26. Surrender

"Ran, jadi ngumpul nggak ntar malem?"

Aku mengangguk. Mengangkat jempolku sebagai balasan kepada Naula. Aku masih sibuk berkutat dengan konsep desain infografis.

Aku selesai sekitar satu jam kemudian. Tinggal memberikan hasilnya ke ketua tim sebagai editor.

Aku merenggangkan otot-otot. Memandang ke sekeliling.

Ruangan luas segiempat dengan dua dinding batu alam dan dua dinding kaca. Satu ruangan ini ada sekitar lima orang sehingga tampak luas.

Di pojok-pojoknya ada beanbag dan rak buku. Dari dalam, aku bisa memandang lebatnya tanaman mengelilingi kantor dengan dua lantai ini. Suara-suara serangga juga terdengar dari sini.

Aku menyukai kantor baruku.

Sebuah kantor berita online dan penerbitan. Masih bisa dibilang baru. Berdiri sekitar delapan tahun lalu. Sudah hampir dua bulan aku di sini dan atmosfer di sini sangat menyenangkan; orang dan lingkungan sekitarnya.

Di sini, walau aku anak baru, tampak bersahabat. Beberapa di antara mereka menyadari aku dulu sempat 'viral' karena terlibat cinta segitiga dengan politikus muda (Syahdan, tentu saja) tapi tidak lantas menghakimi.

Tempat ini menerimaku.

Jelas tidak sebesar perusahaan Syahdan. Perusahaan ini malah seperti rumah bergaya modern glass house minimalis ditengah-tengah hutan.

Tapi perusahaan ini cukup dikenal.

Aku cukup lega bisa bekerja di sini setelah resign. Butuh sekitar tiga minggu setelah resign, lamaranku diterima. Waktu yang cukup singkat.

Sebelumnya, aku menyelesaikan apapun yang menjadi tugasku di tempat Syahdan. Lalu bertepatan dengan keinginanku untuk resign, bagian personalia memanggilku.

Tentu saja, tentang kasus perseteruanku dengan Sarah.

Kami berdua dipanggil. Sarah tidak banyak membela diri sedangkan aku hanya diam.

Kami berdua mendapat skorsing seminggu. Tapi bagiku bukan masalah. Toh aku juga berniat keluar.

Sarah diminta untuk meminta maaf, tampak enggan pastinya. Tapi sebelum dia sempat membuka mulutnya, aku segera mengajukan surat resignku.

"Kamu nggak perlu minta maaf." Ujarku dingin dan tenang "aku memutuskan keluar."

Ada riak aneh dan raut Sarah seakan kaget.

Aku menjelaskan kepada kepala personalia bahwa aku ingin mencari suasana baru dan pengalaman baru.

"Tapi, sekarang ini cari pekerjaan sulit." Ujar Pak Irwan, kepala personalia "yakin mau resign? Kinerjamu bagus sebenarnya sebelum kasus ini."

Aku menjawab mantap "Tidak apa-apa, Pak. Saya yakin ada banyak kesempatan untuk saya."

Lalu kemudian Pak Irwan menyatakan surat resignku akan dibawa ke direktur. Keputusan memakan waktu tiga hari.

Syahdan sedang melakukan perawatan di luar negeri, fisioterapi memulihkan beberapa bagian tubuhnya. Jadi keputusan resignku dialihkan ke Pak Eugene.

Eugene menyetujuinya tiga hari kemudian pada masa skorsingku. Tidak banyak pertanyaan.

Aku langsung pulang ke rumah Mama hari itu. Menutup sewa apartment yang harusnya masih bisa kutinggali sebulan lagi.

Mama protes ketika aku bilang aku sudah mengajukan resign dan murka ketika aku mendapat skorsing, tapi esoknya malah mengajakku ke rumah saudara di Sangiran.

"Biar kepalamu adem! Buat tolak bala! Siapa tahu menyepi di Sangiran kamu jadi sadar!"

