21. The Price
"Ayo kita akhiri ini. Jangan teruskan. Jangan berhubungan lagi dengan apapun yang berkaitan denganku."
Aku mengerjap beberapa kali untuk mencerna kalimat itu.
Tunggu, tunggu... Apa maksudnya? Apa aku baru saja dicampakkan?
"Apa?" Aku memastikan lagi. Berharap apa yang aku dengar adalah suatu yang tidak pernah Tama katakan.
"Kita akhiri saja, Ranu. Setelah ini pergilah menjauh." Ulangnya.
"Kamu... Bercanda?"
Tama membuang nafas keras "tidak. Aku serius." Ujarnya dingin "Ranu, kita akhiri saja dan jangan mencariku lagi."
Untuk sepersekian detik, tanganku terasa ringan dan menampar Tama. Keras. Hingga menimbulkan bunyi yang memilukan.
Aku dapat merasakan seluruh ruangan menjadi hening dan tegang.
Baiklah kalian, lihat! Ranu sedang membuat drama lagi.
Tama tidak terkejut. Membalas pun tidak. Ia hanya memandangku hampa. Tanpa amarah.
"Maksudmu apa?" Desisku "setelah semua janji... Setelah apa yang terjadi selama ini----Apa-apaan katamu yang bakal menunggu dan menikahiku hah?"
Tama tidak membalas. Ia hanya memejamkan matanya sembari menghela nafas. Ia lalu mengeluarkan suara berat.
"Kita belum meresmikan apapu---"
"KALAU BEGITU JANGAN MENJANJIKAN APAPUN SETELAH SEMUA YANG TERJADI, BAJINGAN!"
Suaraku pecah. Aku berteriak dengan suara tangis.
Seperti seorang gadis putus asa yang baru saja dicampakkan kekasih yang sudah melakukan apapun dengannya.
Aku sungguh menyedihkan.
"Kamu tahu perasaanku---Aku benar-benar menyukaimu Tama. Aku hanya menunggu kamu jujur siapa kamu sebenarnya." Aku berusaha mengatur nada suaraku agar tidak kalah oleh tangis. Rasanya berat dan sakit. Dadaku bergemuruh seperti ada topan yang menyesakkan.
"... dan ketika belum sebulan kamu malah mengatakan kita harus pisah. Apa maksudnya?"
Tama tidak lagi menjawab apapun. Dia hanya menatapku dengan pandangan yang aku takut mengartikan.
"Jadi, aku tanya sekarang. Kenapa tiba-tiba?" Tanyaku berusaha mengatur tremor hebat
"kenapa tiba-tiba tanpa ada alasan jelas setelah menghilang berhari-hari... Kamu ingin kita pisah?
Tama masih bergeming di hadapanku. Tidak ada niatan untuknya memberi alasan.
Aku benci yang seperti ini.
Dulu, Syahdan juga tidak memberi alasan apapun selain alasan orangtua ketika memutuskanku.
Tapi yang ini lebih menyakitkan. Aku dibuat buta, menerka-nerka apapun yang terlintas.
Aku muak.
"Jawab Tama! Brengsek! Kamu ini apa? Penakluk perempuan lalu setelah dapat kamu tinggalkan?!" aku tidak tahan jadi aku semburkan saja semua.
"Cukup!"
Aku dan Tama menoleh ke arah kamar tempat Tama keluar tadi. Seorang wanita keluar. Cantik.
Disaat aku gampang lupa akan sesuatu, justru aku ingat siapa dirinya.
Aku melihatnya saat di hotel, saat Tama menyelamatkanku dari pria mabuk salah sasaran. Tama bilang bahwa dia adalah 'pesanan' pria itu. Kasarnya dia adalah wanita panggilan.
Tuhan, apalagi ini?
"Kamu Ranu?" tanyanya. Dia memandangku tajam. Ia lalu melirik Tama sejenak. Lalu mengapit lengan Tama dengan sebelah tangannya.
"Kamu siapa?" aku reflek bertanya balik. Jujur saja aku marah melihatnya bergelayut seperti itu.
"Panggil saja Dahlia, tapi aku rasa kita tidak akan punya waktu untuk saling memanggil selanjutnya." jawabnya dingin.
"Maksudmu?" tanyaku tidak paham.
Dahlia mempererat tangannya "Aku dan Tama sudah bertunangan. Kamu paham kan, nggak baik masih berhubungan dengan pria yang sudah bertunangan?"
Aku mati otak sementara. Tunggu... Ini berasa dejavu.
