38. Her Own Fight
Ada adegan mature di bawah sana. 21+ ya teman-teman. Skip loh kalau tidak berkenan karena saya sayang kalian.
******
Aku melihat Mama bergerak kesana kemari, mengecek berbagai masakan bersama Yuk Dya. Besok harus dikirim untuk acara pertunangan tetangga.
Weekend ini aku putuskan untuk pulang. Selain karena aku sudah kangen rumah, dan Tama bilang dia harus mengurus banyak hal, aku juga punya rencana sendiri.
Bau harum masakan dan manis adonan kue adalah sesuatu yang aku rindukan. Sudah berapa lama aku merindukan kedamaian ini?
Karena aku tidak bisa memasak seperti Mama dan takut apapun yang aku sentuh berubah rasa menjadi mengerikan, maka aku hanya duduk sembari membantu mengiris sayuran---setidaknya itu yang bisa kulakukan.
Pikiranku tertuju kepada pembicaraan dengan Ernest beberapa hari lalu sembari tanganku mengiris wortel.
Aku ingat tempatnya.
Aku menghubungi Ernest. Memintanya bertemu denganku. Tapi dia bilang dia tidak bisa karena dia tidak bisa sembarangan pergi dari daerahnya untuk saat ini. Rawan untuk kelompoknya.
Jadi aku berinisiatif menghubungi Dahlia dengan agak berat hati. Menanyakan tempat kelompok Ernest.
"Kamu mau ngapain?" tanya Dahlia malas ketika aku telepon.
"Mengembalikan barang." jawabku.
"Repot amat. Titipin ke Tama biar dia yang ngasih. Kalian jadi balikan kan?" tanyanya sinis "selamat ya, mulai sekarang hidupmu nggak tenang."
Aku ingin memaki cewek itu, karena dia benar dan aku tidak suka mengakuinya. Tapi memberitahu Tama bukan rencanaku saat ini.
"Udah kasih tau aja kenapa?" tuntutku "kamu nggak punya paket data buat share loc?"
"Ah bacot juga ini cewek!"
Dahlia mematikan sambungan setelah memakiku, tapi aku tahu dia sedang mengirim peta digital.
Kawasan Metro Tengah. Aku beberapa kali kesana dan tahu tempatnya Ernest. Itu perkampungan dekat pecinan.
Dan ketika aku kesana, benar-benar sebuah perkampungan pada umumnya. Padat, agak kotor, terkesan tua, dan ramai.
Aku meneliti tiap ruko yang berjajar. Tampak baru namun entah kenapa terkesan dulunya pasti bangunan lama atau kuno dari atapnya atau tiang pancangnya .
Yang aku tahu, tiap sore hingga malam tempat itu jadi semacam tempat wisata kuliner terutama sajian khas peranakan.
Bau kuah jahe tahwa mengepul ketika aku bertanya lokasi perkampungan Ernest kepada penjualnya. Di daerah sana terdapat puluhan gang dan sekitar empat perkampungan.
Penjual itu dengan wajah yang heran dan terdiam beberapa saat akhirnya mengatakan bahwa kampung tempat Ernest adalah yang paling ujung, di sebelah utara. Jauh dari hingar bingar daerah pecinan.
Pemilik toko obat tradisional di samping yang mendengar pembicaraan kami hanya mengerling tajam. Lalu tampak menyibukkan diri dengan herbal kering di loker kayu di belakangnya.
Aku buru-buru pamit. Lalu mengecek ponsel. Tama mengirim pesan apakah aku minta dijemput setelah urusan 'keluarga' selesai.
Tanpa Tama ketahui, sebenarnya hari dimana dia datang dengan luka-luka di kontrakanku itulah aku memantapkan diri bertemu Ernest setelah berurusan dengan Verdian.
Lalu esoknya aku mengambil cuti. Cutiku juga bukan cuti mendadak. Aku sudah mengambilnya jauh-jauh hari ketika aku tahu Ernest 'menitipkan' datanya kepadaku. Aku hanya ingin membuat perhitungan kepada Ernest.
Tapi tidak kusangka, perkembangannya adalah aku dan Tama 'balikan'. Tapi tidak membuatku surut untuk bertemu Ernest.
Tama meneleponku setelah tahu aku tidak ke kantor padahal malam sebelum itu kami masih sempat bersama setelah merawat luka-lukanya akibat berkelahi dengan Verdian.
Aku hanya bilang aku ada urusan keluarga mendadak, sekalian 'mengambil' boneka yang diberikan Ernest. Tama sempat protes kenapa tidak memintanya mengantarku, kenapa tidak cerita saat kami tidur bersama. Cutiku adalah untuk menemui Ernest---tidak dalam konteks negatif tapi jelas jika aku jujur Tama akan murka dan melarangku.
Tidak. Aku tidak mau rencana ini berhenti begitu saja hanya karena Tama yang minta.
Aku tidak tahu dimana tepatnya rumah Ernest itu ketika aku sampai di kampung yang paling ujung, jadi aku bertanya. Aku sudah mengira, membawa-bawa nama Ernest waktu itu pasti menimbulkan sesuatu.
"Eh... Ngapain Mbak nanyain rumahnya siNyo?"
"Mbak siapa ya?"
Sebagian besar bertanya dengan penasaran, beberapa berbisik memperingatkan.
Aku sudah tahu siapa Ernest, tapi peringatan tetap aku indahkan.
Akhirnya aku terus ke arah utara, dimana jalanan menjadi lebih sempit, lebih kumuh, dan aku merasakan tatapan-tatapan semakin tidak ramah dan waspada.
Karena jalanan yang sedikit menurun dan sempit serta agak padat, aku memarkir mobilku di lapangan desa. Aku memutuskan berjalan kaki.
Pilihan yang riskan, karena aku tahu aku masuk ke sebuah daerah berbahaya tanpa perlindungan. Tapi aku sudah membawa senjata tajam---jika cutter bisa disebut senjata, serta semprotan merica.
Daerah Ernest gang yang semrawut, seperti labirin, serta jalanan yang lebarnya mungkin hanya sekitar dua-tiga meter. Aku dapat melihat isi rumah kiri dan kanan tanpa perlu susah-susah menoleh. Bahkan aku dapat melihat beberapa aktivitas di dalamnya.
Tampaknya, privasi tidak berlaku di sini. Tapi aku langsung menyadari, sebagian besar orang-orang di sini tidak punya banyak pilihan.
Bau apak lumut, sampah dan lembab menyeruak. Aku sudah akan menyerah di menit awal karena perasaan tidak nyaman. Aku seperti hilang di lubang kelinci.
Aku berhenti sejenak melihat lokasi yang diberikan Dahlia ketika aku sadar ada yang membuntutiku, salah seorang penghuni daerah ini.
Aku segera mempercepat langkah. Tiba-tiba aku sadar bahwa aku sudah masuk terlalu dalam di perkampungan labirin ini. Aku tersesat. Yakin telah menjauhi jalan masuk.
