37. Bella Solitudine
Membahas tentang akhir sebuah hubungan memang sangat meresahkan.
Selama ini, aku lah pihak yang diputuskan. Jadi yang aku tahu adalah sakit dan patah hatinya.
Tapi sekarang, aku lah yang memutuskan.
Awalnya aku tersiksa membayangkan reaksi Verdian. Lalu dipusingkan dengan bagaimana memilih cara memutuskan yang tidak menimbulkan masalah berarti; Pilihannya adalah apakah tatap muka atau melalui telepon-pesan.
Dan karena melalui telepon-pesan saja menurutku sangat kurang ajar, maka aku putuskan bertatap muka. Itupun masih dipenuhi pertanyaan sebaiknya dimana.
Di restoran seperti halnya Syahdan memutuskanku? Nanti malah jadi tontonan khalayak.
Tempat wisata yang sepi seperti taman atau pantai? Entah kenapa rasanya sangat kontradiktif. Apalagi aku dan Verdian akan membicarakan masalah ini di malam hari.
Di kontrakanku? Ada Naula dan Aiza---saudaranya yang satu kontrakan dengan kami. Aku nggak mau mempertontonkan drama kepada mereka.
Lalu di tempat Verdian? Oh hai sangat bangsat sekali ya memutuskan anak orang di rumahnya.
Belum lagi jika Verdian kalap.
Aku memandang buket bunga di samping meja. Pemberian Verdian. Semuanya dominan warna merah.
Ada mawar, salvia, krisan dan anyelir. Semuanya berwarna merah. Sisanya anyelir kuning dan bunga---yang sangat aneh untuk dijadikan buket---oleander, atau bunga mentega yang pohonnya banyak dijadikan pohon di jalur hijau perkotaan.
Aku mencari makna bunga Oleander di mesin pencari internet. Lebih karena perasaan bertanya-tanya kenapa iseng sekali memasukan bunga beracun yang tidak umum untuk diberikan sebagai hadiah kepadaku.
Ya, aku memiliki perasaan kuat Verdian melakukannya dengan sengaja. Dia adalah sosok yang tidak tertebak bukan?
Dan begitu aku menemukan arti bunga Oleander dari internet, aku tidak dapat lebih terkejut lagi. Coba tebak, apa bahasa bunga Oleander?
Hati-hati. Peringatan. Waspada.
Sangat cocok. Kuntum-kuntum merah jambu bergerombol menawan tapi menawarkan peringatan; jangan main-main dengannya, semua bagian adalah racun.
Aku merasa lucu dan gentar dalam waktu bersamaan. Astaga. Seperti pesan ancaman.
Aku mengadah mencari ketenangan.
Teringat wajah pias dan dingin Tama tadi waktu pesta dadakan dari Verdian.
Aku segera mencarinya setelah berhasil melarikan diri dari hujaman pernyataan selamat dan perhatian orang-orang. Mencarinya di dalam kantor sembari meletakan buket bunga dari Verdian di ruanganku.
Aku tahu Tama tidak akan berada di tempat pesta itu dalam waktu yang lama.
Dugaanku tidak meleset.
Aku menemukannya duduk merokok di dekat gudang belakang kantor tempat inventaris kertas dan sebagainya. Memandang ke hamparan pematang yang memisahkan kantor dengan rumah penduduk dan green house milik warga.
Kali ini dia tidak menyembunyikan wajah kalutnya. Rambutnya yang tertata slicked back sudah setengah berantakan menutupi tepian wajahnya.
"Tam..." aku memanggilnya lemah. Tama menoleh sekilas, lalu dia mematikan rokoknya. Namun dia bergeming.
Ada keheningan yang menyiksa. Aku tidak tahan.
"Kamu marah?" tanyaku putus asa.
Tama menggeleng, menghela nafas panjang.
"Aku nggak marah sama Ranu." jawabnya kemudian "Ranu bahkan nggak salah apapun."
"Lalu kenapa? Tadi kamu seolah----" aku tidak bisa meneruskan kalimatku. Rasanya aku ingin menangis.
Tama lalu benar-benar menoleh ke arahku, mengangkat sebelah tangannya "kemarilah."
Aku tahu jika aku datang pada tawarannya dan duduk dalam pelukannya, itu akan berbahaya. Tapi aku tidak peduli.
Aku menyusup ke lengannya. Mendekatkan diri ke bahunya. Mendengar tarikan nafasnya. Aroma tembakau masih samar menguar.
Namun aroma segar tubuhnya yang aku rasakan kemarin hingga pagi tadi lah yang dominan menelusuk hidungku.
"Aku bukan ngamuk sama Ranu. Maaf jika kejadiannya sampai seperti ini." gumam Tama pelan "aku terlalu meremehkan Ayah-anak Daeriman. Entah aku yang kurang perhitungan atau Verdian yang lebih cepat, dia bisa membaca situasi. Dia nggak mau Ranu lepas begitu saja."
Baik aku dan Tama satu pikiran tentang ini. Pengumuman hubunganku dan Verdian yang secara tiba-tiba dan terkesan digembar-gemborkan ini terlalu aneh. Dipaksakan. Seolah-olah Verdian ingin mengklaim diriku sebelum aku lepas.
Verdian mengira bahwa jika aku meminta putus darinya, akan menghancurkan diriku di hadapan orang-orang yang sudah terlanjur mengetahui kami berpacaran.
Verdian juga pastinya sudah tahu bahwa Tama yang mengincar Ayahnya satu kantor denganku.
Dia juga pasti tahu kami semula pernah punya hubungan, dan dia berspekulasi pasti diam-diam kami menjalin hubungan lagi di belakangnya dan itu memang benar.
Itu lah kartu Verdian. Dia akan memakai alasan itu jika aku kekeuh memutuskannya; aku meninggalkan pria tampan, kaya, dan romantis yang mencintaiku dengan pria lain.
Membunuhku secara sosial jika aku berani memutuskannya. Bagaimana pun, dalam kasus perselingkuhan seperti ini hampir selalu pihak wanita lah yang disalahkan.
Verdian tahu konsekuensi hukuman sosial akan membuatku berpikir seribu kali untuk mengakhiri hubungan ini.
Tapi Verdian bisa saja salah.
"Aku akan tetap minta putus." ujarku. Tama tidak segera menjawab. Tapi tarikan nafasnya semakin berat.
"Aku akan tetap menemuinya. Dan mengakhiri ini semua." Ulangku.
"Jangan dulu Ranu. Orang-orang akan menyerang Ranu---"
"Aku nggak takut! Hukuman sosial apapun aku nggak takut!"
"Ranu, aku yang nggak mau. Apa aku bisa diam saja melihat kekasihku jadi bulan-bulanan sementara aku nggak bisa berbuat banyak? Ini berbeda ketika Ranu terkena gosip dengan Syahdan dulu!"
"Apanya yang beda?"
"Asal Ranu tahu, jangkauan popularitas Verdian memang sedikit lebih kecil dari Syahdan. Tapi setidaknya waktu dengan Syahdan, Ranu tidak pernah terlibat dengan apapun.
Jika nama Ranu muncul lagi seperti ini, bisa dipastikan efeknya ke reputasi Ranu jauh lebih kuat daripada dulu. Orang-orang akan menghubungkan kasus Syahdan ke kasus Verdian nantinya. Ini nggak semudah aku meretas situs lalu selesai."