Berapa kemungkinan seseorang mengalami patah hati dengan alasan yang sama ---berturut-turut--- dalam hidupnya? Jika itu jarang sekali, apakah aku masuk kejadian langka tersebut?
"Itu... bercanda ya?" aku melihat antara Tama dan Dahlia bergantian. Meminta raut bahwa itu hanya main-main.
"Tama?" aku memanggilnya lagi. Tama memandangku lurus lalu menghela nafas.
"Nggak. Ini benar."
Aku membalas tatapannya. Tidak ada apapun yang bisa kutangkap selain dia serius.
Rasanya dadaku sakit sekali. Ada yang ingin membuncah dengan liar.
Namun dengan aneh, aku malah tenang.
Nyaris tenang hingga akhirnya aku hanya tertawa. Tertawa dingin. Sampai-sampai Tama menunjukan reaksi karena tawaku.
Reaksi khawatir. Sekarang dia khawatir denganku setelah semua ini?
"Ranu kamu nggak apa-ap---"
"Please, tolong jangan hentikan. Ini lucu." aku masih tertawa sengau menyedihkan "aku masuk judul drama apa sih?"
"Ranu tenangkan dirimu..." Tama mendekat ke arahku, berusaha menggapaiku. Aku mundur.
"Tenang? Apanya? Aku baik-baik saja Bangsat!" aku masih tertawa tapi kali ini nyaris memekik.
"Ranu, kumohon..." Tama masih berusaha menggapaiku, jadi aku melayangkan tamparanku lagi. Dahlia memekik.
"Hei, jangan kelewatan!" bentak Dahlia, berusaha mendorongku setelah melepas gelayutannya "Jangan kayak perempuan gila!"
"DIAM KAMU PER*K!" Aku berteriak.
"RANU CUKUP!" Tama akhirnya membentakku.
Aku terkesiap. Oke, aku memang kelewatan mengatai gadis itu pelacur walau aku tidak salah. Dia memang itu kan?
Aku terkesiap karena Tama membentakku demi membela gadis itu.
"Maaf, pulanglah..." suara Tama lemah. Ada gemetar. Untuk apa itu?
"Hadapi aku seperti bajingan, jangan jadi pengecut." Desisku kepadanya. Sungguh brengsek.
Tapi Tama hanya menatapku. Pandangan nanar.
Disini aku tahu aku harus undur diri. Persetan dengan apapun.
Aku mengangguk pelan "baik. Aku mengerti. Selamat untuk kalian. Kalian cocok."
Aku segera berbalik. Cukup dengan ini semua. Aku berjalan cepat menuju keluar. Di ujung bawah tangga, Ernest berdiri mematung.
"Tunggu di mobil." Perintahnya datar. Aku tidak berkomentar apapun. Aku tidak ingin bicara.
Tapi aku tahu aku memang membutuhkan tumpangan. Aku tidak tahu ini dimana. Jadi aku berjalan cepat ke mobil Ernest. Menunggu pemuda itu menyelesaikan apapun secepatnya.
Karena aku tidak mau berlama-lama di tempat keparat ini.
Aku lalu menunggu di dalam mobil. Dipandangi sedemikian rupa oleh beberapa orang tapi aku tidak peduli. Aku menatap ke depan dengan pandangan kosong.
Beberapa menit kemudian, Ernest kembali. Aku memandangnya, dengan tatapan bertanya. Aku tidak minat mengeluarkan suaraku.
Ernest memahaminya. Ia menjawab pelan "tidak ada apa-apa. Aku akan antar kamu pulang."
Pulang. Ya, aku membutuhkannya sekarang.
*******************************
"Tidak apa-apa, Lia. Gue bisa sendiri." Tama menatap Dahlia yang mencoba membantunya melepas kemeja.
"Bukannya bahu lo masih sakit?" Tanya Dahlia khawatir. Tama terkekeh.
"Lo sendiri lebih parah." Ujar Tama. Lalu dia menghela nafas panjang teringat sesuatu.
"Maafin gue." Ujar Tama pelan. Tercekat. Dahlia termenung. Ia kemudian menarik nafas pelan.
"Udah kejadian, Ar." Dahlia kemudian tersenyum getir "lagian bukan salah lo juga."
"Nggak." Gumam Tama "gara-gara gue ngelibatin lo sama semua usaha gila gue."
Tama lalu merebahkan diri di sofa panjang dekat tempat tidur. Memejamkan mata dan mencoba melupakan hal-hal menyesakkan.
Tapi tidak bisa.
Semua berkelebat dengan membawa siksaan.
