24. Your Whore is On Fire
Waa maaf ya man teman readers yang kucinta :( Kemarin seperti biasa tidak sengaja ter publish. Ketika saya gagalkan eh malah unpublish semua chapter huahahahah (ini author gak ada rasa bersalahnya).
Waktu sadar pas saya nerusin chapter 25 dan melihat semua chapter ternyata jadi draft.
Langsung jebol notif watty dan ig hahaha (maap tak saya balas... Saya langsung gak nengok ig sama notif sama sekali. Saya belum siap diteror)
Jadi mohon maaf atas keteledoran author saklek ini.
Dan ini yang masih penasaran sama Ernest, nyoh Ernest.
ERNEST ARLI SUSANTO/ ERNEST LI (INDONESIA NAME) LI XIN YAN (CHINESE NAME)
Alias : Ernest, Arli, Sinyo, Demon.
29/168/55
Likes : hanging out, easy going life, sweets, good relation, gaming.
Dislikes: Sour foods, bothered, useless conflicts.
Abilities: ambidextrous (kemampuan menggunakan kedua tangan bersamaan), responsibility (walau merepotkan), wise.
Weakness: bullied by his teammates, forgetful, keep his netrality
Smells like mint.
***********
Tubuhku tiba-tiba panas dan kepalaku pusing. Agak ringan melayang. Aku tersedak, terbatuk. Rasanya tidak enak.
Tidak. Ini vodka. Warnanya memang merah strawberry, sangat mirip dengan minuman soda rasa strawberry yang ada di pasaran.
Sial. Sial. Sial.
"Ngg..." Aku berusaha bersikap biasa. Tapi tidak mungkin. Aku lemah terhadap alkohol. Minum beberapa teguk aku sudah merasa hangover.
"Hei, sial. Dia mabuk." Opi segera menyandarkan tubuhku yang oleng di bebatuan besar di taman "Maaf, Mbak. Aku nggak tau kalau itu vodka."
Aku melambaikan tangan tanda bahwa itu bukan salahnya.
"Tiduran aja mbak." Opi berkata cemas.
Aku merasakan tanah mulai bergelombang dan sekitar berputar. Aku berasa mual, mau muntah.
Aku menutup wajahku dengan lengan. Berharap rasa mabuk ini hilang seketika.
"Mantannya Tama cakep banget sih. Asem bener yang bening gitu dianggurin."
Sayup kudengar kalimat itu. Aku merasa tidak nyaman dibicarakan begitu.
Ugh lagipula, celetukan macam apa itu? Kenapa mereka ngomong seperti itu? Walaupun tempatku dengan tempat mereka berjarak, bukan berarti aku nggak dengar.
"Kenapa nggak digarap aja sekalian. Mumpung lagi teler orangnya. Kan sama-sama enak."
Oh tidak. Apa-apaan mereka?!
"Kalau Bos mau sih, ayo aja. Bos dapet jatah pertama pokoknya."
Aku mendengar gelak tawa menakutkan. Aku tidak tahu mana yang bercanda mana yang serius.
Tapi kalimat mereka nggak bisa kuanggap main-main. Menjijikan.
Ranu, kamu dalam bahaya.
Aku berusaha bangkit. Kalau aku lari sekarang, setidaknya aku bisa cukup dekat keluar untuk berteriak dan mencari bantuan.
Ini yang kau dapatkan karena berhubungan dengan preman, Ranu. Aku merutuk dalam hati.
Bukannya di berita-berita pelaku pemerkosaan bergilir merecoki korbannya dengan minuman beralkohol?
Nah besok aku yang masuk berita, dengan atau tanpa nyawa.
Menyerahkan dengan sukarela dan dipaksa menyerahkan itu saja sudah berbeda maknanya.
Dengan Tama yang waktu itu orang asing bagiku---aku tidak tahu awalnya kalau dia preman--- aku menyerahkan karena aku memang ingin melakukan dengannya.
Tapi jika dipaksa, apalagi dengan keadaan seperti ini?
Cukup. Itu mengerikan. Membayangkan saja membuat seluruh sarafku sakit luar biasa.
Aku segera bangun, sempoyongan namun menguatkan diri untuk lari. Aku mengangkat kakiku. Rasanya sangat kontradiksi; terasa ringan namun berat digerakkan.
Sekuat tenaga, bertelanjang kaki, aku berlari. Mengabaikan suara panik Opi dan rentetan panggilan menjemukan dari para preman itu.