"Aku nggak peduli dengan reputasiku, Tam!" aku menarik diri "jika memang aku harus jatuh, aku akan jatuh lalu aku akan merangkak lagi! Aku lebih nggak suka berada dalam situasi seperti ini. Aku harus bersikap jelas. Aku sudah memutuskan jatuh bersamamu dan aku sungguh-sungguh!"
Tama menatapku. Tatapannya sayu.
"Aku mencintaimu dan kita sudah melalui banyak hal. Apa kamu pikir berpisah lagi denganmu membuatu sudah kebal? Nggak! Kalau harus menghadapi Daeriman bersamamu, aku akan lakukan!" Aku mencoba mengatur nafasku yang sarat emosi.
Namun belum selesai nafasku teratur, Tama tiba-tiba menarik wajahku mendekat ke arahnya dan melumat bibirku.
Kami berpagutan sejenak, lalu Tama bangkit sembari menarikku ke dalam bayangan gudang inventaris. Melanjutkan pagutan kami. Terlindung dalam pandangan siapapun.
Pagutan ini sunyi, namun membuat isi kepalaku berdenging hebat.
Ketika selesai saling melumat bibir, kami berpandangan sejenak. Dengan pandangan nanar.
"Aku selalu bilang, jangan terlibat sesuatu yang berbahaya. Tapi Ranu terus saja nggak bisa menghindarinya." gumam Tama putus asa, menempelkan dahi kami di akhir pagutan panjang dan sengal nafas.
"Aku juga sudah bilang jangan terlibat pertempuran yang bukan pertempuran Ranu." Tama memaksaku memandang manik mata tajamnya.
"tolong yang ini Ranu turuti... Aku nggak tahu apa yang bakal terjadi denganku jika Ranu dalam bahaya... Kehilangan Ranu yang dulu saja sudah membuatku setengah gila!"
Tama lalu mengusap sisi wajahku "Aku akan pikirkan caranya secepatnya. Aku tetap berpendapat berpisah dengan Verdian adalah hal yang tepat, tapi tidak hari ini ketika Verdian mengambil langkah yang tidak kita antisipasi."
Aku tidak menjawab. Aku menunduk.
"Ayolah Ranu..." erang Tama putus asa.
"Tama---" belum selesai aku meneruskan kalimat, aku mendengar sesuatu. Begitu juga Tama.
Tama segera menarikku ke dalam gudang, bersama-sama menahan nafas. Lalu dia menoleh ke arahku, memberi isyarat menempelkan telunjuk ke bibir lalu perintah tangan agar aku menunggu di dalam gudang sedangkan dia beringsut keluar, kembali ke tempatnya tadi merokok.
Sunyi di dalam gudang. Hanya bunyi jantungku.
Lalu aku mendengar suara orang mengobrol dan langkah kaki yang semakin dekat. Tampaknya yang menuju ke tempat kami tadi lebih dari satu orang.
Aku menyandarkan diri ke tembok, mengatur nafas dan semakin menajamkan indera pendengaran.
"Loh Mas Arghya." suara seorang perempuan menyapa Tama. Aku tidak tahu siapa. Tidak kelihatan "ngapain di sini? Nggak ikut makan-makan pestanya Ranu?"
"Saya ngerokok sebentar." jawab Tama sopan.
"Mas Arghya ngerokok?" tanya seseorang lagi satunya "yah..."
Lalu mereka bertiga mulai mengobrol. Tama menanggapi sopan dan singkat. Membuatku gemas.
Pantas saja para perempuan klepek-klepek sama dia, gaya dia cool gitu.
"Ngomong-ngomong soal Ranu, kok nggak kelihatan ya?"
Astaga, mereka mencariku.
"Kalau Mbak Ranu, tadi saya lihat masuk gudang." Ujar Tama "kayaknya mau nyari kertas atau apa gitu."
Aku dapat mendengar langkah kaki menuju ke gudang. Aku melihat sekeliling, buru-buru mengambil beberapa lembar kertas karton.
"Loh Ran? Kamu nyari apa? Mau dibantu?"
Itu ternyata Wiwid. Divisi marketing.
"Nyari karton hitam. Mau nyoba bikin sketsa layout tapi nggak ada dari tadi aku cari." Aku tersenyum. Menjawab dengan sangat kasual.
Wiwid yang kemungkinan besar tidak paham hanya mengangguk. Lalu menggandengku.
"Kamu bintang pestanya malah ngeloyor." Cetus Wiwid "ayo balik, urusan kerjaan nanti aja! Masih istirahat gini."
"Hahaha, apaan sih. Silakan nikmati saja pestanya. Kerjaanku banyak buat edisi depan." Aku tertawa kecil lalu keluar gudang bersama Wiwid.
Mendapati Tama mengobrol dengan karyawati divisi marketing lainnya, teman Wiwid.
Tama menatapku.
"Udah ketemu?" Tanyanya. Aku mengangkat beberapa kertas sebagai jawaban. Aku masih belum bisa berkata-kata di hadapannya. Banyak emosi dan afeksi yang tersisa dari pagutan dan argumen tadi.
"Aku---Aku duluan. Yuk." Aku akhirnya buru-buru pamit dan sekarang justru menyendiri di ruangan yang masih sepi.
Aku menghela nafas panjang.
Jika Verdian memang menyukai serangan yang cepat dan tidak terduga, kenapa aku tidak melakukan hal yang sama?
Aku tahu Tama akan mengamuk. Tapi jika bukan aku yang mengakhiri apa yang aku mulai dengan Verdian, tidak ada orang lain yang bisa.
*******************
Aku memandang rangkaian lampu-lampu hias temaram yang menuntunku ke kursi di sebuah restoran yang aku pesan tadi siang.
Aku sengaja memilih restoran outdoor dimana setiap meja tersebar tanpa saling berdekatan dan tertutup rangkaian tanaman tropis. Restoran yang menjaga privasi konsumennya.
Pilihan pas.
Ketika aku mendekat, aku dapat melihat siluetnya yang duduk tenang dan tertata sempurna.
Verdian menoleh segera ia mendengar langkah kakiku. Senyumnya mengembang
"Udah lama nunggunya?" Tanyaku, membalas senyumnya.
"Nggak. Cuma sekitar lima menit." Jawab Verdian sembari menarik kursi untukku "gimana kerjaan?"
"Baik. Sibuk awal minggu buat edisi minggu depan. Mas gimana?"
Verdian menjawab hal yang nyaris sama. Kami terdiam sejenak untuk memilih menu. Tapi tak satupun menu yang menarik untuk saat ini.
Karena tujuanku bukan untuk menikmati malam dengan hidangan apapun.
"Gimana pestanya tadi? Kamu suka?" Tanya Verdian ramah membuka suara setelah kartu menu diambil waiter.
Aku menganggap ini adalah langkah awal Verdian untuk menyerangku.
"Aku senang." Jawabku secara sengaja menjadi antusias "Mas romantis juga ya? Aku tahu kamu penuh kejutan. Tapi yang ini benar-benar nggak terduga."
Verdian tersenyum "aku senang kalau kamu suka. Buketnya juga suka?"
"Bagus. Terimakasih. Buketnya indah." Memang buketnya indah, aku tidak bohong.
"Hmm...Agak berlebihan sih, Mas. Mas yang nentuin bunganya?" Lanjutku, menyesap air putih yang disediakan untuk kami. Mengerling Verdian.
Raut wajahnya tidak berubah.
"Iya." Jawab Verdian "aku memilih sambil mikirin kamu."
Aku terkekeh "aduh, aku harus gimana nih nanggepinnya? Bisa aja. Bisa-bisanya bikin aku nggak bisa tidur nanti malam."