Lalu begitulah. Ternyata di Sangiran adalah untuk merawat Ibunya Mbak Nisha--- Mbak Nisha dokter yang pernah mengobati Tama saat kejadian di hotel--- yang dirawat di rumah sakit di sana.

Aku menghabiskan hari-hari dengan menikmati diri menjadi pengangguran di kota kecil yang nyaris sepi di pukul sembilan malam. Menjaga sepupuku---adik Mbak Nisha---Zara, karena dia masih harus sekolah.

Aku mengganti nomer ponselku di gerai kartu seluler. Tidak ada yang tahu nomer baruku selain Zania. Bahkan teman-teman kantor yang dekat denganku.

Aku menutup semua akun media sosialku.

Lalu selanjutnya aktivitasku berkutat pada tidur--rebahan--makan--mandi jika ingat--membantu merawat Budhe di rumah sakit bergantian dengan Mama--mengudap cemilan--melihat drama Asia atau barat bersama sepupuku--mencari situs pekerjaan dan kembali lagi dari awal.

Pernah sekali diajak ke musium manusia purba di hari Minggu yang panas. Dilanjutkan jalan-jalan di tempat gaul Sangiran bersama Zara.

Siapa bilang jadi pengangguran tidak sibuk?

Zania sempat menawarkan pekerjaan untukku. Katanya dia dapat info dari perusahaan bahwa perusahaan properti milik temannya Syahdan sedang butuh pegawai di bagian data.

Aku tidak menerimanya, jelas. Pertama karena itu bukan bidang dan latar belakang pendidikanku. Kedua, aku sama sekali buta soal data.

Dan alasan ketiga, aku menghindari segala sesuatu yang berbau Syahdan. Dia bagian dari masa lalu juga, kan?

Perusahaan itu milik temannya Syahdan. Cepat atau lambat Syahdan pasti mengetahuinya.

Lalu kemudian, suatu hari Mbak Nisha akhirnya bisa pulang di minggu kedua. Mendengar keluhan Mama tentang aku yang resign tanpa memberitahunya.

"Rasanya aku kok pengen masukin dia ke perut lagi ya? Heran. Bebal bener jadi anak." Mama bersungut sembari menyajikan palm cheese cookies yang ia buat di sela-sela istirahat merawat Budhe.

Mbak Nisha tertawa. Aku yang berada lima meter sembari membantu sepupuku Zara mengerjakan PR pura-pura tidak mendengar.

"Eh Dek, kamu kan awalnya kerja di advertising kan? Kalau penerbitan mau nggak?" Tiba-tiba Mbak Nisha menyeletuk sembari menyiapkan bekal ke rumah sakit

"Hmm?" Aku berpikir "Ya nggak apa-apa. Kan agak-agak mirip kerjanya. Satunya ngiklan satunya pemasaran cetakan."

"Nah." Mbak Nisha mengangguk "Temenku ada yang kerja di penerbitan. Selain penerbitan, tempatnya juga jadi kantor berita. Anak perusahaan kantor berita yang gede itu. Karena dia keluar, kantornya lagi nyari pengganti. Soalnya tuh kantor lagi sibuk-sibuknya. Aku dapet info ini dari grup alumni SMA ku."

Aku akan menjawab ketika suara Mama nyaring menyambar.

"Udah terima aja!" Mama menyahut. Aku memutar bola mata. Kalau nyahut asal aja ini si Mama.

"Temen Mbak jadi apa di sana?" Aku mengabaikan suara menggebu Mama.

"Hmmm apa ya? Bagian desain kalau nggak salah. Sama kayak kerjaanmu sebelumnya, kan?" Jawab Mbak Nisha "gimana? Mau nyoba?"

