25. Take Away

Adegan 21+ ya. Diharapkan untuk bijak tentang usia dan bacaan.

Love y'all.
********

Aku mengecup aliran air mata pria di atasku.

Lalu maniknya yang kemerahan berair itu menatapku mendamba.

"Dasar cengeng," gumamku, mengulas senyum tipis.

Tama balas tersenyum. Lalu ia kembali menyusuri leherku dengan bibirnya. Mengusap dengan nafas dan  lidah. Lalu membuat tanda.

Aku menggigit bibir. Lalu mendongak. Menatap langit-langit kayu yang gelap.

Aku masih tidak percaya aku ada di sini. Lagi. Bersama dengan orang yang sama. Akan melakukan hal yang sama.

Aku mengingat ciuman-ciuman dan rengkuhan beberapa saat lalu. Ciuman nafsu sarat kerinduan dan rasa bersalah.

Tama bersalah karena selingkuh dan aku bersalah karena menjadi jalang.

Tama lalu melepaskan semua kontak fisik. Menciptakan jarak lalu menatapku. Kemudian dia meraih tanganku, menggandeng dan menuntun tubuh masuk ke pondok.

Ke tempat dimana segalanya bermula.

Kali ini Tama tidak menyalakan lampu. Aku tidak keberatan. Bulan sedang sempurna; besar, terang dan langit tanpa awan. Sinarnya menelusuk masuk lewat celah jendela bertirai tipis.

Aku memandang maniknya di keremangan. Lalu tanpa harus ada ucapan apapun, kami tahu bahwa kami ingin meneruskan rasa bersalah kami.

Tubuh kami menyatu. Ada rindu menelusuk. Renjana yang harus dituntaskan malam ini. Ciuman kami semakin tidak terkendali.

Tama merengkuh kepalaku lagi, memperdalam pagutan. Dia hanya berhenti untuk menyampirkan jaket parkanya sebagai alas.

Lagi-lagi tubuh vertikal menjadi horizontal.

Sekarang Tama, sosok yang membuatku terombang-ambing dan luluh lantak itu ada bersamaku. Di atasku. Berbagi hangat dan rindu.

"Ngg..." Aku mengerang ketika jemari Tama menelusup membelai perutku. Mengusap lembut sembari terus memagut.

Aku mencengkram rambutnya. Lebih panjang dan berantakan dari terakhir kali. Wajahnya agak kuyu. Lelah dengan pandangan gelap. Jambang kasar yang mulai tumbuh dan bayang kumis tipis.

Kenapa dia seperti ini? Harusnya tunangannya itu merawat Tama.

Jika aku ada di posisinya, aku akan membuat Tama bahagia. Dia berhak untuk itu.

Tapi aku lagi-lagi tersadar, bahwa aku sama sekali tidak punya hak.

"Ranu..." Tama membuyarkan pikiranku, menggumamkan namaku sembari jemarinya berada di dadaku. Meremas pelan dan lembut.

Aku mendesah.

Ya Ampun aku merindukan tangan ini di tubuhku.

Aku memandang Tama. Membuka kancing kemejaku satu persatu di hadapannya.

Aku dapat melihat manik Tama teduh menatap mendamba.

Ya, Tama menginginkanku. Walau mungkin hanya sebatas tubuh. Tapi aku tidak peduli.

Tama adalah milikku malam ini dan kami sama-sama ingin saling memiliki. Persetan dengan gadis lain.

Tama melepas kausnya, memperlihatkan tubuhnya dengan berbagai bekas luka dan lebam yang mulai memudar.

Aku terkesiap sejenak.

Lalu aku mendongak.

"Kenapa?" Aku bertanya lirih.

"Banyak hal yang terjadi." Jawabnya pelan. Aku menahan nafas.

"Pasti sakit." Ujarku. Tama mengangguk. Tapi kemudian dia membimbing tanganku ke dada telanjangnya.

"Disini jauh lebih sakit." Gumamnya.

Aku mengusap dadanya sejenak. Lalu setengah bangkit, aku mencium setiap jengkal dada bidang itu. Menelusuri bekas luka dengan lembut.

Tama mengerang kenikmatan. Meraih  surai rambutku ketika aku mencium tulang selangka dan lehernya.

Tama membalasku ketika aku selesai, membuka pengait bra-ku dan menatap ke arah tubuhku.

Lalu pandangannya naik. Menyelisik pandanganku kepadanya. Tangannya terulur lembut. Membelai pipiku.