Baik aku maupun Verdian tergelak.
Aku menghela nafas "Tapi aku baru tahu loh bunga yang di pinggir jalan itu bisa buat buket. Dan bunga itu beracun."
Verdian tidak menjawab. Ia menatapku.
"Juga anyelir kuning itu. Agak aneh kalau diberikan buat pacar nggak sih?"
"Kamu tahu bahasa bunga?" Tanya Verdian tersenyum "aku nggak nyangka."
"Sedikit." Jawabku "tapi terimakasih untuk yang warna merah. Aku nggak tahu kalau Mas sesuka itu kepadaku."
Kami lalu terdiam. Terjebak dalam keheningan yang aneh. Tampaknya Verdian paham bahwa aku sedang menanggapi permainan ini.
Tidak berapa lama, waiter membawakan makanan kami. Aku berusaha berkutat ke makananku. Menanti Verdian mengambil langkah selanjutnya.
"Aku tahu hubungan ini masih satu arah. Tapi aku benar-benar menyukaimu." Ujar Verdian membuka suara. Sebuah pernyataan yang tidak kuduga.
Aku memberanikan diri menatap ke arah Verdian. Mendapati tatapan teduhnya menangkapku.
"Mas..." Aku meletakan alat makanku, memulai dengan nada yang aku heran bisa sangat tenang "apa aku harus cerita sekarang tujuan kenapa kita harus ketemu di sini?"
"Silakan." jawab Verdian, ikut berhenti makan lalu menautkan jemarinya. Gestur santai yang mengintimidasi.
Aku menghela nafas "aku yakin kamu sudah tahu tujuan dari pertemuan ini kan?"
Verdian mengangkat bahu "Aku tidak tahu."
Permainan ini tidak membutuhkan basa-basi "aku... aku sebenarnya ingin putus."
Keheningan panjang lagi. Kali ini ada rasa beku yang meremangkan pori-pori kulitku. Aku melihat Verdian yang masih statis. Tidak menunjukan ekspresi apapun.
Dia menunggu aku berbicara lagi.
"Maaf. Aku akui memulai hubungan sama kamu untuk bisa lebih mengenalmu, Mas."
Aku meneruskan "Dan kamu tahu sendiri ketika aku menerima tawaran untuk pacaran, aku sudah jujur bahwa aku baru saja patah hati dan aku mungkin akan jadiin kamu pelarian kalau aku merimamu---"
"Dan aku menerima alasannya." Sahut Verdian setuju "aku paham. Bahwa sekarang mungkin kamu belum bisa sepenuhnya suka aku pun aku paham. Bahwa mungkin bagimu aku cuma pelarian juga aku nggak masalah. Nothing to lose, Ran."
Akhirnya dia membuka suara. Lalu dia menyesap teh buah yang ia pesan sebelum melanjutkan "lalu apa masalahnya sekarang?"
"Mas nggak bisa nunggu terus-terusan." Aku menjawab pelan "kalau aku... Kalau aku nggak berubah perasaan---"
"Ranu," Verdian memotong dengan penekanan "kamu tahu kan, pacaran itu bisa putus. Kita sepakat jalani ini layaknya permainan. Jika selesai ya selesai. Entah selesai yang bagaimana. Tapi yang jelas aku akan menunggu perasaanmu berubah, selama yang aku bisa."
"Dan sekarang adalah waktunya yang 'selesai' itu, Mas. Jangan menunggu lagi." Aku menjawab segera sebelum hatiku tidak tega mengatakannya.
"Dan apa sebabnya?" cerca Verdian "Apa karena perlakuanku di hotel waktu itu?"
Aku menelan ludah karena diingatkan "mungkin sebagian itu masalahnya. Tapi aku ingin putus. Menjalin hubungan yang sepihak tentu melelahkan, kan?"
"Yakin itu alasanmu?" Tanya Verdian.
"Kamu mau alasan yang bagaimana lagi? Alasan klise kamu terlalu baik?"
Verdian menggeleng sembari terkekeh geli "yang lebih meyakinkan. Cobalah."
Aku menautkan alis. Oh. Dia benar-benar ingin membuatku bicara?
"Mas, aku nggak mau membuat Mas sakit hati terus-terusan karena perasaanku yang nggak kunjung berubah. Toh jika seperti itu kita nggak akan kemana-mana kan? Masa kita terjebak terus di hubungan ini?"
"Jadi kamu ingin kita segera menikah?"
Aku melotot. Arrrgh! Ya Tuhan! Aku tidak tahu Verdian bisa lebih menyebalkan dan keras kepala seperti Tama!
"Nggak. Aku nggak ada perasaan menuju ke sana. Intinya, karena aku nggak menyukai Mas secara romantis, aku takut membuatmu sakit hati dan kecewa. Ada banyak wanita yang mungkin menunggu Mas."
"Aku tidak merasa seperti itu. Aku nggak merasa sakit hati maupun kecewa." jawab Verdian tetap tenang. Aku mendengus.
"Mas habis ngirim aku buket yang ada Oleander dan anyelir kuning loh. Jangan bilang kamu nggak tahu artinya." sindirku.
Verdian membalas dengan tertawa.
"It takes two to tango, Ran. Jadi aku tidak akan mengakhiri ini jika aku tidak tahu alasan yang sebenarnya." Ujar Verdian dengan tersenyum.
Tapi sejurus kemudian tatapannya kembali tajam.
"Jujur saja. Menurutku alasanmu kurang meyakinkanku." Ujarnya "waktu Syahdan memutuskanmu, dia memberitahu alasannya kan? Walau kamu patah hati, setidaknya kamu tahu alasanya."
Aku menghela nafas. Verdian tahu itu karena kami pernah membahasnya. Aku ingat dulu Syahdan pernah mau menjodohkan kami.
"Tapi Ran," Verdian mencondongkan tubuhnya sedikit "aku nggak tahu sejauh mana hubunganmu dengan pria bernama Arghya Hutama. Tapi jika menelaah hingga kamu menerima pernyataan cintaku, kalian pernah berpisah, kan? Apa alasan kalian berpisah waktu itu?"
Aku tersentak, membulatkan manikku.
Tubuhku tremor. Tapi aku mati rasa.
Verdian memutuskan untuk menyerangku secara langsung. Ia sudah menyatakan 'skak' kepada rajaku.
"Mas tahu..." Gumamku nyaris berbisik.
Verdian mengangkat bahu "Sun Tzu. Know your enemy---kenali musuhmu."
Aku memicingkan mata "jadi kamu mengajakku pacaran karena tahu aku dan dia pernah punya hubungan?"
"Iya." Jawab Verdian "alasan umumnya. Alasan khususnya, aku benar-benar tertarik kepadamu. Secara alami, kamu bisa sangat menarik tanpa perlu susah payah."
Aku tidak tahu bagaimana menanggapi pujian itu.
"Jadi sekarang jujurlah," Verdian melanjutkan "apa alasannya hanya itu? Tidak ada perasaan lagi?"
Aku tidak akan bermain tarik ulur untuk melindungi diri.
"Nggak." Jawabku "ada beberapa. Yang pertama adalah karena aku tahu bahwa kamu dan Ayahmu mengincarku. Untuk sesuatu yang berbahaya."
Verdian terdiam. Rahangnya mengeras. Lalu dia terkekeh "benar."
"Alasan kedua, aku memang dulu berhubungan dengan musuh kalian, Arghya. Hubungan yang walaupun itu bukan seperti kita punya tapi jelas lebih dalam." Ujarku dingin "dan jika itu nggak cukup mengejutkanmu, kami memulai lagi hubungan itu."