"Udah nyoba sana! Kalau dia nganggur malah nambah-nambah cucian. Nambah kerjaan juga. Masa ya Nis, kemarin itu si Ranu bikin gosong gorengan tempe buat sarapan---"

Jadi demi menghindari keluh kesah dan omelan Mama setiap hari karena aku menganggur dan bikin kacau rumah Budhe, maka aku menyanggupi tawaran Mbak Nisha.

Tapi Mbak Nisha lupa memberitahu satu hal; tempat kerja baruku ada di luar kota Metro Jayatri.

Tidak jauh sih. Paling dua-tiga jam. Agak terpencil juga tempatnya. Tapi kalau diterusin bisa bablas ke Puncak.

Jadi dua hari kemudian dengan kereta, aku kembali ke Metro hanya untuk melamar pekerjaan.

Lalu menginap di rumah Bella beberapa hari sampai akhirnya aku mendapat panggilan tes dan diklat.

Setelah masa tiga hari diklat, ternyata aku lolos dan diterima. Awalnya aku menyewa kamar kost yang harus dibayar perhari.

Aku tidak permasalahkan. Kuanggap sebagai upaya agar aku tidak perlu bolak-balik ke Metro sebelum settle down.

Karena semakin jauh aku dari Metro Jayatri, semakin cepat aku melupakan semuanya.

Termasuk Tama.

Aku tidak tahu apakah dia benar-benar akan menemuiku setelah malam itu. Namun yang jelas ketika dia mencari ke apartmentku, aku bukan lagi penghuni di sana.

Jikalau dia nekat mencari ke kantor, aku tidak lagi bekerja di sana.

Itu pun kalau dia benar-benar menepati janjinya. Janjinya yang terakhir ia pupuskan dengan bertunangan sama orang lain.

Aku jadi skeptikal dengan Tama walau jelas perasaanku dengannya tidak skeptis. Aku mencintai Tama.

Pertemuan kami singkat dan terlalu terburu-buru---kami bahkan berhubungan badan ketika pertama kali bertemu.

Tapi jelas dia adalah orang yang berarti. Aku diperlakukan layaknya sesuatu yang berharga jika bersamanya.

Bagaimanapun, sebagai perempuan, diperlakukan seperti itu pasti membuat jatuh hati.

Lalu Ernest...

Yah, aku memang sudah menganggap Ernest adalah teman. Sebatas teman yang baru kenal. Aku sudah paham, terlalu lama bersama Ernest membuatku merasa terancam bahaya. Anak buahnya menakutkan.

Pun Ernest, jauh lebih berbahaya. Walau aku tahu pria tua dengan postur pemuda belasan  itu akan melindungiku.

Tapi siapa tahu?

Aku takut jika berteman dengan Ernest terlalu jauh, perasaanku goyah dan aku menyukai pria itu. Lalu terulang lagi siklus yang aku dapatkan karena berhubungan dengan preman seperti Ernest dan Tama.

Aku tidak mau mengambil risiko yang lebih berbahaya karena berhubungan dengan preman.

Satu-satunya hal yang masih membuatku terhubung dengan Ernest adalah boneka yang diberi olehnya.

Teronggok di pojokan kamar kontrakan yang aku dapat setelah seminggu kerja.

Aku menyewanya bersama salah seorang teman kerjaku Naula dan sepupunya yang bekerja sebagai tenaga medis.

Boneka Ernest tidak ada artian khusus bagiku---Tidak sengaja terbawa lebih tepatnya.

Entahlah, rasanya semua hal yang aku lakukan untuk memulai hidup baru terasa sangat mudah dan tanpa hambatan berarti. Seperti memang aku harus di sini.

Meninggalkan Tama seperti memang itulah yang harus kulakukan.

"Kang El, aku mau ke minimarket. Kamu mau nitip?" Tanyaku. Kang Elfran menyahut dia ingin dibelikan kopi kaleng.

Jadi aku berjalan menikmati jalan kaki sekitar lima menit ke jalan utama. Kanan kiri tempat ini masih banyak pepohonan. Dekat pegunungan sih. Tapi di bawah adalah jalan raya lintas kota.