Harusnya aku tahu Ernest itu jauh lebih berbahaya.
Aku semakin kencang berlari walau bayangan jalan dan pepohonan nampak menjadi dua atau tiga kali lebih banyak. Pandangan sudah mulai tidak bersahabat.
Gerbang masih jauh.
Kakiku bahkan terantuk sesuatu tapi aku mengabaikan. Rasa perih ini tidak ada apa-apanya daripada keselamatanku.
Tapi aku tidak kuat, aku limbung. Terperosok.
Namun tubuhku ditopang lengan seseorang agar aku tidak jatuh.
Aku melihat wajah datar Ernest.
"Mau kemana?" Tanya Ernest tenang.
"A---Aku..." Aku terbata, mataku buram karena airmata ketakutan "jangan... Aku mau pulang..."
"Kamu mabuk, Ran."
"Aku mau pulang!" Aku nyaris berteriak "tolong.... "
Ernest hanya menatapku. Pandangannya dingin. Namun entah kenapa aku melihat api di dalamnya.
"Nest..." Aku tetap memohon. Aku tahu jika aku melawannya, akan sia-sia. Tapi setidaknya aku akan berusaha. Jika memohon tidak bisa, aku akan menampar atau menjitak. Bagaimanapun dia tidak jauh lebih tinggi dari aku.
Ernest mengusap daguku lembut. Membuat kuduk meremang.
"Bahkan kamu pun melihatku ketakutan." Gumamnya.
Aku mengerjap. Antara kaget dan penglihatan yang semakin tidak karuan.
Ada nada aneh dalam kalimatnya. Aneh karena aku dapat merasakan rasa sakit dan kecewa. Walau setengah mabuk aku dapat merasakannya.
Apanya yang membuatnya kecewa? Bahwa aku lari darinya seperti ini?
Tapi wajar kan? Aku mau diperkosa bergilir loh sama anak buahnya!
"Ernest..." Aku reflek memanggil namanya. Tapi lagi-lagi tidak ada tanggapan.
"Kamu takut." Ujar Ernest menegaskan sekali lagi.
Aku menelan ludah, terbata-bata "jelas sekali, kan... Kalian ingin mencelakanku..."
"Itu hanya omongan para preman. Apa yang kamu harapkan dari kami? Ngomong elit baik-baik?
"Sialan kamu, Nest!" Aku setengah berteriak "aku mau diperkosa sama mereka dan kamu bilang seolah itu biasa saja?"
"Hei," Ernest masih tenang tapi ia memegang kedua lenganku erat "memang begitu adanya kami. Kami memang sehina itu. Bahkan bercanda pun kami menjijikan."
"Tapi," Ernest menatapku dalam "selama kamu dalam perlindunganku, kupastikan omongan mereka itu omong kosong. Tidak akan ada yang berani menyentuhmu sejengkal pun."
Aku menggigit bibir. Aku masih ketakutan.
Ernest lantas berdiri. Mengumpulkan barang-barangku. Lalu ia membantuku berdiri juga.
Ernest menyunggingkan senyum tipis sembari memapahku berjalan. "seandainya kamu bukan punyanya Arghya."
Tama? Kenapa tiba-tiba?
"Apa maksudmu? Memang kenapa dengannya?"
" Ya jika kamu bukan wanitanya Arghya, aku tidak merasa terbebani."
Aku menggeleng. Malah membuat semakin pusing
"Aku dan dia sudah berakhir. Aku bukan milik siapa-siapa."
Lalu buru-buru menambahkan "tapi bukan berarti aku ingin melanjutkan dengan siapapun saat ini---"
Ernest tertawa lepas. Benar-benar lepas.
Tiba-tiba ia kembali menjadi Ernest yang aku kenal.
"Iya, iya aku paham. Nggak ada kesempatan buatku, kan?" Tanyanya diantara gelak tawa.
"Bukannya---" aku menelan rasa pahit dari perutku. Alkohol naik lagi "kamu bilang nggak tertarik sama aku perkara cinta-cintaan?"
"Yah..." Ernest tampak setuju "tapi entah kenapa aku berharap menjadi orang lain saat sama kamu."
Kami tetap berjalan pelan. Tanah masih terasa oleng bagiku.
"Maksudnya?"
"Aku berharap, aku adalah pria baik-baik yang bisa berjalan dengan wanita kayak kamu tanpa pandangan menghakimi orang lain." Ernest lalu menoleh ke arahku yang melihat ke arahnya "katakan, apa itu namanya?"