Dan ketika aku sudah nyaris kehilangan nafas karena ketakutan, untungnya aku bertemu orang itu. Mataku sontak melebar.
"Pak Opie!" teriakku nyaris senang dan lega melihat salah seorang anak buah Ernest yang aku kenal dan juga mengenalku sedang duduk-duduk main catur di depan warung kopi, tempat yang terlihat hidup dan ramah karena deretan toko-toko kecil, warung, serta anak-anak kecil bermain.
Tempat yang seperti lampu di tengah kegelapan. Hidup ditengah kesuraman.
Semua mata menatapku seketika, terutama mata Pak Opie yang melebar. Bahkan Ibu-ibu pemilik warung melongok dari tempatnya jualan demi melihatku.
Pak Opie sontak berdiri, wajahnya perpaduan antara bingung dan kaget yang lucu.
"Ranu? Ranu kan? Ranu nya Tama?" tanya Pak Opie memastikan. Aku dapat merasakan orang yang mengikutiku beringsut pergi. Tahu bahwa jika mengerjaiku sekarang akan berdampak berbahaya baginya.
"Aduh untung ketemu Pak Opie..." kakiku nyaris lemas. Aku langsung dituntun duduk di depan warung. Bapak-bapak dan para pemuda dari berbagai etnis dan warna kulit di sana langsung memberi kami ruang di tempat sempit itu.
"Minum, minum dulu." Pak Opie segera memesankan aku minuman dingin "kamu ngapain kesini?"
Aku meneguk nyaris habis minuman di depanku "mau ketemu Ernest."
"Ngapain?"
"Pokoknya ketemu. Dia harus tanggung jawab. Nyawaku---"
"Mbaknya dibuntingin Sinyo?!" seloroh si Ibu pemilik warung, berteriak, yang langsung mengundang kehebohan nyaris seluruh gang. Entah kenapa aku mendengar nada berharap dari mereka.
Pak Opie bahkan hanya bisa melongo bingung.
"Nggak Bu, nggak! Ini masalah lain!" aku segera meralat. Dan kudengar desah kecewa di kejauhan. Apa-apaan orang-orang ini? Ampun, ini lebih parah gosip di akun media sosial.
"Haah... gue kira bakalan bunuh-bunuhan lagi Sinyo sama Tama..." gumam Pak Opie lega, kepada dirinya sendiri.
"Pokoknya aku mau ketemu sama Ernest, Pak. Dia di sini kan?" Tuntutku.
"Iya dia di rumah." Pak Opie mengiyakan "tapi kenapa sampai kemari? Kenapa nggak ketemu dimana gitu."
"Katanya dia sibuk, kan? Nggak bisa lama-lama ninggalin tempatnya?"
Raut Pak Opie berubah mengeras sejenak "Iya sih. Tapi di sini berbahaya."
"Lebih baik saya ketemu Ernest secepatnya daripada terlambat."
Pak Opie menghela nafas panjang. Menggaruk kepalanya yang berpotongan cepak dengan bingung. Lalu ia mengedik pasrah.
"Iya deh, yok." Pak Opie segera pamit dan membimbingku lebih ke utara lagi. Pemandangannya berbeda lagi. Jalanan yang semula campuran batu andesit sempit, lalu lebih lebar dan berganti jalanan tanah gersang dengan rumput dan bunga liar.
Tidak ada lagi bangunan. Kiri-kanan jalan adalah barisan pohon mangga, parit kecil, petak-petak kecil sawah dan kebun serta sesuatu yang ditutupi pagar bambu dan terpal spanduk bekas dan dikelilingi barisan pohon rindang.
"Itu kolam pancing. Biar nggak nganggur-nganggur amat." Pak Opie menangkap tatapan bertanyaku.
Aku merasa kontras seketika. Beberapa saat lalu aku menelusuri daerah ramai perdagangan, perkampungan biasa, lalu tersesat di jalanan sempit suram sarat layaknya labirin, lalu daerah kecil yang 'hidup' dengan orang dan toko.
Kemudian aku seperti berjalan di pedesaan yang tenang dan hangat.
"Masih jauh Pak?" Aku bertanya. Lumayan juga jaraknya. Kakiku rasanya agak kram.
"Nggak. Tuh udah keliatan." Pak Opie menunjuk sebuah rumah tingkat dua bertembok putih di tengah padang ilalang tinggi yang panas.
Beberapa pohon Ketapang Kencana menjadi peneduh, sekaligus membuat pemandangan jauh lebih sejuk. Untuk ke sana hanya ada jalan setapak kecil yang di kelilingi parit.
Selain rumah itu, ada satu bangunan lagi di seberangnya. Rumah kecil yang tertutup pagar tinggi dengan sulur-sulur tanaman liar. Tidak berpenghuni.
Dan selain dua bangunan itu, nyaris tidak ada bangunan lagi selain lapangan luas yang kemudian berujung kebun bambu dan sungai besar yang dikelilingi tembok dengan ornamen oriental serta jembatan batu melengkung. Di seberang aku dapat melihat perkampungan lainnya, kemungkinan dari bangunannya adalah pecinan yang lain.
Aku tidak habis pikir. Bisa-bisanya rumahnya terpencil di tengah-tengah keramaian.
Kami masuk ke dalam rumah yang untuk ukuran yang katanya rumah preman justru sepi. Waktu aku mencari Tama dengan Ernest dulu di markasnya Tama---seterpencil apapun tempatnya di kota besar---aku dapat melihat lebih dari sepuluh orang di sana.
Rumah Ernest benar-benar sepi. Dan bersih serta rapi. Tidak mencerminkan bahwa rumah itu adalah rumah preman berbahaya. Bahkan halamannya lebih mirip kebun sayur rapi.
"Ncim, Ernest masih di dalem kan?" Pak Opie menyapa seorang wanita tua yang baru aku sadari keberadaannya sedang menanam sayur di halaman depan.
Wanita tua paruh baya yang keliatan galak itu menatap tajam Pak Opie sejenak, lalu berteriak ke dalam.
"Kui kia!"
Suaranya---yang cukup mengejutkan--- sangat keras. Aku tidak tahu wanita itu berbicara apa, atau apa artinya, tapi aku tahu wanita itu sedang memanggil Ernest karena beberapa saat kemudian, Ernest keluar.
Dengan tatapan yang awalnya ogah-ogahan lalu terkejut karena menangkap sosokku.
Ernest memaki "kenapa bisa kesini?"
"Aku perlu bicara. Karena kamu nggak bisa ketemu sama aku, jadi aku yang menemui kamu."
Ernest akan membuka suara untuk protes, ketika aku akhirnya maju dan memaksa Ernest menerima sesuatu. Ernest tampak pias ketika melihat penyimpanan data di telapak tangannya.
"Terimakasih udah bikin aku diincar, Sialan. Sekarang waktunya kamu tanggung jawab."
**********
Wajah Ernest tampak salah tingkah, tapi aku yakin dia tidak merasa bersalah.