Verdian tampak tidak terkejut. Namun rahangnya masih mengeras. Aku merasa terlihat seperti perempuan jahat yang memutuskan pria baik demi pria lain.
"Sejak?" Tanya Verdian.
"Sehari setelah insiden hotel."
Tidak ada yang berbicara lagi. Aku yakin sup krim di depanku mulai mendingin seperti suasana kali ini.
"Aku sudah menduganya." Verdian bersandar di kursinya "hasil menempatkan beberapa orang di sekitarmu dan Arghya itu."
Aku tidak kaget "jadi, Mas sudah tahu alasannya sekarang. Aku tidak bisa meneruskan hubungan ini. Mas mau berbuat apapun terserah sekarang; mau menjatuhkan harga diriku secara sosial atau mencelakaiku." Aku menyodorkan makananku ke hadapannya
"kamu bisa mulai dengan ngasih racun. Tapi perlu diingat, kamu nggak akan dapat apa-apa dariku. Aku individu bebas, tidak terikat duniamu maupun dunia Tama."
Yang tidak kusangka adalah Verdian justru tertawa keras.
"Astaga... Kamu tuh benar-benar menarik Ranu." Ujarnya ketika selesai tertawa "jika kamu mati di sini, tebak siapa yang langsung dicurigai? Aku. Apalagi alibiku sangat lemah. Belum lagi alasanku membunuhmu juga kuat."
"Lagipula Ranu, alasanku tetap mempertahankan hubungan kita jauh lebih kompleks daripada sekadar kamu ada hubungannya dengan pria itu atau sesuatu yang kamu miliki."
Kali ini Verdian serius. Nadanya tajam.
"Aku sudah melakukan publikasi hubungan kita bukan untuk membuatmu terpojok. Justru aku ingin menyelamatkanmu."
"Melindungiku dari apa?" Tanyaku dingin.
"Kamu pasti sudah mengiranya."
Aku tampak berpikir sejenak "Ayahmu?"
Verdian mengangguk. Aku lagi-lagi menautkan alis. Tidak percaya.
"Kenapa kamu harus melindungiku dari Ayahmu? Bukannya tujuan kalian sama?" Serangku.
"Iya. Musuh kami sama. Ada beberapa orang-orang di kantormu dan pria yang bersamamu itu." Ujar Verdian "tapi aku sudah bilang bahwa aku tertarik sama kamu. Dan ketertarikan itu berubah menjadi perasaan suka.
Sekarang, apa aku mau membiarkan orang yang aku suka terlibat dalam hal ini? Jadi aku menjadikanmu kekasih adalah untuk menjauhkanmu dari jangkauan Ayahku."
Aku membuang muka dan menghela nafas berat.
"Aku nggak mencintai Mas. Biarkan aku bebas." Ujarku putus asa "aku minta maaf karena mempermainkan perasaanmu. Aku tahu rasanya. Tapi aku nggak bisa bersamamu dengan perasaan seperti itu!"
"Jika kamu putus, Ayahku nggak akan segan-segan lagi mencelakakanmu dan orang-orang disekelilingmu." Ujar Verdian.
Mataku memandangnya nyalang. Aku nyaris berteriak ketika Verdian berbicara lagi.
"Aku nggak lagi ngancam kamu. Itu adalah peringatan. Kamu pikir Ayahku selama ini diam saja? Beberapa kali dia berusaha ingin membawamu tapi karena yang dia hadapi adalah aku, hal itu selalu tidak berhasil." Ujar Verdian.
"Ayahku juga beberapa kali ingin mencelakakan pria itu. Tapi dia bukan sembarang agen polisi. Dia punya kelompok yang selalu melindunginya. Belum lagi, dia juga kuat."
Aku menggigit bibir. Rasa marah dan putus asa membuatku tidak bisa bicara untuk beberapa saat.
"Apa yang kamu minta agar Ayahmu nggak mencelakakan keluargaku?" Tantangku.
"Kalau itu aku nggak bisa berbuat apa-apa." Ujar Verdian "yang aku bisa lakukan adalah selama kamu berstatus sebagai pacarku, orang-orang Ayahku akan jauh lebih hati-hati kepadamu. Dan itu termasuk keluargamu."
Aku memandang Verdian tajam.
"Dengar Ranu, walaupun aku dan Ayahku memiliki tujuan yang sama, aku tidak tahu jalan pikirannya. Aku bahkan tidak tahu rencana-rencananya. Yang aku tahu adalah selama ini dia mengawasi kalian."
Verdian lalu mencondongkan tubuhnya lagi "kamu boleh benci aku, tapi nasihatku sekarang, kita nggak bisa putus saat ini."
"Mas!"
"Tolong dengarkan; tetaplah menjadi kekasihku. Aku nggak peduli dengan perasaanmu atau apapun yang kamu lakukan sama pria itu. Perlindungan yang bisa aku lakukan hanyalah itu."
Aku menggeleng tidak percaya.
"Gila. Sekarang jangan bermain dengan pikiran dan emosiku, Mas. Aku nggak tahu motifmu melindungiku, tapi aku nggak mau terus-terusan terjebak denganmu. Jika harus jadi musuh, kita akan jadi musuh."
Verdian terkekeh "aku nggak lagi mainin kamu. Aku kan bilang kalau aku menyukaimu.
Tapi satu hal, ya, aku memang cukup gila membiarkanmu punya kekasih selain aku asal kamu tetap menjadi kekasihku. Jangan bergidik, aku memang menyukai yang seperti itu."
"Mas kelainan?" Tuduhku. Verdian malah tertawa lebih keras.
"Terserah kamu sih nyimpulin bagaimana. Tapi yang jelas, aku nggak menyetujui hubungan kita berakhir." Verdian lalu menambahkan "untuk melindungimu. Pikirkan lagi."
"Jangan keras kepala!"
"Kamu juga dong jangan keras kepala." Verdian menimpali "maaf tapi sepertinya tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Aku akan memberimu kebebasan dan aku anggap percakapan ini nggak pernah terjadi."
Verdian lalu berdiri, menghampiriku dan berbisik pelan "ini adalah masalah Ayahku dengan pria itu. Sebaiknya kita nggak pernah ikut campur.
Dan tetap bersikaplah seperti seorang kekasih bagiku, terima ciumanku sekarang karena di meja dekat kita ada orang Ayahku. Arah Barat."
Aku menoleh pelan ke Verdian dengan tatapan bertanya, tapi Verdian malah mengecupku singkat. Tubuhku mati rasa dan kaku menerima kecupan itu.
Verdian lalu menegakan tubuhnya.
Aku melihatnya. Dari balik tubuh Verdian, aku memang bisa melihat tiga orang yang tampak sedang makan. Tapi mereka mengerling ke arah kami.
Verdian juga berbalik melihat mereka.
Mereka tidak tampak salah tingkah ketika Verdian memergoki mereka atau berpura-pura mengalihkan pandangan. Seperti benar-benar memberi isyarat kepada kami bahwa kami diawasi.
"Ayo kita pulang layaknya kekasih yang baru makan malam. Aku antar kamu pulang."
Aku seperti boneka yang digerakan. Mengekor ke Verdian dan membiarkan Verdian menggandengku keluar.
Aku memejamkan mata.
Dalam percaturan ini, aku adalah ratu yang tersudut.
******************
Mata Tama menatap dari kejauhan saat mobil SUV itu berhenti di depan rumah kontrakan Ranu.
Ranu keluar dari mobil itu, terus masuk tanpa memandang lagi ke mobil pengantarnya itu.