Aku menunduk dan bergumam lirih "aku nggak tahu..."
Ernest terkekeh "aku menghindari hal-hal semacam ini. Melihat sendiri bagaimana orang-orang berbahaya menjadi bodoh dan tewas karena perasaan konyol."
"Itu nggak konyol." Bantahku "cinta itu menyakitkan, tapi tidak konyol."
Ernest mengangkat bahu "konyol buatku. Sialnya mungkin aku hampir merasakannya."
Aku mendengus menahan tawa. Astaga, pernyataan cinta yang aneh. Sarat gengsi dan penyangkalan.
Yah, aku tidak bangga disukai para preman, tapi aku senang masih ada yang menyukaiku.
Lalu kaki kami tanpa terasa sudah berhenti di depan pondok kayu.
Harusnya aku sadar arahnya tadi.
"Kenapa di sini sih? Mending bawa aku pulang." Rajukku.
Ernest mendudukanku di balkon pondok "pernah kesini?"
"Ya!" Bentakku "sama Tama! Kami senang-senang! Apalagi yang perlu kamu ketahui, hah?"
Ernest lagi-lagi tertawa lepas "padahal aku asal tebak saja. Tama pasti pernah bawa kamu ke Kebun ini gara-gara ini tempat favoritnya."
"Terus kenapa?"
"Ya berarti kamu sepenting itu."
Aku mendengus "yang benar saja! Kalau aku sepenting itu dia nggak akan mencampakkanku, kan? Apapun alasannya."
Aku lalu menopang dahiku yang berdenyut demakin parah.
"Apalagi dia tidak jujur tentang dirinya sejak awal. Kalau dia menganggap aku penting, dia akan bercerita apapun tanpa terkecuali."
Aku merasakan dentuman keras di kepalaku. Ah, mabukku belum hilang walau aku mampu membalas kata-kata Ernest.
Ernest tidak membantah. Ia malah menyusun boneka yang ia berikan dan tasku dalam diam.
Ia menepuk hasil 'karya'nya. Tanda bahwa aku harus berbaring, menyuruhku memakai benda-benda itu sebagai bantal. Ia melepaskan jaket hoodienya.
"Tidurlah. Sejam dua jam. Lalu pas udah enakan, kita pulang."
Aku memandang Ernest nyalang dan curiga.
"Aku tidak ada maksud apa-apa. Sungguh. Nggak ada pikiran menyentuhmu---ya sedikit, sih."
"Ernest!"
"Iya, iya! Aku menahan diri."
Aku berbaring sembari menatap Ernest. Ernest tersenyum kecil. Lalu dia menyelimuti tubuhku dengan jaketnya.
Suara serangga malam dan hingar kendaraan di kejauhan mengganti keheningan kami.
Ernest memandang ke langit-langit. Dengan T-Shirt dan ripped jeans, ia tidak tampak seperti usia hampir kepala tiga.
Aku ikut memandang langit malam sembari menekan dahiku dengan lengan. Berbaring di samping Ernest.
Aku merasa tenang.
"Arghya bukan preman sejati." Gumam Ernest tiba-tiba.
"Ngg?"
"Ya, dia bukan bajingan. Bukan penjahat seperti aku yang memang sejak kecil hidup di lingkungan kriminal."
Aku tidak menjawab. Tapi aku berharap Ernest tetap bercerita.
"Arghya masuk ke kelompok Serigala Selatan karena dekat dengan Ayahnya Lilo---salah satu teman kami." Ernest menghela nafas "Ayah Lilo bisa dibilang punya koneksi dengan dunia kami."
"Jadi," aku tidak tahan bertanya "kenapa Tama jadi preman?"
Ernest mendesah panjang "aku sudah pernah bilang kalau salah satu teman kami tewas?"
"Anggota Tesla? Ya, aku tahu. Penganiayaan, kan?"
"Ya." Jawab Ernest. Lalu dia terdiam sejenak "harusnya dia tidak perlu meregang nyawa jika aku terlibat."
"Maaf?"
Ernest bersandar, berusaha menyamankan diri "Jadi, dia terlibat masalah dengan salah satu geng motor. Kami tidak tahu letak masalahnya, tapi kami diberitahu dia sedang menghadapi mereka sendirian."
"Lilo dan Arghya datang menolong Arshan yang sudah menjadi bulan-bulanan. Ketika mereka datang pun mereka bakal kalah juga."
Ernest memejamkan mata "Sejak awal terbentuknya Tesla; Arghya, Lilo, dan Arshan tahu aku adalah preman. Sam tahu belakangan.
