23. Long Night

Aku memandang hampa benda itu diantara jari-jariku.

Aku merebahkan kepalaku ke kursi sembari mengamati kalung Tama di tanganku.

Kenapa aku masih menyimpannya sih? Seharusnya aku buang saja dua hari lalu sejak aku menerimanya.

Eh waktu itu sempat aku buang di tempat sampah, sih. Setelah tahu bahwa Ernest menyelundupkan kalung itu ke tasku.

Tapi kemudian dengan galau malah aku ambil lagi.

Aku tidak tahu dengan diriku. Aku ingin benar-benar melupakan Tama, tapi di lain sisi aku merasa hanya sebuah kalung tidak akan jadi masalah.

Tapi ternyata masalah. Aku sekarang malah tertungkus kenangan.

Aku melempar kalung itu kembali ke tas. Aku akan membuangnya besok. Kalau bisa ke laut utara sekalian.

Aku sedang mengerjakan desain sebuah layout untuk perusahaan men wear ketika Sarah masuk dan melipat tangannya di hadapanku.

"Apa?" Aku bertanya dingin. Dari gesturnya saja tidak bersahabat, kenapa aku harus bertanya baik-baik?

Mau mulai masalah apa lagi?

"Lo ngadu apa ke Pak Syahdan?"

Aku mengerjap. Ngadu? Kapan aku ketemu sama Syahdan sejak terakhir di rumah sakit itu? Itu pun yang kami bahas nggak jauh-jauh seputar humor.

Kenapa dia percaya diri sekali kalau aku ngomongin dia?

"Maksudnya? Kamu ngomong apa sih? Aku nggak paham."

"Nggak usah sok bego deh!" Sarah meninggikan suaranya "lo pasti ngomong yang nggak-nggak! Sekarang gue mau dipindah ke cabang!"

Sarah dipindah?

Tunggu, aku saja baru tahu.

"Mau ngeles apa lo?" Tantang Sarah.

Aku berdiri dengan tenang. Mensejajari Sarah.

"Kenapa aku harus bilang Syahdan? Emang ada yang harus aku aduin ke dia?" Balasku dingin.

"Lo ngadu kan kalau gue sering bikin lo nggak nyaman di sini?" Pekik Sarah. Intonasinya semakin meninggi. Jujur saja, aku muak.

Aku berdecak "Aku memang nggak nyaman sama ulahmu, tapi buat apa aku ngadu sama Syahdan? Kamu nggak sepenting itu buat diomongin!"

Sarah menatapku nyalang. Tapi jelas merasa tertohok dengan kalimatku.

"Justru itu! Karrna gue nggak penting buat lo, lo manfaatin status lo sebagai selingkuhannya buat ngusir gue kan?"

PLAK!

Aku menampar Sarah. Reflek digerakkan oleh rasa amarah. Sarah memekik.

"Terus-terusin kamu fitnah nggak jelas. Aku nggak paham apa masalah kamu sebenarnya!" Desisku dingin.

Sarah lalu menerjangku. Aku tidak sempat mengelak, kepalaku sakit karena terkena meja. Rambut dan kulit kepalaku sakit dijambak Sarah.

Tapi aku tidak tinggal diam. Aku ganti menjambaknya.

Kepalaku penuh.

Aku bahkan mati rasa ketika orang-orang melerai kami.

"Dasar jalang! Lo nggak bisa ya apa-apa tanpa pengaruh Syahdan?" Teriak Sarah yang dipegangi oleh Roy dan Tandya.

Sarah benar-benar membuat darahku mendidih.

"Syahdan, Syahdan! Aku udah putus dan aku nggak ada apa-apa sama dia! Kamu itu kenapa sih?!" Balasku, yang dihalau Bara dan Dimas. Zania memandang kami, tampak ingin ikut menenangkan tapi dia bingung duduk perkaranya

"Halah, ngaku aja lo masih gatel sama dia! Heran! Lo dulu bisa masuk sini gara-gara dia kan? Lo kerja aja nggak becus!"

Aku akui akhir-akhir ini kerjaku agak keteteran gara-gara Tama. Tapi aku diterima di sini karena aku mampu.