Sekembalinya dari minimarket, aku menyapa beberapa penduduk perumahan sekitar tempat kerja. Rata-rata pensiunan dan penjaga villa.

Udara musim panas mulai terasa. Aku berhenti sejenak untuk meminum air kemasan. Lalu aku melihat dari dekat tempatku berdiri, tampak seorang pria menunduk tampak mencari-cari.

Aku berjalan melewatinya. Tapi aku penasaran. Jadi, aku bukannya kembali ke kantor tapi malah berhenti dan menyapanya.

"Kenapa Mas?" Tanyaku. Pria itu berdiri, menyipitkan mata.

"Ah, itu...Soft lense saya jatuh." Ujarnya menatapku lalu tersenyum kecil penuh wibawa.

Auranya sangat beribawa. Sedikit mengingatkanku akan Syahdan.

Ha? Kok bisa dia kehilangan softlense? Batinku. Tapi aku tidak bertanya, aku malah membantunya mencari.

"Softlensenya berwarna?" Tanyaku.

"Bukan. Softlense polos bening. Karena itu agak susah ketemu dari tadi."

"Oh." Aku tetap membantunya, hati-hati karena takut terinjak atau bagaimana.

Lalu aku menemukannya. Tampak berkilau seperti plastik kecil.
Diantara bebatuan pinggir jalan. Kenapa bisa nyasar ke situ sih?

Dengan hati-hati aku memberikan ke pria tersebut.

"Wah terimakasih." Dia tampak sangat bersyukur "terimakasih sekali."

"Sama-sama, Mas." Jawabku tersenyum simpul.

Pria itu menatapku sejenak "Mbak baru di sini?"

Aku mengangguk "iya, baru sekitar sebulanan."

"Oh pantas, saya baru lihat." Ujarnya, sedikit berbasa-basi lalu dia pamit, aku juga ingin segera beranjak kembali ke kantor. Setelah mengucapkan terimakasih lagi, pria itu masuk ke mobilnya.

SUV mewah warna putih. Lagi-lagi aku teringat sosok Syahdan.

Aku kembali ke ruangan ketika sebagian besar pegawai lain sudah kembali.

Aku memberikan pesanan Kang Elfran ketika mendapati suasana ruangan agak lain. Kasak-kusuk.

Bahkan ketua timku, Pak Said, tampak kusut masai.

"Kenapa Kang?" Aku berbisik ke arah Kang Elfran. Kang Elfran menyuruhku duduk di beanbag di dekatnya.

"Siaga." Jawab Kang Elfran "infografis dua bulan lalu kena polemik."

"Eh?" Aku melebarkan mataku. Siaga adalah istilah di sini untuk sesuatu yang menjadi kecaman entah dari para pembaca, objek berita atau dari narasumber.

Jika dua bulan lalu, jelas aku belum di sini.

"Sebenarnya beritanya juga lagi sensitif. Itu loh soal perusahaan labirin milik Daeriman Hadi. Kan baru-baru ini keluar kabar dari investigasi jurnalis luar negeri soal perusahaan mereka yang menggelapkan dana proyek."

Aku menggigit bibir "tapi kenapa yang diserang bagian grafis? Bukan investigasi atau berita?"

"Nah itu," Kang Elfran meminum kopinya sejenak "desainer yang kemarin itu pake nyindir yang di luar konteks berita. Nambahin gambar yang seolah anaknya si Daeriman ini juga punya usaha kriminal."

"Lalu?"

"Nah si Daeriman ngamuk. Soalnya kan berita anaknya terlibat kriminal kan masih sebatas investigasi badan independen bukan pemerintah. Belum masuk ranah hukum juga. Kita dibilang fitnah. Mau dilaporin." Jelas Kang Elfran.

"Jadi Pak Said harus ke direksi. Makanya sekarang dia kusut." Kang Elfran lalu melihat isi kantong belanjaanku.