Tama memaki. Sial, Ranu! Kenapa kamu nggak mengindahkan perkataanku! Kenapa dia malah menemui Verdian?
Tama yakin, Ranu tetap menemui pria itu untuk putus.
Tama senang Ranu masih mencintainya, bahkan sangat teguh untuk putus dari Verdian demi dirinya. Tapi bukan sekarang.
Bukan di saat Tama sendiri masih terlalu lemah melawan Daeriman Hadi secara langsung. Bukan di saat Verdian justru mengambil langkah yang dapat mematikan posisi Ranu.
Tama menunggu mobil itu pergi. Tapi Tama salah.
Pemilik mobil itu justru keluar. Tidak ke tempat Ranu, tapi malah berjalan ke arah mobil Tama yang di parkir di atas jalanan menanjak di bawah bayang-bayang gelap pepohonan dan keremangan lahan-lahan kosong.
Tama mendengus, tersenyum masam.
Sesama pria berbahaya sepertinya paham akan keberadaan satu dengan yang lain.
Tama menanggapinya, keluar dari mobilnya sembari menunggu Verdian mendekat.
Verdian yang akhirnya berada di depannya, tersenyum kecil sembari memasukan tangannya di saku. Tama hanya menatap dingin, bersedekap di mobilnya.
"Udah berapa lama jadi stalker?" sapa Verdian. Tama membuang muka sembari terkekeh.
"Lumayan." jawab Tama "lebih lama daripada orang-orang lo kayaknya."
"Langsung aja intinya," ujar Verdian "jangan terlalu sering bareng Ranu. Bokap gue kalau ngamuk bisa berbahaya."
Tama mendengus sembari menatap tajam "bukan urusan lo."
"Sikap masa bodoh gitu yang bakal mencelakakan Ranu."
Tama akhirnya mendekat, mempersempit jarak di antara mereka "denger, baik lo maupun bokap lo itu lah sumber masalahnya. Kalau lo sama Bapak lo itu bukan bajingan pengecut, yang kalian incer cuma gue. Bukan orang-orang di sekitar gue."
"Wah gimana ya, kalau nggak gitu nggak bakal bikin lo takut, dong. Lo berbahaya buat Bokap gue. Sama-sama orang kriminal, lo pasti tahu kan cara neror orang?"
"Bangsat," Tama setengah memaki setengah tertawa "udah gini aja, lo tinggalin Ranu. Dia nggak punya apa-apa buat kalian selain nasib sial punya hubungan sama gue. yang kalian mau itu gue, jadi sekarang bawa gue."
"Gue nggak tertarik bawa lo. Yang bakal seneng itu bokap gue." kata Verdian "justru gue yang harusnya bilang ke lo buat tinggalin Ranu, gue lebih berhak karena gue pacarnya."
"Dia pengen putus sama lo."
"Memang. Tapi nggak gue kasih."
"Lo nggak berhak buat ngatur dia!"
"Dia nggak punya pilihan, karena gue nawarin dia keselamatan. Bokap gue bakal hati-hati kalau Ranu masih pacaran sama gue. Kalau dia putus dan malah sering keliatan sama lo, lo udah tahu akibatnya." Verdian lalu tersenyum,
"jadi berhentilah menjadi nasib buruk buat Ranu. Mati aja sendiri jangan bawa dia."
Tanpa dinyana, Verdian merasakan pukulan keras di pipi kirinya. Verdian terhuyung, beberapa langkah. Verdian mengerjap. Darah keluar dari hidungnya.
Tama lalu menarik tubuh Verdian, menyeretnya masuk ke sebuah kebun liar gelap yang diapit beberapa pohon pinus. Mencegah orang lain melihat mereka dan mengintervensi perkelahian mereka.
Di sana, Tama memberi beberapa pukulan lagi. Verdian yang mulai menguasai diri berhasil menghindar dan menarik diri dari Tama.
Verdian lalu menegakan tubuhnya, menerjang Tama. Tama yang sigap menghindar, tapi Verdian kemudian berhasil menggaet kerah jaket Tama dan memukulkan bogem keras ke wajah Tama, mengenai pelipis kirinya.
Tama mendorong tubuh Verdian. Rasa pusing menyerangnya.
Mereka berdua mengambil jarak, mengatur nafas dan mengenyahkan rasa sakit dari tubuh mereka.
Tama membuka jaketnya.
Verdian berdecih, berusaha mengabaikan hidungnya yang terus berdarah.
Mereka lalu saling menerjang. Verdian berhasil menendang perut Tama dengan lututnya, membuat Tama meringkuk dan muntah-muntah. Verdian memanfaatkan hal tersebut untuk menerjang punggung Tama, tapi Tama reflek menghindar.
Membuat Verdian jatuh terjelembab dan Tama segera bergegas menendang tubuh Verdian dan menduduki pria itu. Memberi beberapa pukulan di wajah.
Verdian mengerang. Namun sejurus kemudian dia berhasil bangun dan menjulurkan tangannya ke leher Tama. Mencekik Tama hingga Tama tersedak.
Tama berusaha menekankan lututnya ke perut Verdian. Tapi Verdian tetap tidak melepaskan cekikannya. Tama semakin membabi buta melayangkan tinjunya ke wajah Verdian.
Verdian akhirnya punya kesempatan ketika Tama mulai lemas membutuhkan oksigen. Verdian bangkit, menarik tubuh Tama yang meronta kembali ke tepian jalan di mana mobil Tama berada.
Verdian membenturkan kepala Tama ke kaca mobil yang langsung retak.
Tama ambruk. Dengan nafas tersengal hebat. Terbatuk.
Wajahnya mencium aspal. Sebagian wajahnya penuh darah.
Verdian juga sama kacaunya. Darah keluar terus melalui hidung dan mulutnya robek. Ia mengatur nafasnya.
Verdian menendang Tama yang tidak berkutik di tanah.
"Jangan mati sekarang. Simpan tenaga lo buat nanti kalau berhadapan sama Bokap gue." Dengus Verdian sengau, lalu dia mengelap darah dari hidungnya.
Ia lalu meninggalkan Tama. Terhuyung-huyung turun ke mobilnya sendiri lalu pergi.
Tama menahan seluruh rasa sakit di tubuhnya. Menahan semua emosi. Tubuhnya tremor oleh amarah.
Teriakan marah Tama menggema dan teredam aspal. Tama dapat mencium bau lembab daun-daun berguguran dan bau panas aspal. Juga bau darahnya. Suara serangga dan burung malam sejenak terhenti karena teriakannya.
Verdian membuatnya seperti pecundang. Babak belur dan meninggalkannya di jalanan dekat mobilnya. Jika Tama tidak bisa mengendarai mobilnya ke rumah sakit maka tubuhnya akan ditemukan orang lain segera untuk ditolong.
Belas kasihan musuh jauh lebih menyiksa.
**********
Aku tercenung duduk di kamarku dengan pikiran berkecamuk dan tatapan kosong.
Aku tidak tahu apakah langkahku selanjutnya tepat. Verdian benar-benar membuatku kelabakan. Tersudut.
Setelah kupikir, akan gampang sekali mengatakan di kantor bahwa aku sudah putus dengan Verdian. Soal media sosial akun gosip yang memberitakan hubungan kami, aku tidak peduli.
Aku baru tahu walaupun Verdian memang tidak seterkenal Syahdan, tapi Verdian pernah dikabarkan dekat dengan seorang beauty vlogger bernama Syesa walau keduanya menampik dan menyanggah hanya bersahabat.