"Ciak lah!" Wanita paruh baya yang tadi sibuk menanam sayur di depan sudah berganti pakaian dan bersih, menyorong piring besar ke arah kami.
"Makan gih." Ernest memperjelas maksudnya. Aku mengangguk mengerti, mengucapkan terimakasih kepada Ibu itu sebelum akhirnya Ibu itu berlalu dengan wajah dinginnya.
Aku yakin Ernest tidak akan mengatakan apapun sebelum aku makan.
Aku mengambil satu potong popiah yang dihidangkan tadi. Tidak beda dengan lunpia Semarang sebenarnya, hanya saja yang ini isinya lebih banyak. Daging ayam cincang, udang, rebung, bengkuang, wortel, dan sayuran lain hingga penuh. Ini enak dan lebih sehat, tapi aku lebih suka lunpia.
Setelah selesai menelan satu suap, aku meletakan garpu dan menghadap Ernest lagi.
"Tolong jelaskan saja versimu secara singkat karena aku sudah tahu secara umum kenapa kamu ngelibatin aku dengan ngasih data itu lewat boneka." Ujarku sambil meneguk teh tawar.
Ernest menghela nafas pendek, lalu ia menatapku.
"Yang kamu pegang itu hanya kopiannya. Yang asli sudah dicuri sama orangku yang ternyata berkhianat ke Daeriman." Jawab Ernest "aku sudah duga, makanya sebelum dicuri sama dia, aku kopi dan aku sembunyikan di tempat yang nggak bakal Daeriman duga."
"Tapi ternyata dia tahu." Sindirku.
"Yah... Itu memang di luar dugaan." Ujar Ernest tidak menyangkal.
"Lalu kenapa aku?"
"Karena Daeriman nggak kenal kamu. Dan kamu juga awalnya nggak tahu apapun."
Ernest melanjutkan "Lalu kamu ada Tama yang bisa melindungi kamu. Dengan begitu Tama nggak bakal melepaskan kamu dan dia akan sungguh-sungguh melindungi kamu."
Aku membuka mulut tidak percaya.
"Alasan apa sih itu? Itu nggak masuk akal!"
"Intinya, karena kamu nggak tahu sedang aku manfaatkan, dan Daeriman tidak mengenal kamu maka data tersebut akan aman. Dan jika waktunya tepat, aku akan mengambilnya lagi dari kamu. Bagaimanapun caranya."
Aku tahu dari cerita-cerita Tama bahwa Ernest adalah sosok yang tidak segan-segan memakai cara yang tidak manusiawi agar rencananya berhasil. Tapi tidak kusangka aku lah salah satu batu loncatan ketidakmanusiawian nya.
"Untuk ukuran orang yang katanya sempat naksir aku, kamu keterlaluan Nest pakai aku buat tujuan kamu." Gumamku "kenapa kamu nggak ngasih ke Tama? Daeriman itu musuh kalian kan?"
"Justru aku dapatnya dari Tama." jawab Ernest "Tama menyerahkan data yang sekiranya bagian itu berguna untukku. Tama menyimpan yang lain, bukti kejahatan lain yang berhubungan dengan pencariannya. Keseluruhannya ia serahkan ke aparat yang make jasa dia."
"Nggak ada satu pun dari kami yang memiliki data atau bukti kejahatan Daeriman secara utuh. Cuma polisi yang make jasa Tama yang punya. Ini komitmenku pribadi untuk nggak mengangkangi aparat, apalagi aparat yang baik-baik."
Aku menyangga dahiku dengan telapak tangan. Ernest yang melihatku masih mencerna, akhirnya memecah kebisuan.
"Aku juga nggak asal milih kamu. Kamu itu nggak ada sangkut pautnya dengan dunia kami. Dan tentunya kamu ada Tama yang jelas akan melindungi kamu---"
"Nest, kalau kamu lupa, saat itu hubungan kami lagi nggak baik-baik aja."
"Ya aku tahu. Makanya Aku tetap menyerahkan padamu. Agar kalian kembali." jawab Ernest "tapi yang nggak aku prediksi kamu adalah cewek nekat. Menghilang dan membuat keadaan kalang kabut. Lalu Daeriman Hadi akhirnya mengetahui sosokmu."
"Ya, dan jika itu belum bisa membuatmu merasa bodoh Nest, aku sempat berpacaran dengan anaknya. Semakin dekat sekali aku dengan bahaya."
"Aku sudah tahu itu dari Tama juga." Ernest menghela nafas kesal "entah ini antara kamu atau aku yang bodoh."
"Dan karena itu, aku kesini meminta bantuan---nggak, aku menyuruhmu untuk menjadi kekuatanku." Lalu aku menceritakan semua. Semua rencana yang aku sudah pikirkan. Masih kasar, namun justru aku kesini agar Ernest mencari celah dan memperhalus rencanaku.
Ketika aku selesai bercerita, wajah Ernest berubah kaku.
"Nggak." jawab Ernest "Tama bener, kamu nggak boleh terlibat."
"Aku sudah terlanjur sejauh ini terseret. Jangan membuatku mengulang argumenku." ujarku menggeletukan gigi.
"Duduk diam saja dan biar kami yang selesaikan." ujar Ernest tegas.
"Lalu menunggu seperti hewan yang akan dijagal?" bentakku.
"Nggak akan ada apa-apa yang akan terjadi sama kamu. Ini bukan urusanmu---"
"Sudah jadi urusanku ketika Daeriman Hadi mengincarku! Kamu tahu, dia langsung mengobok-obok kantorku ketika aku baru kerja di sana dengan alasan yang aneh! Meminta secara paksa untuk ketemu denganku yang kemudian membawaku bertemu anaknya. Dari anaknya aku tahu Ayahnya mengincarku! Kalau aku nggak dekat sama Verdian, mungkin sebelum Tama datang aku sudah jadi mayat!"
Ernest menutup matanya. Tampak ia juga sedang menelan emosinya.
"Jujur saja Nest, aku bahkan ragu kalian bisa melindungiku atau bahkan keluargaku."
"Aku sudah berupaya semaksimal mungkin. Bahkan jika kamu mau tahu, rumahmu dan Ibumu ada dalam pengawasanku."
"Dan sekarang kamu kelabakan dengan masalah di wilayahmu sendiri, kan?"
Ernest terdiam. Ingin menyanggah lagi tapi aku putuskan tetap berbicara.
"Ini adalah cara teraman yang bisa aku lakukan agar ini selesai." aku menambahkan "aku memang bukan preman atau orang yang bisa terlibat di dalamnya seperti Dahlia. Aku benar-benar buta dengan hal itu.
Tapi aku nggak bisa diam saja. Aku nggak minta yang aneh-aneh sama kamu. Aku cuma minta arus informasi sama perlindungan."
"Ranu, kamu mau nyari informasi dari mana? Tama saja kewalahan." Ernest berujar lelah.