"Ah, kebetulan kamu beli kripik kentang. Itu sukaan Pak Said. Kasih atuh, biar orangnya agak tenang."

Aku agak ragu, tapi aku lakukan. Menawarkan kripik kentang ke Pak Said.

"Ini, Pak. Silahkan." Ujarku berusaha tenang dan terkendali. Pak Said memandangku sejenak, lalu dia menghela nafas lelah.

"Makasih ya, Ranu." Beliau langsung menerima dan mengganyang dengan lahap. Meluapkan emosi.

Aku duduk kembali, berkutat kepada pekerjaanku untuk infografis berita hiburan.

Pak Said melirikku dari ujung mata, lalu membuang nafas pelan.

"Ranu," panggilnya "bisa ke ruangan saya sebentar?"

Aku reflek mengangguk dan menyetujui. Kemudian mengikuti Pak Said ke ruangan lain dengan hati bertanya-tanya. Sama sekali buta kenapa Pak Said menyuruhku secara pribadi begitu.

Tatapan Naula bertanya-tanya, pandangan Kang Elfran seakan menguatkan.

Kalau wejangan soal jangan membuat infografis seperti pendahuluku sih bisa di ruangan ini kan?

Tapi aku tetap mengikuti Pak Said ke ruangannya.

******

Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana selain menyetujui. Perasaanku saja tidak beraturan.

"Jadi begitu." Pak Said meminum kopi hitamnya dengan tidak enak

"saya nggak mau sebenarnya melibatkan kamu. Tapi Daeriman ingin diyakinkan kalau bukan kamu yang bikin. Jadi direksi ingin saya membawamu besok bertemu orangnya Daeriman untuk menjelaskan."

"Saya paham, Pak." Ujarku tenang "tapi jelas sekali kan kalau itu bukan saya dan ada bukti tanggal pengangkatan saya sebagai karyawan. Saya pun nggak tahu menahu soal itu."

"Benar. Tapi yang memberikan rekomendasi soal kamu adalah desainer sebelumnya. Kalian katanya kenal, kan?"

"Hanya sebatas kenal Pak. Saya kenalnya ketika dia butuh pengganti di sini." Aku berusaha tidak melibatkan Mbak Nisha.

"Sebenarnya bagaimanapun perusahaan tidak akan membocorkan informasi tentang narasumber dan yang terlibat apapun dalam peliputan. Kami sepenuhnya akan melindungi identitas pewarta dan karyawan kami secara keseluruhan."

Pak Said memandangku serius "termasuk kamu yang bahkan tidak ada sangkut pautnya. Karena itu kamu akan saya lindungi besok ketika berhadapan sama orangnya Daeriman. Direksi pun akan membela kamu. Jadi kamu nggak usah takut."

"Lagipula Ranu, saya sebagai ketua tim dan editor. Jika nanti memang pihak Daeriman tetap ingin memperpanjang masalah ini, saya yang akan maju. Semua kesalahan mutlak ada pada saya."

Aku mengangguk pelan.

Jadi setelah diyakinkan sedemikian hingga, aku kembali. Menghela nafas untuk menenangkan diri.

Memangnya boleh ya, yang seperti itu? Tapi kalau memang mereka menjamin aku tidak bakalan kenapa-kenapa sih nggak apa-apa. Toh ini hanya untuk meyakinkan pihak Daeriman, kan?

Hah, aku tarik kata-kataku, ternyata memulai hidup baru tidak semulus yang aku kira.

******************

"Hah,hah..."

Nafas Tama memburu, mencoba mengatur nafasnya sembari memanggul bat baseball ke pundaknya.

Memaki dalam hati sementara pandangannya beredar ke beberapa orang yang tergeletak mengerang dan sebagian besar tidak sadarkan diri.

Setelah dari markas, bermaksud kembali menyusuri jalanan untuk mengenyahkan kalut karena kehilangan Ranu, tiba-tiba mobilnya dihadang sebuah mobil mini van.

