3-Steering Wheel

Adegan ena-ena. Skip jika belum siap.dan belum cukup umur. ⚠

*****************

Nafas dan desahan kami lolos ketika bibir saling memagut. Jemarinya bahkan mencengkram rambutku agar dapat menciumku lebih dalam.

Aku meletakkan tanganku ke bahunya yang kokoh. Meletakkan beban tubuhku disana.

Kami sudah lupa keadaan. Saling memagut liar.

"Ah..." Aku melepaskan diri, menghimpun oksigen. Lalu memandang pria asing di depanku.

Dia tampan. Sangat tampan.
Dia tidak seperti Michiel V yang sempat ku googling itu, yang kata Sarah tampan luar biasa.

Atau seperti Syahdan yang kharismatik.

Mereka bertiga memiliki ketampanan yang berbeda.

Dia tampan yang sangat... nakal. Dia seperti remaja. Dia memiliki kulit bersih. Bahkan cenderung lebih cerah. Rahangnya keras.

Dia lalu mulai mencium garis rahangku dan menelusuri leherku dengan bibirnya.

"Nggg...." Aku mengerang pelan. Merasakan sensasi geli yang nikmat.

Dia lalu melepaskan diri. Memandangku. Aku menggigit bibir.

Oh Ya. Aku ingin lebih.

"Mbak," dia bergumam lirih "mau ke dalam?"

Dia menawarkan basecamp disana untuk kami. Aku tidak bisa berpikir jernih. Aku mengangguk.

Lalu dia menggendongku ala bride style. Aku mengalungkan tanganku ke lehernya. Dia menatapku sejenak. Lalu berjalan dengan mantap ke pondok kayu.

Ia menurunkanku, hanya untuk membuka pintu pondok yang terkunci.
Lalu menyalakan lampu.

Ia lalu mengulurkan tangannya, membimbingku masuk.

Aku memandang ruangan itu. Berdinding kayu, berlantai keramik, dengan dua model lampu; temaram dan terang.

Seperti cottage kayu di penginapan di pegunungan.

Ia lalu mematikan lampu yang terang dan membiarkan sinar lembut temaram menyinari ruangan.

Disini hanya ada beberapa perangkat komputer lengkap dengan headset. Poster-poster. Dan sebuah kertas berisi jadwal.

Jadwal pertandingan Esport? Apa sih ini?

Namun aku merasakan bahuku di sentuh dari belakang. Aku berbalik.

"Mbak mau berubah pikiran? Kalau Mbak nggak mau, saya antar aj--"

"Lakukan," aku memotong "lakukan lagi."

Dia tidak membalas, namun dia mengunci pintu dari dalam. Lalu segera dia menangkap bibirku. Memagut. Saling menelungsupkan lidah.

Lalu ia melepaskan ciumannya. Menelusuri leherku dengan lidahnya.

"Ah... " Aku mendesah. Lidahnya... Sangat merangsang.

Tangannya mulai melepaskan kancing blouse ku. Mengekspos bra yang kupakai. Lalu ia melanjutkan mencium leherku.

Lalu dia berhenti di dada; antara tulang selangka dan payudara. Ia tidak lagi mencium. Tapi menggigit. Menghisap. Memberi sensasi dengan lidah.

Aku melenguh.

"Ah... Hmmm... " Aku menggumam tidak karuan. Apalagi ketika dia mulai meremas payudaraku.

"Oh, yah... Yah..." Aku tidak tahu apa yang aku katakan. Dia malah membuka blouse dan menaikan sedikit bra ku. Hanya untuk menggoda ujung payudara dengan jemarinya.

Aku kehilangan keseimbangan. Kakiku lemas. Hingga akhirnya dia memopang tubuhku.

"Berbaring... Ayo berbaring..." Pintaku sembari mengatur nafas. Mencoba mengontrol kalimat.

Dia mematuhi. Ia membaringkanku ke lantai setelah menggelar selimut yang ada disitu untukku.

Lalu dia membuka kausnya sendiri. Aku melihat kalung warna hitam menggantung di lehernya. Bandulnya berbentuk T hitam di tengah sebuah segitiga.

Mungkin itu inisial namanya.

Tatapan kami bersibobrok. Aku menatap mata jenaka tapi berbahaya di atasku.

"Mbak cantik." pujinya.

Aku mengulurkan tanganku, merengkuh kepalanya sebagai balasan pujian dari mulutnya. Membuka bibirku dan menerima lidahnya. Kami berciuman lagi.

Aku menganggap pujiannya sebagai rasa terimakasih karena kuijinkan menggerayangi tubuhku. Secara sukarela.

Dia menindih tubuhku. Aku merasakan puncak payudaraku menyentuh dadanya. Membuat bulu kudukku meremang.