"Aku mencintaimu, Ranu."

Aku memejamkan mata. Kata-kata--- yang entah--- ingin saja tidak bisa kupercaya. Tapi aku tidak memperdulikan apakah itu serius atau hanya ucapan ringan untuk memulai persetubuhan.

Aku menginginkannya.

Tama kembali menciumku, lalu dia berhenti. Memandangku lama dan dalam. Lalu manik matanya mengeluarkan rinai airmata.

"Kenapa?" Tanyaku heran. Kenapa dia menangis? Apakah ia ingat dengan tunangannya?

Tama mengecup singkat ujung kepalaku.

"Aku bahagia." Ujarnya.

"Bahagia?"

Dia mengangguk.

"Ranu di sini, dalam pelukanku. Aku bahagia."

Aku menyunggingkan senyum miring lalu mendengus.

"Ranu boleh nggak percaya."

Memang. Tapi aku tidak menjawab. Aku menginginkannya malam ini jadi kalaupun dia berdusta aku rasa itu impas.

Aku mengecup aliran air mata pria di atasku. Dia boleh menjadi lemah sekarang. Aku akan menjadi pelampiasannya malam ini.

Maniknya yang kemerahan berair itu menatapku mendamba.

"Dasar cengeng," gumamku, mengulas senyum tipis.

Tama balas tersenyum. Lalu ia kembali menyusuri leherku dengan bibirnya. Mengusap dengan nafas dan  lidah. Lalu membuat tanda.

Aku menggigit bibir. Lalu mendongak. Menatap langit-langit kayu yang gelap. Aku memejamkan mata dan desahan lolos ketika bibir Tama bertemu puncak payudara.

Memainkannya. Dengan bibir dan lidah. Belakangan, giginya pun ikut andil membuatku tak karuan.

Lidahnya membuat setiap inci syaraf memberontak. Daridulu memang aku takluk dengan lidahnya itu.

Aku mengerang hebat ketika jemarinya turut serta. Memainkan puncak dengan semena-mena.
Aku mengacak-acak rambutnya. Rasa nikmat ini menjalar sampai kakiku mati rasa.

Ketika ia selesai, aku mengatur nafasku yang menderu. Tama lalu memagutku. Tapi jemarinya turun. Membuka celana panjangku. Membelai lembut.

Eranganku tertahan.

Bibir Tama menelusuri perut hingga paha. Lalu ia menarik turun celana panjangku dan yang ada di dalamnya. Mencium telapak kakiku yang bergurat kemerahan karena terantuk batu.

Perih, geli dan nikmat. Mengulum jemari kakiku sejenak. Kepalaku berputar.

Lalu menelusuri lagi betis hingga paha bagian dalam dengan lidahnya.
Aku tidak tahan. Mendesah hebat.

Lelaki ini tahu segalanya untuk membuatku tak karuan.

Tama menyentuh kewanitaanku. Membelai lembut dengan jemarinya. Membuka perlahan, lalu menelusuk dengan lidahnya.

"Aaaaah..." Aku berjengit, mendesah panjang. Aku membusungkan tubuhku sembari menggeliat.

"Tama... Yah... Tama..." Aku memanggilnya tidak karuan. Mencengkram tepian jaketnya yang menjadi alas kami. Wangi tubuh Tama menguar. Membuat libidoku naik. Apalagi ketika ujung lidahnya memainkan clit.

Aku membiarkannya menikmati di bawah sana. Pandanganku menggelap.

Lalu dia bangkit, menciumku. Aku merespon dengan liar. Seperti haus. Lalu aku merasakan sesuatu menusuk di bawah sana.

Jemari Tama menggantikan lidahnya, menelusuk dan keluar. Menimbulkan suara berdecak cabul.

"Tama..." Aku memanggilnya, sedikit bangkit untuk melihat jemarinya keluar masuk. Semakin cepat.

Aku mendongak. Aku bakal hancur jika dia terus-terusan menyiksaku begini.

"Ranu..." Tama mendesahkan namaku, menggigit telingaku.

"Tama... Sudah..." Aku memohon. Nada murahan. Aku ingin menyudahi permainannya. Tapi aku ingin dia melakukan hal lain.

Tama mengerti. Dia selesai. Memandang jemarinya yang basah dan lengket.

Astaga, itu milikku. Sebegitu nafsunya kah aku?

Tapi Tama tidak peduli. Ia lalu membuka celananya sendiri. Menurunkannya.