Tama mengingat ketika ia akhirnya sampai di distrik merah tempat ia terakhir di Malaysia. Ia berharap kali ini selesai.
Dan menemukan kakaknya.
Semua pencarian Tama bahkan terlibat dengan preman dan polisi memang salah satunya adalah untuk menemukan kakak perempuannya yang kabur dengan pacarnya.
Tapi ternyata pacar sang kakak tersebut adalah anggota sindikat penjualan manusia berkedok tenaga kerja.
Tama mengetahuinya ketika dia berusaha mencari kakaknya karena kesehatan sang Ayah yang semakin menurun.
Namun kemudian ia tahu bahwa kakaknya menjadi korban. Tidak ada jejak keberadaan sang kakak dimanapun
Tama melakukan segalanya bahkan harus berurusan dengan dunia kriminal. Mungkin sekarang dia bisa menikmati semester demi semester di jurusan tehnik informatika di salah satu institut tehnik terbaik.
Atau menikmati tur dunia pertandingan eSports dengan timnya dan membuat video dengan konten game di sela waktu.
Tapi dia malah berakhir menjadi apa yang disebut sebagai sampah masyarakat.
Tapi malam itu, satu-satunya harapan Tama bertemu kakaknya, adalah malam teror kesekian baginya.
Di sana dia, Arif dan Lilo sudah disambut oleh mafia penjaga distrik tersebut. Sekitar hampir lima belas orang.
Perbuatan dan rencana Tama beberapa hari sudah menyebar diantara mereka. Para mafia yang berhubungan dengan sindikat human trafficking tersebut jelas tidak menyukai apa yang Tama lakukan. Mereka ingin menghabisi Tama.
Tama tidak habis pikir. Ia ingin ini selesai tanpa banyak keributan. Apalagi ini diluar wilayahnya.
Ia ke Malaysia bukan sebagai pahlawan, ia datang dengan alasan egois; ia hanya ingin menemukan dan membawa kakaknya pulang. Ia bahkan tidak peduli dengan korban yang lain.
Tapi tampaknya ia harus membuat kekacauan di negara orang
Tidak lama kemudian, mobil Lilo diberondong tembakan. Tama berhasil menarik Arif keluar dan terpelanting ke jalan. Lilo menunduk sembari menabrakan diri ke gerombolan tersebut.
Mobil Lilo lantas menabrak dinding dengan keras setelah berhasil menabrak beberapa orang.
Tama lalu bangkit tertatih, tapi ia tidak peduli.
Membabi buta membantai beberapa orang sembari berusaha menyelamatkan Lilo yang masih di dalam mobil. Menggunakan senjata api dan sebilah karimbit yang ia selipkan di pinggang.
Tama menembak dengan presisi akurat ke empat orang, kehabisan peluru ia lalu menerjang menggunakan karimbit.
Menebas beberapa yang mengeroyoknya dan melayangkan tendangan serta pukulan siku.
Tama tahu bahwa sebilah karimbit tidak akan merobohkan semuanya terutama pertarungan jarak jauh. Jadi Tama melepaskan kausnya, membebat batu besar dan membungkusnya dengan kausnya tersebut.
Memutar dan melayang-layangkan layaknya gasing. Dengan bantuan kaus tersebut, beban berat batu terasa lebih ringan untuk dibawa dan menjadi senjata yang efektif karena langsung menghantam kepala.
Setengah lebih para mafia sudah roboh. Tama mengalami memar dimana-mana, kemungkinan patah tulang dan luka tebas di tangan dan punggung.
Ia berhasil mengeluarkan Lilo yang tidak sadarkan diri. Membawanya bersembunyi di sela-sela lorong bangunan. Menghentikan perdarahan kepala Lilo dengan menaikan kepalanya. Memberi nafas buatan karena Lilo tampak kesulitan bernafas.
Tapi ketika konsentrasi Tama adalah gerombolan mafia tersebut dan Lilo yang harus segera ditolong, Arif terkena tembakan.
Manik Tama membesar. Ia berteriak gusar.
Tama yang langsung hilang pikiran, berusaha menyelamatkan Arif namun dikeroyok dengan membabi buta.
Satu tikaman di perut Tama akhirnya membuat tubuhnya kesakitan luar biasa, lalu menghentikan gerakan Tama.
Ketika Tama merasa dia akan tewas, tiba-tiba ia mendengar suara derap langkah berlarian.
Untuk beberapa saat Tama merasa halusinasi melihat Ranu yang memeluknya.