"Lo itu pengganggu! Proyek jadi nggak bener! Gatel mulu sama Syahdan! Sekarang gara-gara lo gue harus pindah tugas! Puas lo, dasar perebut laki orang!"

Aku terdiam. Bukan karena kalimat Sarah menghantamku. Tapi kenyataan di baliknya.

"Hei," Aku mengatur suaraku agar tenang walau sebenarnya aku ingin menghardiknya "sebenarnya bukan karena kerjaan atau karena aku pernah pacaran sama Syahdan kan?"

Sarah mendelik seketika. Tiba-tiba dia kehilangan kalimat.

"Ap---Apa?"

Aku mendengus "kamu suka Syahdan kan?"

Seketika seluruh ruangan hening. Sarah terdiam dengan wajah pucat. Tapi seketika dia memerah.

"A--Apa? Lo jangan ngawur, Jalang!"

Aku tertawa kecil "Awalnya kamu biasa saja waktu aku masuk ke sini. Lama-lama kamu agak sinis ketika tahu aku pacaran dengan Syahdan."

"Walaupun kamu seolah membuatnya biasa saja, tapi hanya denganku nada suaramu sinis. Aku dapat merasakannya."

Sarah menggeretakan giginya.

"Lalu ketika kami putus, kamu berubah baik dan ramah. Bahkan kamu mulai ngajak aku jalan bareng. Lalu kemudian kamu yang paling murka ketika muncul gosip aku masih sama Syahdan padahal dia udah tunangan sama Gia."

Aku menyerangnya terus. Bagaimanapun aku yakin bahwa hipotesaku benar.

Sarah terhenyak.

"Lo---Lo ngomong apa sih?

Aku membuang nafas lelah "sebelum ini menjadi sesuatu yang lebih konyol, akan aku tegaskan; Syahdan memang sempat ingin kami balikan. Tapi maaf, aku dan dia sudah berakhir. Bagi kami hubungan hanyalah pertemanan dan kerja."

Ruangan senyap, jadi aku memutuskan melanjutkan "aku dan Syahdan sejak dulu sudah berteman, sebelum kami pacaran. Bagi kami bukan masalah menjadi teman lagi setelah putus."

"Aku sudah memiliki orang yang aku sukai. Bukan Syahdan. Jadi berhenti menganggap aku ada apa-apa lagi dengannya. Kalau memang kamu suka dia, dekati baik-

Aku mengatur nafasku. Sarah sialan itu membuatku mengucapkan kata-kata bodoh memalukan di depan banyak orang.

"Kalau kamu suka Syahdan, usahalah. Jangan melampiaskan ketidakmampuanmu ke orang lain."

Aku dapat melihat Sarah memandang yang lain dengan roman takut. Tapi dia lalu menatapku tajam.

"Lo itu nggak masuk diakal! Ngomong ngelantur dari tadi! Mau bikin gue malu apa?" Sarah masih menyangkal. Tapi nada suaranya seperti orang yang baru ketahuan berbuat sesuatu.

Kenapa sih ada cewek modelan Sarah begitu? Nggak bisa pacaran sama gebetannya yang kena susah orang-orang di sekitarnya.

"Kayaknya di sini ada yang perlu diluruskan." Zania tiba-tiba membuka suara. Secara otomatis ruangan menjadi hening.

Ia lalu menghela nafas."Sebagai ketua divisi, aku mau bilang memang Sarah akan ditugaskan di cabang. Tapi tidak dipindahkan."

Aku mengangkat alis. Zania yang biasanya bernada kalem menjadi tajam.

"Begini," Zania lalu memandang Sarah "Minggu depan itu ada diklat pegawai baru di cabang Jogjakarta. Sarah, kamu dikasih tugas jadi salah satu pendiklat."

Aku dapat merasakan atmosfer beku ketika Zania berbicara. Aku tidak pernah meragukan Zania sebagai ketua divisi karena jam terbangnya.

Tapi ternyata ada alasan lain kenapa dia dipilih.

"Supaya kamu tenang, kamu tidak ke cabang selamanya; hanya satu minggu penugasan." Zania memandang lurus. Membuat kuduk berdiri, bahkan Sarah yang semula seperti kesurupan menjadi sekaku patung.