Tubuh polos Tama berdiri di hadapanku. Satu sisi tubuhnya diterangi cahaya redup rembulan.

Mempesona.

Aku reflek bangkit, mencium perut Tama.

"Agh---" Tama tersentak, terkejut. Tapi dia menguasai diri sepenuhnya. Ia membiarkanku menjelajah garis perut dan garis v sekitar perut. Turun ke bawah.

Lalu aku menangkup miliknya. Kejantanan yang siap sedari tadi.
Aku memasukannya. Penuh di mulut.

Aku menelusuri dengan lidah. Membiarkannya menyentuh rongga mulut dan semakin dalam.

"Ah... Agh..." Tama mendesah hebat. Mengerang. Membelai rambutku, sedikit menjambaknya.

Aku membelai lembut ke depan belakang testikelnya. Membuat nafasnya semakin cepat dan erangannya semakin liar.

Tama lalu menarikku, ia merasa cukup. Membantuku berdiri.

"Kemarilah," Tama mendudukanku di meja yang tidak ada komputernya. Membantuku membuka kakiku dan mengangkatnya di bawah ketiaknya.

Tama memandang sejenak, lalu memagutku. Ia berhenti untuk melihat dan mempersiapkan diri.

Kami akan menyatu.

Dan ketika miliknya masuk, aku benar-benar meledak. Aku menjerit tertahan. Tama berhenti untuk membuatku nyaman.

"Sakit?" Tanya Tama cemas.

Aku menggeleng "tidak. Ini nikmat."

Tama menciumku lagi, lalu mulai bergerak. Memompa tubuhku sembari memainkan lidah kami.

Tidak ada suara. Hanya suara nafas dan desah. Erangan panjang dan suara seks. Ketika miliknya keluar dan masuk ke milikku.

Aku mencium pria ini semakin dalam. Sadar bahwasanya yang seperti ini tidak akan pernah terjadi lagi.

Tama lalu turun, menghisap payudaraku sembari tetap memenetrasi. Tangannya menyeimbangkan diri di tepian meja.

Aku melolong. Tidak peduli. Ini hebat.

"Ranu..." Panggil Tama setelahnya "katakan, kamu mencintaiku?"

Aku membelai wajahnya.

Apa kamu masih mencintaiku Tama? Tanyaku dalam hati. Tapi aku tidak akan bertanya.

Jika ia menjawab---apapun jawabannya--- aku takut tidak akan bisa pergi kali ini.

Aku mengangguk pelan.

Tama kembali menghujam bibirku. Ia semakin memompa dengan cepat. Kami tidak tahu sudah berapa lama. Rasanya semua benar-benar berhenti.

Ketika gerakannya semakin cepat dan cepat, aku tahu dia akan sampai.

"Keluarkan di dalam." Bisikku lirih. Tama melihatku tercengang.

"Apa?"

"Keluarkan di dalam. Aku aman." Ujarku diantara desahan. Lalu aku menatap mata Tama "kali ini tidak apa-apa."

Tama menangkup wajahku. Mendekatkan dahi kami dan gerakannya semakin cepat. Aku mendongak menerima setiap hujaman nikmat. Mencengkram rambut Tama.

Tama meraih leherku. Menggigit dan mengerang di sana.

"AGH!! Hah..Hah..."

Aroma khas menguar. Rasanya penuh di bawah sana dan hangat.

Selesai. Tama sudah menyelesaikan birahinya. Peluh kami bercucuran hebat. Nafas memburu.

Tama menyingkap rambutku ke belakang telinga. Mengecup sekilas dahiku, lalu melepaskan diri. Membantuku bangun hanya untuk jatuh lagi ke lantai berdua.

Tama jatuh terlentang. Mengambil oksigen dan mengatur nafas. Aku di sampingnya tidur meringkuk. Menurunkan sisa nafsu yang memenuhi kepala.

Lelah.

Tama kemudian memelukku. Menyelimutiku dengan tubuhnya. Tubuh polos kami bermandikan peluh dan cahaya remang.

Nafasnya naik turun memeluk erat. Seperti tidak mau melepaskan.

"Ranu..." Gumamnya "Oh, Ranu..."

Aku merekatkan tubuhku ke tubuhnya.

"Sekarang bagaimana?" Desahku "apa yang akan kita lakukan setelah ini?"

Tama memelukku lebih erat. Terdiam lama.