Ia ingin hal itu selamanya bahkan jika hanya halusinasi semata. Ia mengingat sentuhan dan nafas wanita itu di sepanjang kulitnya, menciptakan getaran bulu roma.
Tapi Tama masih bisa menggunakan pikirannya di kala sekarat.
Selanjutnya yang ia lihat adalah sekelebat orang-orang dan sosok Ernest mengacungkan kedua senjata api dengan kemampuan ambidextrousnya.
Lagi-lagi, Tama menganggap hanyalah halusinasi.
Tama berusaha mengembalikan kesadarannya dan keinginan bahwa itu bukan hanya imaji tapi Tama malah melihat paramedis dan nafasnya terasa sesak.
Tama memandang lemah paramedis yang memeriksa tekanan darahnya dan memaksa Tama untuk sadar.
"Tekanan darahnya menurun."
"kita perlu melakukan intubation?"
"Pasang topeng oksigen, lekaskan!"
"Tuan, Anda dengar saya? Buka mata, jangan tidur, kekal sedar!" *
Tama tidak dapat bergerak. Ingin tetap sadar pun rasanya tidak mampu. Namun ia merasa lega ketika dadanya seperti mendapat asupan udara.
Lalu kemudian raut Ernest muncul di sampingnya. Wajah pria itu lebam di bagian tulang pipi dan ujung bibir. Dahinya berdarah. Tampak cipratan darah.
Kenapa dia ada disini, batin Tama kala itu. Apa Ernest yang...
Ernest menggumamkan kata-kata yang bagai dengungan. Suara sirine meraung-raung memekakan telinga.
Tama memandang hampa langit-langit ambulans.
119. Nama panggilan Tama dalam dunia game. Juga kode panggilan untuk ambulans.*
Ironis.
Selanjutnya yang ia bisa dengar dari Ernest di sampingnya selain petugas yang memberi intruksi untuk menghentikan perdarahan adalah baik Lilo maupun Arif berhasil diselamatkan.
Sebagian beban sakit tubuhnya terangkat. Tama tidak sadarkan diri dan berhasil sadar keesokan harinya.
Ada jahitan di perutnya dan berbagai alat medis. Serta Ernest yang menunggunya bersama beberapa anak buahnya.
"Lo---" Tama susah payah mengeluarkan suara. Ia mengerang.
Ernest memberi kode kepada anak buahnya untuk keluar. Meninggalkan mereka berdua.
"Jangan banyak ngomong dulu." Ernest menghela nafas "gue akan cerita semuanya. Dimulai dari Lilo yang hubungin gue kemarin lusa."
Tama sudah menduganya.
Lilo selalu merasa bahwa hubungan mereka bisa diperbaiki.
Tapi tidak mungkin.
Namun terlepas dari itu---mengabaikan rasa marah dan kesal--- Tama bersyukur Ernest datang dan berhasil menyelamatkan Lilo dan Arif.
Tama agak merasa bersalah membuat Ernest terluka juga.
"Gue ngikutin mobil Lilo dari GPS. Lilo tahu kalau kalian nggak bakal bisa menghadapi yang ada di distrik itu. Itu kandang mereka." Ernest lalu merebahkan punggungnya di kursi dengan santai.
"Gue juga punya kenalan di sini. Gue minta bantuan mereka. Kebetulan kubu mereka sama orang-orang di distrik itu fraksi bersebrangan. Jadi gampang untuk menggerakan mereka tanpa banyak alasan."
Ernest lalu membuang nafas panjang "kali ini jangan membenci gue maupun Lilo gara-gara ikut campur, Ar."
Tama terdiam lama. Lalu mengalihkan wajahnya "gue membenci lo karena lo nggak ikut campur saat itu, brengsek."
Ernest terdiam. Terjadi kesenyapan yang menyiksa.
"Gimana Lilo sama Arif?" Akhirnya Tama memecah kesunyian.
Ernest lalu berdeham "Lilo sudah melewati masa kritis. Tapi entah bagaimana sama Arif. Masih di ICU."
Tama mengerang. Memaki diri sendiri. Semua kacau.
Tapi ternyata kengerian Tama bukan hanya itu.
"Gue nggak tahu apa ini saat yang tepat. Tapi gue rasa lo harus tahu." Ernest melanjutkan "Dahlia baru saja kena musibah."
"Apa?" Tama berujar cepat dan gusar "kenapa sama Lia?"
Dengan tatapan datar dan gestur tenang Ernest menceritakan semua yang terjadi selama Tama di Malaysia.