Sekarang akun gosip itu mulai mengait-kaitkan hubunganku sekarang dengan Verdian dan Syahdan dulu. Imbasnya, julukan pelakor---perebut laki orang tampaknya mulai disematkan lagi kepadaku. Oleh fans garis keras Syesa yang mendukung hubungan si beauty vlogger itu dengan Verdian.
Lebih menggelikan lagi, aku dijuluki 'Wanita Beruntung Pemikat CEO'.
Bahkan ada yang mengomentari hidupku layaknya tokoh utama beruntung dalam novel-novel dewasa.
Aku tidak mau dijuluki wanita beruntung rich men-eater seperti itu. Aku hanya ingin semua ini selesai. Lalu aku dan Tama memulai hidup bersama, sekali pun itu harus lari dari kejaran Daeriman Hadi.
Astaga... Mengingat nama itu,aku jadi teringat Mama. Egois sekali jika aku melarikan diri tapi aku meninggalkan Mama sendirian, dalam ancaman Daeriman.
Aku merasa putus asa dan lemah.
Tapi selain itu ada juga banyak hal yang aku rencanakan. Aku tidak bisa berdiam diri menunggu. Menunggu Daeriman Hadi akhirnya membawaku dan mengintinidasiku. Aku harus memikirkan banyak hal selain melapor ke polisi.
Melaporkan orang dengan kekuatan seperti Daeriman Hadi atas tuduhan teror sama saja bunuh diri. Apalagi tidak cukup bukti.
Aku melihat jam meja. Pukul sebelas malam. Aku menghabiskan waktu dengan banyak memikirkan hal-hal yang membuat tertekan.
Tiba-tiba telingaku awas.
Aku seperti mendengar suara ketukan lemah dan cakaran. Aku reflek menoleh ke jendela dengan ketakutan. Takut bahwa Daeriman Hadi mengirimkan orangnya untuk membunuhku segera.
Tapi yang aku lihat lebih mengerikan lagi.
"Tama!"
Aku segera menuju ke jendela, buru-buru membukanya dan menatap ngeri tubuh Tama yang kotor dan wajah penuh luka dan darah.
"Ya ampun... Tama.. Kenapa?" Aku panik. Aku tidak peduli Naula bangun. Aku lebih peduli keadaan Tama.
Aku membantu Tama masuk ke kamarku melalui jendela. Setelahnya, Tama ambruk di lantai kamar. Mengerang pelan. Aku membelai wajahnya dengan cemas.
"Kamu kenapa? Kenapa bisa berdarah?"
Aku mengulang-ulang pertanyaanku dengan panik tapi Tama bergeming. Dia terdiam menahan sakit.
Aku ingat tadi bertanya-tanya karena melihat mobil Verdian masih di depan cukup lama. Tapi tidak melihat kapan terakhir di sana.
Aku mendapat kesimpulan.
"Verdian? Kalian berantem?" Tebakku. Tama akhirnya menatapku. Tersenyum simpul. Ya ampun. Laki-laki dan harga dirinya.
Aku meminta Tama untuk menunggu sementara aku menyiapkan air hangat untuknya mandi.
Lalu setelah semua selesai, aku mengecek apakah aman bagi Tama menggunakan kamar mandi, karena kamar mandi di tempat ini cuma ada satu. Satunya lagi adalah toilet.
Aku menyuruh Tama duduk di sisi bathtub ketika kami mengunci diri di kamar mandi. Sengaja menyalakan air keras-keras di bak mandi untuk mengaburkan suara erangan Tama yang kuobati dan kubersihkan lukanya.
Aliran air kotor mengalir menuju saluran pembuangan air. Bau anyir darah kering menusuk hidung.
Aku mengamati sisi wajah Tama yang robek. Tidak tahu apakah butuh jahitan apa tidak, tapi darah tampaknya tidak lagi keluar. Juga tidak sedalam lukaku di dahi waktu terjebak tawuran preman.
Aku membuka atasan Tama. Memeriksa.
Banyak lebam. Aku menempelkan es batu hati-hati. Tama menggigit bibirnya.
Aku mengelus wajah Tama, upaya implisit meredakan rasa sakitnya. Tama menggapai telapak tanganku, mencium bagian dalam dengan mendamba. Aku dapat melihat wajahnya berkernyit menahan sakit sesekali.
Ketika selesai, aku hanya mengelap tubuhnya dengan lap basah. Tama diam sambil memejamkan mata menerima setiap perlakuanku yang melayaninya. Tidak menolak. Tidak risih. Bahkan tidak gengsi. Seolah dia memang membutuhkan itu. Dan aku juga suka sikap seperti ini. Membuatku sedikit berguna.
Walaupun sebenarnya aku lebih suka dia ke rumah sakit. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengannya.
Ketika aku berkonsentrasi membersihkan tubuhnya, Tama memanggil pelan.
"Ranu," suaranya teredam suara air mengalir. Tapi cukup terdengar olehku. Aku mendongak.
Ketika tatapan kami bertemu, Tama segera mengecupku. Aku memejamkan mata. Kami berpagutan. Tama memasukan lidahnya, saling mencari. Suara decak bibir kami hanya kami yang dengar.
Aku dengan hati-hati bersandar ke dadanya yang telanjang, merasakan keberadaan satu dengan yang lain secara intens sembari tetap saling memagut. Tama merengkuhku. Seperti biasa, rengkuhannya seperti seorang yang kuat namun juga rapuh.
"Ini Kak Ranu atau Naula?"
Aku tersentak. Memisahkan diri dari Tama. Suara Aiza, sepupu Naula.
Astaga! Aku lupa kalau dia pulang malam! Biasanya dia pulang pagi. Tapi sudah beberapa hari ini dia ganti shift.
"Aku, Za. Lagi mandi." Ujarku. Berusaha agar tidak panik. Tama juga tampak amat sangat tenang. Mungkin ini adalah kebiasaannya. Terlalu sering berada dalam situasi seperti ini demi 'pekerjaannya'.
"Oh kalau udah selesai, gantian ya Kak. Aku mau ke kamar dulu rebahan."
"Iya. Nanti aku panggil."
Aku memandang Tama beberapa saat. Tertawa nyaris tanpa suara. Sepakat untuk mengakhiri kebiasaan kami yang sering tidak tahu tempat. Aku menunggu Tama memakai kausnya, lalu mengendap-endap kami kembali ke kamar.
Tidak lupa aku memanggil Aiza setelahnya. Lalu membawakan Tama paracetamol untuk menahan rasa sakit.
Aku memandang pria yang duduk di tempat tidurku itu selesai meneguk obatnya.
Aku mengunci pintu kamar. Memadamkan lampu utama dan mengganti dengan lampu tidur. Menyalakan lagu melalui handphone agar apapun yang akan kami perbincangkan tidak terdengar dari luar.
Keheningan melingkupi kami.
"Kenapa nggak ke rumah sakit?" Cercaku setelah beberapa saat. Tama menggeleng sembari menunduk.
"Tapi kalau itu parah gimana?"
"Aku cuma mau menemui Ranu." Ujar Tama pelan "itu saja yang ada dalam pikiranku."
Aku menggigit bibir. Tidak tahu harus gemas atau tersanjung.
"Jadi Ranu nggak dengerin omonganku ya?" Tanya Tama. Aku tidak menjawab. Rahangku mengeras.
Tama pastinya tahu aku menemui Verdian.
"Maaf." Hanya itu yang aku katakan setelah jeda sejenak. Tama menghembuskan nafas panjang.