Tapi mereka tidak keberatan. Bagi mereka jika di Tesla, aku adalah Arli, bukan Ernest. Itulah sebabnya aku nyaman bersama mereka."
Ernest menatapku "mereka tidak melihatku dengan ketakutan atau kernyitan jijik."
"Karena tahu bahwa aku preman, Lilo meminta bantuanku. Walau mungkin Ayahnya punya kuasa untuk memanggil preman lain tapi karena dekat daerah kekuasaanku, jadi aku yang paling cepat bisa diandalkan."
Ernest lalu menelengkan kepalanya ke arah gerbang belakang sembari menunjuk dengan tangannya. "kejadiannya tepat dua kilometer dari gerbang itu."
Aku memandang Ernest yang kembali menatap dengan kosong ke depan.
"Aku datang, tentu saja."
"Tapi?" Aku reflek menyahut. Jelas ada 'tapi' dibaliknya.
Ernest mendongak sembari menyandarkan kepalanya "Aku tidak bisa menolong mereka."
Hah? Tidak bisa kenapa? Dia pemimpin preman, berbahaya dan punya anak buah. Apa masalahnya?
Ernest memejamkan mata. "Itu adalah daerah milik Serigala Selatan. Geng motor itu salah satu kelompok geng yang berafiliasi dengan kelompok Serigala Selatan."
"Aku tidak bisa terlibat." Ernest menghela nafas berat "aku sempat membantu menghajar beberapa anggota geng---tapi jika aku membereskan mereka semua akan ada konsekuensi yang harus aku hadapi; aku akan menciptakan perang dengan kelompok Serigala Selatan."
Aku tidak paham.
"Bukannya tawuran antar geng sudah sering terjadi? Bukannya kalian sering melakukan itu hanya untuk pembuktian siapa yang kuat?" Sanggahku.
Ernest terkekeh "Cerdas. Tapi itu kami lakukan dengan perjanjian; kapan dan dimana. Terlebih, kami sebagai geng besar tidak pada tempatnya terlibat perkelahian sepele. Tawuran itu hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil."
Memang kelompoknya sebesar apa sih?
"Oke." Ujarku "teruskan."
"Ya begitulah. Aku tidak bisa membantu mereka lagi. Aku hanya bisa menunggu mereka menyelesaikan sendiri masalah mereka karena itu urusan pribadi Arshan, bukan masalah yang melibatkan gengku."
Ernest kemudian mengusap wajahnya.
"Tapi aku salah. Aku kira kehadiranku di sana bisa memberi intimidasi kepada geng motor itu agar tidak macam-macam dengan teman-temanku."
Ernest menarik nafas panjang "salah satu dari mereka menghantam kepala Arshan dengan senjata tumpul. Dia tidak sadarkan diri. Arghya terkena luka tusuk di perut. Tidak dalam, jadi dia tertolong."
Ernest menggeleng "tapi hal berbeda dengan Arshan; ketika mendapat penanganan medis, semua terlambat. Pukulan itu menghantam bagian vital. Arshan tewas."
Aku menggigit bibir.
Aku sering membaca berita semacam ini. Tapi mendengar langsung, sangat mencekam.
"Arghya menyalahkanku. Menurutnya, aku bisa saja ikut campur untuk menyelamatkan Arshan."
Ernest menoleh ke arahku "sampai sekarang aku tidak tahu apakah keputusanku malam itu tepat atau tidak. Aku hanya ingin melindungi daerah dan anak buahku. Aku berusaha meminimalisir konflik Arsha cukup dengan kehadiranku saja. Aku benar-benar terombang-ambing di tengah."
Ernest menghela nafas "aku takabur dengan kekuasaan. Aku besar kepala hanya dengan status ketua preman maka para bajingan itu akan berbelas kasihan dengan teman-temanku."
"Ternyata takdir justru membuat harga diriku runtuh dengan mengambil nyawa Arshan tepat di hadapanku. Geng motor itu tidak mengindahkan posisiku sebagai ketua preman. Mereka kelompok kriminal yang menganggap nyawa orang lain adalah mainan."
Ernest terkekeh pilu "jadi begitulah. Aku menanggung ingatan banyak kematian orang-orang di sekitarku. Arshan adalah salah satu yang terberat. Ada penyesalan dan kebencian yang di arahkan kepadaku. Tapi memang itu harga yang harus aku terima."
"Sejak kejadian itu, baik Tesla dan persahabatan kami bubar."