Dahlia ditemukan warga sebuah perkampungan dekat perbatasan luar kota berlari tertatih-tatih meminta tolong lewat tengah malam. Kondisinya mengenaskan.
Nyaris telanjang, luka-luka dan sebelah tangannya terkena sabetan benda tajam dan nyaris putus. Untung masih ada warga yang begadang karena banyaknya aksi pembegalan. Mereka awalnya mengira Dahlia adalah korban aksi kejahatan tersebut.
Dahlia segera dilarikan ke rumah sakit sebelum kehabisan darah. Sekarang masih dirawat intensif.
Tama tidak tenang.
"Gue mau keluar dari sini!" Tama bangkit "gue balik!"
Ernest berdecak kesal "Ar, lo nggak dalam keadaan bisa kemana-mana sekarang."
"Gue balik ke Metro sekarang!" Bentak Tama. Ada perasaan curiga bahwa apa yang menimpa Dahlia adalah karena dirinya.
"Ar, tolong jangan goblok!" Maki Ernest "nggak ada yang bisa lo lakuin!"
"Sialan lo!" Teriak Tama "Dia bakal diapa-apain lagi, Bangsat!"
"Dia sekarang sudah ditangani dengan baik! Aman! Gue juga udah nempatin orang buat dia!" Balas Ernest.
"Dahlia udah kayak temen buat kita di Tesla. Gue nggak lupa, Ar. Lagian ada atau nggaknya lo nggak akan merubah apapun yang terjadi sama dia!"
Tama berdecak geram. Sebagian kata-kata Ernest baginya benar.
"Kalau lo bersikeras, paling cepat dua hari lagi lo bisa balik ke Metro." Ernest menarik nafas berat "kita pulang paksa saat itu."
Dan begitulah. Tama kembali ke Metro dengan bantuan Ayah Lilo agar tidak terlibat masalah dengan pihak manapun di Malaysia. Lalu segera menemui Dahlia yang masih dirawat di rumah sakit.
Dahlia menolak berbicara untuk beberapa waktu. Tangannya cacat. Bekas luka ada di beberapa titik tubuh.
Tama dengan sabar menunggu wanita itu. Satu-satunya orang yang ia anggap saudara setelah nyaris seluruh keluarganya sudah pergi.
Kemudian kelegaan melingkupi Tama ketika Dahlia kembali dari pikiran kosongnya. Dahlia mau bicara dan mengenali Tama. Ia menangis meraung. Menumpahkan apapun kepada Tama.
Untuk pertama kalinya Tama melihat Dahlia seperti itu. Hatinya sakit.
Dahlia yang dingin tapi bermain-main dengan pria seperti api menangis seperti itu membuat Tama ngilu.
Dahlia adalah satu-satunya perempuan yang dekat dengannya sejak mereka masih kecil, yang dia anggap saudara perempuan walau awalnya Tama menaruh perasaan kepadanya ---serta bagaimana gadis itulah yang mengajarinya bercinta untuk pertama kali.
Bagi Tama, hubungan dengan Dahlia rumit dan gelap. Tapi mereka tahu bahwa mereka saling membutuhkan.
Tama membutuhkan informasi menggunakan Dahlia. Dahlia membutuhkan Tama secara finansial, walau lebih banyak tanpa imbalan hubungan fisik sebagaimana pekerjaan Dahlia sebagai perempuan komersil.
Bagi mereka, hubungan intim hanya terjadi sekali dan itu yang terakhir.
"Mereka nyari yang lo dapet." Dahlia berujar tenang setelah selesai menumpahkan semua rasa takutnya. Sedikit mengejutkan Tama.
"Mereka? Maksud lo mereka itu..."
Dahlia mengangguk. Lalu melanjutkan. Dia bercerita beberapa hari sebelumnya diikuti dan diintimidasi orang tidak dikenal.
Puncaknya adalah ketika orang-orang itu menculik dan memperkosanya.
Dahlia memang bisa dikatakan pelacur. Tapi itu atas kemauan dia sendiri. Diperkosa adalah sesuatu yang lain.
Lalu mereka memaksa Dahlia menyerahkan apapun yang berhasil Tama dapatkan dari kasus yang membawa Tama ke Malaysia.
Tama memejamkan mata marah. Menggigit bibir geram. Terutama geram akan dirinya sendiri.
Semua orang mengalami marabahaya karena dirinya.
Dahlia jelas menolak walau diperlakukan seperti itu--- selain karena dia tidak memiliki data apapun, Dahlia bukan pengecut.
Akhirnya Dahlia menerima siksaan yang mengerikan.