"Aku ingin tetap seperti ini." Ujar Tama "aku tidak tahu lagi. Dirimu selalu terlibat hal-hal berbahaya. Apa-apaan itu menolong Ernest dari keroyokan geng lain? Belum lagi anak buahnya yang kurang ajar itu..."

Aku merasakan tangannya membelai punggungku.

"Membuatku tidak bisa mengabaikanmu." Gumam Tama.

Aku mengerjap. Menghilangkan kabut airmata.

Jika seperti itu adanya, berarti aku adalah wanita kedua bagi Tama.

Aku menghela nafas panjang. Hari-hari selanjutnya aku tidak peduli. Aku mengabaikan hari esok.

Karena saat ini, sisa waktu hanya untuk Tama.

*******************

Matahari hampir naik. Cahaya tipis di horizon masih belum mampu mengalahkan langit indigo biru.

Aku memandang suasana menuju subuh ini dengan perasaan campur menyeruak. Duduk di samping Tama yang terdiam sembari mengemudikan mobil.

Hening ini sedikit menyiksa kami.

Setelah melepas nafsu dan kerinduan, tertidur sejenak dengan kulit bertemu kulit, bangun untuk merapikan diri, kami keluar dari Kebun Bibit dalam diam. Bergandeng tangan dengan perasaan membuncah dan intim.

Sekarang setelah hari baru, aku berharap hari tidak pernah berganti.

Lalu perjalanan kami sampai ke tujuannya. Apartment ku.

Aku tidak langsung turun. Bagiku Tama memiliki sesuatu untuk diungkapkan.

"Ranu," panggilnya dalam keheningan sejenak "boleh aku menemuimu lagi?"

Aku menghela nafas "kapan?"

"Tidak dalam waktu dekat." Ujar Tama lirih "mungkin tiga atau empat hari lagi."

Itu adalah waktu yang akan kudapatkan sebagai simpanan, kan?

Aku mengambil barang-barangku termasuk hadiah pemberian Ernest. Tama sempat memandang tidak suka saat ia tahu ini pemberian Ernest bahkan menawarkanku untuk dikembalikan.

Tapi aku bersikeras, aku menghargai pemberian Ernest sebagai teman. Aku yang akan mengembalikannya sendiri.

"Ranu," panggil Tama, menyentuh tanganku dan membelai telapaknya lembut "jangan pernah terlibat bahaya lagi."

Aku mengangguk, bermaksud keluar dari mobil Tama.

"Terimakasih." Gumamku. Tapi Tama kemudian menarikku lagi. Mengecup bibirku.

Ciuman lama. Kami saling memagut. Lagi.

Aku menunduk sejenak setelah selesai, menikmati sisa aroma dan keberadaan Tama. Tama memandangku lurus. Jemarinya menyentuh sisi  rambutku.

Lalu tanpa sepatah kata aku keluar.

Aku masih melihat mobil Tama di depan saat aku masuk lobby. Aku rasa dia memastikan aku masuk.

Aku lalu melihat mobil itu berlalu pergi dari barisan jendela kaca.

Aku menuju apartmentku.

Menyalakan lampu, badanku lelah dan sakit. Kepalaku masih sedikit pusing.

Rasanya aku ingin tidur seharian. Tapi ada hal-hal yang harus aku lakukan.

Aku menuju ruangan kosong tempat aku menaruh barang-barang lama. Mengumpulkan kotak-kotak karton dan kontainer plastik. Membawanya ke tengan ruangan.

Lalu menuju ke kamar dan mengeluarkan koper-koper. Memasukan asal baju-bajuku dan menyisakan baju untuk dua hari ke depan.

Selanjutnya, aku sibuk sendiri untuk berbenah. Tiba-tiba rasa lelahku musnah. Berganti rasa kebas.

Tama tidak akan pernah bisa menemuiku tiga atau empat hari lagi.
Dia tidak akan bisa menemukanku dimanapun atau kapanpun.

Aku yang memutuskan pergi darinya.

Karena Tama bimbang. Ia tidak memberi keputusan. Ia tidak meninggalkan tunangannya. Ia tidak memintaku untuk kembali.

Aku tidak bisa hidup dengan keadaan seperti itu.

Walaupun Tama dan tunangannya menghancurkan hatiku waktu itu, aku tidak mau membalas dengan menjadi orang ketiga.

Aku tidak mempedulikan air mataku yang mengalir. Hubungan dengan Tama adalah sesuatu yang menyakitkan dan salah.

************

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top