Mengetahui itu, dia malah menangkup payudaraku yang lalu ia bebaskan dari bra ku. Membuat tubuh bagian atasku polos.
Meremas lembut sembari memainkan lidah kami.

Dia lalu melepaskan ciuman, menurunkan mulutnya dengan menyusuri leher dan berhenti diantara dadaku.

Ia menyesap payudaraku.
Menghisap, menggigit, menjilat.

Aku mendesah keras. Sensasi seperti sengatan menghujami tubuhku seperti riak. Aku bahkan menekan kepalanya agar lebih rapat, agar menghisap lebih dalam.

"Ah... Maass..."

Dia melepaskan hisapannya. Membuka rokku. Membiarkanku hanya dengan celana dalam.

Ia membelai bagian intim itu. Mengusapnya dengan menggoda. Aku menggigit bibir.

Apa aku berani melakukan pertama kali?
Dengan orang asing, pula.

Tapi sebenarnya aku tidak peduli.

"Mbak udah basah..." dia memperjelas apa yang disentuhnya.

"Lalu?" Tanyaku lemas. Aku memang tidak tahu.

"Boleh," dia menelan ludah sebentar "boleh saya melakukannya?"

Ah. Aku memang belum pernah melakukannya tapi aku tahu maksudnya.

Aku mengangguk.

Dia bangkit, melepas ikat pinggang dan membuka restletingnya. Menurunkan celana jeans dan celana di dalamnya.

Aku melihat bagian intim seorang pria selain punya Syahdan.

Jika dengan Syahdan, aku akan segera menangkup dan memainkannya dengan lidah dan jemari. Membuatnya klimaks tanpa penetrasi.

Tapi ini milik orang lain.
Milik orang yang bahkan tidak kuketahui namanya.

Dan aku tidak berniat untuk tahu.

Jadi, aku tidak mau menjadikannya personal. Aku tidak mau memberikan perlakuan yang sama dengan Syahdan.

Aku akan membiarkannya memasuki diriku. Aku akan memberikan kegadisanku padanya.

That's what he gets.
No strings attached.

Karena setelah ini, aku akan melakukan selibat. Aku tidak akan menjalin hubungan dengan pria dengan serius.

Aku sudah lelah berhubungan dengan pria brengsek, walaupun sebenarnya Syahdan tidak brengsek.

Tapi justru karena itu, aku merasa aku tidak akan bisa menikah jika bukan Syahdan orangnya.

"Mbak," panggilnya sembari menyibak rambutku ke belakang telinga dengan lembut "Saya takut kehilangan kendali. Jadi sebelum saya gelap mata, ini tawaran terakhir..."

Aku menatap matanya. Menunggu.

"Mbak boleh berhenti sebelum saya masuk." Lanjutnya.

Aku menelan ludah. Agak merasa tersanjung dengan pernyataannya.
Dia bahkan belum tahu bahwa sebentar lagi dia akan memperawaniku.

Aku terkekeh pelan. Menangkup wajahnya meyakinkan.

"Mas terusin aja." Ujarku.

Dia lalu memandangku sebelum akhirnya melebarkan kakiku. Mempersiapkan miliknya. Mengusap di kedua labia.

Sensasi apa ini?

Aku mengadah. Mempersiapkan mental dan fisik. Ini adalah 'malam pertama' ku.

"AGHHH!!!" Aku mengerang, hampir berteriak. Dia sudah masuk! Dia memasukiku!

"Mbak..." Dia berujar agak panik, berhenti
"Mbak masih... Perawan?"

Dia berniat melepaskan diri. Tapi aku segera merengkuh lehernya.

"Jangan, tolong... Tolong teruskan..."

"Tapi Mbak---"

"Mas...teruskan..."

"Jangan, saya nggak mau Mbak menyesal."

"Aku nggak akan menyesal!! Tolong... Teruskan..." Aku menangis. Meratap. Aku merasa murahan. Murahan dan putus asa.

Dia menatapku dengan gamang.
Menggigit bibirnya.

Tapi kemudian dia membelai pipiku. Menenangkanku.

"Mbak, ini bakalan sakit. Mungkin sangat sakit." Dia memperingatkan. Serius.

Aku mengangguk lemah.

Lalu dia menghela nafas, mendesah.

Aku mengerang ketika dia memasukiku lagi. Dia tidak bohong. Ini benar-benar sakit. Walau dia hati-hati.

Aku bahkan terisak.

"Mbak, Mbak..." Dia menenangkanku, membelai rambutku. Lalu jemarinya mencari jemariku. Mencengkram, saling menautkan.

Aku melampiaskan rasa sakit ini dengan mencengkram jemarinya sampai buku-buku jariku memutih.

"Ooh... Oh..." Aku melolong. Membiarkan dirinya memompa diriku. Lembut namun penuh gairah.

Aku masih kesakitan. Tapi ini benar-benar nikmat. Seperti ada bunga mekar dalam dadaku.