Tapi Dahlia yang sedari kecil sudah paham bagaimana harus melarikan diri, berhasil kabur.
Lalu berakhir dengan cacat dan marut.
Tama benar-benar dalam titik nadir; tidak menemukan kakaknya, dua temannya sekarat, sahabatnya cacat.
Dan dia ingat Ranu.
Dalam keadaan terendah seperti ini, Ranu adalah pelariannya. Sosoknya saja bisa membuat Tama ringan.
Tapi Tama sadar. Jika Ranu tetap berada di dekatnya, ia akan bernasib seperti Dahlia.
Atau bahkan lebih parah.
"Mereka nggak akan berhenti sampai sini. Mereka akan nyoba bunuh gue dan bunuh lo, Ar." Dahlia meneruskan setelah menatap wajah sendu Tama "satu-satunya jalan adalah memancing mereka lagi."
"Maksud lo?" Tanya Tama.
"Gue pengen memancing mereka keluar lagi. Dengan kita bersama jelas mereka akan datang ke kita. Makanya, kita akan pake cara lama kita; bersama seperti sepasang kekasih." Ujar Dahlia datar "dan jelas tidak ada Ranu di dalamnya, Ar."
Dahlia menatap Tama "lo lagi mikirin Ranu kan?"
Tama tercenung, lalu mengangguk pelan.
"Lo nggak boleh dekat lagi sama dia." Sambar Dahlia kemudian.
Dahlia tahu seluk beluk hubungan Tama dan Ranu. Dahlia tidak membenci Ranu, tapi jelas dia merasakan gejolak kecil yang aneh mengetahui Tama dekat dengan wanita lain.
Tapi Dahlia tidak menganggap hal itu personal.
"Jangan melibatkan orang yang nggak ada sangkut pautnya seperti Ranu, Ar. Dia wanita baik-baik. Bukan dari golongan kita..." Dahlia menatap Tama prihatin "gue nggak mau lihat lo merana seperti pas lo kehilangan bokap sama temen-temen lo kalau terjadi sesuatu sama Ranu---"
"Nggak." Potong Tama cepat "nggak akan terjadi apa-apa sama Ranu. Gue nggak akan biarin apapun terjadi sama dia."
Dahlia menunduk. Lalu mengangguk paham.
"Tapi nggak ada jalan lain." Gumam Dahlia "yang kamu hadapi ini kelompok berbahaya."
Tama memejamkan matanya. Ketika membuka mata kembali, ia menatap plafon di salah satu kamar markas kelompok Serigala Selatan.
Tama memutuskan berhenti mengingat lagi kejadian-kejadian sebelum malam ini.
Karena kejadian-kejadian itulah pangkal alasan kenapa dia harus mencampakkan gadis yang ia cintai. Secara bajingan.
Tama membenamkan wajahnya di punggung sofa. Berbaring meringkuk dan menekan dahinya seperti pola fetus.
Untuk beberapa lama Dahlia memandang Tama tanpa reaksi. Tapi kemudian, tubuh Tama gemetar hebat.
Pria itu menangis dalam diam.
Dahlia menghela nafas. Ia tahu ia tidak bisa berbuat apapun. Jadi dia keluar dari kamar lamat-lamat. Membiarkan pria itu meluapkan segalanya sendirian.
***********************************
"HUEK!"
Aku memuntahkan makan malamku kemarin di toilet. Mengeluarkan semua yang membuat perutku bergejolak.
Setelah aku merasa agak baikan, aku membersihkan semua dan berjalan lunglai ke kamar. Beringsut ke tempat tidur dan merapatkan diri di dalam selimut.
Aku demam. Tapi aku paksakan masuk tadi pagi. Sekarang efeknya adalah demamku semakin parah ketika aku pulang. Bahkan aku diantar Zania dan suaminya buat balik ke apartment.
Kenapa aku dengan bodoh tidak ijin sakit saja sih? Surat keterangan dokter kan bisa jadi senjata. Lagian aku sakit sungguhan.
Iya, apa yang sebenarnya sedang aku buktikan?
Apakah aku sedang berupaya membuat Tama sadar bahwa kejadian kemarin lusa tidak akan membuatku lemah? Atau membuktikan diri bahwa patah hati yang ini tidak lebih buruk dari sebelumnya?
Hah, ayolah Ranu. Akui saja kamu belum terlatih patah hati, batinku.
Buktinya adalah aku sakit dan mengalami masalah pencernaan. Tanda memalukan jika aku mengalami sesuatu agak maha dashyat dalam hidupku.
