27. Vicious

Dahlia mengetuk-ngetuk jemarinya meja makan. Menatap jengah masakan yang dibuat asisten rumah tangga Serigala Selatan yang sudah mulai dingin.

Dia melewatkan makan malam untuk kesekian kali, batin Dahlia agak kesal.

Nasi goreng udang tampak tidak lagi menggugah indera penciuman dan penglihatan. Dahlia sengaja meminta dimasakan itu tadi.

Karena dia tahu masakan itu adalah kesukaan Tama.

Dahlia acap kali memasakan Tama saat mereka remaja dulu. Namun sekarang, keterbatasan gerak akibat penganiayaan membuatnya harus meminta tolong orang lain.

Apalagi sekarang dia agak tertekan berada di markas kelompok premannya Tama. Dia tidak mengenal dekat orang-orang ini. Dia hanya mengenal sambil lalu beberapa. Dia merasa terkurung.

Terus terang, Dahlia ingin berbuat bebas seperti dulu. Kelayapan tanpa ada yang memarahi, tinggal beberapa hari dengan pria yang berbeda-beda--- dan jangan lupakan uang yang ia dapat dari hubungan tersebut.

Dahlia tidak pernah peduli akan omongan orang. Dia toh melakukannya bukan untuk cari uang. Dia memang seperti itu.

Tama adalah yang selalu mengingatkannya untuk berhenti walau sudah dapat dipastikan Dahlia tidak akan mungkin mengakhiri kesenangannya.

Walau begitu, Tama lah yang selalu datang untuk menyelamatkan dirinya jika ia ternyata main-main dengan laki-laki berbahaya.

Hal itulah yang selalu membuat Dahlia tidak ingin Tama pergi dari dirinya. Dia tidak menyukai Tama secara intim---walau dulu mereka pernah melakukannya sekali.

Ensistensi Tama adalah kebutuhan rohani bagi Dahlia. Tidak secara romantis. Hanya rasa kebutuhan akan keberadaan sosok tersebut.

Maka dari itu Dahlia juga tidak suka Tama bermain-main dengan bahaya, menjadi preman.

Dahlia belum siap menerima kehilangan Tama.

Tama pernah sekarat yang Dahlia tidak tahu penyebabnya; membuatnya kehilangan banyak darah. Tapi untungnya dia selamat. Dahlia baru mengetahuinya ketika Tama sudah berada di ruangan pemulihan.

Atau yang baru-baru ini setelah kejadian di Malaysia. Walau pada waktu itu juga Dahlia juga hampir kehilangan nyawa. Meninggalkan cacat.

Mengingat itu, Dahlia memandang kesal dan putus asa pada tangannya yang tidak bisa digerakkan secara luwes.

Siapa yang mau dengan perempuan tidak sempurna begini? Bagi Dahlia, tangan adalah salah satu hal yang membuatnya atraktif di ranjang.

Dahlia mengakui markas ini besar. Semua preman di sini tidak macam-macam dengannya karena dia dibawa Tama. Tampaknya Tama memiliki posisi yang agak penting di sini.

Tapi tetap saja, Dahlia tidak suka terkurung.

Dahlia tahu alasan Tama bergabung dengan kelompok ini. Awalnya Dahlia keberatan, bahkan hingga sekarang.

Tapi Tama yang nekat dan impulsif tampak tidak mengindahkan saran siapapun.

Termasuk tidak peduli ketika Dahlia memohon untuk Tama berpikir ulang atau bahkan ketika harus berkelahi dengan Ernest yang mencegahnya masuk kelompok preman.

Terang saja mereka berkelahi.

Letak masalahnya kan ada sangkutnya adalah dengan Ernest. Ernest adalah salah satu sebab Tama nekat masuk salah satu kelompok preman terbesar untuk balas dendam akibat sikap apatis Ernest.

Dan ketika Ernest sok menasehati Tama, bukannya malah membuat Tama sadar justru malah membuatnya muntab. Ernest ibarat menyiram suluh yang membara dengan minyak.

Seperti yang diduga, akhirnya mereka berkelahi hebat. Membuat Dahlia berteriak hebat agar mereka berhenti. Namun nihil. Mereka baru berhenti ketika sama-sama tumbang.