"Ada beberapa." Jawabku "akui saja bukti-bukti yang kalian miliki nggak ada yang bisa sekuat itu menjebloskan Daeriman Hadi ke penjara kan? Aku sudah lihat yang di situ." Aku menunjuk penyimpanan data yang aku kembalikan ke Ernest.
"Punyamu hanyalah tentang aliran dana dan penyadapan telepon antara Daeriman Hadi dan kelompok preman, yang aku asumsikan adalah sainganmu. Tapi mereka berlindung dalam ormas besar. Jadi hanya akan dianggap sebagai sokongan saja. Tidak membawa dampak berarti."
"Aku belum lihat punya Tama. Tapi jika sampai sekarang Daeriman Hadi masih damai di tempatnya, berarti Tama juga tidak cukup bukti."
Ernest terdiam. Rahangnya mengeras. Tapi kemudian dia meminum tehnya "dan kamu mau cari bukti yang bagaimana?"
"Aku hanya perlu mengorek informasi lagi. Dan semoga aku bisa mencari bukti dimana yang itu bisa cukup kuat untuk menjebloskan Daeriman Hadi di dalam penjara." Jawabku.
"Walaupun dia dipenjara," Ernest mencondongkan tubuhnya "dia masih bisa menjalankan kuasanya di balik jeruji. Kelompok preman miliknya akan tetap berkembang, Tama akan masih kesulitan mencari kakaknya."
"Tapi setidaknya dia tidak akan terlalu berkuasa dan kamu bisa membereskan sisanya. Jangan bilang kamu nggak punya sokongan pejabat kayak Daeriman Hadi? Kamu kan ngeklaim kelompok kamu gede." Sindirku.
Ernest tertawa terbahak. Lalu dia menggeleng-geleng "astaga... Kamu lumayan pinter juga ya masalah ginian."
Ernest lalu bersandar lagi "aku masih menganggap bahwa rencana kamu lemah. Dan aku nggak bisa membantu kamu tanpa Tama terlibat. Seperti yang kamu tahu, jika aku setuju dan kemungkinan terjadi sesuatu kepadamu, Tama akan membunuhku kali ini."
"Kamu takut sama Tama?" Tanyaku terkejut. Karena yang aku tahu, Ernest jauh lebih berbahaya dan dia ketua preman. Perbandingan keduanya---dilihat dari permukaan sangatlah mencolok.
"Ya." Ernest berkata tenang "aku takut jika ia hilang pikiran, dia bisa bertindak apapun. Tapi yang aku takutkan adalah jika terpaksa aku yang membunuhnya."
Aku memejamkan mata. Mencoba mengenyahkan bayangan itu. Benar. Ernest bisa saja membunuh Tama.
Ada emosi ketika aku memikirkan itu. Ada kebencian yang tidak seharusnya kutujukan kepada Ernest.
Aku menghela nafas panjang "kalau begitu Nest, aku hanya minta salah satu. Kamu bisa memberiku informasi, atau menjadi pelindung jika aku membutuhkanmu. Maaf saja aku nggak nerima penolakan apalagi setelah yang kamu lakukan."
"Aku dan Tama sudah memberimu perlindungan, Ranu. Tinggal kamu saja yang harusnya nggak ikut campur." Ernest masih berusaha membujukku. Tapi dia pun pasti tahu aku tidak akan mudah terbujuk.
Aku tidak menjawab sebagai tanda bahwa aku tidak sepakat. Ernest akhirnya menghembuskan nafas dengan lelah.
"Baiklah, aku sudah memperingatkan kamu. Aku akan memberimu informasi jika itu yang kamu butuhkan. Dan sebaiknya kamu juga punya sesuatu agar Daeriman Hadi bisa mendekam di penjara---atau membusuk sekalian."
Aku tersenyum masam. Itu adalah titik balik kehidupanku. Aku harus mengucapkan selamat tinggal kepada kehidupan yang berjalan laksana angin yang tenang dan damai. Aku menantikan badai.
Tapi untuk sesuatu yang aneh, aku merasa lega.
************
Aku sudah selesai mengiris semua sayuran dan menyerahkannya kepada Yuk Dya dan Yuk Dya langsung menyimpannya di wadah kedap udara.
Aku bermaksud melengang ke kamar ketika suara bel pintu terdengar. Aku menoleh ke pintu, sedikit berdegup. Mama yang membukanya.
"Eh Nisha. Masuk gih" Mama menyapa "pas, Tante masak gulai ayam. Ada sosis Solo juga. Nanti kamu bawa ke kontrakan kamu ya?"
Mbak Nisha mencium telapak tangan Mama "aduh Tante jadi ngrepotin." Mbak Nisha membaui ruangan "masak-masak Tante?"
"Iya acaranya tetangga. Tunangan." Jawab Mama "kamu kapan nih? Nanti biar Tante yang bikinin semua. Gratis. Maunya apa bilang Tante."
Mbak Nisha tertawa canggung mendengar penuturan pongah Mama "Ranu aja dulu Tante. halo, dek. Gimana kabar?"
Aku tersenyum menjawab sapaan Mbak Nisha. Ah. Ini dia yang aku tunggu.
Aku bisa mendengar Mama bergumam tentang aku -yang -betah -menjomblo -entah sampai kapan-karena gagal move on dari Syahdan (dan aku hanya berkernyit, semoga setelah ini selesai aku akan mengenalkan pria muda-ku.) Dan untungnya Mama belum tahu gosip aku 'berpacaran' dengan Verdian.
Mbak Nisha menghampiriku yang setengah jalan ke kamar. Mbak Nisha seperti biasa selalu rapi dan cantik bahkan di hari libur.
"Katanya mau cek darah ya? Kamu belum makan kan? Nanti aku cek gula sama tekanan ya." Mbak Nisha mengapit tas kerjanya. Aku langsung mengajak Mbak Nisha ke kamar.
Karena aku sengaja memanggil Mbak Nisha ke rumah. Dengan dalih untuk pemeriksaan kesehatan---yang mana juga selalu dilakukan Mbak Nisha ke Mama setiap sebulan sekali.
Aku menunggu ketika Mbak Nisha mengambil setitik darah di ujung jariku. Di kamarku sunyi. Sangat cocok untuk berbicara berdua.
"Gimana kerjaan, Dek?" Tanya Mbak Nisha menunggu hasil di alat digital.
"Ya lumayan. Sering lembur tapi nggak ngekang sih. Paling pas deadline aja." Jawabku "kalau Mbak?"
"Yah lumayan. Apalagi kan aku juga di klinik Faskes. Rame."
Tidak ada yang berbicara sampai kemudian Mbak Nisha memberitahu hasil pemeriksaan darahku. Semua baik.
"Kamu di sana kerasan?" Mbak Nisha memulai lagi pembicaraan soal pekerjaan "kan jauh ya dari rumah. Apalagi nggak sebesar kantormu yang dulu. Tapi aku harap kamu fine-fine aja---"
"Mbak," aku memotong Mbak Nisha "Teman Mbak Nisha yang resign itu sekarang dimana?"