Lebih parahnya lagi adalah aku sudah menghabiskan malam-malamku dengan menangis. Sekarang pun aku ingin menangis, menerawang mengingat hal menyakitkan itu.
Setelah dari tempat Tama, Ernest langsung mengantarku pulang. Kami tidak bicara sepatah katapun.
Aku kemudian mengucapkan terimakasih dan salam perpisahan. Tapi Ernest memberiku nomer handphonenya.
"Jika butuh sesuatu, jangan sungkan bilang kepadaku." Ujarnya.
Aku hanya terdiam. Memangnya ada apa? Apa dia pikir aku akan merana berkepanjangan lalu membutuhkan teman curhat?
Tapi demi kesopanan, aku menerima dan mengangguk pelan.
Lalu kemudian yang aku lakukan adalah membasahi diri di bawah shower dengan pakaian lengkap. Untuk kurun waktu yang aku sendiri tidak tahu. Berganti pakaian kering lalu berusaha tidur.
Tapi jelas tidak bisa.
Kepalaku masih belum bisa menerima kejadian itu, tapi emosiku sudah teraduk-aduk. Aku menangis hingga tertidur.
Lalu esoknya hingga hari ini aku bekerja seperti kesetanan. Aku melakukan semua tugas semaksimal mungkin. Tiga kali lebih giat dari biasanya. Aku bahkan mengabaikan istirahat makan siang.
Pekerjaanku selesai lebih cepat dari tenggang waktu. Tapi resultnya adalah sekarang aku tergeletak akibat sakit pencernaan.
Atau karena stress yang memicu penyakit fisik.
Aku tidak mau menderita seperti ini. Jadi aku putuskan untuk berganti baju dan ke klinik 24 jam di dekat apartment. Jika aku dapat obat, kemungkinan besok aku nggak akan bolos.
Karena sekarang, untuk melupakan keparat itu pelarianku adalah bekerja.
Aku berjalan pelan sembari merapatkan jaket menuju ke bawah. Ketika aku berjalan ke samping bangunan menuju klinik, aku menangkap sosok itu.
Ernest sedang berbincang dengan satpam apartment. Tampak kenal akrab.
Ngapain dia kesini? Batinku. Aku berusaha mengabaikannya karena aku tidak mau bertemu siapapun yang terkait dengan Tama, tapi dia melihatku lebih dulu.
Ernest pamit ke satpam sejenak lalu menghampiriku.
"Hei, apa kabar?" Tanyaku.
"Aku baik. Tapi kayaknya kamu nggak." Ujar Ernest.
Kepalaku tiba-tiba berat. Melihat Ernest membuat kepalaku penuh.
Aku reflek menunjuk ke klinik "aku memang agak kurang enak badan." Aku memandang pemuda itu "ngomong-ngomong, ngapain kamu kesini?"
Perutku bergejolak.
"Ah itu, ada sesuatu yang harus aku serahkan waktu itu tapi tidak bisa. Jadi sekarang----"
"HUEEEK!"
Aku tidak tahan, jadi aku memuntahkan sisa isi perutku. Ernest langsung membantu mengurut punggung. Pak Abdul--- Satpam apartment---malah langsung tergopoh-gopoh datang membawa air mineral melihatku muntah.
Ya Tuhan, bisakah aku tidak berbuat memalukan?
Ernest segera memapahku yang lemas. Dibantu Pak Abdul menuju klinik. Dokter jaga segera menanganiku ketika kami masuk.
"Mbak Ranu cuma butuh istirahat. Jangan banyak mikir. Kayaknya pencernaannya kacau gara-gara mikir." Dokter jaga yang sudah ku kenal itu mencatat sesuatu "udah berapa kali coba?"
"Baru empat kali ini...." Pertama karena kerjaan, kedua karena Syahdan, ketiga karena gosip aku pelakor dan yang ini gara-gara Tama.
Tiga diantaranya bisa kuatasi dengan obat dan liburan. Dalam kasus gosip dapat kuatasi karena keberadaan Tama.
Tapi entah patah hati ini. Rasanya liburan tidak akan menolong. Apapun tidak akan menolong bahkan kerja siang-malam.
Oh sial, aku memang mencintai pria itu.
"Empat kali itu sudah gawat kalau dibiarkan terus. Coba deh Mbak Ranu liburan. Ikut yoga atau olahraga juga bisa." Lalu ia menyerahkan secarik kertas "ini obat yang harus Mbak Ranu beli."
Aku menggumamkan terimakasih ketika semua selesai. Lalu mendapati Ernest masih menungguku.