"Dan untuk membuatmu lebih lega lagi, bukan Pak Syahdan yang menugaskan. Sejak Pak Syahdan masuk rumah sakit, otomatis semua perintah dari Pak Eugene dan Pak Eugene---jika kamu lupa---tidak dalam perintah siapapun karena dia sejajar dengan Pak Syahdan."

Zania lalu mengatur suaranya agar lebih lembut "tapi jika kamu memang keberatan dengan tugas ini, aku akan katakan kepada Pak Eugene. Tidak masalah menggantimu dengan yang lain."

Aku menggeleng tidak percaya. Tidak serta merta merasa menang dari Sarah karena ini.

Aku hanya menyayangkan dengan sikap kekanakan dan emosinya yang meletup-letup itu. Membuat pertengkaran kami barusan terasa amat konyol.

"Dan," Zania menghela nafas "aku tidak mau membawa pertengkaran ini ke HRD. Aku memilih kalian selesaikan sendiri secara damai. Tapi jika ada panggilan dari HRD, baik Sarah maupun Ranu, aku harap kalian siap-siap."

Zania kembali ke mejanya. Diikuti yang lain.

Nafas Sarah masih memburu. Entah emosinya itu karena marah atau rasa malu. Namun sejurus kemudian dia menatapku tajam. Aku sudah siap jika dia akan mengkonfrontasiku lagi.

Tapi malah dia menyambar tasnya dan berlari keluar ruangan.

"Gimana sih?" Decak Roy "bulan depan deadline dari klien dia malah kabur kayak gitu."

Roy mengambil handphonenya, bermaksud menelepon Sarah.

"Udahlah, dia lagi dalam keadaan nggak bakal denger apapun." Faisal menyahut. Ia lalu menengok ke arahku "Lo nggak apa-apa?"

Aku mengangguk pelan. Lalu aku membuang nafas.

Aku tidak berharap kekacauan lebih lama lagi. Masalah lainnya. Rasanya seluruh tubuhku remuk.

Terlebih emosiku.

Aku mendengar nada pesan dari handphone. Mengernyit ketika satu nama muncul. Reflek kubuka.

Mau jalan-jalan?

******************

"Tam,"

Tama membuka mata. Terbangun ketika Lilo menyentuh lengannya lemah.

"Hmm?" Tama mengerjap cepat sembari menggeleng mengusir kantuk. Lalu dia tersadar.

"Astaga! Lo sadar!" Tama segera memencet tombol darurat dekat tempat tidur Lilo.

Kemudian dia buru-buru bangkit, bermaksud memanggil orangtua Lilo di luar karena bergantian berjaga dengan Tama di ruangan steril itu.

Tidak lama kemudian, Ibu Lilo, beberapa perawat dan seorang dokter masuk. Memeriksa.

Tama yang sekarang diluar menatap dengan perasaan haru dan lega yang hebat. Rasanya bobot bebannya mengempis.

Tama membuang nafas keras. Maniknya berkaca-kaca.

Setelah semua yang terjadi dan menyiksanya begitu hebat, ada satu hal yang menyelamatkan harinya.

***************

"Jadi, Arif udah nggak ada ya?" Lilo menatap langit-langit ruang perawatan dengan tatapan sedih "padahal gue baru kenal. Tapi udah ngerasa deket."

Tama merapatkan tangannya di saku hoodienya. Berusaha mengenyahkan gelombang perih.

Tiga hari lalu Arif yang kritis dan koma akhirnya meninggal.

Paru-parunya bocor akibat luka tusukan yang dalam. Tidak bisa diselamatkan.

Membuat seluruh kelompok Serigala Selatan berduka lagi.

Terutama membuat Tama lebih nelangsa akibat kehilangan dan rasa bersalah. Dia yang membawa Arif ke Malaysia. Dia yang mengantarkan Arif kepada maut.

Apalagi beberapa anggota Serigala Selatan kecewa dengan tindakan Tama yang impulsif. Pergi sendiri tanpa memberitahu. Tanpa persetujuan anggota lain maupun Haris sebagai ketua.

Tama menerima dengan lapang dada semua kesalahan yang ditimpakan padanya.

"Keluarga Arif cuma neneknya, ya?" Lilo bertanya lagi. Tama mengangguk.