Mbak Nisha langsung menatapku dengan tatapan terperanjat ketika aku melontarkan pertanyaan menyerang itu.
"Eh? Kenapa emangnya Dek?"
"Nggak apa-apa, hanya saja temen Mbak itu ninggalin banyak masalah yang harus aku tangani." Jawabku. Wajah Mbak Nisha salah tingkah, bingung.
"Jadi, dimana temen Mbak itu?"
Mbak Nisha tidak menjawab. Lalu kemudian aku dapat melihat manik matanya berair.
Aku tidak menyangka dengan reaksi ini.
"Aku nggak tahu..." Mbak Nisha berusaha mengatur suaranya "aku nggak tahu Mas Yusril ada dimana..."
Aku sudah tahu namanya Yusril. Aku bertanya kepada orang-orang kantor saat polemik infografis itu. Tapi mereka berbicara seperlunya, terkesan hati-hati. Kata Kang Elfran, proses resignnya nggak baik-baik.
Tapi kenapa Mbak Nisha membohongiku? Mbak Nisha bilang yang merekomendasikan adalah teman SMA nya. Aku hanya dikenalkan lewat pesan elektronik. Kami tidak pernah bertemu.
Tapi melihat reaksi Mbak Nisha yang seperti ini, aku ragu Yusril sekadar 'teman'.
"Mas Yusril jadi aneh... Lalu tiba-tiba... Tiba-tiba dia resign... Lalu, lalu dia hilang..."
"Gimana? Mbak Nisha pelan-pelan saja ceritanya." Aku tidak tega. Air mata Mbak Nisha seakan mau jatuh kapan saja. Aku tahu dia tidak tahan.
Aku meraih air minum gelas kemasan yang selalu tersedia di kamarku, memberikannya ke Mbak Nisha. Mbak Nisha hanya meminum sedikit.
Tapi selanjutnya dia hanya terdiam dan akhirnya menangis.
Aku tidak bisa memaksanya. Jadi aku menunggu.
Beberapa menit kemudian, akhirnya Mbak Nisha berhasil menguasai dirinya.
"Maaf dek..." Gumam Mbak Nisha lemah. Aku menggeleng. Aku kehilangan minat jika begini. Aku malah kasihan.
"Nggak apa-apa. Mbak nggak harus cerita sekarang."
Mbak Nisha menggigit bibir "nggak, aku juga harus cerita ke kamu. Aku nggak bisa risau terus. Nggak bisa sedih sendiri."
Jadi Mbak Nisha menceritakan semuanya.
"Aku minta maaf dek, Aku minta maaf karena bohong sama kamu. Kerjaan itu nggak aku dapat dari grup SMA. Itu dulunya kerjaan pacarku. Namanya Yusril..."
"Yusril itu kakak tingkatku... Kami beda fakultas. Dia Fisipol (Ilmu Sosial-Politik) dan aku Kedokteran." Mbak Nisha membesit hidungnya "kami ketemu saat ikut Mapala gabungan. Terus berlanjut. Kami menjadi dekat."
Aku dulu tidak ingat Mbak Nisha pernah dekat dengan lelaki manapun saat kuliah. Selama tinggal dengan kami untuk studinya, Mbak Nisha tidak pernah membawa laki-laki main ke rumah. Dan Mbak Nisha pun tidak pernah keluar rumah selain urusan kuliah.
Aku sedikit merasa bersalah, sedekat itu jarak kami dulu tapi aku sama sekali tidak mengetahui apapun tentang Mbak Nisha. Mbak Nisha adalah saudara terdekatku.
"Dulu dia bagian liputan. Tapi kemudian dia pindah ke desain karena masalah kesehatan. Yusril juga bisa desain." Mbak Nisha memainkan tangannya dengan gelisah.
"Awalnya kukira dia di sana bakalan baik-baik saja setelah paru-parunya bermasalah. Tapi semakin lama dia semakin... Aneh. Lebih pendiam. Aku mengira dia begitu karena nggak betah kalau nggak di lapangan--- Yusril nggak suka dikungkung di ruangan."
Tatapan Mbak Nisha menerawang "tapi kemudian, Yusril semakin menjadi-jadi. Dia jarang pulang ke kontrakannya. Kalau aku hubungi selalu nggak diangkat. Sering ngilang berhari-hari sampai kena SP dari kantor. Kukira dia punya kekasih lain, tapi ternyata tiba-tiba dia bilang dia mau resign."
"Aku mencercanya. Ada apa dengannya. Tapi dia bergeming. Dia nggak cerita apapun. Dia cuma bilang mungkin akan balik ke kota asalnya di Tanah Laut untuk memulihkan kesehatan dan menjaga Pamannya. Selamanya."
"Aku kalut dek..." Mbak Nisha berujar putus asa "lalu gimana sama hubungan kami? Apa aku saja yang selama ini cinta sama dia? Aku nggak masalah dia nggak kerja, dia sakit, dia nggak punya ortu---aku punya semua yang dia nggak punya dan aku siap membagi sama dia! Bahkan kalau dia ternyata punya tekanan mental pun aku siap!"
Aku memejamkan mata. Terdistraksi dari pikiran semula. Mbak Nisha mencintai seseorang tanpa syarat. Entah kenapa hatiku tersentuh.
"Dan sebelum resign itu dia bikin 'ulah', lengkapnya aku nggak tahu. Lalu dia mengundurkan diri. Dan kemudian dia hilang sampai sekarang. Aku bahkan sempat ke Kalimantan buat nyari dia. Tapi dia nggak di sana. Dia kemana? Dia membuatku nggak karuan... Kenapa dia seenaknya sendiri..."
"Apa keluarganya nggak nyari?" Aku bertanya "mereka pastinya mencari kan?"
Mbak Nisha menggeleng "Dia yatim piatu dan hanya punya seorang paman yang renta dan sakit. Pamannya ini yang ngasuh dia dari kecil. Pamannya sudah melapor ke kepolisian daerah tempat kerjamu tapi nihil. Dan nggak mungkin juga beliau dengan keadaan seperti itu bolak-balik antar pulau kan?"
Aku mengiyakan. Lalu menghela nafas.
"Lalu kenapa Mbak Nisha minta maaf sama aku? Aku kan kerja di sana atas kemauanku sendiri, terlepas Mbak Nisha yang rekomendasikan---" aku lalu tersadar "Mbak Nisha... Mbak Nisha pengen aku cari tahu soal keberadaan Mas Yusril?"
Mbak Nisha terdiam lalu mengangguk "tapi aku urungkan. Rasanya nggak adil kalau kamu terlibat, dek. Keluargamu sudah banyak membantuku. Aku hanya akan mutusin apa aku bakal cari tahu sendiri atau nyerah soal Mas Yusril---"
"Nggak." aku memotong ucapannya "jangan nyerah. Aku siap kalau harus nyari tahu tentang Mas Yusril. Apapun caranya."