"Maaf membuatmu melihat hal menjijikan." Gumamku.
Ernest terkekeh "aku pernah lihat yang lebih menjijikan."
Iya, ya. Dia kan preman.
"Sini resepnya." Ernest lalu meminta kertas yang kupegang "biar aku yang belikan."
"Eh nggak usah." Tolakku segera "apoteknya kan jadi satu sama klinik."
"Pasti nunggu lama. Mending kamu langsung balik ke kamar. Nanti obatnya biar diantar Pak Abdul."
"Kamu kenal Pak Abdul?" Aku reflek bertanya. Ernest menggaruk tengkuknya pelan.
"Yah... Pak Abdul dulu preman sih. Sebelum tobat dan jadi satpam."
Aku tercengang, sedikit. Tapi kemudian aku mengangguk paham. Pantas saja dalam radius satu kilometer dari apartment, hampir tidak pernah kejadian kriminal yang aneh-aneh.
Rahasianya mungkin karena keberadaan Pak Abdul.
"Tapi jangan diumbar." Ernest terkekeh "kasihan, udah tobat lama eh ketahuan kalau dulu suka malak."
Aku ikut terkekeh "nggak lah. Aku nggak seember itu." Lalu aku memandang Ernest "terimakasih."
Ernest mengangguk "nggak apa-apa."
Aku menghela nafas "ini bukan 'nggak apa-apa'. Kamu sejauh ini membantuku. Padahal kejadian di Rawapati itu sudah kuanggap impas. Seharusnya ketika urusanku dengan Tama selesai, kamu tidak perlu menemui atau membantuku."
Ernest lalu menatapku serius.
"Begini, aku luruskan sesuatu." Ernest mendekat "aku akan terus menganggap bahwa kejadian di Rawapati itu adalah benang merah antara aku dan kamu. Takdir."
Aku membulatkan manik mataku.
"Soal aku menemuimu saat ini, karena ini." Ernest lalu merogoh saku celananya. Ia mengambil dompet dan mengeluarkan sebuah kalung.
Kalung dengan bandul segitiga dengan huruf T ditengahnya.
Seperti milik Tama, hanya saja ada bandul kotak kecil sebagai hiasan tambahan.
"Itu---" aku menunjuk dengan raut terkejut.
"Aku dan Tama punya kalung yang sama. Tapi ya, ini milik Tama." Jawab Ernest.
Aku menyipitkan mataku "apa hubungannya?"
Ernest menghela nafas "Tama ingin kamu menyimpannya."
Aku menggeleng gusar "nggak. Aku nggak mau! Buat apa? Ngapain dia ngasih-ngasih kalung segala? Aku nggak butuh apapun dari dia!"
"Tama cuma ingin memberi sesuatu sebagai permintaan maaf."
"Buat apa?!" Aku memekik gusar "buat apa aku menyimpan sesuatu dari bajingan yang mencampakkanku?"
Ernest terdiam.
"Benar. Tidak ada gunanya." Aku menjawab sendiri pertanyaanku "berikan lagi ke Tama. Katakan, jangan memberi apapun. Aku tidak mau lagi mengenalnya. Berikan saja pada tunangannya. Dia lebih pantas menerimanya."
Aku lalu menghela nafas "kamu tidak seharusnya ikut campur."
Ernest mengalihkan wajahnya, lalu menyimpan lagi kalung itu di sakunya.
"Maaf. Aku memang tidak seharusnya terlibat." Gumam Ernest.
Aku sekarang merasa bersalah kepada pria ini.
"Aku juga minta maaf telah membentakmu." Ujarku akhirnya "kanu tidak perlu susah-susah lagi melakukan apapun untukku atau Tama---"
"Tidak, tidak." Ernest memotong "aku kemari karena ingin. Tidak karena Tama. Tidak karena balas budi atau apa. Aku hanya ingin mengenalmu."
Untuk sesaat aku berusaha mencerna perkataan Ernest.
Lalu ketika aku paham, aku reflek tercengang dengan mulut ternganga.
Selain dicampakkan dengan sadis, apakah 'anugrah' lainnya dari diriku adalah dapat menarik pria berbahaya semacam ini?
Sungguh, jika itu benar, aku sama sekali tidak menginginkannya.
***********************
*Ini percakapannya adalah bahasa Melayu ya. Tapi karena saya buta sama sekali dengan bahasa Melayu selain yang serapan, jika ada salah saya bersedia menerima masukan.
Edited: thanks to everyone terutama kak roseseptember untuk membantu.
*Kode ambulans di Indonesia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top