"Gue dimaafin aja udah lebih dari cukup. Beliau ikhlas, katanya." Ujar Tama pelan "sejauh ini yang bisa gue lakuin buat nebus kesalahan cuma tiap hari jenguk keadaannya sama kasih tabungan gue."

"Duit lo maen Call of Order?"

"Ya."

"Semua?"

"Ya."

"Njir," Lilo berdecak "hampir milyaran, man!"

"Nggak sebanding sama nyawa Arif." Tama menggosok wajahnya.

"Iya tentu." Lilo setuju, "lalu meringis "lagian duit segitu buat lo juga nggak ada apa-apanya."

"Apanya? Gue bukan orang tajir." Cetus Tama "gue bukan lo yang udah tajir sejak moyang lo. Duit tabungan gue malah nggak ada setengahnya punya lo."

"Beda, Tam." Lilo terkekeh "gue biasa minta ortu, giliran bisa dapet sendiri rasanya beda. Lebih menghargai pas pegang sendiri."

"Wah, sangat bijak." Gumam Tama "Duit lo masih ada emangnya?"

"Gue habisin sih, beli sepatu sama makan-makan bareng cewek" Lilo tergelak.

Tama menggeleng. Sudah menduganya.

Tama lalu melihat jam dinding. Sudah hampir tengah malam.

"Hei, Tam." Panggil Lilo lemah "maafin gue ya, karena lancang minta bantuan Ernest."

Hening. Tama tidak tahu harus bagaimana. Ada jeda yang menggantung.

"Gue nggak tahu lagi. Waktu itu gue ngerasa Ernest bisa bantu kita jadi---"

"Lilo, gue paham." Ujar Tama memotong. Ia lalu menarik nafas"gue paham kenapa lo berbuat begitu. Bagi gue tindakan lo udah tepat."

"Karena jika Ernest nggak datang, kita berdua nggak bakal bisa balik dengan selamat. Gue udah bilang makasih ke dia. Gue berhutang budi."

Lilo menatap Tama, sedikit beringsut mendekatkan diri dengan susah payah.

"Lo udah baikan sama Ernest?" Tanya Lilo agak berharap.

"Nggak." Jawab Tama dingin dan singkat. Lilo menghela nafas sedikit kecewa.

"Tapi setidaknya gue paham posisi Ernest pas kejadian Arshan. Setelah kejadian Arif. Tapi tetep bagi gue... Gue nggak bisa maafin dia semudah itu." Lanjut Tama.

"Yah..." Lilo mengangguk pelan "berat buat kita saat itu ya."

Tama memandang keluar jendela ketika handphonenya berbunyi. Ada panggilan masuk.

Ernest.

Kenapa lagi orang itu?

Tama berdiri, beringsut keluar untuk menjawab telepon dari Ernest.

"Kenapa?" Tanya Tama dingin ketika sampai di luar, menengok sejenak ke dalam untuk memastikan Lilo tidak mendengar.

"Terimakasih udah ngasih gue salinan data yang gue perluin, Ar. Akhirnya lo ngasih juga."

Tama memutar bola matanya lelah "gue udah bilang itu balasan utang budi." Tapi kemudian Tama menambahkan "jangan gegabah makenya kalau lo nggak mau nyesel."

Ernest di seberang terkekeh "gue udah kenyang sama penyesalan."

"Terserah lo."

Lalu terdengar helaan panjang dari Ernest "gue ada sesuatu. Anggap aja balas budi."

Tama berdecak "nggak usah. Gue nggak butuh---"

"Temui gue di Kebun Bibit."

Lalu nada sambungan terputus. Tama memejamkan mata lelah. Apa yang akan dilakukan Ernest? Kenapa harus di tempat itu?

Tama tidak peduli. Masa bodoh dengan Ernest.

*****************

"Eciee Sinyo ngasih cewek boneka..."

Manik itu menatapku kosong.

"Kenapa kamu ngasih boneka?" Aku bertanya penasaran sembari tetap menatap manik bulat boneka beruang di hadapanku. Tidak mempedulikan suara sahut menyahut para preman di belakang.

Ini kenapa si Ernest memberiku boneka?

Oke, seharusnya dia mengajakku keluar jalan-jalan saja wajib ku tolak. Aku tahu Ernest adalah manusia biasa.