Lalu keluarlah sekitar tujuh orang. Dari gelagatnya Tama tahu bahwa orang-orang itu tidak bermaksud mengajaknya berbicara baik-baik.

Tama lalu menjangkau kursi belakang, mengambil bat baseball yang selalu dia bawa untuk jaga-jaga menggantikan senjata tajam karena ia mendengar banyak operasi aparat kepolisian di jalanan.

Ia menghindari razia karena baginya berurusan dengan polisi dalam waktu ini akan menghabiskan waktunya mencari Kakaknya dan Ranu.

Tama keluar sembari menyeret bat di sisi tubuhnya. Menatap menantang.

Tidak ada kata-kata, tiba-tiba mereka meringsek mengeroyoknya.

Tama yang sudah terbiasa dengan ini langsung menerjang bagian kepala dan tengkuk dengan bat yang terdekat, sembari kakinya menendang perut yang lain. Tama mensyukuri kordinasi anggota tubuhnya yang memiliki reflek bagus.

Jika tidak, sudah dari dulu dia mati.

Tama menunduk, menghindari sabetan senjata berantai yang agak mirip kusarigama*, hampir saja mengoyak kepalanya.

Lalu dia menerjang perut si penyerang dan menangkap rantai yang berdesing di dekatnya. Merebutnya sekuat tenaga, mengabaikan rasa perih menusuk di telapak tangannya dan ganti mengalungkan leher penyerangnya dengan rantai tersebut. Menjadikannya tameng manusia ketika yang lain berniat menyerangnya.

Tama lalu meraih bat nya lagi dan memukul dua yang tersisa. Tama cukup bersyukur mereka tidak ada yang membawa senjata api.
Mungkin jika demikian, ia tamat daritadi.

Menghantam dengan membabi buta.

Lalu kemudian semuanya tersungkur setengah jam kemudian. Dengan meninggalkan lebam yang tidak begitu berarti di wajah dan sepanjang lengan Tama.

Tama sekarang menunduk, menatap keji ke arah pria yang masih setengah sadar di dekatnya. Kemudian berjongkok.

"Siapa yang suruh lo?" Tanya Tama tenang. Nyaris tenang dan datar. Suara dinginnya sangat menakutkan.

Tidak ada jawaban. Sengaja tidak membuka mulut. Tama berdecak, lalu dia mengalungkan rantai, menarik dari belakang orang itu lalu menyeret tubuhnya layaknya hewan buruan.

Orang itu meronta dengan suara cekikan meyayat. Akhirnya dengan suara tercekat yang memilukan, dia menyerah.

"Gh..ghue mhau bicarak..."

Tama lalu melempar tubuhnya hingga menghantam mobil.

"Katakan." Ujar Tama tenang.

Orang itu mengerang dan mengambil oksigen. Lalu mendesis lemah "Daeriman..."

Tama berdecak. Ia lalu menuju ke mini van. Mencari-cari. Ia hanya menemukan handphone di dashboard. Lalu ia kantongi.

Selain itu tidak ada apapun. Tapi cukup.

Tama lalu menyalakan rokok, menghisap sebentar lalu menekan beberapa nomer dari ponselnya sendiri.

"Lo pasti seneng dengan berita ini," Tama langsung berujar ketika panggilannya diterima "gue baru saja ramah tamah sama orang-orangnya Daeriman. Sekarang mereka rebahan."

**************

Ernest datang dengan anak buahnya. Menatap ke arah tubuh yang tidak sadarkan diri di dekat mobil mini van.

Di mini van, berdiri sosok bersandar sembari merokok. Tidak akan ada yang menyangka bahwa sosok yang lebih menyerupai siswa akhir SMA itu yang melakukan semua hal bengis ini.

Tapi Ernest tidak terkejut. Sedari dulu ia tahu Tama dan dirinya banyak kesamaan dalam berbagai hal.