"Dek, kamu nggak perlu sampai seperti itu." Mbak Nisha menatapku bingung.
"Tapi aku harus Mbak."
"Sebentar, memangnya ada apa?" Raut Mbak Nisha semakin bertanya-tanya.
Aku menarik nafas lalu aku berujar mantap namun getir "mungkin saja dengan aku tahu dimana Mas Yusril, nyawaku akan selamat."
"Apa?"
Jadi aku memulai semua. Dari awal aku bertemu Tama dan hingga kenapa aku membutuhkan informasi tentang Mas Yusril.
Mbak Nisha tampak pias. Bahkan dia kemudian berdiri, tampak sempoyongan menuju jendela lalu menghela udara segar.
"Dek..." hanya itu yang ia dapat ucapkan setelah ia tidak mampu menghela nafas lebih banyak. Matanya nanar.
Aku tidak menjawab. Aku tahu aku berniat tegar sejak aku putuskan terlibat. Tapi bibirku gemetar hebat.
"Kenapa nggak lapor pihak berwajib?! Polisi, LBH, LSM... Apapun!" Mbak Nisha nyaris berteriak. Aku menggeleng.
"Itu berisiko Mbak. Semua bukti belum cukup. Aku bisa dituntut balik atau... kasus dia akan hilang."
"Tapi dek---"
"Mbak," aku mendekat ke arah Mbak Nisha. Memegang lengannya lembut untuk menenangkan sekaligus menguatkan diriku "aku hanya butuh bantuan Mbak, sekecil apapun, agar aku bisa menghadapi ini. Tapi kalau ini gagal, apapun yang terjadi sama aku, Mbak Nisha harus janji sama aku..."
Aku merasakan pelupukku berat "tolong jaga Mama ya?"
"Dek!" Mbak Nisha membentakku "jangan macam-macam dek! Nggak akan ada apa-apa sama kamu!"
Aku menggeleng "Mbak tahu pasti itu nggak mungkin. Buktinya Mas Yusril pun menghilang. Pengakuan anaknya Daeriman saja sudah bukti kuat bahwa aku sedang dalam masalah."
Mbak Nisha lalu memelukku "kabur lagi dek, aku mohon! Tolong pergi jauh lagi! Aku ngerasa bersalah..."
Aku membalas pelukannya "aku sudah bilang... Aku menerima tawaran itu adalah kuasaku sendiri. Nggak ada yang harus disalahkan."
Mbak Nisha melepas pelukannya.
"Tapi kamu nggak perlu terlibat sejauh itu dek. Kamu harusnya diam. Menunggu. Ada orang-orang yang akan membongkarnya. Harusnya kamu lapor polisi, kamu ini bisa minta perlindungan saksi atau semacamnya."
"Aku bahkan nggak bisa disebut saksi Mbak. Aku cuma punya beberapa data dan itu pun masih belum kuat."
"Kalau begitu biar polisi yang ngusut tuntas dari situ!"
"Jujur saja aku nggak percaya aparat, Mbak!"
Mbak Nisha mengerang kesal. Reaksinya dama seperti Tama maupun Ernest. Aku tahu mereka hanya ingin aku selamat. Tapi aku merasa ini tidak akan selesai jika aku berpangku tangan.
Kami berada dalam kebisuan.
"Jangan keras kepala,dek." Mbak Nisha bergumam kalut "kamu tahu risikonya. Jangan berbuat apapun."
Aku memejamkan mata, akhirnya berujar gusar "baik, baik! Tapi aku cuma butuh bantuan sekecil apapun tentang Mas Yusril Mbak. Biar Tama atau Ernest yang mencari tahu!"
"Dek..." Mbak Nisha menggumam "aku mau bantu, tapi berjanjilah kalau kamu dalam bahaya, kamu harus lari. Kamu harus sembunyi, jangan ikut lagi."
Aku memejamkan mata "makasih Mbak..."
Mbak Nisha lalu memandangku "aku sudah duga cowok di hotel itu berbahaya. Tapi aku nggak sangka kalau kalian bukan hanya sekadar kenal."
"Ya." aku menjawab mantap "aku mencintainya Mbak."
Aku dan Mbak Nisha lalu keluar kamar karena Mama memanggil. Mata kami sembab. Kami berpandangan sejenak.
"Kamu masih beruntung karena dilindungi banyak orang. Tapi kita nggak pernah tahu apa yang terjadi." Mbak Nisha melanjutkan dengan tajam "dan aku nggak akan biarkan kamu terlibat lebih jauh selain informasi soal Mas Yusril. Aku nggak bisa lihat Tante menderita."
Dan bilang sama pacarmu, kalau dia memang serius, berhenti jadi preman segera setelah ini semua selesai atau tinggalkan kamu sekalian. Meskipun kalian sudah jauh tapi aku nggak ingin dia bikin kamu celaka."
Aku tersenyum lemah. Mbak Nisha boleh meminta apapun dariku, dia sudah kuanggap kakak kandungku. Tapi ada beberapa yang harus aku abaikan.
Meninggalkan Tama adalah salah satunya.
*******
"Engg..."
Aku mendongak menatap langit-langit kamar Tama. Desahan kami seirama, membumbung menciptakan irama yang menaikan libidoku secara instan.
Tama mencium dan menggigit leher dan sepanjang tulang selangka hingga bahu.
Aku meminta Tama menjemputku di sebuah restoran cepat saji, tempat aku makan malam bersama Mbak Nisha sebelum akhirnya kami berpisah, Mbak Nisha kembali ke kontrakannya.
Dan seperti pasangan lainnya---dalam kasusku adalah pasangan sembunyi-sembunyi--- kami memutuskan menghabiskan malam berdua, jika bisa hingga esoknya.
Dan di sinilah kami menghabiskan malam. Di rumah Tama. Dan itu akan sampai besok kurasa.
Tama mendongak, menatap wajahku yang mungkin sudah setengah sadar karena siksaan menyenangkan itu. Lalu dia menciumku. Aku membalas, kami saling berciuman liar hingga suara decak bibir kami menggantikan desahan.
Ketika Tama melepaskan diri, aku membelai sisi wajahnya. Binar mata Tama menatapku jahil.
"Kenapa?" tanyaku.
"Nggak." ujarnya, tersenyum miring "cantik. Aku benci Ranu adalah kekasih orang---"
Aku memukul lengannya kesal hingga berbunyi. Tama tergelak sembari mengelus lengannya. Namun kemudian rautnya berubah serius.
"Tapi akan kurebut." gumamnya sembari memandangku dalam.
Aku mencium pria itu "Nggak perlu. Aku sendiri yang memutuskan bersama siapa. Dan itu adalah kamu."
Kami melanjutkan ciuman kami. Jemari Tama bergerak menyibak kemeja sabrinaku hingga bahuku meremang karena pendingin udara. Tama lalu melucuti kancing kemejaku sembari menggigit ujung daun telingaku.