Tapi dia preman. Dan aku tidak cukup mengenalnya. Aku bukan orang yang selalu berpikir positif bahwa semua orang itu pada dasarnya baik, jadi tidak masalah.

Orang seperti Ernest pasti membawa masalah. Dia kriminal.

Tapi sejam lalu, ketika aku memutuskan langsung pulang karena kecapekan tiba-tiba di luar sudah ada Ernest dan beberapa anak buahnya yang langsung menyapaku di lobby.

Penampilan mereka sudah mirip para gangster yang ingin menagih hutang.

Jadi, walau sempat berpikir dua kali dengan konklusi kalau aku menolak akan terjadi sesuatu yang berbahaya,  maka aku meninggalkan mobilku di kantor dan ikut gerombolan Ernest.

Bagus, besok pasti ada kabar burung aku dijemput preman karena tidak bayar hutang dari rentenir.

Tapi di dalam mobil mini van itu, mereka malah menanyaiku tentang apakah aku beneran mantannya Tama apa bukan.

Lalu bertanya apakah mau balas dendam karena dicampakkan Tama dengan membuatnya babak belur dengan bantuan mereka.

Atau menawariku mencurahkan rasa patah hati dan berjanji akan membantu membuatku senang-senang seperti mengajak ke berbagai wahana di Taman Fantasi.

Sungguh, aku tidak tahu bagaimana preman seharusnya. Tapi mereka ini sangat anomali untuk ukuran preman. Rempong sekali.

Lagipula, Ernest dan kelompoknya tampaknya bukan tempat yang cocok curhat sentimentil seperti itu. Aku tidak mau curhat sama orang yang baru dikenal, apalagi jika sesi curhat itu nantinya dikelilingi oleh para preman.

Kalau mereka tertawa mendengar cerita picisan hidupku sih wajar. Tapi yang tidak bisa kuantisipasi adalah jika mereka malah terharu dan menangis bersama.

Aku bergidik memeluk boneka dari Ernest sembari membayangkan hal tersebut.

"Kenapa Ran?" Ernest membuyarkan lamunanku "nggak suka sama bonekanya? Terlalu kekanakan? Apa harusnya aku kasih Barbie---?"

"Bukan!" Aku menyanggah "aku hanya nggak paham kenapa kamu kasih boneka?"

"Ya, pengen aja." Jawab Ernest masa bodoh.

"Halah, Sinyo pedekate sama Mbak Ranu ya?" Celetuk salah satu anak buah Ernest di belakang.

"Lo ngomong lagi, k*nt*l lo gue bikin pendek." Seloroh Ernest dengan kekehan jahat.

"Wah jangan si Otong! Aset ini Nyo!"

Mereka tergelak.

Ya Tuhan, percakapan seperti ini dari tadi membuatku agak merinding.

"Ups, sorry Ran. Maaf mendengar hal-hal tak patut."

Aku tersenyum singkat dan canggung "jadi, ini mau kemana?" Tanyaku akhirnya. Aku takut saja diculik. Tapi apa gunanya menculikku?

"Aku ultah." Ujar Ernest tersenyum "kita akan merayakannya."

Aku cukup terkejut.
Oh ya, dia bilang kemarin ulangtahun nya Desember kan?
Sekarang akhir November. Bukannya terlalu cepat untuk dirayakan?

Ya bagaimanapun itu haknya mau merayakannya kapan.

Jadi Ernest sejatinya semakin tua. Tapi wajahnya tetap pada gurat kekanakan.

"Wah selamat." Aku buru-buru menjawab "tapi kok malah aku yang dikasih hadiah?"

"Ya seperti kataku tadi, pengen aja."

Aku menghela nafas panjang "lalu kenapa aku diundang?"

"Ya karena kamu sudah aku anggap teman, kan?"

Ah iya sih.

Aku hanya menggigit bibir. Tanpa terasa memeluk boneka dari Ernest. Bulunya lembut. Sangat lembut.

Ini pasti mahal.
Aku harus mengembalikannya nanti. Aku belum bisa menerima apapun dari orang yang belum aku kenal.

Aku memandang keluar ketika aku melihat pemandangan yang tidak asing. Jalanan dan deretan bangunan yang tidak asing.