Aku setengah bangkit. Memandang iba kepada pria itu.
Aku mengambil kesimpulan "jadi akhirnya Tama masuk Serigala Selatan untuk.... Dendam?"
"Ya, kurang lebih begitu. Dia ingin balas dendam kepada geng motor itu dengan masuk ke dalam afiliasi mereka." Ernest mengangguk "tapi masalah dengan geng itu sudah beres baru-baru ini."
"Arghya menghabisi mereka setelah Perang Kawasan. Geng motor itu berkhianat kepada Serigala Selatan. Jadi tidak ada alasan baginya untuk menahan diri. Harus aku akui, Arghya adalah petarung sejati. Tapi dia tidak cekatan dalam mengambil keputusan. Membuatnya kadang jadi impulsif ."
"Kalau begitu, dia tidak harus tetap ada di kelompok itu kan? Dia bisa kembali jadi warga baik-baik." Tukasku.
"Dia tidak bisa menjadi warga biasa baik-baik jika ingin informasi tentang kakaknya." Jawab Ernest.
Aku menyipitkan mata "maksudnya?"
"Arghya tidak cerita?" Ernest memandangku heran. Aku menggeleng.
"Kakak perempuan Arghya disinyalir menjadi korban human trafficking dan penipuan. Tapi masih dianggap sebagai kasus kabur dari rumah dan dianggap orang hilang. Arghya sudah mengupayakan berbagai cara bahkan ia mengeluarkan banyak uang."
Ernest memandang tajam "jadi kemudian dia tahu bahwa untuk mendapat data dia bisa menjadi agen ganda; kriminal dan agen polisi. Makanya ia masuk kelompok Serigala Selatan sekaligus menjadi informan aparat. Dengan begitu ada arus informasi yang bisa dia dapatkan."
Aku sekarang ikut duduk di samping Ernest. Diam. Menyelami pikiranku.
Kenapa serumit ini?
"Hei, sudahlah. Tidak perlu dipikirkan." Ujar Ernest. Aku merasakan jemarinya menyentuh puncak kepalaku.
"Aku tidak tahu... Kalian menghadapi maut." Gumamku.
"Aku dan Arghya sudah dewasa. Sudah paham risiko yang kami pilih walau biasanya risikonya adalah penyesalan."
"Tidak." Aku menggeleng "kadang harus ada seseorang yang membawa kalian keluar dari risiko itu."
Ernest bertopang dagu sembari tersenyum "Lucu, aku kadang merasa begitu juga. Aku ingin seseorang mengambil risiko untuk kesalahan yang aku buat."
"Tapi kemudian aku sadar, justru mungkin orang itulah risiko baru untukku. Penyesalan lain yang lebih menyakitkan."
Ernest menelusuri beberapa anak rambutku dengan jemarinya "malah akhir-akhir ini aku merasa bahwa mungkin kamulah risiko itu. Tapi apakah pantas?"
Aku menatap tajam ke arah Ernest.
"Ya, mungkin aku tidak pantas untuk itu, Nest." Aku mengangguk "aku tidak cukup kuat jika aku harus bersama laki-laki seperti dirimu atau Tama."
"Ya..." Ernest menyetujui "cara hidup kita beda."
"Bukan," aku menggeleng "perbedaan seperti itu aku mungkin masih bisa tolerir. Tapi yang tidak mampu aku tanggung adalah jika kalian terbunuh."
Aku menyembunyikan wajahku di antara lutut "kehilangan karena maut membuat kita merasa selalu sendiri, kan? Kamu pasti paham rasanya."
Aku mengerling ke arah Ernest. Ernest ganti menatapku dengan pandangan yang seperti terpana.
Ada jeda. Lalu Ernest tersenyum lagi seperti biasa.
"Aku jadi ingin benar-benar menyentuhmu sekarang." Ujar Ernest ringan.
"Jangan coba-coba!"
Ernest tergelak. Mau tidak mau aku ikut tertawa.
"Tidurlah." Ernest menyuruhku berbaring lagi "akan aku bangunkan sejam lagi. Aku tahu mabukmu belum hilang."
"Apaan sih? Kan bisa kamu bawa aku pulang. Aku akan tidur di mobil."
"Dasar tidak peka." Ernest terkekeh "itu hanya alasan supaya keadaan seperti ini bisa lebih lama."
Ah sialan. Para preman ini belajar merayu dari mana sih?
Tapi toh aku berbaring lagi. Menutup wajah dengan lengan dan merapatkan kelopak.