Ketika dia melihat apa yang dia perbuat, aku dapat melihat dia menelan liurnya ketika melihatku berbalut strapless bra berenda warna hitam. Demi membuatnya semakin tertegun, aku melepas celanaku dan memperlihatkan lace thong dengan warna senada.
Aku sengaja membelinya. Aku sengaja memakainya. Untuk Tama.
Aku beringsut, merapatkan kakiku dan berpose menggoda.
Tama tidak bergerak. Masih terduduk dengan tatapan terpukau yang membuatnya terkunci.
Aku suka melihatnya seperti pemuda polos yang baru pertama kali berkenalan dengan seks. Padahal, dalam kenyataannya, dialah yang mengenalkanku dengan itu---secara aneh, liar, asing namun memikat.
"Kamu suka?" aku menyadarkannya. Tapi Tama bergeming. Tidak menjawab.
"Tama---"
"Indah..."
"Apa?"
Tama menelan ludah, lalu dia bergumam lagi "tubuh Ranu... Indah."
Tama akhirnya bergerak mendekat. Membelai wajahku. Aku menerima sentuhannya sembari memejamkan mata. Tama kemudian membelai bibirku dengan ibu jarinya. Memainkannya.
"Ranu..." Tama mengerang, ia menerjangku, memagutku membabi buta sembari melucuti pakaiannya sendiri. Ia lalu membuka sabuk dan kancing celananya. Namun hanya sampai di situ. Dia tahu belum saatnya.
Aku menarik kepala Tama agar semakin dalam menciumku. Kemudian ia melepaskan diri, kembali mencium leherku dan akhirnya membuat tanda di sekitar tulang selangka.
"Milikku... Astaga Ranu... Ranu adalah milikku.." racaunya putus asa. Aku mengerti perasaan putus asa itu. Aku membuka pengait bra-ku.
"Iya. Aku milikmu."
Mendengarnya, Tama lantas membenamkan wajahnya di lembah dadaku. Jemarinya yang semula menggenggam tanganku, kini menyibak lepas bra ku, bermain-main di dadaku. Meremas. Memilin. Menekan.
Nafasku kian memburu. Simfoni nafas kami liar namun semakin membangkitkan nafsu masing-masing. Tama bahkan mulai bermain dengan mulutnya. Lidahnya. Bibirnya. Menyusu.
Aku membeliak, mengerang. Aku membiarkan lelakiku memberiku kenikmatan di bagian itu selama yang ia mau. Sprei Tama kusut karena cengkramanku.
Tama bangkit setelah ia puas. Dadaku masih membusung karena nikmat. Tama memutuskan untuk membuka celananya dan aku berinisiatif untuk memanjakan miliknya. Tama tidak protes.
Tama mendongak ketika aku memainkan miliknya, sesekali menunduk melihat apa yang aku lakukan. Erangan kecil keluar dari sela-sela giginya, mendesis. Buku-buku jemari Tama memutih karena menahan gejolak.
Aku menjelajah dengan jemari dan lidahku. Lalu mengulum. Penuh. Berdenyut.
Aku bangkit ketika Tama menyuruhku berhenti dari memanjakan kejantanannya. Tama menciumku lagi. Kemudian ciumannya turun hingga perut.
Tama menyibak thong ku tanpa melepasnya. Aku merasakan sengatan tajam ketika Tama mencium dan menyesap. Lidahnya menelungsup. Aku tanpa sadar melebarkan ruang diantara kakiku.
"Tama...." Aku menyandarkan diri di tembok. Memainkan payudaraku ketika Tama masih sibuk di bawah sana. Aku memejamkan mata menikmati setiap sengatan itu.
Tama yang mengetahui itu, mengulurkan jemarinya. Membantuku memainkan dadaku.
Aku mendesah semakin hebat. Siksaan demi siksaan. Membuatku sampai. Aku mengatur nafas. Aku mendengar decak lidah Tama.
Ketika aku membuka mata, Tama mempersiapkan dirinya. Ia menarik thong ku turun hingga pergelangan kaki. Tama lalu memasukiku, aku mendongak.
Aku merangkul leher lelakiku itu ketika miliknya sudah terasa pas dengan milikku. Tanpa kata kali ini, tubuh Tama mendorong dengan ritmis yang halus. Pelan namun intens. Aku mempererat pelukanku.
Suara derit tempat tidur terdengar pelan seiring gerakan Tama yang semakin cepat. Aku menjeritkan namanya ketika ia semakin dalam.
Milik Tama tidak pernah gagal membuatku bertransformasi dari wanita biasa menjadi wanita liar penuh nafsu. Tama adalah kokainku. Dia adalah rasa puasku.
Aku menjerit ketika sampai untuk kedua kali.
Tama semakin cepat. Aku tidak tahu lagi berapa lama ia menghujam tubuhku. Dan kemudian, aku tahu, dia segera bangkit. Membuncah. Membuat kekacauan.
Aku mengatur nafasku. Memandang sosok Tama yang semakin mengabur. Aku lelah. Aroma senggama menguar.
Tama mencium puncak kepalaku singkat, lalu ia membersihkan kekacauannya. Lalu seperti yang sudah-sudah, ia ambruk di dekatku. Sembari memeluk tubuhku.
Aku bergelung di dekatnya. Merapatkan tangannya di wajahku.
Aku menyukai tangan Tama. Ia memiliki tangan yang tidak kekar namun tulang-tulangnya tampak kokoh. Jemarinya panjang dan rupawan. Maskulin namun juga estetik.
Pergelangan Tama memiliki tattoo mata angin dengan panah menembus lingkaran ke bawah dengan huruf S.
Aku menelusuri tato itu dalam keremangan.
"Serigala Selatan. Nama geng preman ku." Gumamnya, melihat tatapanku di tangannya "hampir semua memiliki tato serigala, dalam berbagai bentuk. Aku nggak punya."
"Kenapa?" Tanyaku. Pasti bagus sekali kalau dia punya tato serigala di lengan atau punggung.
Tama mengangkat bahu "aku nggak suka banyak tato, apalagi yang mencolok."
Tama lalu menatap tangannya
"Tapi kami semua memiliki tato ini ketika diinisiasi masuk kelompok. Harus di pergelangan tangan sebelah kiri, dekat nadi."
dia menunjuk tato mata angin tadi.
"Inisiasi?"
"Ya." Ujar Tama "setiap kelompok punya inisiasinya sendiri. Nggak asal bisa masuk. Bisa saja dari anak jalanan lalu masuk ke dalam lingkungan preman, bisa saja karena reputasi sebagai kriminal. Dalam kasusku, aku dibawa Ayahnya Lilo. Ayahnya Lilo bukan preman tapi dia dekat dengan dunia itu. Terutama, dekat dengan kelompokku."
Aku tahu inisiasinya tidak hanya sekadar menoreh atau merajah kulit seperti itu. Pasti ada yang lain. Tapi Tama enggan mengatakannya.