Aku menoleh ke arah Ernest. Memandangnya penuh tanya. Lalu semua terjawab ketika mobil berhenti di bagian belakang area dengan pagar ditumbuhi banyak tanaman rambat.

Ini Kebun Bibit.

Tempat yang saat ini menimbulkan perasaan bermekaran namun juga seperti sembilu.

******************

Aku tidak tahu bagaimana preman merayakan ultah mereka, atau bahkan mereka mungkin tidak peduli terhadap hal ceria seperti ulangtahun.

Tapi tadi sempat membayangkan kue ulangtahun dan perayaan di salah satu tempat nongkrong preman. Perpaduan yang unik, jelas.

Jadi perayaan ulang tahun yang dimaksud oleh Ernest adalah: duduk-duduk berlesehan di atas susunan batu koral sikat halus dengan alas karpet di salah satu area terbuka.

Dikelilingi lampu-lampu hias taman dengan warna kuning cerah dan siluet pepohonan raksasa.

Lalu bertebaran sajian makanan ringan, pizza dan ayam panggang. Serta satu coolbox berisi minuman soda dan minuman beralkohol.

Tapi cukup lega juga tempat Ernest agak jauh dari pondok kayu. Walau dari sini aku bisa melihat sebagian atapnya yang tertutup berbagai dedaunan.

Jika limaratus meter aku lebih dekat kesana, aku tidak tahu apakah aku bisa menahan luapan berbagai emosi.

"Mbak Ranu pernah kesini?" Tanya Opie, salah satu anak buah Ernest dengan mulut penuh ayam. Membuyarkan kalutku

"Oh iya. Beberapa kali." Jawabku singkat. Ernest menyesap minuman sembari memandang sekeliling.

"Sebenarnya kalau Siny---eh Ernest nggak pernah jadi pemain game, kita nggak bakal bisa masuk-masuk kesini malam-malam." Ujar Opie. Aku paham. Tama pernah bercerita. Tapi aku penasaran.

"Jadi, kenapa kalian sebagai Tesla Con. Punya akses istimewa di sini?" Tanyaku.

Ernest lalu menatapku.

"Kami investasi." Jawab Ernest "untuk pengembangan botani dan pemberdayaan pemuda dengan game."

Ernest menunjuk pondok kayu dengan tangannya yang memegang botol.

"Pondok itu dibiayai beberapa kelompok gamer dan gamer individu. Kamu pasti tahu beberapa karena mereka juga terkenal di media sosial. Tujuannya adalah pengembangan calon-calon atlit game."

"Karena kita yang memprakarsai, jadi anggota Tesla Con punya kunci cadangan ke tempat ini."

Aku mengangguk paham.

"Apa... Apa tidak dimarahi? Maksudnya sih mungkin kalian punya hak atas pondok itu. Tapi kalau di sini---"

"Kamu tahu kan aku preman wilayah ini?" Potong Ernest. Nada suaranya berubah dingin walau rautnya ramah.

"Ya..."

"Pengaruhku kuat di sini." Ujar Ernest.

Aku menelan ludah "tapi kan---"

"Aku punya kuasa dan aku tahu bagaimana menggunakannya." Ernest memotong. Lalu dia mencondongkan tubuhnya ke arahku "jangan terlalu kaku jadi orang."

Aku mengambil nafas tidak nyaman. Buru-buru aku mengambil makanan ringan untuk mengalihkan rasa cemas.

Ernest tersenyum melihatku.
Ugh, nggak usah lihat-lihat. Tatapanmu menakutkan.

"Hei," Ernest memanggilku "Tama pernah mengajakmu ke sini, kan?"

Aku hampir tersedak makananku.

"Apa?" Aku bertanya tenang "kalau iya kenapa?"

Ernest menyunggingkan senyum sinis "pasti kalian senang-senang ya?"

Kali ini aku benar-benar tersedak hingga terbatuk. Opie lalu buru-buru menyodorkan botol minuman dengan cemas.

Sialan. Ernest ini kenapa sih?
Aku menenggak hampir semua isi botol dan ketika sudah masuk tenggorokanku, aku tersadar.

Tubuhku berubah panas

Aku meminum minuman yang salah.

****************

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top