Sekarang setelah semua dendamnya selesai, masih ada masalah lainnya. Tama sudah terlanjur menjadi agen polisi. Dahlia kira urusan Tama hanya sebatas dendam atas kematian Arshan.

Ternyata urusan Tama jauh lebih berbahaya.

"Oh, lo belum tidur."

Dahlia segera menoleh mendengar kalimat itu dan melihat yang ditunggunya masuk ke dapur.

"Dari mana?" Dahlia bertanya. Tapi Tama bergeming. Ia lantas membuka kulkas dan langsung meneguk minuman dingin.

Dahlia berdecak "lo nyari Ranu lagi?"

Lagi-lagi tidak ada suara. Tama hanya menyeka mulutnya yang basah dengan punggung tangan.

"Lo nggak capek?" Dahlia terus merentet pertanyaan "ini sudah berhari-hari lo nyari dan nggak ada hasil."

Tama mendongak. Mengambil nafas. Ia lalu menuju ke arah Dahlia. Duduk di samping gadis itu sembari mengistirahatkan diri.

Dahlia menatap datar Tama. Tapi garis bibirnya kaku.

"Kenapa masih nyari dia sih? Lo kan udah mutusin buat nggak ngelibatin dia dalam kehidupan lo selama lo masih berurusan sama hal-hal ini."

Tama mengusap wajahnya. Tidak menjawab untuk beberapa saat.

"Gue sempat ketemu lagi sama dia." Gumam Tama pelan.

"Apa?"

"Gue ketemu lagi sama dia, gara-gara kelakuan Ernest." Lanjut Tama "dan gue langsung merasa, dia memang punya bakat mengundang bahaya... Dia bahkan mau dikerjai anak buahnya Ernest."

Dahlia terdiam. Ia mau mengatakan bahwa itu bukan urusan Tama lagi, tapi dia urungkan.

Dahlia tahu perasaan jengah karena dilecehkan.

"Lalu?"

Tama menghela nafas lalu menutup wajahnya.

"Gue nggak tahu. Gue cuma mau nyari dia." Ujar Tama.

"Lalu kalau ketemu?"

Tama tidak menjawab. Ia hanya menelan rasa pahit di kerongkongannya.

"Nah." Dahlia merasa menang "lo sendiri nggak tahu kan bakal ngapain? Lo nggak ada rencana apapun!"

"Sialan!" Tama mengerang, mengumpat "Gue cuma pengen nemuin Ranu! Gue nggak bisa... Gue nggak bisa kehilangan lagi.. Kakak gue, Ranu---"

"Lo hanya akan menghancurkan rencana lo dan membahayakan dia! Jangan bodoh!" Nada Dahlia meninggi.

"Gue emang bodoh!" Bentak Tama, "kalau gue bisa pinter ambil tindakan, sejak awal gue nggak akan kayak orang gila meratapi semua kegagalan dan kehilangan orang kayak Arif atau bahkan Arshan!"

"Hentikan, Tam! Nggak usah bawa-bawa lagi masalah itu! Ini beda!" Dahlia menimpali.

Tama akan membuka suara menanggapi ketika tiba-tiba Haris masuk ke dapur.

"Gue harap gue lagi nggak ganggu.." Tanya Haris canggung "tapi gue butuh Tama."

Dahlia melengos menatap hal lain. Tama menggeleng "nggak. Kenapa Ris?"

"Lo nggak capek, kan? Ikut gue ke daerah Timur. Gue mau ngecek setoran sama ada yang minta tolong jaga proyek."

Tama mengangguk pelan. Ia menatap Dahlia yang masih membuang muka. Tama hanya membuang nafas lelah lalu bangkit, menepuk bahu Dahlia pelan sebagai tanda pamit dan permintaan maaf tersirat.

Dahlia akhirnya menoleh, menatap punggung Tama dan Haris hingga mereka menghilang. Ia lalu menarik nafas.

Bergumam lirih, lebih ke arah diri sendiri.

"Lo cuma ketagihan sama dia, Tam. Lo nggak benar-benar cinta sama Ranu. Lo cuma butuh badan dia dan perasaan bertanggung jawab karena nidurin cewek baik-baik seperti dia."