Ernest bersiul "seperti biasa, ini yang gue harapkan dari orang-orang Serigala Selatan. Petarung sejati."

Tama tidak bereaksi. Dia membuang asap dari mulut dan hidung.

Tama lalu mengedik ke arah tubuh-tubuh "buat lo. Lo tanyain sendiri. Gue udah tanya-tanya tadi."

"Lalu?"

"Mereka disuruh buat mampusin gue sama Daeriman. Mereka tahu gue agennya Komandan Restu. Padahal yang gue pegang nggak sebanyak yang gue kasih ke lo." Ujar Tama, lalu dia berdecih "harusnya mereka mampusin lo."

Ernest tertawa "mana berani. Gue masih punya bookingan orang penting."

Tama memutar bola mata malas. Tapi dia merasa beruntung karena telah mengalihkan hampir semua data dan informasi ke tangan yang tepat, yaitu Ernest.

Ernest menyuruh anak buahnya mengurusi orang-orang yang tidak sadarkan diri. Lalu berdiri bersandar di dekat Tama. Tama agak beringsut menghindar.

"Lo udah menemukan Ranu?" Tanya Ernest serius.

Tama menggeleng "Belum."

"Bukannya lo bisa lacak dari kalung lo?"

"Nggak." Tama menggeleng "ia tinggalin di rumah nyokapnya. Gue ngelacak GPS di kalung gue dan ternyata itu rumah Nyokapnya."

Tama menghisap rokoknya dengan kalut "gue belum dapet info lagi. Kata tetangganya, Nyokapnya lagi jenguk saudara yang sakit di Jawa."

"Lo nggak mencari lagi?" Tanya Ernest tajam. Tama sedikit menyadari perubahan suara Ernest.

"Gue tetap mencarinya sekaligus memberi dia ruang. Gue tahu dia pergi karena gue brengsek" Ujar Tama "dia nutup semua akses untuk menemukan dia."

Lalu dia mengerling Ernest "lo nggak usah banyak tingkah, gue nggak bermaksud ngelepasin Ranu. Buat lo atau siapapun. Gue bakal menemukan dia."

Ernest terdiam. Pandangannya tajam. Tama lalu mengeluarkan handphone yang ia dapatkan dari dashboard.

"Cek gih. Siapa tahu ada info lain."

Ernest lalu menyuruh anak buahnya mencocokan sandi sidik jari dengan tujuh orang yang sekarang diikat di belakang mobil. Lalu kembali ketika berhasil dengan jari orang keempat.

Ernest memandang handphone dengan serius. Tama menunggu sembari menghabiskan rokok.

Tiba-tiba Ernest menatap Tama dengan pandangan aneh.

"Kenapa?" Tanya Tama.

Ernest menggeleng "kosong. Semua percakapan sama panggilan kosong. Nggak ada apa-apa."

Tama berdecak "sialan. Licin juga mereka."

Ernest lalu menyuruh anak buahnya untuk menggeledah. Mengecek handphone satu per satu. Ada total lima handphone dan semuanya sama nihilnya.

"Wah anak buahnya Daeriman profesional juga." Gumam Tama. Ernest tidak menyahut.

"Jalan satu-satunya lo yang harus bikin mereka ngaku. Itu keahlian lo, kan?"

Ernest menghela nafas. Lalu menepuk bahu Tama ringan.

"Gue pakai dulu mereka." Ernest mengedikkan dagu ke arah orang-orang suruhan itu "lo mau info apa?"

Tama mengangkat bahu "nggak ada. Selama nggak ada sangkut pautnya sama Kakak gue, gue nggak butuh. Tapi sesuai kesepakatan, kalau Komandan Restu butuh, lo harus ngasih ke gue."

Ernest mengangguk "oke. Bakalan gue kasih ke Komandan lo kalau udah selesai bikin mereka babak belur."