"Agh.. Agh.." dia mendesah, mengerang. Lalu menciumku dan meremas dadaku. Ketika hujamannya semakin dalam dan cepat, aku reflek mengunci pinggangnya dengan kakiku.

"Mbak... ah, ah.." dia berusaha mengatakan sesuatu "lebih rapat, Mbak... Agh..."

Aku tidak paham maksudnya, tapi tidak demikian dengan kewanitaanku. Bagian terintim milikku tahu maksudnya. Ia bergerak dengan naluri.

"Mbak... Ah, seperti itu... Iya..." Dia meracau. Menikmati permainannya.

"Nggg..Maaass..." Aku mengerang. Menggigit bibir menahan kenikmatan dan rasa sakit dalam diriku. Aku juga sama meracaunya.

Aku dapat memandangnya yang mendongak kenikmatan sembari terus menghujam dan memompa. Kalungnya bergelantung , bergerak dengan cepat seiring hujamannya.

Terlihat seksi.

Kami sudah tidak paham aliran waktu di sekitar kami. Aku malah sudah mengikuti ritme gerakannya, ikut menikmati pergumulan ini.

Akhirnya aku tahu rasanya berhubungan intim.

"Agh, agh,..." Dia mengerang, mempercepat hujamannya. Gerakannya semakin cepat, bahkan tubuhku ikut bergoncang.

Aku merasakan denyutan dan luapan yang besar.

Dan dia mengerang keras.
Buru-buru dia bangkit, dengan tergesa mengeluarkan miliknya.

Membuat kekacauan.

Ambruk di bahuku, sembari mengatur desah dan nafas masing-masing.

Lalu ia bangkit, mencari tissue.
Membersihkan kekacauan. Membersihkan benihnya.

Dan membersihkan kewanitaanku dengan hati-hati.

Aku melihat ke arahnya. Warna kemerahan.
Ah. Aku benar-benar masih perawan walaupun Syahdan pernah melakukannya dengan jemarinya.

"Maaf, Mbak..." Berujar lirih, membelai rambutku sembari mencium pipi..

"Buat apa?" Tanyaku lemas, masih mengatur nafas.

"Saya," dia menghela nafas "saya memperlakukan Mbak kayak pelacur."

Aku memejamkan mata. Aku merasa murahan, memang. Tapi aku tidak merasa diperlakukan seperti pelacur.

Aku menenggelamkan wajahku ke dada pria asing itu. Merasakan peluh kami, tapi aku tidak merasa jijik. Menyusuri rantai kalungnya.

Dia merengkuhku.
Lalu ambruk disampingku, masih memelukku.

Keheningan tercipta. Hanya suara nafas kami yang mulai teratur.

Aku menghela nafas, lalu bergumam pelan "Makasih..."

Dia mempererat pelukannya "nggak, saya yang harusnya berterimakasih."

"Tapi Mas mau nurutin permintaan konyol saya."

Dia menelan ludah "ini bukan permintaan main-main Mbak. Ini nggak sepadan. Disini saya yang menang banyak."

Aku terdiam. Pikiranku menerawang.

"Nama Mbak... Siapa?" Tanyanya.

"Buat apa?"

"Saya hanya mau tahu siapa Mbak. Saya harus jadi orang yang Mbak datangi kalau terjadi apa-apa setelah ini." Jawabnya.

Aku melepaskan diri. Lalu dengan tubuh nyeri dan bagian pribadi sangat perih, aku mengumpulkan pakaianku.

"Sebaiknya jangan sampai kita tahu identitas masing-masing, ya Mas." Ujarku memohon.

Dia lalu bangkit, terduduk "kenapa?"

"Aku nggak mau," aku menghela nafas "aku nggak mau hubungan ini berlanjut. Disini saja. Selesai."

"Tapi---"

"Tolong, ini permintaan saya yang paling akhir sebelum Mas antar saya pulang."

Dia mengacak-acak rambutnya, mengerang.

"Mbak nyesel?"

"Nyesel kenapa? Karena habis melakukan seks sama Mas?" Tanyaku. Ia mengangguk.

"Nggak. Aku nggak nyesel." Jawabku. Bisa dibilang, mungkin aku ketagihan setelah ini. Tapi tidak. "Aku hanya nggak ingin kita terlibat sesuatu yang lebih mengarah ke perasaan. Jadi kita awali dan akhiri sebagai orang asing."

Dia memejamkan mata.

Lalu tanpa bicara dia memakai pakaiannya. Begitu pula diriku. Kami terjebak dalam keheningan yang kami buat.

Setelah merapikan segala kekacauan dan merapikan diri, aku menoleh ke arahnya yang menatap diriku dengan pandangan tidak tertebak.

Aku menghela nafas.
Sudah berakhir.

"Mas," panggilku
"antar aku pulang."
**********************

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top