Tapi bahkan Dahlia pun meragukan asumsi yang ia buat sendiri.

***************

Sulit menjelaskan situasiku saat ini.

Sungguh ajaib, bagaimana situasi bisa jungkir balik dalam satu hari---tidak. Dalam hitungan jam saja.

Karena aku sendiri masih berupaya mencerna apapun yang terjadi, aku bahkan tidak menaruh rasa kagum berarti terhadap sajian makanan Jepang yang sangat estetik di hadapanku.

Aku menelan dengan canggung sejumput makanan dengan sumpit. Aku tidak tahu namanya. Rasanya segar dan gurih. Jelas ada saus buah sitrus.

Seseorang berpakaian putih khas koki berbicara dalam bahasa Jepang, memberitahu apa saja yang kami makan. Aku mendengar dan memperhatikan. Tapi tidak mengerti. Hanya sebatas formalitas dan kesopanan.

Aku menatap Pak Said yang duduk tegak dan menatap meja takzim. Tangannya mengetuk-ngetuk gelas kayu berisi minuman teh hijau cair.

"Yang kamu makan itu irisan sayur dan kesemek. Dengan saus grapefruit---sejenis jeruk dengan daging buah berwarna ungu anggur---" Pak Said berujar pelan setelahnya "hidangan ini semacam sakizuke."

Ah aku pernah diberitahu oleh yang lain kalau Pak Said itu poliglot---ada sekitar lima bahasa ia kuasai. Jadi Pak Said menceritakan apa yang dijelaskan koki khusus kami itu.

"Sakizuke?" Tanyaku.

"Ya, semacam makanan pembuka. Appertizer. Kalau keseluruhan set disebut Kaiseki*." Jawab Pak Said menunjuk aneka makanan yang ditata seperti satu suap.

"Pengetahuan orang jurnalis memang tidak main-main ya." Suara tenang itu menyahut. Aku sejenak hampir melupakan atmosfir canggung ketika aku ingat alasan kenapa aku tidak menikmati hidangan ini.

Daeriman.

Ia menatap Pak Said sejenak sebelum menatapku.

Tatapan teduh nan tajam. Dengan garis senyum moderat; tidak berlebihan namun juga tidak terlalu menyepelekan.

"Ya kalau sebatas makanan sih, saya sering diajak makan mewah juga." Pak Said tertawa pendek. Lebih karena bercanda daripada menyombongkan diri.

Daeriman menyodorkan sebotol kecil minuman ke arahku.

"Saya tidak pesan minuman beralkohol, tapi ini sama enaknya. Namanya mugicha*."

Lagi-lagi aku menerima dengan canggung.

Oke mari kita kembali lagi kenapa tiba-tiba aku bisa makan malam dengan orang yang menuntut klarifikasi dari pihak penerbitan kami padahal pelakunya sudah hengkang.

Jadi setelah pagi tadi dengan perasaan penuh ketegangan, beberapa arahan dari dewan direksi dan penyemangat dari berbagai orang-orang editorial, akhirnya aku dan Pak Said menghadap pihak Daeriman.

Kami bertemu di sebuah restoran Jepang yang bisa dibilang sekali makan saja bisa jutaan.

Jujur saja aku ketakutan, tidak mungkin aku bisa biasa saja kan?

Aku tidak bersalah atas ilustrasi provokatif yang menyinggung anak dari Daeriman. Sudah jelas bahwa 'pelakunya' sudah tidak ada di perusahaan.

Justru itu yang menakutkan. Mereka tetap memaksa bertemu denganku. Aku hanyalah anak baru yang tidak tahu apa-apa.

Mereka bahkan tidak terlalu menuntut keberadaan Pak Said sebagai editor.

Kenapa aku?

Namun yang jauh lebih membingungkan dari itu semua, dan membuat perasaan tidak bisa di definisikan adalah bukan perwakilan Daeriman Hadi yang datang. Pun bukan juga Daeriman Hadi sendiri.

Tapi Verdian Daeriman.

Sosok yang menjadi objek serangan ilustrator sebelumnya. Anak Daeriman Hadi.

Menakutkan jika dihadapkan langsung oleh objek beritanya. Tapi aku bahkan tidak tahu harus takut apa tidak ketika tahu bahwa Verdian Daeriman adalah orang yang beberapa waktu lalu kehilangan lensa kontaknya.