Tama lalu menatap semuanya dibawa Ernest dalam mobil-mobil milik kelompok Ernest hingga mobil itu melaju pergi. Mengklakson Tama sebagai tanda pamit. Tapi Tama tak acuh. Hanya bersedekap sembari terus merokok.

Tama menuju mobilnya sendiri. Menyandarkan tubuhnya yang agak nyeri di beberapa tempat ke tempat duduk dibalik kemudi.

Matanya menerawang melihat langit.

Lagi-lagi malam terang dengan bulan yang menjelang sempurna. Sinarnya membuat malam Metro yang biasanya pekat karena polusi sedikit terang agak kebiruan.

Persis seperti terakhir kali Tama bersama Ranu dalam pondok di Kebun Bibit. Mereka tidak butuh cahaya lampu. Bulan memancarkan sinar remang menampilkan imaji tubuh polos Ranu di bawah tubuhnya.

Ranu yang mencium luka-lukanya dan membuatnya meluapkan semua emosi yang ia pendam.

Tama bersedekap.

Ia tahu seharusnya dia tidak membuat Ranu bimbang. Tidak memposisikan Ranu sebagai pihak yang tidak tahu apa-apa dan salah paham.

Tama menyadari kesalahannya setelah tiga hari sejak malam itu ke apartment Ranu. Mengebel berkali-kali namun tidak ada yang menyahut. Bahkan interkom tampak mati.

Kemudian sekuriti apartment memberitahu jika Ranu sudah pindah tepat sehari sebelumnya. Meninggalkan Tama yang terpaku dengan kalut di depan apartment Ranu.

Buru-buru melacak keberadaan Ranu. Ia memang tidak hanya memberikan kalung kepada Ranu---itu bukan sekedar kalung.

Ada tambahan bandul kotak hitam yang merupakan alat pemancar.

Ternyata agak jauh dari pusat kota. Namun masih di Metro Jayatri.

Tama berhasil mengetahui bahwa tempat itu adalah rumah orangtua Ranu dari tetangganya, ia mengaku sebagai mantan teman sekolah menengah Ranu. Tapi bahkan ibu Ranu tidak ada di tempat. Tidak ada penghuni sama sekali untuk satu minggu ke depan.

Jadi Tama menuju ke kantor Ranu demi mendapati kenyataan sialan lainnya bahwa Ranu mendapat skorsing dan mengajukan pengunduran diri.

Nomer Ranu tidak aktif pun media sosialnya.

Tama menyandarkan kepala di kemudi. Memejamkan mata sembari berpikir.

Tama berniat kembali ke rumah Ranu untuk mencari informasi lainnya jika itu harus setiap hari.

Karena Tama merasa sekarat.

Dia sekarat akan perasaan dan perbuatan yang ia lakukan kepada gadis itu secara impulsif.

Ranu harusnya mendapat pria yang lebih baik, kehidupan yang lebih nyaman yang tidak ia dapatkan jika bersamanya.

Tapi Tama tahu, ia tidak bisa. Ia ingin Ranu dalam hidupnya.

Tama berdecak. Ia malu pernah menjanjikan Ranu pernikahan. Tapi dia malah mencampakkan wanita itu dengan alasan bodoh dan mebohonginya seperti seorang bajingan.

Tama adalah pria payah. Keparat pengecut. Ia memaki diri sendiri.

Sekali lagi, jika ia tahu bahwa Ranu berhak mendapat yang lebih baik, ia tidak boleh egois mencari gadis itu lagi. Apalagi Ranu yang telah meninggalkan dirinya. Ranu berhak mencari kebahagiannya.

Tapi Tama ingin menjadi pria pengecut payah bajingan yang egois. Ingin egois mencari Ranu dan meminta Ranu kembali.

Seumur hidup, Tama tidak pernah seegois ini. Dan jika itu harus dilakukan sekali seumur hidup,

Maka ia ingin egois untuk Ranu.

*****************

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top