadi keheningan lagi. Syahdan menghela nafas.
"Ran," panggil Syahdan lembut "maaf kalau kita nggak bisa kayak dulu."
Aku menoleh. Tatapan kami bertemu.
Aku tidak tahu apakah aku merindukan bola mata Syahdan yang hitam itu. Tapi aku masih merasakan desiran halus ketika bersamanya.
"Kayak gimana? Bukannya kita awalnya dulu teman ya? Sekarang masih teman kok, Dan." Ujarku tersenyum.
Syahdan terdiam.
Ia memandang ke depan lagi.
"Kamu nanti malam ada acara?" Tanya Syahdan kemudian.
"Nggak." Aku memutar ingatan, tidak ada janji belanja dengan Sarah. Tidak juga makan dengan Bella "kenapa?"
"Ikut aku nyari kado buat Mama, mau?" Tawar Syahdan.
Ah aku ingat. Dua hari lagi ulang tahun Ibu Syahdan. Ibunya Syahdan lumayan suka denganku. Tidak terlalu akrab tapi jelas menerimaku. Beberapa kali aku keluar dengan beliau sekedar belanja.
Ibu Syahdan adalah contoh Nyonya pejabat pengusaha yang liberal. Tapi tampaknya tidak punya kuasa soal perjodohan Syahdan.
"Ah iya, ya sebentar lagi ultahnya. Mau di kado apa?" Aku bertanya antusias. Syahdan mengusap dagu, menimbang.
"Kamu kan paling pinter nyari kado ya, Ran. Makanya aku ngajak kamu."
Aku senang dan bersemangat. Tapi sejurus kemudian sebuah kenyataan menghentukan euforiaku.
"Kok nggak ngajak Gianni sih?" Tanyaku. Bagaimanapun harusnya dia mengajak tunangannya, bukan mantannya.
"Gia," Syahdan mengalihkan pandangannya "dia balik ke Australia. Kuliah."
Ah, menjelaskan sih.
Pantas media sosial Syahdan sepi soal hubungan asmaranya.
"Tapi Gianni nanti marah, Dan. Mending ajak saudara sepupu atau online aja deh. Jaman gadget gini." Ujarku. Walaupun aku senang, tapi aku bukan wanita licik yang suka mencuri kesempatan.
"Dia nggak bakal marah." Ujar Syahdan datar "kamu tahu kan kita ini dijodohin? Diantara kami belum ada ikatan perasaan."
"Aku---"
"Tapi kalau kamu keberatan juga nggak apa-apa." Syahdan buru-buru menambahkan sambil tersenyum "pasti canggung banget kan buat kamu."
Aku menggigit bibir.
Aduh ini dilema.
Aku menghela nafas "Baiklah, jadi jam berapa nanti kita keluarnya?" Tanyaku.
Syahdan tidak menyembunyikan binar matanya "jam delapan?"
"Oke jam delapan. Tapi nanti kamu balikin ke kantor ya? Aku bawa mobil soalnya."
"Tinggal aja, besok aku jemput berangkat ke kantor."
"Nggak, nggak. Besok aku mau mampir ke rumah Mama pagi-pagi. Kalau kamu antar bisa-bisa kita telat. Kamu tahu kan Mamaku kayak gimana kalau ketemu kamu? Suka perhatian, aku yang anak kandung berasa anak tiri."
Syahdan tertawa. Lalu menanyakan kabar Ibuku. Setelah ngobrol sebentar, Syahdan pamit kembali ke ruangannya.
Aku kembali termangu.
Menyesap latte yang pahit-manis-gurih.
Semoga hubunganku dengan Syahdan bisa sebaik ini selamanya, baik sebagai teman atau mantan pacar.
****************************
.....Jadi saya putuskan untuk meneruskan kisah Mbak Ranu dan Mas Driver atas permintaan para teman-teman yang igit-igit dan gemash dengan cerita ini.
Awalnya memang cerita ini sengaja saya bikin gantung. Saya suka akhir yg gantung hahahahahahaha.
Dan cerita ini sebenernya adalah katup penyelamat saya ketika saya mengalami writer's block saat menggarap Pras-Gia. Ibaratnya, ini adalah pelarian saya saja dari kebuntuan dan kebosanan karena berkutat di cerita yang sama.
JADI, SAYA NGGAK BAKAL JANJIIN CERITA INI UPDATE YANG PASTI. SAYA KERJAKAN KALAU SEMPAT DAN KALAU LAGI WRITERS BLOCK AJA YA HAHAHAHA ((jadi biar ga PHP, gak galau nungguin kayak cerita sebelah heehehehe)) you already warned.
Sincerely,
Lust Lucifer.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top