"Lalu bagaimana?" Tanya Tama pelan.
"Dia menolak." Ujarku. Tama tersenyum masam.
Lagi-lagi terjadi jeda panjang. Tapi kami tidak keberatan atau terganggu dengan hal itu. Kami menikmati keberadaan satu dengan yang lain setelah mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan.
Aku memandang Tama. Dia memandang tepat di luar jendela dengan pikiran yang ingin aku tahu.
"Keheningan yang tenang. Aku menyukai malam-malam yang nggak berisik seperti ini." Ujarnya lirih.
Aku meletakan kepalaku di bahunya. Memandang malam yang sama di dalam kamar.
Aku tidak keberatan malam hiruk pikuk ataupun malam sunyi, bagiku bersama sosoknya dan wangi tubuhnya sudah merupakan tempat pulang semua perasaan.
Hanya saja sekarang kami layaknya berada di situasi hewan yang kabur dari para penjagal.
"Thought I found a way,
Thought I found a way out..."*
Suara desah sendu Billie Eilish memulai pergantian lagu memenuhi ruangan. Aku mendekatkan diri lebih dalam ke dada Tama. Tarikan nafas Tama yang teratur membuatku lebih nyaman lagi.
Tiba-tiba aku merasa tidak dalam sebuah pelarian saat ini, tidak sedang dalam persembunyian. Walau sebenarnya mungkin sebaliknya.
Karena sosok Tama di sini nyata.
Tama menghela nafas panjang. Ia meremas pelan jemariku sejenak sebelum melepaskannya.
"Sudah malam. Tidurlah---"
"Jangan pulang..." Gumamku kepadanya. Memotong. Aku tahu dia berniat beranjak. Berniat pergi.
Tapi aku tidak ingin. Aku tidak ingin kontak fisikku dengan Tama berakhir, lalu kami kembali harus menghadapi kenyataan.
Kami tidak banyak waktu. Kedamaian ini sangat temporer. Aku yakin selalu ada hal-hal menakutkan setelah keadaan menjadi baik bagi kami. Seolah sudah satu paket.
Maka dari itu. Aku ingin menikmatinya.
Tama menangkap pandanganku.
Lututku rasanya lemas. Perutku bergelenyar. Tama mengerti. Dia mengangguk.
Aku mengalungkan tanganku ke lehernya, Tama membungkuk dan kami berciuman. Mengecap rasa sakit akibat tidak berdaya melalui renjana.
Kami berhenti sejenak. Mata yang sama-sama nanar. Bibir yang bergetar. Aku menunduk, mengerjap. Ingin menangis. Jadi aku alihkan dengan menggapai handphone. Menyalakan musik dengan desibel moderat---tidak terlalu keras, namun cukup kencang untuk di dengar dari luar.
Atau lebih tepatnya, cukup untuk mengaburkan suara apapun di dalam kamar.
Karena aku tidak berniat menjadikan ciuman di kamar mandi tadi adalah akhir dari malam ini. Begitu pula ciuman barusan.
"Oh, I hope some day I'll make it out of here.
Even if it takes all night or a hundred years..
Need a place to hide, but I can't find one near
Wanna feel alive, outside I can't fight my fear.."
Setelah aku sanggup menatap lagi, Tama menarik wajahku. Kami berciuman lagi. Saling memagut dan menggigit bibir. Menelusupkan lidah.
Tama merobohkan tubuh kami di tempat tidur. Tapi kali ini aku berbalik, menuntun tubuh Tama di bawahku.
Aku menyelami manik Tama. Mencium matanya sejenak. Menelusuri garis wajahnya hingga leher. Aku menegakan tubuh. Saling menatap dan saling menautkan jemari.
Kami berbagi rasa takut kami. Berbagi rasa tersudut dan tertekan.
Aku membuka celana Tama. Mencium garis perut hingga miliknya. Aku dapat melihat Tama mati-matian menahan erangan. Suara nafasnya tertahan.
Aku lalu duduk di atas pinggulnya. Jemariku perlahan membuka semua kain yang ada di bagian atas tubuhku.
Rahang Tama berkedut haus. Tatapannya seperti tidak ingin lepas barang sedetik pun ketika aku menunjukan tubuh polosku.
Dalam keremangan cahaya dan suara musik, pandangan kami senada. Kami ingin bersatu. Secara fisik. Secara emosi.
Tidak ada yang lain, hanya kami.
"Isn't it lovely, all alone?
Heart made of glass, my mind of stone.
Tear me to pieces, skin to bone...
Hello, welcome home."
Kami tidak butuh ucapan verbal lagi.
*************
Verdian masuk ke penthouse miliknya dengan langkah ringkih setelah menekan security number.
Pria bernama Tama itu menjadi preman bukan tanpa alasan. Pukulannya membuat tubuhnya nyeri di berbagai tempat. Verdian merasa mungkin ada yang retak atau geser.
Verdian mengerjap perih ketika ia di wastafel, membasuh wajahnya. Darah masih menetes di hidung. Dia sempat ke klinik dokter pribadinya. Tidak begitu parah. Bahkan dokter hanya menangani secara manual, tanpa melibatkan operasi.
Verdian lalu membasahi tubuhnya dengan air di shower. Merapatkan giginya menahan sakit. Namun tidak bisa. Ia akhirnya mengerang keras.
Ketika selesai, Verdian dengan ngilunmelilitkan handuk di pinggangnya, menuju ke lemari es kecil di dekat tempat tidur. Menemukan vodka dingin.
Verdian menekan luka-lukanya terutama di hidung. Verdian berdecih perih ketika botol dingin itu menjalar di luka-lukanya, pria brengsek itu meninggalkan banyak lebam di wajah dan tubuhnya.
Ia lalu membuka handphone. Syesa mengirim pesan. Pesan ringan semacam curhat yang terkadang ia kirimkan ke Verdian.
Kali ini dia berkencan dengan seorang pengusaha start up muda. Mungkin sebentar lagi akan pacaran. Verdian tahu lelaki itu tapi tidak mengenalnya.
Verdian datar saja menanggapinya. Seperti mengalami fase yang sama dari hidup Syesa; kenal singkat- dekat- kencan -pacaran -serius -putus.
Verdian akhirnya meminum vodkanya hingga seperempatnya. Memandang hamparan kota di bawah penthouse yang kerlap kerlip maupun berdenyar-denyar.
Pandangan Verdian hampa.
Ia memutuskan memejamkan mata. Mengingat Ranu.
Kenapa dirinya selalu menjadi pihak yang ditinggalkan?
Verdian merasa muak. Menjadi pribadi yang dipandang berbahaya dan bahagia karena kekayaan materi.
Namun faktanya, tidak seperti itu.
Siapa bilang hubungan keluarga Daeriman adalah hubungan keluarga yang harmonis?
Sejak awal keluarga Daeriman adalah contoh yang mewakili Kekayaan bukan tolok ukur kebahagiaan.
Awal ceritanya malah bukan seperti sebuah keluarga.
Ibunya meninggalkannya ketika ia berusia tiga tahun. Tidak ada kabar. Yang Verdian ingat adalah wajah sendu dan senyum ibunya yang menemaninya tidur, lalu Ibunya hilang esok pagi dan pagi-pagi selanjutnya.
Selanjutnya yang Verdian ingat, dia sudah diantar ke rumah kerabatnya.
Ayah yang sejak kecil tidak pernah ada untuknya---secara fisik maupun nama--- tiba-tiba datang saat ia berumur lima tahun, mengambilnya dari paman dan bibinya yang tidak benar-benar merawatnya dengan baik dengan kompensasi yang sangat besar karena 'merawat dan menjaga' Verdian.