Kepalaku pusing. Perasaan berkecamuk.
Keheningan kembali menjalar.
Baik Ernest dan Tama, mereka adalah pria berbahaya yang sebenarnya rapuh. Kuat tapi rentan.
Aku tidak paham dengan analogiku tentang mereka. Kepalaku benar-benar berat.
Aku memang butuh tidur sejenak.
***************
Ernest masih terduduk di dekat tubuh Ranu yang tertidur nyenyak. Mencuri sedikit kesempatan menelusuri pipi wanita itu dengan buku-buku jarinya.
Arghya harusnya tidak sebodoh itu untuk membiarkan wanita seperti ini lepas, batinnya.
Ernest mengambil nafas. Mendongak lagi. Ia tahu ia harus menghentikan segala luapan perasaan sentimentil.
Dia adalah pria logis. Pragmatis dan tidak mau disukarkan dengan hal-hal yang remeh.
Ernest melihat handphonenya. Sudah sangat larut. Ia akan memulangkan Ranu sebentar lagi.
Namun kemudian, maniknya menangkap sosok yang berlari ke menuju pondok.
"Ah," gumam Ernest "ternyata datang." Gumamnya kepada diri sendiri.
Sosok itu semakin dekat. Lalu ketika berada semakin dekat, Ernest dapat mendengar nafas menderu dan melihat manik yang membesar terkejut.
Ya, wajar saja. Dia pasti terkejut melihat tubuh indah wanita yang ia sukai tertidur nyenyak di sampingnya.
"Lo---" Tama tidak bisa menahan emosinya, dia berhambur ke arah Ernest. Menarik kerah kaus Ernest.
"Ar, lo nggak mau Ranu kebangun, kan?" Ernest berkata santai.
"Sialan!" Desis Tama "lo apain dia hah? Apa maksud pesen lo?!"
Tama sudah mengabaikan permintaan Ernest ke Kebun Bibit ketika beberap menit kemudian ada pesan lagi dari Ernest.
Pesan provokatif bahwa Ranu mabuk dan anak buahnya tampak tidak bisa mengontrol diri ingin berbuat tidak senonoh kepadanya.
"Lo mau nyelakain Ranu, hah?!" Bentak Tama "Brengsek! Lo ketua mereka!"
"Ar, gue nggak bisa dong ngatur orang banyak yang lagi mabuk? Gue aja setengah teler." Ujar Ernest "mau gue cegah kayak gimana, jelas gue kalah jumlah."
"BAJINGAN! TAI LO, NEST!" Tama berteriak "KALAU LO NGGAK BISA JAGA KELAKUAN ANAK BUAH LO, GUE YANG AKAN HABISIN MEREKA TERMASUK LO!"
Ernest mendengus "lo yang nggak bisa jaga cewek lo, kan?"
"Ap---"
"Kalau lo bisa, nggak mungkin Ranu saat ini di sini, bersama kelompok preman berbahaya." Ernest menyunggingkan senyum miring.
Tama menggeretakan giginya.
Ernest merasa sudah harus mengakhiri ini. Ia lalu menepis tangan Tama.
"Hentikan saja pertengkaran nggak guna ini, Ar. Sekarang lo datang. Gue lebih suka nggak direpotin cewek mabuk. Jadi, gue serahin ke lo."
Ernest berbalik, mengabaikan seruan Tama.
Tama mengumpat. Ia lalu mengerling ke arah Ranu yang masih terlelap.
Tama memandang sekelilingnya.
Tempat ini penuh kenangan. Tempat ia biasa main game dan mengadakan event game kecil-kecilan. Tempat dimana Tesla masih utuh dan seperti tidak ada sesuatu yang buruk bakal terjadi.
Tempat dimana Arshan dan dirinya hanyalah pemuda yang ingin masuk perguruan tinggi ternama, Ernest yang paling tua dan hanya pria biasa, Lilo yang anak kuliahan dan berpenampilan bersahaja, serta Samuel yang mengekornya kemana-mana.
Serta tempat dimana ia mendapatkan sesuatu yang terlalu indah untuknya.
Ranu.
Tama akhirnya duduk, menggantikan tempat Ernest. Mengusap wajah lelahnya.
Tapi ada semacam perasaan ringan ketika ia memandang wajah tertidur Ranu.
Tama ingin merengkuh kelembutan dari wanita itu, lagi. Tapi sekadar menyentuh dengan jari membuat Tama merasa tidak pantas.