Orang yang langsung tahu bahwa aku adalah orang baru di lingkungan tempat kerjaku yang baru.

Ada apa ini?

Daeriman Verdian, atau Verdian, memuji penyajian sang koki dalam bahasa Jepang. Pak Said menerjemahkan secara singkat bahwa dagingnya sangat segar.

Aku tidak menyukai makanan mentah, bahkan itu sayuran sekalipun. Untunglah makanan utamaku scalop dan salmon panggang gaya Jepang.

Tuhan, kenapa dia tidak mentraktir kami di lesehan ayam bakar saja sih?

"Saya suka sashimi, tapi jelas dagingnya harus segar. Makanan Jepang itu memang harus segar sesuai gaya hidup masyarakatnya." Verdian membuka percakapan lagi.

"Ya, memang. Makanan Jepang jika diolah dengan baik, sebenarnya makanan diet kesehatan." Timpal Pak Said menyetujui "tapi sulit jika mencarinya di sini."

Verdian tertawa pelan "benar. Restoran ini salah satu yang sedikit menyajikan makanan Jepang berkelas."

Ia mengunyah sashiminya sejenak "saya pernah memesan daging yang baru disembelih waktu di Okinawa . Sangat segar. Ketika disajikan, daging itu sedikit bergerak-gerak*."

Verdian menatapku "tapi tidak mungkin saya memesan yang seperti itu dalam situasi sekarang kan?"

Aku ingin sekali mengartikan kalimat tersebut dengan sesuatu yang positif.

"Waktu saya kecil," Pak Said tiba-tiba menimpali "saya sering makan ulat dari batang pohon sagu yang busuk. Mentah-mentah. Masih menggeliat."

Aku ganti menatap Pak Said dengan ekspresi antara jijik, ngeri, dan terkejut.

Ini kenapa malah perang karnivora begini sih?

"Oh ya?" Verdian mengangguk "bagaimana rasanya? Saya belum pernah mencoba makan ulat. Sangat ekstrim."

"Ya tidak seekstrim daging yang baru disembelih sih, tapi rasanya cukup enak. Seperti makan lemak ayam goreng." Pak Said menjawab sembari tertawa "tapi jika Mas Verdian mau kita bisa lah kapan-kapan jalan ke Papua cari ulat sagu."

Lalu Pak Said mengedikkan dagu ke arahku sembari tersenyum simpul "atau kalau memang mau mengajak kami makan daging segar seperti itu, lebih baik ajak kami sekalian ke Siberia.*"

Verdian turut tersenyum simpul.

Ia tidak mengomentari lagi, sebagai gantinya dia menuangkan mugicha lagi ke arah gelasku dan Pak Said.

Cukup. Aku tidak bisa meneruskan makanan ini dengan cerita mereka tentang pengalaman makan mereka yang tidak biasa.

Makanan paling ekstrim yang pernah aku makan hanyalah sebatas sate kelinci. Iya, secupu itulah aku.

Tapi aku cukup lega (dan terkejut) bahwa pertemuan ini berakhir dengan sukses dan damai. Tanpa ada argumen, perang urat atau tuntutan yang menguras emosi.

Tidak, bahkan Verdian menganggap bahwa protes Ayahnya berlebihan. Ia malahan meminta maaf atas ketidaknyamanan yang diberikan kepadaku.

Dia bahkan tenang sekali ketika Pak Said iseng bertanya apakah kasus-kasus yang dituduhkan kepadanya ada benarnya.

"Ya saya akui saya tidak terlalu 'bersih' dan lurus, tapi jika menyerempet tindakan kriminal berbahaya saya rasa saya nggak sebodoh itu." Jawab Verdian.

"Jadi?"

"Saya ini lumayan main aman orangnya. Tindakan yang merusak usaha dan reputasi sebisanya saya hindari."

Lalu tidak ada percakapan soal itu lagi. Hanya obrolan ringan hingga Verdian dan orang-orangnya pamit.

Namun sebelum pamit, Verdian sempat melontarkan kalimat yang membuatku terpekur lama.

"Ah, seandainya teman saya memperkenalkan kita lebih cepat. Saya rasa hal seperti ini nggak perlu terjadi."