Aku mengelus tangan Tama lagi lali aku mengira melihat tahi lalat, tapi kemudian aku tersadar.
"Itu di sekitar lingkaran gambar rasi bintang?" tanyaku. Tama mengangguk.
"Rasi bintang Lupus, bahasa latin dari Serigala. Gugusan Centaurus. Adanya di langit bagian selatan bumi."
Aku tahu seharusnya aku tidak kagum terhadap suatu kelompok kriminal, tapi kenapa mereka memiliki tato yang keren sekali? Penamaan dan lokasi. Bahkan mereka tahu rasi bintang.
Aku tidak mengira preman-preman ini filosofis juga.
"Tidurlah." Tama memelukku semakin erat "besok akan aku antar Ranu ke kontrakan. Lalu..."
Tama terdiam sebelum melanjutkan "sepertinya aku akan cuti minggu depan."
Aku setengah bangkit "kemana?"
"Pencarian. Apa lagi?"
"Kamu sudah dapat info baru soal kakakmu?"
Tama mengangguk "tapi tidak banyak. Hanya saja patut dicoba."
"Berapa lama?" Tanyaku. Aku takut dia menghilang lagi. Tanpa kabar. Lalu memutuskanku lagi.
Tama mengerti kekalutanku.
"Nggak Ranu, jangan khawatir. Aku nggak akan bersikap brengsek lagi. Aku akan kembali. Aku kan milik Ranu."
Aku lalu menindih Tama, mencium pria itu. Hati-hati agar tidak mengenai lebamnya yang belum sembuh.
"Dan jangan berbuat yang aneh-aneh. Jauhi Verdian jika bisa tapi jangan menyangkal keberadaannya. Suka nggak suka, dia adalah tameng Ranu sekarang."
Aku terdiam. Berusaha membantah.
"Tolong, Ranu. Aku bisa mengesampingkan perasaan cemburu asal Ranu selamat."
Aku akhirnya mengangguk. Tama menghela nafas lega. Mendekapku lagi. Mencium puncak kepalaku lama.
Aku lelah, mataku berat. Kemudian aku jatuh tertidur di dada Tama.
*****************
Tama memandang langit-langit kamarnya. Masih terjaga. Tidak lelah. Ia bisa saja memulai lagi permainan panas dengan Ranu tapi ia membiarkan wanitanya istirahat.
Tama terkekeh pelan menatap pakaian dalam Ranu yang teronggok lemas di tempat tidurnya. Seksi. Apalagi jika Ranu yang memakainya. Pikiran Tama langsung hilang seketika. Ia seperti mengalami trance.
Menyenangkan membayangkan wanitanya ini sengaja memakainya untuk menyenangkan hasratnya.
Tarikan nafas Ranu yang damai di dadanya membuatnya nyaman. Kulit bertemu kulit sepanjang malam seperti ini membuatnya berhenti memikirkan berbagai hal yang menimpanya seminggu ini.
Aparat yang sudah tidak memakainya sebagai agen ganda membuatnya kehilangan akses untuk mencari informasi tentang kakaknya. Akhirnya ia mencari sumber lain.
Walaupun Komandan Gandi masih sedikit-sedikit membantunya, tapi polisi intel itu tidak bisa serta merta memberitahu semua yang ia punya.
Tama akhirnya mendapatkan informasi dari kasus prostitusi besar yang baru saja digrebek bahwa sebagian korban human trafficking itu di dapat dari kelompok preman yang baru dibentuk Daeriman Hadi. Mereka bekerja sama dengan sindikat Asia.
Tama sudah pernah ke Malaysia dan hasilnya nihil. Malahan dia kehilangan Arif dan hampir kehilangan Lilo dan nyawanya sendiri. Tapi kali ini dia harus keluar negeri lagi.
Memastikan bahwa apa yang ia akan dia temui bukanlah harapan palsu. Kali ini dia akan sendirian. Ia tidak mau menanggung risiko kehilangan orang-orang yang tidak berkaitan.
Tama mencium puncak kepala wanitanya lagi. Dan lagi. Ranu hanya bergerak sedikit lalu kembali tertidur.
Tama ingin merasakan kelembutan Ranu lebih lama. Sebagai kekuatan dan keteguhan.
Karena bagaimana pun sekarang, Tama memiliki ketakutannya sendiri ketika ia sudah terlanjur melibatkan Ranu dan akan meninggalkannya sementara waktu.
Takut ia dicelakai oleh Daeriman Hadi, ataupun takut Ranu berpaling ke Verdian.
*******************
menanggapi permintaan re publish Vices's Touch yang mana saya nggak bisa jawab satu-satu, her i got some explain. Semoga membantu ;)
1. Ada thread di twitter yang reply-an nya menyarankan agar cerita saya yg VT direport karena mengandung unsur yang berbahaya bagi pembaca. Bukan, bukan adegan mature.
Tapi meromantisasi pemerkosaan dan berakhir Stockholm syndrome terhadap penjahat. Nah kalau ini masalahnya, mau saya alusin kayak apa adegannya pun akan tetap jadi concern buat mereka.
Apalagi kan sempet rame yg kasus cerita teenporn kemarin.
Apakah saya marah? Tidak. sama sekali. Saya sadar kok VT itu memang meromantisasi hal yang buruk. Anderpati Prasojo dkk tidak memberikan pelajaran moral apapun . I can deal with this. Bagi saya orang-orang ini hanya ingin mengembalikan wattpad seperti dulu yang 'aman' bagi semua kalangan. Saya hargai itu. Dengan tidak dengan merepublish di sini---dalam waktu yang belum ditentukan.
Atau juga pindah lapak.
2. Ini saya udah cerita ya bolak-balik kalau cerita saya diplagiat (lagi). Bedanya dengan yang dulu kenapa saya nggak nge konfront Mbaknya, karena dia tidak berusaha 'menjual' ceritanya. Saya juga waktu itu sedang malas berkonflik apalagi dengan masalah yang sama. Tapi jujur saja saya masih sakit hati.
Dan ada beberapa readers yang follow cerita Mbaknya itu mengDM saya, mungkin fanbase nya si Mbak yang ngereport. Dude seriously, I'm the original one.
Sengaja saya nggak spill namanya sekarang karena cerita Mbaknya yg ngambil beberapa part VT dan dimodifikasi (tetep jatohnya plagiat sih menurut saya) sudah beliau unpub. Entah apa alasannya, tapi jika mungkin beliau publish lagi, hell, I can't deal with ya honey.
Karena VT sudah saya ajukan ke salah satu penerbit, yes, you're not read it wrong. Semoga segera dapat direalisasikan. Ini juga alasan saya kenapa nggak segera merepublish VT.
Dan sekian curahan hati dan pengakuan dosa saya. Semoga maklum kalau saya belum bisa republish ataupun masih suka2 publish secara nggak sengaja. Semoga malam man teman menyenangkan.
regards,
Lust Lucifer.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top