Tama menghela nafas.
Ia berharap, untuk sesuatu yang lama, waktu berhenti untuk mereka berdua.
Hanya untuk mereka berdua.
********************
Aku menatap pepohonan dengan perasaan berkecamuk. Tidak mampu berkata-kata.
Lebih tepatnya tidak berani untuk bersuara. Bergerak pun tidak.
Ketika akhirnya aku bangun dari tidur yang kupikir lama ---ternyata hanya sekitar satu jam lebih saat aku mengecek handphone--- aku melihat sosok itu duduk di sampingku.
Duduk membelakangiku. Aku dapat melihat punggung kokoh yang mau tidak mau aku pernah rindukan, dan sialnya sampai sekarang.
Aku berharap ini hanyalah efek hangover. Tapi semakin aku menajamkan penglihatan dan kesadaranku mengumpul, jelas sekali itu adalah Tama.
Kenapa dia bisa ada di sini? Mana Ernest?
Jadi sekarang aku merasa terjebak. Duh. Apa yang harus aku lakukan?
"Ranu sudah bangun?"
Rasanya jantungku mau keluar lewat tenggorokan. Astaga, dia tahu.
Aku menoleh. Tama masih membelakangiku. Tidak ada tolehan.
Aku tidak merespon. Aku hanya bergerak ringan. Mencari posisi dimana aku merasa nyaman di keadaan yang canggung ini.
"Apa pusingnya sudah hilang?" Tama lagi-lagi bertanya. Aku memilih duduk.
"Lumayan." Jawabku akhirnya "kamu---kamu ngapain di sini?"
Kini Tama tidak menjawab. Hanya punggungnya yang bernafas dengan tenang.
Tidak ada suara lagi di antara kami. Hanya desau dedaunan yang terkena angin.
"Aku sudah pernah bilang, kan? Jangan terlibat dalam hal-hal yang berbahaya lagi Ranu."
Aku menyipitkan mata "aku tidak terlibat apapun yang berbahaya. Kalau maksudnya Ernest, dia itu temanku."
"Dan teman-temannya ingin mengerjaimu."
Aku terbelalak "darimana kamu tahu?"
Tama menghela nafas panjang "aku berterima kasih karena Ernest adalah orang yang sedikit baik. Dia memberitahuku."
Ada perasaan hangat dalam diriku mendengar Tama kesini karena mengkhawatirkan aku.
"Tapi ini bukan urusanmu lagi." Cetusku "sejak kamu mencampakkanku, seharusnya kamu nggak perlu susah-susah mengurusi hidupku lagi."
"Aku nggak bisa." Ujar Tama tajam.
"Kenapa? Kamu sudah memilih gadis lain dan sekarang kamu bilang begitu? Oh yang benar saja! Jangan seenaknya sendiri!"
Aku tidak tahan lagi.
Jadi aku berdiri sembari mengemasi barang-barangku. Tas, boneka dari Ernest kemudian aku sadar, tidak ada jaket hoodie dari Ernest yang tadi menyelimutiku. Berganti sebuah jaket parka besar.
Tidak perlu bertanya. Dari wanginya saja aku bisa tahu ini milik siapa.
Jadi aku tinggalkan jaket Tama. Aku merapikan diri dan beranjak.
"Ranu," panggil Tama. Aku tidak suka dia memanggilku. Jadi aku mengabaikan.
Ketika aku melangkah, telapak kakiku sakit.
Ada luka gores. Tidak berdarah, hanya gurat merah. Ini pasti gara-gara terantuk tadi.
Aku mengumpat. Aku mencari sepatuku.
Ah, aku tadi lari dari tempat Ernest tanpa alas kaki. Sepatuku kutinggalkan di sana. Sial sekali sih. Terpaksa aku berjalan tertatih tanpa alas kaki.
Namun kemudian tanganku ditarik.
"Hei!" Bentakku "Lepaskan!"
Tapi Tama tidak peduli. Dia tetap menarikku kembali ke teras pondok.
"Lepaskan, aku bilang!"
Dia bergeming. Tetap menarikku.
"Tama!!" Aku berteriak. Tama akhirnya berhenti. Lalu ia memandangku.
Matanya nanar. Berair. Seperti ingin membuncahkan airmata.
"Keparat." Aku mendesis "kamu ini kenapa sih? Lepaskan aku!"
"Ranu," dia menelan ludah "ini sulit..."
Dia ngomong apa sih?
"Apa maksudmu?" Aku berhenti meronta. Memandang Tama dengan tatapan tajam.