Lalu dia benar-benar pamit dengan SUV putihnya. Membuatku berpikir keras tentang ucapannya.

Apa maksudnya?

Aku berusaha mengabaikan itu sembari menunggu mobil kantor dengan Pak Said di lobby restoran.

Pak Said hanya terdiam sembari merokok, bahkan tetap diam sampai mobil datang. Tampaknya Pak Said memiliki sesuatu untuk dipikirkan juga.

"Dia ngincer kamu." Pak Said tiba-tiba bersuara setelah keluar daerah restoran.

Aku menoleh cepat.

"Ehm? Saya diincar?" Aku memastikan ucapan Pak Said barusan.

"Iya. Kamu diincar si Verdian itu. Entah apa alasannya."

Aku memang sudah agak aneh dengan semua kejadian sebelumnya. Tapi mendengar dari Pak Said sendiri memberikan efek syok tersendiri.

"Saya sudah kerja di dunia penerbitan dan berita hampir duapuluh lima tahun sebelum akhirnya memutuskan di perusahaan sekarang. Penerbitan saya dulu pernah dibredel pemerintah, dituntut, diintimidasi--- banyak."

Pak Said lalu mengusap dagunya "tapi yang ngeyel minta ketemu orang yang jelas-jelas nggak ada sangkut pautnya ini baru pertama."

Pak Said menatapku "dan yang bikin saya heran, direksi sampai ngebolehin Daeriman ketemu kamu yang nggak bersalah ini. Dari sini saya udah curiga kami diincar."

Aku menelan ludah. Pak Said mungkin benar.

Bahkan Verdian sudah mengetahui keberadaanku sebelum ini. Dia malahan sengaja menanyakan waktu itu (saat ia kehilangan soft lens--yang kuduga juga cuma alasan---) apakah aku anak baru di daerah situ.

Verdian waktu itu ingin mengintimidasiku dengan mengatakan bahwa ia tahu identitasku.

"Saya nggak bermaksud nakut-nakutin kamu. Cuma biar siap saja. Selama kamu kerja di bidang jurnalistik, hal begini pasti mampir sesekali di hidup kamu. Walau bukan kamu yang nyari dan ngolah berita."

"Ya." Aku menjawab "saya paham Pak. Saya rasa setelah ini baik Daeriman maupun Verdian tidak perlu khawatir. Tidak ada yang harus diincar dari saya, tampaknya."

"Semoga begitu." Lalu Pak Said tertawa "tapi bisa aja si Verdian naksir kamu, kan?"

Aku ikut tertawa tapi garing. Bisa-bisanya Pak Said ambil asumsi begitu.

"Tapi," Pak Said berujar pelan sembari berpikir,

"atau jangan-jangan Verdian sebenarnya ingin melindungi kamu dari Ayahnya."

"Maksudnya?"

"Saya memang merasa Verdian ini agak berbahaya. Dia gelap juga. Tapi jika dia yang akhirnya turun tangan sendiri bukan Ayahnya, bisa jadi dia cuma mau menenangkan keadaan. Dia nggak mau kamu yang kena masalah sama Ayahnya."

Pak Said lalu membuang nafas "Daeriman Hadi itu lumayan berbahaya. Segelintir yang tahu itu."

Aku ikut berpikir. Bertopang dagu. Bisa juga seperti itu.

Hanya saja ketika teringat lagi dia membicarakan makanan tadi membuat merinding.

Apaan sih dia ngobrolin makanan daging gerak-gerak dengan santai begitu? Memangnya dia Hannibal*?

Pak Said lalu menyodorkanku sebotol air mineral.

"Nggak enak kan dari tadi minum mugicha? Nih."

Aku mengucapkan terimakasih pelan. Meneguk air hingga seperempat kosong.

Yang manapun maksud Verdian---mengincar atau menyelamatkan--- semuanya dimaksudkan untuk memberiku tekanan.

Tapi jika memang dia mengincarku, apa yang ia incar?

Aku memandang jajaran gedung dengan latar langit yang semakin gelap, meninggalkan Metro Jayatri dan kembali ke kota yang kudiami sekarang. Pikiranku melayang.