Daeriman Hadi---Ayahnya yang merupakan orang terkenal itu--- juga tidak susah payah berusaha menjelaskan alasan ketidak hadirannya di hidup Verdian sebelumnya. Tapi Verdian kecil tetap menerimanya.
Jika setelah itu kehidupan Verdian lebih baik, maka tidak sepenuhnya benar. Verdian memang terjamin secara materi, tapi keberadaan Ayahnya hanyalah sebuah nama.
Belakangan saat SD, Verdian tahu bahwa Ayahnya sebenarnya memiliki keluarga lain; istri lain dan seorang anak perempuan---adik tirinya.
Verdian hidup terpisah, hanya dirawat beberapa pembantu dan seorang ajudan Ayahnya yang ia panggil 'Bapak'. Seorang yang dekat dengannya namun juga pergi saat Verdian menginjak akhir bangku SMP.
Ayahnya hanya berkunjung dua minggu sekali dan hanya berkumpul sedikit lebih lama saat perayaan hari besar di rumah utama Sang Ayah. Itu pun Verdian harus menahan diri dari sikap antipati Ibu tirinya.
Saat awal SMA lah akhirnya Ayahnya mengungkapkan dan mengakui sosok Verdian di muka publik. Anak yang diakui sebagai penerus perusahaannya.
Verdian yang semula hidup tenang dalam bayang-bayang, harus menerima kehidupan baru penuh perhatian karena statusnya sebagai seorang Daeriman. Dan gemblengan Ayahnya agar bisa menjadi Daeriman yang diharapkan.
Verdian menerima itu semua selayaknya anak yang patuh. Tidak pernah protes, menyalahkan Ayahnya yang hanya hadir ketika butuh, atau melakukan pemberontakan seperti pemuda puber. Bahkan ketika media-media membicarakannya, dia dengan kalem tidak mau menjadi media darling.
Saat kuliah---saat dimana ia rasa adalah perpaduan saat bahagia dan siksaan, untuk pertama kalinya Verdian mengalami yang namanya jatuh cinta kepada lawan jenis. Seorang mahasiswi yang berbeda jurusan dengannya.
Mereka menjalin hubungan yang tenang dan tidak terpengaruh status Verdian. Verdian bahkan berencana menikahinya tepat setelah mereka menyelesaikan studi.
Namun cinta pertamanya kandas saat kuliah. Kekasihnya itu mencampakkannya tanpa alasan. Sampai sekarang Verdian juga tidak berniat mencari tahu sebabnya.
Dia sudah lelah bertanya kemana semua orang pergi meninggalkannya.
Sekarang, setelah menemukan wanita yang membuatnya jatuh hati lagi, wanita itu hanya menjadikannya sebagai pelampiasan dan sekarang akan meninggalkan dirinya. Lebih parah dari itu, wanita itu adalah orang yang ditarget oleh Ayahnya.
Tapi Verdian sudah mengambil langkah.
Ia tidak berpihak kepada siapapun. Ia ada untuk dirinya sendiri.
Termasuk mempertahankan Ranu sebagai kekasihnya. Untuk alasan sentimentil dan untuk alasan muak dicampakan dan menjadi orang yang dicari ketika hanya dibutuhkan.
Serta alasan lain kenapa wanita itu harus bersamanya.
***********
Aku bangun nyaris pukul lima pagi. Memandang sebelah sisi yang sudah kosong.
Masih ada aroma Tama yang menempel berbaur dengan aroma sanggama.
Aku menggapai handphone. Perasaanku benar. Ada pesan dari Tama. Isi pesannya dia telah sampai rumahnya dan ucapan cinta. Rupanya dini hari dia beringsut pulang. Mengendap lewat jendela lagi, kurasa.
Aku menelentangkan diri. Menatap langit-langit. Berusaha mengumpulkan pikiranku yang transisi dari kosong ke isi. Mengemukakan semua gagasan yang berkelebat.
Aku menghela nafas. Berat.
Aku bangkit dari tempat tidur, menyingkirkan selimut. Suhu udara yang rendah merasuk ke tubuh polosku. Tapi aku sama sekali tidak menghiraukan. Aku berjalan ke lemari. Di sudut laci yang nyaris tak pernah kusentuh. Sudut yang takut kusentuh.
Aku meraih penyimpanan data yang diberikan Ernest.
Aku memandang gamang. Teringat setelah aku dan Tama berhubungan badan kemarin malam, dalam kedamaian yang menyenangkan untuk menurunkan sisa hasrat, kami berbincang.
"Ranu, aku harus bagaimana agar Ranu nggak nekat ikut campur seperti tadi?" Gumam Tama lirih. Menatap manikku.
"Jangan salah paham." Jawabku sembari memainkan anak rambutnya yang berantakan. Mengabaikan melihat luka-luka baru di wajahnya yang bikin ngilu.
"aku melakukannya untukku sendiri. Aku memang ingin putus dari Verdian."
Tama terdiam. Lalu mengulurkan tangannya untuk membelai satu sisi wajahku "jangan bohong. Aku tahu."
Aku menikmati sentuhannya "nggak. Aku nggak bohong. Aku hanya muak jadi cewek brengsek. Aku muak menyembunyikan fakta bahwa aku lebih memilihmu kepada orang-orang."
Tama akan membuka suara, aku menyela "aku juga nggak peduli sama terpaan gosip, kau sudah tahu kan?"
"Karena publik sudah tahu, Daeriman Hadi semakin hati-hati terhadap Ranu. Tapi jika Daeriman Hadi tahu Ranu putus dengan anaknya, dia akan langsung mencarimu." Kalimat Tama mirip dengan kalimat Verdian ketika menolak memutuskan diriku.
Aku menghela nafas. Lalu menelentangkan diri. Menolak mengakui kata-katanya benar.
Tama mengecup bahuku. Upaya menenangkan kalutku.
"Ranu, apa Ranu masih menyimpan boneka dari Ernest?" Tanya Tama kemudian. Aku menyipitkan mata heran. Lalu aku tahu yang Tama maksud.
Aku memejamkan mata "nggak disini. Mungkin di rumah. Aku lupa."
"Besok ayo ambil bonekamu." Tama meminta dengan lirih "itu sumber masalah semuanya. Daeriman Hadi hanya ingin itu dari Ranu."
Aku tidak sepenuhnya bohong. Boneka Ernest yang sudah koyak aku buang.
Aku hanya menyimpan penyimpanan datanya.
Aku memakai kausku, lalu menyalakan laptop. Dengan adrenaline yang aneh, aku mengkopi semua yang ada di dalam penyimpanan data tersebut.
Aku membaca beberapa salinan dokumen. Aku tidak paham, tapi sepertinya ilegal. Lalu beberapa foto. Selanjutnya rekaman-rekaman suara. Aku copy semua.
Setelah selesai, yang aku lakukan hanyalah menatap penyimpanan data sialan milik Ernest. Benda kecil yang sepertinya bisa menghancurkan banyak orang; entah aku atau Daeriman.
Tidak hanya menyalin data. Aku masih banyak rencana tapi aku tidak banyak waktu. Tunggu, siapa bilang aku bergerak sendiri? Aku tidak berniat bunuh diri. Aku punya aliansi. Sekutu.
Hanya saja tidak melibatkan Tama.
Dan salah satu sekutu ku itu adalah Ernest.
***********
*Lovely, by Billie Eilish ft. Khalid
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top