"Kenapa harus kamu orangnya?" Gumam Tama. Aku merasakan itu gumaman untuk dirinya sendiri.
Tapi aku paham.
Aku terdiam. Manik kami lalu bertemu.
Ini harus diselesaikan sekarang.
"Jangan seperti badai," ujarku dingin "jangan seperti badai yang datang tiba-tiba lalu pergi. Pergi sembari memporak-porandakan apapun."
Tama tidak menjawab. Maniknya memerah.
"Tolonglah Tama. Kamu sudah punya keputusan. Jangan membuat orang lain bimbang."
"Aku yang bimbang, Ranu." Tukas Tama kemudian.
Aku menilik sosok di depanku yang menjadi lemah. Dia yang biasanya tampak kuat dan percaya diri, menjadi lemah.
Tapi bukannya aku malah menjadi benci---justru berbanding terbalik.
Aku malah ingin merengkuhnya.
Tiba-tiba semua amarah lenyap. Tapi aku menahan diri.
"Aku bimbang." Gumam Tama getir "harusnya aku melepaskanmu. Harusnya kita selesai."
"Tapi membayangkan dirimu terlibat masalah, apalagi disentuh pria lain membuatku tidak tenang."
Aku menggeleng pelan "aku bukan barang. Lagipula sikapmu itu egois sekali."
Tama mengangguk "benar."
Aku membuang nafas kesal "Lalu maumu apa? Punya tunangan tapi ingin aku juga?"
Tama menggeleng "Aku bukan orang seperti itu, Ranu."
"Bagus." Aku mengangguk "jadi kita selesai, kan? Biarkan aku pergi kalau begitu."
Ini sudah selesai. Tama harus memilih tunangannya. Bagaimanapun gadis itu lebih berhak daripada aku yang hanya tidur beberapa kali dengannya.
"Aku antar." Tama memandangku lurus "kamu sedikit mabuk."
"Aku nggak apa-apa." Aku mengangkat tanganku "aku masih bisa berpikir. Aku akan naik taksi online."
"Terakhir kamu melakukannya, kamu berakhir tidur dengan sopir taksinya." Cetus Tama.
"Hei!" Wajahku pasti memerah dia menyinggung pertemuan kami kali pertama "aku tidak akan---"
Tapi kalimatku terputus.
Karena kemudian Tama merengkuh tubuhku. Untuk sepersekian saat, aku masih memproses apa yang terjadi.
Ketika akhirnya pikiranku kembali, aku meronta melepaskan diri.
"Sial, Tama! Jangan begini---"
Tapi rengkuhannya semakin erat. Aku tidak dapat bernafas normal. Sebaliknya, aku malah merasakan detak jantungnya yang berpacu.
Ada desir aneh dalam diriku ketika mengetahuinya.
"Lepaskan, Tama. Kita tidak boleh begini. Kita selesai." Aku menyangkal. Aku memang sedang menyangkal. Karena jika aku pasrah, aku akan terjerumus semakin dalam dan itu berbahaya.
"Ranu, maaf. Aku hanya ingin seperti ini sementara." Suara Tama teredam pelukannya.
"Ini salah..." Gumamku.
"Aku tahu." Jawab Tama lemah. Lalu ia mengangkat tubuhnya. Mensejajarkan manik denganku.
"Aku tahu." Gumam Tama lagi. Merasuk dalam penglihatanku. Aku menggigit bibir. Memandang bibir raut Tama yang putus asa dan mendamba.
Mungkin rautku pun sama.
Mungkin karena menyadari hal itu, detik kemudian kami terperosok ke dalam kesalahan.
Aku merasa bersalah ketika bibir Tama menyentuh bibirku. Mengusap lembut.
Lalu detik kemudian, dengan berbagai gestur penolakan dariku yang sia-sia dan gejolak mendesir dalam diri kami, kami malah semakin saling memagut.
Memperdalam ciuman kami.
"Ranu..." Tama menggapai kepalaku dengan perasaan haus. Mencengkram rambutku seolah aku akan pergi. Membawaku ke dirinya semakin dekat.
Aku menikmati setiap keliaran dan rasa haus Tama.
Aku menikmati rasa bersalahku.
Aku menikmati ketakutanku.
Aku berdosa kepada tunangan Tama. Benar kata Sarah, aku ini jalang. Jalang perebut lelaki wanita lain.
Tapi seperti jalang lainnya, aku tidak peduli lagi.
****************
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top