Aku ingin ketika aku keluar dari batas kota, aku tidak perlu lagi terlibat dengan beberapa orang dari kota ini; Syahdan, Ernest, Verdian.

Bahkan dengan hati mengganjal, aku juga tidak ingin berhubungan dengan Tama lagi.

Aku berusaha tidur dari hari melelahkan ketika tiba-tiba mobil berhenti.

Aku membuka mata dan melihat baik Pak Said dan sopir kantor menatap ke depan dengan tegang.

"Putar balik nggak bisa, Ron?" Tanya Pak Said.

"Iya Pak, tapi sulit. Banyak kendaraan di belakang. Kita nunggu mereka putar dulu."

"Oke, jangan panik Ron. Malah kecelakaan nanti."

Aku melongok apa yang terjadi. Lalu manikku membuka ngeri.

Di depan ada tawuran. Daripada dibilang tawuran pelajar, ini seperti tawuran besar.

Aku tahu ini daerah rawan. Banyak kelompok kriminal di sini. Tapi dari sekian hari, kenapa mereka memutuskan berbuat ulah sekarang?

Bang Ron---sopir kantor segera memundurkan mobil dengan cepat tapi tidak panik.

Pak Said menghubungi kantor, lalu memastikan dash cam (kamera cctv mobil) menyala. Ia sendiri juga merekam.

Dalam keadaan apapun Pak Said tidak mau ketinggalan berita.

"Kamu balik duluan ya, saya mau nyari keterangan warga." Pak Said lalu bergegas turun. Aku memekik memanggil.

"Tenang, saya tahu tempat aman!"

Aku menepuk Bang Ron reflek "jangan ditinggal Bang, kita cari tempat aman."

"Tapi Mbak Ranu mending kita balik aja. pak Said udah biasa---"

"Pokoknya tunggu, Bang. Perasaan saya nggak enak."

Akhirnya kami berhasil mendapatkan posisi yang aman, agak jauh dari tawuran.

Beberapa mobil menjadi sasaran, untungnya pengemudinya sudah menyelamatkan diri. Beberapa warga menonton dari kejauhan.

Aku menggigit kuku, meremas ujung pakaian---apapun untuk mengenyahkan rasa gelisah. Aku tidak melihat Pak Said. Hanya tawuran dan orang-orang tergeletak.

Kengerian langsung menyergap seperti hawa dingin. Kudukku berdiri. Aku berdoa tidak akan ada yang terjadi kepada Pak Said.

Limabelas menit terasa menegangkan. Suara sirine lambat laun kudengar. Ada secercah perasaan lega terbit. Polisi datang.

Tapi kemudian kengerian seakan datang lebih cepat daripada kelegaan; aku melihat Pak Said berlari sempoyongan dengan wajah berdarah.

"Bang Ron! Pak Said, Bang!" Aku berteriak panik. Bang Ron segera keluar menuju ke Pak Said. Beberapa orang mengejar mereka.

Astaga, kenapa mereka malah mengejar? Ada apa ini?

Hatiku mencelos. Mereka tidak akan sampai. Orang-orang yang mengejar itu terlalu banyak.

Aku tidak bisa memikirkan yang lain. Segera saja aku membuka pintu penumpang, lalu beringsut ke depan, ke kursi kemudi.

Segera tancap gas, menjalankan mobil dengan kencang ke arah Pak Said dan Bang Ron. Aku harus menyelamatkan mereka.

Aku memekik kaget ketika dentuman mengenai kaca. Lalu disusul dentuman lain. Nyaris menangis ketika hujan batu mengarah ke mobil. Meracaukan doa.

Hujan batu membuat kaca depan retak dan kaca pengemudi pecah.
Tapi saat ini prioritas utama adalah membawa kedua orang itu pergi dari arena ini.

Aku segera mengerem keras ketika sampai lima meter dari Pak Said dan Bang Ron yang berlari kepayahan. Di belakang mereka gerombolan orang tampak mengejar.

Aku tidak bisa bernafas normal. Aku tidak tahu apakah kami akan lolos dari kepungan massa yang emosi tapi aku tidak peduli saat ini, Pak Said dan Bang Ron harus masuk ke mobil dulu.

"Tutup pintunya!" Aku berteriak panik ketika akhirnya tubuh mereka jatuh ke dalam mobil. Pak Said segera menarik pintu dan membanting menutup.

Aku menatap nanar ke arah para pengejar yang semakin dekat. Aku tahu hanya sekali gas adalah kesempatan kami pergi dari sini. Tapi pandanganku semakin buram.

"Ran? Ranu! Astaga kamu berdarah!"

Aku menoleh ke belakang mendapati wajah ngeri mereka berdua. Aku tidak merasakannya tadi mungkin karena ketakutan.

Tampaknya pecahan kaca ada yang menggores pelipisku.

"Mbak, saya aja yang nyetir---"

"Nggak ada waktu." Sergahku segera menarik tuas ketika beberapa orang sudah menuju ke mobil sembari menggedor-gedor dan menghantamkan senjata tumpul. Aku ingin saja menerabas dan menabrak mereka semua.

Tapi seumur hidupku aku belum pernah membunuh orang.

Aku ingin berteriak. Putus asa.

Namun kemudian laksana pertolongan yang datang tiba-tiba, sekelompok orang datang menghalau dan menghajar orang-orang yang meringsek ke mobil kami.

"Cepetan cabut!" Orang-orang itu menyuruhku segera pergi. Seorang tinggi jangkung dengan rambut gondrong. Aku seperti pernah melihatnya.

Tapi dimana?

"Hajar semua yang halangin mobil! Yang nyopir cewek! Berdarah!" Yang lain berseru.

Aku segera memanfaatkan momen dengan menancap gas. Pandanganku ingin mengungkapkan terimakasih tersirat kepada orang-orang itu.

Dan saat itulah aku melihatnya.

Diantara lautan manusia yang saling beradu pukulan dan senjata.

Tama.

Sepersekon aku seperti mati rasa, dan seperti takdir yang aneh dia juga menoleh.

Kami sama-sama terpaku. Mendalami imaji kami masing-masing. Bahkan Tama menatapku terkejut dan ngeri.

Aku bisa melihatnya meneriakkan namaku---atau begitulah yang aku lihat.

Tapi kemudian aku dan dia sama-sama melihat bahwa sepasukan polisi anti huru-hara sudah berlari menuju ke jalanan.

"Ranu! Ayo cepat!" Pak Said menyadarkanku.

Aku menggigit bibir---dan tanpa berpikir lagi, aku melajukan mobil dengan kencang. Mengabaikan sosoknya yang berteriak kencang di belakang ditelan lautan manusia, pekat malam, dan hiruk pikuk cahaya kota dan kerusuhan.

***************

*Kaiseki : set makanan (biasanya makan malam) mewah Jepang. Ada makanan pembuka (sakizuke), makanan utama, makanan yang sesuai musim, sup, acar, hingga penutup (mizumono)

*Mugicha : teh gandum bakar. Minuman musim panas khas Jepang.

*Olahan seafood atau daging mentah masih bisa bergerak seperti hidup karena masih memiliki adenosine triphosphate yang memicu kejang otot. Bisa digunakan sebagai tolak ukur kesegaran daging---dalam kasus yang jarang.

*Suku Nenets di Siberia memiliki tradisi memakan hasil buruan mereka mentah-mentah tepat setelah diburu sehingga daging masih sangat segar.

*Hannibal (Hannibal Lecter) : merupakan tokoh fiksi karya Thomas Harris. Menceritakan tentang pembunuh berantai kanibal mantan dokter bedah dan psikiatri. Selain itu dikenal karena pengetahuan dan kemampuan adi boga.

Haloo man teman readers... Long time no see (iya iya kelamaan memang hahahhaa)

Maaf baru update. Saya sebenernya dari akhir September mengurusi kepindahan. Yap. Saya pindah pulau. Makanya persiapannya sangat panjang dan melelahkan (bagi yg liat ig saya sudah tahu alasan ini. Maaf tidak ngasih tahu disini.)

Oleh sebab itu lapak saya terbengkalai. Kalau kata Orang Jawa "Sawangen"; banyak kotoran dan sarang laba-labanya 😂😂😂

Semoga kedepannya tidak ada halangan untuk menamatkan Tama-Ranu.

Sincerely,

Lust Lucifer

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top